"Emma! Apakah itu kau?" tanya Oliver terkejut.
Emma yang sedang duduk kelelahan di depan sebuah gedung tinggi, segera berdiri begitu menyadari siapa yang sedang memanggilnya.
"Oliver?" sahut Emma dengan wajah merah menahan malu.
"Kapan kau pindah ke kota ini? Apa kau sengaja meninggalkan rumahmu untuk mencari aku?" ejek Oliver sambil menatap Emma dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
Emma tampak sangat berantakan, dengan kemeja katun yang sudah mulai basah di bagian ketiak dan celana panjang hitam yang sedikit kebesaran. Dia sudah berjalan kaki selama satu jam, keluar masuk gedung-gedung pencakar langit untuk memasukkan lamaran pekerjaan.
Dia hanya ingin beristirahat sebentar sebelum kembali menyusuri jalanan utama kota ini untuk mencari pekerjaan. Namun, nasib buruk menimpanya hingga harus bertemu dengan pria yang paling dia hindari.
Emma segera memasukkan amplop-amplop coklat berisi surat lamarannya ke dalam tas sebelum Oliver melihatnya.
"Besar kepala sekali kau Oliver. Aku sedang menunggu kekasihku. Kami berjanji bertemu disini," jawab Emma sembarangan.
Dalam hati Emma memaki dirinya sendiri karena telah mengatakan hal yang tidak masuk akal. Tapi tidak mau kehilangan muka di depan pria yang sudah menjadi mantan pacarnya itu.
"Apa kau membawa salah satu kawan kita dari kota kecil itu untuk menemanimu dan memanas-manasiku?"
Emma hanya mendengus. Sambil menatap ke jalanan di belakang tubuh Oliver seakan-akan menunggu seseorang. Meski dia sendiri tidak percaya dengan apa yang barusan dia katakan. Jangankan kekasih, di kota ini dia sama sekali tidak mengenal seorang priapun.
"Apa kau sungguh-sungguh menunggu seseorang?" tanya Oliver sambil menoleh ke belakang.
"Itu bukan urusanmu. Sebaiknya kau pergi, aku tidak mau kekasihku melihat kita!" perintah Emma dengan kesal dan berharap Oliver benar-benar meninggalkannya.
"Memangnya kenapa kalau dia melihat kita? Lihat dirimu Emma! Apa mungkin pria dengan penampilan sepertiku memiliki perasaan kepada perempuan kampungan sepertimu?"
Oliver memutar tubuhnya dengan bangga. Emma tidak dapat memungkiri penampilannya memang tampak seperti langit dan bumi dengan Oliver. Pria itu memakai jas abu-abu dengan celana senada, kemeja dan dasi yang serasi dengan jasnya. Bahkan sepatu kulitnya tampak mengkilat, Emma menduga sepatu itu pasti mahal.
"Tapi dulu kau mengerjar-ngejar aku! Kau bahkan rela melakukan apapun agar aku mau menjadi kekasihmu!" bentak Emma yang tidak terima dengan hinaan Oliver.
"Ayolah Emma, kau juga tahu saat itu semua pria di kota kecil itu mengejarmu karena tidak punya pilihan. Haha!"
Oliver tertawa sangat keras hingga beberapa orang yang lewat menatapnya. Rasanya Emma ingin memukul kepala Oliver dengan batang kayu, kalau saja dia tidak memikirkan masa depannya.
"Jadi mana kekasihmu itu? Mengapa belum datang juga? Aku penasaran pria seperti apa yang mau menjadi kekasihmu?" lanjut Oliver sambil melirik jam tangan mewahnya.
"Itu bukan urusanmu. Kalau kau tidak mau pergi. Aku yang pergi!" bentak Emma sambil berjalan dengan cepat.
Tiba-tiba seseorang menarik tangan Emma dengan keras.
"Emma!" seru seorang wanita dengan nada terkejut.
Emma segera membalikkan tubuhnya. Dia mengenali suara itu.
"Jessica! Ternyata ... kalian masih berhubungan," ucap Emma dengan suara bergetar menahan emosi yang membuncah.
"Tentu saja sepupuku sayang. Apa kau pikir aku juga akan bernasib sama denganmu? Aku berbeda denganmu, tentu saja Oliver akan terus bertahan disisiku," jawab Jessica dengan senyum sinis.
"Kalau begitu selamat untuk kalian berdua. Aku permisi."
"Tunggu dulu! Aku turut berduka cita untuk kepergian bibi. Maaf hanya papa yang datang, kami tidak bisa datang karena sibuk."
Emma mengangguk dengan enggan. Ucapan Jessica membuat dadanya sakit. Dia jadi teringat ibunya yang meninggal sebulan yang lalu.
