Share

4. Pikirkan Lagi

Panik.

Kedua tangan Kiya sampai gemetar, karena pemecatan sepihak yang dilakukan Gilang. Bukan maksud Kiya untuk berbohong, tetapi keadaanlah yang memaksanya. 

Dulu, demi mendapatkan pekerjaan sebagai asisten Elok, Kiya harus berbohong tentang statusnya saat wawancara. Membuat beberapa alasan, dan sempat memalsukan beberapa dokumen penting. 

Kiya tahu itu semua salah. Namun, demi menghidupi keluarganya dan memberikan mereka kehidupan yang layak, Kiya harus melakukan semua itu.

“Duta …” Karena mempertimbangkan putranya, maka Kiya tidak bisa mengejar Gilang saat itu juga. “Kita pulang sekarang, ya!”

“Apa, Bund?” Kekesalan Duta semakin bertambah. Saat sang ayah tidak kunjung mengangkat panggilan videonya, kini Kiya mengajaknya pulang dengan mendadak. “Tapi kita belum dapat sepatu, belum lihat-lihat sepeda juga!”

“Bunda ditelpon orang kantor.” Hanya satu alasan itu, yang bisa membuat Duta tidak membantah. “Ada kerjaan mendadak, tapi nggak lama. Nanti sore, atau malam kita jalan lagi beli sepatu sama sepeda. Gimana? Mau, ya?”

Berusaha tenang di saat terdesak seperti sekarang, ternyata tidaklah mudah. Kiya belum bisa mencontoh sikap Elok sepenuhnya. Yang mampu menghadapi setiap masalah dengan terlihat santai, meski banyak duri yang tengah menusuk relung hati wanita itu.

“Om tadi juga ke kantor?” Saat Duta melihat ke arah lift, pria yang menyapanya tadi ternyata sudah tidak berada di sana. 

“Iya!” jawab Kiya terburu, sambil meraih tangan Duta. Mengajak putranya berdiri dan berjalan cepat menuju lift. “Om tadi namanya om Gilang. Dia sudah ditelpon duluan sama orang kantor, makanya sudah pergi.”

Begitulah kehidupan yang dijalani Kiya selama ini. Selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan kerap mengecewakan Duta. Namun, Kiya yakin semua ini tidak akan berjalan selamanya. Setelah rumah sederhananya selesai dibangun, dan tabungan yang dimilikinya sudah dirasa cukup, maka Kiya akan berhenti bekerja. 

