Share

BAB 2

Ethan menatap Emma dengan wajah tidak percaya. Ternyata bantuan yang diminta Emma sama sekali tidak sama dengan dugaan Ethan. Emma menatap balik Ethan dengan panik. Dia benar-benar putus asa.

"Kalau kau tidak percaya itu urusanmu! Yang pasti Ethan adalah kekasihku!" seru Emma cepat.

Dia khawatir Ethan akan menceritakan yang sebenarnya bila membuka mulut.

"Tapi kalau dilihat-lihat kalian memang tampak serasi. Penampilan kalian sama-sama berantakan," ucap Oliver dengan sinis. 

Emma menghela napas dalam, dia benar-benar tidak menyangka pernah menjalin hubungan dengan pria sebrengsek Oliver.

"Oliver, apa kau tidak bisa berkaca? Kau memang memakai pakaian rapi dan kekasihku tidak. Tapi wajah dan tubuhmu sama sekali tidak sebanding dengannya! Mungkin kalau kau melakukan operasi plastik 5 atau 6 kali baru bisa menyamai ketampanan kekasihku!" seru Emma dengan senyum mengejek. 

Keberadaan Ethan tiba-tiba membangkitkan keberanian Emma untuk membalas Oliver. Sebelumnya dia menahan semua hinaan Oliver karena perasaan sayangnya yang tulus kepada pria itu. Tapi kali ini, untuk pertama kali Emma menganggap Oliver sebagai sampah.

Mata Oliver membesar dan pipinya memerah, dia memajukan bibirnya karena kesal. Jessica juga tampak marah setelah mendengar kata-kata Emma.

"Emma, kau sangat keterlaluan! Bagaimana kau bisa membandingkan Oliver dengan kekasihmu itu? Apa kau pikir ketampanannya bisa memberimu makan? Melihat penampilannya, kehidupannya pasti tidak jauh berbeda denganmu. Sama-sama miskin!" seru Jessica sambil membelai punggung Oliver untuk menenangkan pria itu.

"Aku tidak peduli. Memandangi wajah tampannya setiap hari pun bisa membuatku kenyang," balas Emma semakin tidak terkendali. 

Satu-satunya yang ada di pikiran Emma hanyalah membalas kedua orang yang paling dia benci ini dengan kata-kata yang menyakitkan. Sementara Ethan hanya berdiri sambil melipat kedua tangannya. Dia menikmati pertunjukkan yang ada di hadapannya sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan bangga.

"Emma, kau-"

"Kenapa? Apa kau tahu setelah bertemu Ethan aku baru menyadari betapa tahun-tahun kehidupan masa mudaku bersama Oliver sangat sia-sia. Sayangnya saat itu di Calamba aku tidak punya pilihan!" serang Emma, membalikkan kata-kata Oliver.

"Emma, aku akan mengadukan semua ini kepada ayahku. Kau lihat saja, kau tidak akan lagi menerima sepeser bantuanpun dari dia! Kau pasti akan mati di jalanan!" teriak Jessica yang tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya.

"Silakan! Dan tolong sampaikan juga kepada paman. Kalau dulu kau bercumbu dengan Oliver, saat pria tidak berguna ini masih menjadi kekasihku!" seru Emma lalu menarik tangan Ethan dan pergi meninggalkan Jessica dan Oliver.

Emma terus berjalan, dia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari kedua orang itu. Sambil berjalan Emma mulai terisak, air mata mulai turun ke pipinya. Tapi Emma tidak menyekanya, dia tidak ingin Oliver dan Jessica melihatnya. Dia terus berjalan, semakin lama semakin cepat dan semakin jauh.

"Kau mau berjalan sampai kemana? Mereka sudah tidak kelihatan lagi," ucap Ethan tiba-tiba.

Emma terkejut karena tidak menyadari kalau Ethan masih disisinya.

"Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Emma kaget.

"Aku tidak mengikutimu. Kau yang terus menarikku," jawab Ethan sambil menunjukkan tangannya yang masih digenggam Emma.

Emma segera melepaskan tangan Ethan dan menyeka air matanya. Dia sangat malu karena Ethan melihatnya menangis.

