Panik.
Kedua tangan Kiya sampai gemetar, karena pemecatan sepihak yang dilakukan Gilang. Bukan maksud Kiya untuk berbohong, tetapi keadaanlah yang memaksanya.
Dulu, demi mendapatkan pekerjaan sebagai asisten Elok, Kiya harus berbohong tentang statusnya saat wawancara. Membuat beberapa alasan, dan sempat memalsukan beberapa dokumen penting.
Kiya tahu itu semua salah. Namun, demi menghidupi keluarganya dan memberikan mereka kehidupan yang layak, Kiya harus melakukan semua itu.
“Duta …” Karena mempertimbangkan putranya, maka Kiya tidak bisa mengejar Gilang saat itu juga. “Kita pulang sekarang, ya!”
“Apa, Bund?” Kekesalan Duta semakin bertambah. Saat sang ayah tidak kunjung mengangkat panggilan videonya, kini Kiya mengajaknya pulang dengan mendadak. “Tapi kita belum dapat sepatu, belum lihat-lihat sepeda juga!”
“Bunda ditelpon orang kantor.” Hanya satu alasan itu, yang bisa membuat Duta tidak membantah. “Ada kerjaan mendadak, tapi nggak lama. Nanti sore, atau malam kita jalan lagi beli sepatu sama sepeda. Gimana? Mau, ya?”
Berusaha tenang di saat terdesak seperti sekarang, ternyata tidaklah mudah. Kiya belum bisa mencontoh sikap Elok sepenuhnya. Yang mampu menghadapi setiap masalah dengan terlihat santai, meski banyak duri yang tengah menusuk relung hati wanita itu.
“Om tadi juga ke kantor?” Saat Duta melihat ke arah lift, pria yang menyapanya tadi ternyata sudah tidak berada di sana.
“Iya!” jawab Kiya terburu, sambil meraih tangan Duta. Mengajak putranya berdiri dan berjalan cepat menuju lift. “Om tadi namanya om Gilang. Dia sudah ditelpon duluan sama orang kantor, makanya sudah pergi.”
Begitulah kehidupan yang dijalani Kiya selama ini. Selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan kerap mengecewakan Duta. Namun, Kiya yakin semua ini tidak akan berjalan selamanya. Setelah rumah sederhananya selesai dibangun, dan tabungan yang dimilikinya sudah dirasa cukup, maka Kiya akan berhenti bekerja.
Semua sudah diperhitungkan Kiya dengan matang. Meski hidup tertatih dan mengorbankan banyak hal, tetapi ia yakin akan ada pelangi setelah itu. Namun, semua kerja keras Kiya tidak boleh terhenti di saat seperti sekarang. Masih banyak hal yang harus ia wujudkan, dan hal itu bisa Kiya lakukan dengan menjadi asisten pribadi Gilang Mahardika.
~~~
“Siang pak Adi,” sapa Kiya setelah masuk dengan terburu ke kediaman keluarga Mahardika. Di ruang tengah, ia sudah mendapati Adi tengah duduk santai, tetapi dengan pakaian yang sudah sangat rapi. Sepertinya, pria tua itu berencana untuk pergi.
“Siang, Ki,” balas Adi tampak bingung. Untuk apa Kiya datang di hari libur seperti sekarang?
Sebenarnya, hal tersebut wajar dilakukan Kiya, ketika gadis itu masih bekerja dengan Elok yang tidak mengenal waktu. Namun, tidak dengan Gilang, karena putranya itu belum bekerja secara formal untuk Jurnal. Gilang masih memupuk rasa percaya dirinya, setelah kecelakaan mobil kala itu.
“Di suruh Gilang datang?” tanya Adi.
Kiya sedikit membungkukkan badannya. “Ada barang saya yang ketinggalan, Pak,” ujarnya beralasan. “Sekalian, mau ketemu mas Gilang. Ada yang mau dibicarakan. Sedikit.”
Telunjuk Adi segera tertuju ke arah ruang kerjanya. Tidak ada rasa curiga, karena Kiya merupakan salah satu orang yang sudah sangat dipercaya oleh keluarga Mahardika. “Gilang baru datang. Kebetulan ada di ruang kerja. Ke sana aja.”
“Makasih, Pak.” Kiya kembali membungkuk sekilas. Kemudian berpamitan pergi menuju ruang kerja Adi, yang saat ini digunakan oleh Gilang.
Karena pintunya tidak tertutup, maka Kiya mengetuknya lalu masuk tanpa menunggu titah dari GIlang. Ia terus berjalan, dan berhenti di balik meja kerja pria itu. Berseberangan, dan berhadapan.