Emma hanya memiliki ibunya, ayahnya meninggal ketika dia baru berusia 5 tahun. Sebulan yang lalu, sehari setelah ulang tahun Emma yang ke 24, ibunya meninggal karena serangan jantung.
"Oh iya sayang, Emma sedang menunggu kekasihnya. Apa kau tidak penasaran?" tanya Oliver sambil merangkul pinggang Jessica.
"Tentu saja penasaran. Emma, kau harus memperkenalkan kekasihmu kepada kami," pinta Jessica sambil mengelus tangan Oliver.
Emma benar-benar muak melihat kemesraan kedua orang pengkhianat itu. Kalau bukan karena pamannya yang banyak membantu kehidupan Emma dan ibunya, mungkin Emma sudah memutuskan hubungan keluarga dengan Jessica.
Semua bermula dua tahun yang lalu. Saat itu Emma sudah berpacaran selama setahun dengan Oliver. Mereka terkenal sebagai pasangan paling ideal di kota kecil bernama Calamba. Emma, gadis tercantik di seluruh Calamba dan Oliver anak pengusaha kaya yang juga pejabat di kota itu.
Jessica datang ke Calamba bersama adik dan kedua orangtuanya untuk berlibur sekaligus mengunjungi keluarga Emma. Namun, Emma sama sekali tidak menyangka kalau kedatangan Jessica saat itu, akan mengubah kehidupannya.
Emma menemukan Jessica dan Oliver sedang bercumbu di halaman belakang rumah Oliver. Lalu tanpa perasaan bersalah Oliver mengakhiri hubungannya dengan Emma di depan Jessica. Emma yang sangat terpukul mengadukan semuanya kepada ibunya. Dia berencana mengadukannya juga kepada sang paman, tapi ibunya melarang karena khawatir dengan kesehatan sang paman.
Emma yang sangat mencintai Oliver mencoba untuk memaafkan pria itu dan berpikir itu hanya kesilapan semata. Setelah Jessica kembali ke ibukota dia mendatangi Oliver dan mengajaknya kembali bersatu.
"Aku akan berangkat ke ibukota minggu depan dan bekerja di perusahaan milik teman ayahku. Aku tidak mau lagi berpisah dengan Jessica karena aku yakin dialah jodohku," jawab Oliver saat itu.
Emma memohon agar Oliver tetap tinggal, namun Oliver terus menolak bahkan memaki dan menghina Emma tanpa mengingat hubungan mereka selama ini.
Emma sempat mengurung diri selama berbulan-bulan karena putus asa. Sebelum akhirnya sang ibu terkena serangan jantung pertamanya. Saat itulah mata Emma terbuka, Oliver sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan ibunya. Cintanya yang dalam berubah menjadi kebencian yang besar.
Emma mulai bangkit dan melupakan Oliver. Dia bekerja keras, agar ibunya tidak perlu bekerja dan kelelahan. Emma juga berusaha keras meningkatkan kualitas dirinya dengan berbagai kegiatan.
"Hei! Kenapa melamun? Apa kau iri melihat keromantisan kekasihku ini?" seru Jessica mengangetkan Emma.
"Jadi mana kekasihmu? Atau jangan-jangan kau berbohong?" ejek Oliver sambil sesekali menatap mesra kekasihnya.
Emma menghela napas dalam, memikirkan bagaimana caranya melarikan diri dari kebohongannya sendiri. Tiba-tiba matanya bercahaya lalu dia mengangkat tangannya dengan bersemangat.
"Di sini!" seru Emma kepada seorang pria tinggi yang memakai kemeja flanel kotak-kotak.
Pria yang baru saja keluar dari salah satu restoran di seberang jalan tempat Emma, Oliver dan Jessica berdiri itu tampak bingung.
"Tunggu sebentar," ucap Emma sambil tersenyum lalu segera menyeberang dan menemui pria itu.
"Hai, aku Emma. Aku mohon tolong bantu aku kali ini saja. Aku akan melakukan apapun yang kau minta sebagai bayarannnya," ucap Emma cepat.
Pria itu memandang Emma dengan heran lalu melihat Jessica dan Oliver yang sedang menatap mereka dari seberang jalan.
"Bantuan? Apa mereka menyakitimu?" tanya pria itu dengan suara bas yang dalam.
Tanpa basa-basi, Emma langsung menarik tangan pria itu dan mereka menyeberang dengan terburu-buru. Pria itu mengikuti Emma dengan patuh meski kebingungan.
"Oliver," ucap Oliver sambil mengulurkan tangannya ke arah pria itu begitu mereka berhadapan.
"Ethan," jawab pria itu dengan tegas lalu menjabat tangan Oliver.
"Apa kau benar-benar kekasih Emma?" tanya Jessica sambil menatap Ethan tidak percaya.