Semua sudah diperhitungkan Kiya dengan matang. Meski hidup tertatih dan mengorbankan banyak hal, tetapi ia yakin akan ada pelangi setelah itu. Namun, semua kerja keras Kiya tidak boleh terhenti di saat seperti sekarang. Masih banyak hal yang harus ia wujudkan, dan hal itu bisa Kiya lakukan dengan menjadi asisten pribadi Gilang Mahardika.

~~~

“Siang pak Adi,” sapa Kiya setelah masuk dengan terburu ke kediaman keluarga Mahardika. Di ruang tengah, ia sudah mendapati Adi tengah duduk santai, tetapi dengan pakaian yang sudah sangat rapi. Sepertinya, pria tua itu berencana untuk pergi.

“Siang, Ki,” balas Adi tampak bingung. Untuk apa Kiya datang di hari libur seperti sekarang? 

Sebenarnya, hal tersebut wajar dilakukan Kiya, ketika gadis itu masih bekerja dengan Elok yang tidak mengenal waktu. Namun, tidak dengan Gilang, karena putranya itu belum bekerja secara formal untuk Jurnal. Gilang masih memupuk rasa percaya dirinya, setelah kecelakaan mobil kala itu. 

“Di suruh Gilang datang?” tanya Adi.

Kiya sedikit membungkukkan badannya. “Ada barang saya yang ketinggalan, Pak,” ujarnya beralasan. “Sekalian, mau ketemu mas Gilang. Ada yang mau dibicarakan. Sedikit.”

Telunjuk Adi segera tertuju ke arah ruang kerjanya. Tidak ada rasa curiga, karena Kiya merupakan salah satu orang yang sudah sangat dipercaya oleh keluarga Mahardika. “Gilang baru datang. Kebetulan ada di ruang kerja. Ke sana aja.”

“Makasih, Pak.” Kiya kembali membungkuk sekilas. Kemudian berpamitan pergi menuju ruang kerja Adi, yang saat ini digunakan oleh Gilang. 

Karena pintunya tidak tertutup, maka Kiya mengetuknya lalu masuk tanpa menunggu titah dari GIlang. Ia terus berjalan, dan berhenti di balik meja kerja pria itu. Berseberangan, dan berhadapan.

“Sudah gue bilang–”

“Kita punya perjanjian,” sela Kiya mencoba mengingatkan. Atau dengan kata lain, Kiya mencoba mengancam Gilang. “Masih ingat dengan surat yang sudah Mas Gilang dan saya tanda tangani. Kalau sampai surat itu jatuh ke tangan pak Adi, kita sama-sama selesai.”

“Lo ngancam gue?” Gilang segera berdiri. Pandangannya lurus ke arah pintu yang tidak ditutup oleh Kiya. Jangan sampai, ada seseorang yang tengah lewat dan mendengar pembicaraan mereka. Gilang juga tidak bisa beranjak untuk menutup pintu, karena orang rumah pasti mencurigai mereka. Terlebih, Adi saat ini masih berada di rumah dan belum pergi ke mana pun. 

“Saya sudah pernah hidup susah.” Kiya mencoba untuk tetap tenang, dan memelankan suaranya. “Andai jatuh, saya yakin masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Mas Gilang? Andai sekali ini Mas "jatuh" lagi, pak Adi nggak akan segan buang Mas Gilang ke jalanan. Dan, pak Adi juga nggak akan pernah percaya lagi dengan Mas. Kalau itu sampai terjadi, apa bisa Mas Gilang bertahan hidup di luar sana?”

“Ternyata, lo itu licik juga!” Kedua tangan Gilang mengepal. Tatapannya masih awas, dan tertuju ke arah pintu. “Lo lupa? Gue masih punya mbak Elok.”

“Mas Gilang yakin bu Elok mau bantu?” Kiya harus menekan Gilang dengan tenang. Persis seperti Elok saat menekan semua musuh-musuhnya. “Andaipun iya, memang mau sampai kapan? Mas Gilang mau jadi parasit ter–”

“Kiya!” sentak Gilang tidak terima diremehkan oleh gadis itu. “Jangan sekali-ka–”

“Jangan pecat saya, maka rahasia kita tetap aman.” Kiya harus tetap fokus pada penyelesaian masalah mereka, dan tidak ingin mendengar ocehan Gilang. Kedatangan Kiya saat ini, hanya ingin bernegosiasi dan tidak boleh gagal. “Dan seperti yang sudah kita sepakati, saya akan bantu Mas Gilang agar bisa sejajar dengan bu Elok. Saya juga bisa bantu Mas Gilang untuk mengembalikan kepercayaan pak Adi sama, Mas. Karena kepercayaan itulah yang paling utama. Dan semua ini nggak ada ruginya buat kita berdua. Jadi, coba pikirkan lagi.”

“Pergi gue bilang!” usir Gilang belum bisa berpikir jernih. 

Kiya menggeleng, dan baru akan pergi bila kesepakatan mereka telah tercapai. “Saya nggak akan pergi, sebelum ada kata sepakat di antara kita. Saya tetapi kerja, dan kita jalani hari-hari seperti biasa. Anggap yang Mas Gilang lihat di mall tadi, nggak pernah terjadi. Ayolah, Mas, nggak akan ada yang berubah dari kita.”

“Lo itu, sudah ngerusak kepercayaan keluarga Mahardika, Ki!” desis Gilang sambil mencengkram sisi meja kerjanya dengan kedua tangan. Ia mencondongkan tubuh, dan menatap geram pada Kiya. Andai bukan seorang wanita, Gilang pasti sudah melayangkan satu bogem mentah, karena Kiya sudah berani mengancamnya.

“Mas, saya memang bohong dengan status saya.” Untuk yang satu itu, Kiya tidak akan membantah. Ia memang harus mengaku salah. “Tapi, semua itu nggak pernah mempengaruhi kinerja saya, waktu masih jadi asisten pribadi bu Elok. Silakan tanya ke beliau, apa pernah saya ngecewain beliau?”

“Lo kira–”

“Please, Mas,” mohon Kiya. “Kita saling membutuhkan. Saya butuh uang untuk menghidupi anak saya, dan Mas Gilang butuh saya untuk mendapat kepercayaan lagi dari pak Adi. Ingat, ujung tombak Jurnal sekarang ada di Mas Gilang. Kalau pak Adi sampai kecewa sekali lagi, posisi Mas Gilang bisa diganti dengan orang lain. Saya mohon, pikirkan lagi semua itu.”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
semangat kiya
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
salut sama Kiya yg bisa mengendalikan seorang Gilang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status