“Sudah gue bilang–”
“Kita punya perjanjian,” sela Kiya mencoba mengingatkan. Atau dengan kata lain, Kiya mencoba mengancam Gilang. “Masih ingat dengan surat yang sudah Mas Gilang dan saya tanda tangani. Kalau sampai surat itu jatuh ke tangan pak Adi, kita sama-sama selesai.”
“Lo ngancam gue?” Gilang segera berdiri. Pandangannya lurus ke arah pintu yang tidak ditutup oleh Kiya. Jangan sampai, ada seseorang yang tengah lewat dan mendengar pembicaraan mereka. Gilang juga tidak bisa beranjak untuk menutup pintu, karena orang rumah pasti mencurigai mereka. Terlebih, Adi saat ini masih berada di rumah dan belum pergi ke mana pun.
“Saya sudah pernah hidup susah.” Kiya mencoba untuk tetap tenang, dan memelankan suaranya. “Andai jatuh, saya yakin masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Mas Gilang? Andai sekali ini Mas "jatuh" lagi, pak Adi nggak akan segan buang Mas Gilang ke jalanan. Dan, pak Adi juga nggak akan pernah percaya lagi dengan Mas. Kalau itu sampai terjadi, apa bisa Mas Gilang bertahan hidup di luar sana?”
“Ternyata, lo itu licik juga!” Kedua tangan Gilang mengepal. Tatapannya masih awas, dan tertuju ke arah pintu. “Lo lupa? Gue masih punya mbak Elok.”
“Mas Gilang yakin bu Elok mau bantu?” Kiya harus menekan Gilang dengan tenang. Persis seperti Elok saat menekan semua musuh-musuhnya. “Andaipun iya, memang mau sampai kapan? Mas Gilang mau jadi parasit ter–”
“Kiya!” sentak Gilang tidak terima diremehkan oleh gadis itu. “Jangan sekali-ka–”
“Jangan pecat saya, maka rahasia kita tetap aman.” Kiya harus tetap fokus pada penyelesaian masalah mereka, dan tidak ingin mendengar ocehan Gilang. Kedatangan Kiya saat ini, hanya ingin bernegosiasi dan tidak boleh gagal. “Dan seperti yang sudah kita sepakati, saya akan bantu Mas Gilang agar bisa sejajar dengan bu Elok. Saya juga bisa bantu Mas Gilang untuk mengembalikan kepercayaan pak Adi sama, Mas. Karena kepercayaan itulah yang paling utama. Dan semua ini nggak ada ruginya buat kita berdua. Jadi, coba pikirkan lagi.”
“Pergi gue bilang!” usir Gilang belum bisa berpikir jernih.
Kiya menggeleng, dan baru akan pergi bila kesepakatan mereka telah tercapai. “Saya nggak akan pergi, sebelum ada kata sepakat di antara kita. Saya tetapi kerja, dan kita jalani hari-hari seperti biasa. Anggap yang Mas Gilang lihat di mall tadi, nggak pernah terjadi. Ayolah, Mas, nggak akan ada yang berubah dari kita.”
“Lo itu, sudah ngerusak kepercayaan keluarga Mahardika, Ki!” desis Gilang sambil mencengkram sisi meja kerjanya dengan kedua tangan. Ia mencondongkan tubuh, dan menatap geram pada Kiya. Andai bukan seorang wanita, Gilang pasti sudah melayangkan satu bogem mentah, karena Kiya sudah berani mengancamnya.
“Mas, saya memang bohong dengan status saya.” Untuk yang satu itu, Kiya tidak akan membantah. Ia memang harus mengaku salah. “Tapi, semua itu nggak pernah mempengaruhi kinerja saya, waktu masih jadi asisten pribadi bu Elok. Silakan tanya ke beliau, apa pernah saya ngecewain beliau?”
“Lo kira–”
“Please, Mas,” mohon Kiya. “Kita saling membutuhkan. Saya butuh uang untuk menghidupi anak saya, dan Mas Gilang butuh saya untuk mendapat kepercayaan lagi dari pak Adi. Ingat, ujung tombak Jurnal sekarang ada di Mas Gilang. Kalau pak Adi sampai kecewa sekali lagi, posisi Mas Gilang bisa diganti dengan orang lain. Saya mohon, pikirkan lagi semua itu.”