Ethan menatap Emma dengan wajah tidak percaya. Ternyata bantuan yang diminta Emma sama sekali tidak sama dengan dugaan Ethan. Emma menatap balik Ethan dengan panik. Dia benar-benar putus asa. "Kalau kau tidak percaya itu urusanmu! Yang pasti Ethan adalah kekasihku!" seru Emma cepat. Dia khawatir Ethan akan menceritakan yang sebenarnya bila membuka mulut. "Tapi kalau dilihat-lihat kalian memang tampak serasi. Penampilan kalian sama-sama berantakan," ucap Oliver dengan sinis. Emma menghela napas dalam, dia benar-benar tidak menyangka pernah menjalin hubungan dengan pria sebrengsek Oliver. "Oliver, apa kau tidak bisa berkaca? Kau memang memakai pakaian rapi dan kekasihku tidak. Tapi wajah dan tubuhmu sama sekali tidak sebanding dengannya! Mungkin kalau kau melakukan operasi plastik 5 atau 6 kali baru bisa menyamai ketampanan kekasihku!" seru Emma dengan senyum mengejek. Keberadaan Ethan tiba-tiba membangkitkan keberanian Emma untuk membalas Oliver. Sebelumnya dia menahan semua hin
"Halo," sapa Emma pelan."Emma, Jessica bilang dia bertemu denganmu di depan kantornya. Mengapa tidak memberitahu paman kalau kau datang ke kota?" tanya Mike Palaru, paman Emma.Pria paruh baya itu adalah adik dari ibu Emma. Tapi Emma tidak pernah menyukainya. Meskipun dia banyak membantu Emma dan ibunya, tapi sikap genit pria tua itu selalu membuat Emma merasa tidak nyaman. "Aku tidak mau merepotkan paman," jawab Emma berbohong.Emma tidak menyangka Jessica mengadu begitu cepat. Tapi mendengar nada suara pamannya, sepertinya Jessica belum mengadukan pertengkaran mereka tadi."Apa maksudmu merepotkan? Kau tinggal dimana? Biar paman jemput. Tinggallah bersama kami!" perintah sang paman bersemangat."Tidak usah paman. Aku tinggal bersama seorang temanku dari Calamba. Kami sudah berjanji untuk terus bersama, aku tidak mau membuatnya kecewa," sahut Emma kembali berbohong.Tinggal bersama paman, bibinya dan Jessica adalah hal terakhir yang dia inginkan. Lebih baik dia hidup di jalanan dar
"Emma?" Emma menelan ludah dan berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. Dia kembali tersenyum lalu menyerahkan buku menu kepada masing-masing tamu."Emma apa kau bekerja disini?"Emma menanggukkan kepalanya dengan sopan."Silakan memilih menu yang diinginkan, saya akan datang lagi untuk mencatat pesanannya," ucap Emma lembut."Emma, kita harus bicara.""Paman, aku sedang bekerja. Tolong jangan mempermalukan aku," ucap Emma hampir berbisik."Baik, setelah kami selesai makan. Minta izin kepada bos mu untuk keluar sebentar dan berbicara dengan paman!" tegas Mike Palaru dengan tatapan tajam.Emma benar-benar tidak menyangka pamannya akan datang ke restoran ini. Dia tahu pamannya memiliki kehidupan yang baik di ibukota. Tapi dia juga tahu pamannya bukanlah konglomerat atau orang dengan kekayaan berlimpah. Bertemu dengan pamannya benar-benar mengubah suasana hati Emma."Ada apa?" tanya Alice yang mengamati Emma sejak tadi."Pamanku. Dia ingin bicara denganku setelah selesai makan," ucap
"Kita mau kemana, paman?" tanya Emma mulai khawatir begitu mereka keluar dari lift. Semua tampak seperti pintu kamar dan tidak ada satu ruanganpun yang tampak seperti ruang pertemuan."Seseorang sedang menunggumu di kamar VVIP. Dia adalah teman paman yang makan bersama paman semalam. Apa kau tahu bahwa dia adalah seorang konglomerat? Dia sangat menyukaimu. Layani dia dengan baik, maka kau pasti akan mendapatkan uang yang banyak."Emma terbelalak. Dia mundur dan menatap Mike Palaru dengan bingung."Apa maksud paman? Mengapa aku harus melayaninya? Bukankah hotel ini punya pegawai yang siap melayani setiap tamu?" tanya Emma dengan suara bergetar."Emma, dia menginginkanmu. Apa kau tahu betapa sulitnya mencari wanita yang sesuai dengan seleranya? Dia bersedia membayarmu puluhan juta demi melayaninya. Lagipula ini kan juga pekerjaanmu," paksa Mike sambil menarik lengan Emma."Paman aku mohon, aku tidak mau masuk ke sana. Aku sudah katakan, aku tidak mau menerima pekerjaan yang paman tawar