Gilang tidak punya jalan keluar, selain kembali ke rencana awal. Jika dibandingkan dengan Kiya, jelas saja papanya itu lebih percaya pada wanita itu daripada Gilang sendiri. Ulah Gilang selama inilah, yang membuat seluruh kepercayaan Adi hilang kepadanya. Karena itulah, Gilang butuh orang seperti Kiya untuk meyakinkan Adi, dirinya saat ini sudah berubah dan bisa diberi kepercayaan untuk masuk ke jajaran direksi Jurnal.“Kalau suka, dilamar, Jangan tunggu jadi CEO, baru dinikahin.”Gilang sontak membeku beberapa saat. Lamunannya tentang Kiya menguap detik itu juga. Kemudian, ia menoleh pelan pada Elok yang tersenyum, dengan pandangan yang tertuju ke halaman rumah. Apa kakaknya tahu mengenai perjanjian yang telah disepakatinya dengan Kiya? Atau, hal tersebut hanyalah sindiran semata, tanpa ada maksud apa-apa.Lantas, Gilang pun terkekeh hambar untuk menanggapi ucapan Elok tersebut. “Lagi ngomongin siapa, Mbak?” tanyanya pura-pura tidak tahu.“Kamu, sama Kiya?” todong Elok tanpa ingin be
“Bokap gue mau ngomong.” Gilang menarik paksa Kiya, ke sudut ruang tersembunyi di bawah tangga. “Gue barusan bilang mau balik ke Jurnal, tapi bokap minta ketemu sama lo dulu.”“Kenapa Mas Gilang nggak berunding sama saya dulu,” ujar Kiya bicara dengan perlahan. “Harusnya—““Bilang ke bokap, kalau gue sudah siap,” putus Gilang terburu. “Terus, masalah hubungan kita, bilang juga sudah selesai, karena kita lebih cocok jadi partner kerja. Nggak lebih dari itu. Paham, lo?”Kiya mengangguk. “Lain kali, semua masalah harus dibicarakan dan direncanakan—““Ki, mending lo diam, terus masuk ke ruang kerja.” Gilang sudah tidak sabar menunggu keputusan Adi. “Pokoknya lo bilang, seperti yang sudah gue kasih tahu barusan. Ngerti, kan, lo? Entar gue tambahin gajian lo bulan ini. Jangan khawatir.”Mentang-mentang Kiya melakukan semua hal demi uang, bukan berarti Gilang lantas memperlakukannya seperti sekarang. “Mas, ini bukan Cuma masalah uang. Tapi—““Udahlah nggak usah muna,” putus Gilang lagi. “Lo
“Sekali lagi saya ingatkan, jangan perlakukan Gilang dengan istimewa,” pesan Adi saat berhenti di depan meja Kiya. “Gilang Mahardika bukan anak pemilik Jurnal, dan dia di sini CUMA karyawan biasa. Tiga bulan bulan pertama, anggap dia anak magang dan jangan mau diperintah sama dia. Paham, Kiya?”Kiya yang sudah berdiri dari kursinya segera mengangguk. “Baik, Pak.”“Pagi semuaaa.” Elok menahan tawa saat melihat Gilang berdiri di balik mejanya. Ia menghampiri sang adik, lalu berdiri di sebelah Gilang dan merangkulnya. “CEO, kan?” bisiknya di telinga Gilang, sambil menepuk keras dada pria itu. “Semangat!”Hanya itu, kemudian Elok melepas tawa sambil berlalu menuju ruangannya. Sekilas, Elok memberi anggukan formal pada Adi, tetapi tidak berniat berhenti melangkah ataupun menegur sang papa.Sementara Gilang, spontan memegang dadanya yang nyeri karena ulah Elok barusan. Akhirnya, daripada harus kembali mengurus Event Organizer miliknya, Gilang memilih menjadi asisten Kiya. Bersabar selama sa
Kiya menelan ludah. Menatap Adi dan Elok yang berada di depannya secara bergantian. Kemudian, ia tertunduk dan menghela panjang karena memikirkan nasibnya saat ini. Gilang sungguh keterlaluan, karena sudah membongkar rahasia yang selama ini Kiya simpan rapat-rapat. Hanya satu harapan Kiya saat ini, jangan sampai kedua orang itu memecatnya. Banyak hal yang belum Kiya selesaikan, termasuk biaya sekolah Duta yang memang tidak murah. Karena ingin memberi semua yang terbaik, maka Kiya juga menyekolahkan putranya di tempat yang terbaik pula. “Jadi Ki, saya mau dengar semuanya dari mulut kamu sendiri,” pinta Elok. “Pak Adi dan saya di sini, sudah nganggap kamu itu seperti keluarga sendiri, jadi, ceritakan semuanya dan nggak perlu sungkat.” “Dan jangan ada lagi yang ditutupi,” tambah Adi bersedekap tegak menatap Kiya. Sulit dipercaya, bila Kiya memang benar sudah memiliki suami dan seorang putra. Bahkan, usia putranya lebih tua satu tahun daripada Kasih. Sementara itu, selama ini Kiya sela