"Tuan, proyek kita di Calamba mengalami masalah. Sebagian warga terprovokasi oleh beberapa orang yang meyakinkan mereka bahwa kita akan menghancurkan kota mereka," lapor Tony, asisten Ethan begitu pria itu tiba di kantor."Lalu?" tanya Ethan sambil berjalan dengan cepat. Hari masih pagi, tapi berita pertama yang dia dapatkan adalah berita buruk. Suasana hati Ethan memburuk mendengar berita itu, belum lagi dia masih kesal memikirkan apa yang terjadi terhadap Emma di hotel miliknya kemarin. "Mereka menolak pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan.""Aku akan kesana hari ini dan memeriksanya langsung. Siapkan saja semua berkasnya!""Baik, Tuan. Berapa orang yang anda butuhkan untuk mengantar anda, Tuan?""Aku akan kesana sendirian, siapkan saja mobilku. Aku akan menghubungimu bila membutuhkan bantuan,""Baik. Tuan," jawab Tony cepat. Dia baru saja akan keluar dari ruangan Ethan ketika Ethan kembali memanggilnya."Bagaimana dengan Mike Palaru?" "Sudah saya bereskan, Tuan.""Baik, ingat
"Sudah berapa lama kau bekerja sebagai asisten?" tanya Emma lagi."Belum lama," jawab Ethan asal-asalan.Emma berhenti bertanya dan mulai sibuk dengan telepon genggamnya. Ethan merasa lega karena akhirnya dia lolos dari pertanyaan-pertanyaan Emma yang menyudutkan."Aku sedang mencari pemilik Empire, ternyata Empire adalah bagian dari Atlantis Grup dan aku tidak menduga kalau ternyata perusahaan ini sangat besar. Pantas saja kau diperbolehkan membawa mobil sebagus ini. Siapa nama bosmu?"Pertanyaan Emma membuat tenggorokan Ethan tercekat. Dia pikir Emma sudah tidak tertarik dengan latar belakangnya, ternyata sebaliknya."Ngomong-ngomong aku lupa menanyakan namamu, Nona ....""Emma. Namaku Emma Cruz. Jadi siapa nama bosmu?" jawab Emma lalu melanjutkan pertanyaannya."Namanya Tuan Francis Lucero," jawab Ethan cepat.Francis Lucero adalah nama paman Ethan, adik ibunya. Tadinya dia ingin menyebutkan nama ayahnya, tapi jika Emma mencari tahu tentang ayahnya maka kebohongan Ethan pasti ketah
"Membersihkan rumahmu?" ulang Ethan masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya."Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Aku tahu kau kelaparan. Ayo," ajak Emma sambil menarik tangan Ethan.Ethan mengikuti Emma dengan patuh, dia benar-benar tidak menyangka kebohongannya akan membuat keadaannya memburuk. Dia datang hanya untuk memeriksa proyek yang dia buat dan berakhir membersihkan rumah seorang gadis asing yang akan membayarnya dengan makanan."Ayo masuk."Ethan masuk perlahan, dia melihat sekelilingnya. Rumah sederhana namun sangat apik. Halamannya terlihat tidak terlalu kotor, hanya beberapa tanaman yang tampak layu karena tidak disiram dan beberapa rumput liar yang tidak terlalu mengganggu pemandangan. Ethan merasa tidak akan terlalu masalah membersihkan rumah yang sedikit kotor.Memasuki rumah barulah Ethan melihat debu yang cukup tebal. Ethan adalah penggila kebersihan dan semua orang disekitarnya tahu itu. Dia tidak tahan melihat debu yang memenuhi rumah Emma. Dia mulai
Emma menatap Ethan dengan mata membesar. Ethan membalas tatapan Emma dengan senyum lembut. "Wah, kekasihmu tampan sekali!" seru wanita lain sambil tertawa senang. Emma benar-benar putus asa karena tahu kali ini dia tidak akan lolos dari gerombolan pemangsa gosip ini. 'Ethan bodoh!' maki Emma dalam hati. "Anak muda, dari mana asalmu? Apa kau seorang mahasiswa di Universitas Calamba?" tanya wanita termuda di antara mereka. "Apa wajahku terlihat seperti mahasiswa?" tanya Ethan sambil tersenyum manis. "Ya, kau terlihat sangat tampan dan muda. Aku menduga kau berumur 22 tahun," jawab wanita itu malu-malu. "Nyonya, anda benar-benar berlebihan. 22 tahun? Apa anda tidak melihat keriput di wajahnya? Aku hampir memanggilnya paman, ketika kami baru pertama kali bertemu," sahut Emma yang merasa tersinggung karena para wanita itu menduga dirinya lebih tua dari Ethan. Mendengar kata-kata Emma semua orang tertawa mereka pikir Emma hanya bercanda. "Apa kalian mau makan?" tanya salah satu wan