Gilang menutup pintu ruangan Elok dengan kasar, sehingga membuat sang kakak yang baru saja duduk di kursinya kembali berdiri dan menghardik pria itu.“Apa-apaan, sih, Lang!” Elok menghela panjang, sambil mengusap perutnya dengan kedua tangan. “Belum waktunya lahiran, aku sudah brojol duluan gara-gara kamu!” “Itu!” Gilang menghampiri Elok, sembari mengarahkan telunjuk ke arah luar ruangan. “Si Kiya itu makin besar kepala gara-gara papa nggak mecat dia!”“Lang.” Elok membuang napas kecil, lalu kembali duduk di kursinya. Ia bersandar pelan, kemudian menyalakan perangkat komputer di mejanya. “Setelah aku sama papa ngobrol empat mata, yang bermasalah di sini itu sebenarnya kamu, bukan Kiya.”“Aku?” Gilang menunjuk wajahnya sendiri. Ia menarik kursi yang berseberangan dengan Elok, kemudian menghempas kasar tubuhnya di sana. “Aku nggak ada masalah, Mbak. Tapi Kiya sudah bohongin keluarga kita selama ini.”“Dan dia punya alasan untuk itu.” Elok berusaha sabar, kerena sudah membahas permasala
“Siang, Pak Pemred,” sapa Elok menghampiri Bumi lalu mengulurkan tangan lebih dulu. “Lama kita nggak bersua, ya! Apa kabar? Antariksa baik, kan? Pak Dewa gimana? Galak, nggak?”Bumi segera berdiri, lalu menyambut jabat tangan Elok dengan suka Cita. Ia juga memberi kekehan, karena Elok langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. “Lebih galak dari Bu Elok.”Elok tertawa kecil, lalu mempersilakan Bumi untuk duduk kembali. Ia melihat secangkir kopi yang sudah ada di hadapan, dan tersenyum. Satu langkah kecil ini, bisa membuat Gilang sedikit menurunkan egonya di hadapan semua orang.“Tapi bukan pak Dewa yang ngurus Antariksa, Bu,” lanjut Bumi seraya duduk dengan perlahan. “Pak Reno! Kabar awalnya bu Rindu yang diminta masuk Antariksa, tapi beliau nggak mau karena sibuk ngurus anak sama kuliah.”“Ah! Ya, ya, ya.” Elok jadi memikirkan permintaan Lex untuk berhenti bekerja, setelah anak mereka lahir nantinya. Namun, Elok masih bernegosiasi agar bisa tetap bekerja membantu sang papa di Ju
“Sore Pak Lex,” sapa Kiya yang baru saja berdiri dan hendak pergi ke ruangan Adi. Ia melihat Lex berjalan menuju mejanya, dan memberi anggukan singkat pada saat Kiya menyapanya.“Sore, Ki.” Lex membalas saat sudah berhenti di depan meja Kiya. Ia tersenyum kecil pada Gilang, lalu ikut menyapanya. “Sehat, Lang?”“Sehat, Mas.” Gilang balas tersenyum dan menyapa, sembari membereskan barang-barang di mejanya. Ia melirik sejenak pada Kiya, yang selalu saja terlihat memiliki energi lebih untuk menghadapi semua hal.“Bu El, ada di ruangan pak Adi,” kata Kiya setelah mendengar Gilang membalas sapaan Lex. “Biar saya panggilkan sebentar dan silakan menunggu di ruangan bu Elok.” Kiya mempersilakan Lex masuk ke ruangan istrinya, dan membukakan pintu terlebih dahulu. “Silakan, Pak.”“Terima kasih.” Lex mengangguk dan segera pergi menuju ruangan Elok, setelah kembali menegur adik iparnya.Kiya berbalik, dan segera pergi ke ruangan Adi. Mengetuk pintunya dua kali, kemudian masuk dan menghampiri kedua
“Apa-apaan ini?” Langkah Adi terhenti saat hendak menyeberang ke ruangan Elok. Ia memutar tubuh, lalu menghampiri Kiya yang mematung dan masih berjongkok di hadapan Gilang. Adi tidak meninggikan nada bicaranya. Ia hanya penasaran, apa yang Kiya lakukan sambil berjongkok di hadapan putranya.Mereka tidak mungkin berbuat hal yang bukan-bukan, karena posisi Kiya dan Gilang sangat terbuka. Namun, tetapi saja semua itu membuat rasa penasaran Adi tergelitik.“Kakinya Mas Gilang kambuh lagi, Pak,” lapor Kiya akhirnya membuka mulut. “Harusnya, Mas Gilang itu masih tetap terapi.”“Skala sakit, Lang?” tanya Adi berusaha tidak memperlihatkan kekhawatirannya, karena ia tahu benag Gilang tidak suka dikasihani. “Dari satu sampai sepuluh.”“Lima … enam.”Adi menghela, lalu melihat Kiya yang membuka kaos kaki Gilang. “Kiya, berhenti. Kamu bukan perawat Gilang, dan biarkan dia lakukan itu sendiri.”“Oh …” Mendadak, Kiya jadi serba salah. Namun, ia tetap melepas kaos kaki Gilang lalu meletakkannya di d