"Maafkan aku. Terima kasih banyak sudah membantuku. Aku sudah berjanji akan melakukan apapun yang kau minta. Katakan apa yang kau inginkan?" tanya Emma dengan tubuh lunglai.

"Aku tidak menginginkan apa-apa. Lagipula tadi aku hanya berdiri di sampingmu tanpa melakukan apapun," jawab Ethan sambil membalikkan tubuhnya lalu meninggalkan Emma.

***

Emma tiba di apartemen sederhana milik sahabatnya yang sudah terlebih dahulu pindah ke ibukota enam bulan yang lalu.

Setelah kematian ibunya, Emma merasa kehilangan harapan. Alice, sahabatnya sejak kecil memberinya semangat untuk pindah ke ibukota bersamanya, hingga dua minggu yang lalu Emma memutuskan untuk mengikuti saran sahabatnya itu. Alice mengizinkan Emma tinggal bersamanya sampai dia mendapatkan pekerjaan dan sanggup menyewa apartemennya sendiri.

Emma yang tadinya menyangka Alice sangat sukses hingga bisa menyewa sebuah apartemen, terkejut begitu tiba dan masuk ke dalam gedung apartemen tua yang tidak terawat ini. Kamarnya hanya satu dengan dapur dan ruang tamu sempit. Emma terpaksa tidur di sofa ruang tamu karena tempat tidur Alice hanya cukup untuk satu orang.

Emma berpikir Alice akan membantunya mencari pekerjaan. Namun Alice sama sekali tidak punya waktu untuk melakukannya. Dia harus bekerja paruh waktu di dua tempat agar bisa membiayai hidupnya. Dia hanya membantu Emma dengan menunjukkan warung internet yang bisa Emma gunakan untuk mengetik lamarannya, dan menunjukkan jalan pulang dan pergi dari pusat perkantoran ke apartemennya.

"Kau ada di rumah? Aku pikir kau sudah berangkat bekerja," sapa Emma ketika melihat Alice yang baru keluar dari kamarnya.

"Aku hanya pulang sebentar untuk mengambil sesuatu. Bagaimana hari ini?" tanya Alice sambil membereskan beberapa barangnya.

"Aku bertemu Oliver dan Jessica."

"Apa? Tidak mungkin! Di kota sebesar ini kau bisa bertemu mereka? Aku rasa kau benar-benar sial. Kita harus melakukan sesuatu untuk membuang kesialanmu!" seru Alice sambil menggelengkan kepalanya dengan keras.

"Entahlah. Aku rasa sebaiknya aku pulang saja dan kembali ke Calamba. Kota ini tidak cocok untukku," keluh Emma putus asa.

"Apa kau sudah gila? Kau sudah sampai di ibukota, bagaimana kau bisa kembali tanpa hasil? Pulanglah kalau kau sudah sukses, supaya tidak ada yang mengejekmu." 

"Aku lebih suka diejek," jawab Emma pelan.

Dia menundukkan kepala mencoba menahan airmatanya. Saat ini dia merasa diejek oleh orang-orang di rumahnya lebih baik daripada bertemu dengan kedua manusia yang paling dibencinya.

"Dengar! Salah satu pramusaji di restoran tempatku bekerja berhenti hari ini. Apakah kau mau mencoba melamar untuk menggantikannya?"

Emma mengangkat kepalanya. Dia adalah lulusan terbaik jurusan desain dari universitasnya. Dia juga mengikuti banyak kursus dan memiliki banyak keahlian. Dia sedang magang di kantor periklanan terbesar dan satu-satunya di kota Calamba sebelum akhirnya memutuskan untuk berangkat ke sini.

Kalau saja dia tetap tinggal di Calamba dia sudah pasti bisa bekerja di kantor tempatnya magang atau membuka usahanya sendiri. Tapi disinilah dia sekarang, mengadu nasib di kota besar yang sama sekali tidak memberikannya kesempatan.

"Aku akan memikirkannya. Meskipun saat ini, rasanya lebih baik bekerja sebagai pramusaji daripada berdiam di rumah ini," jawab Emma pasrah.

"Tenang saja. Ini hanya pekerjaan paruh waktu dan kau hanya perlu bekerja di malam hari. Pagi harinya kau masih bisa mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu," ucap Alice mencoba menghibur sahabatnya itu.

"Baiklah, aku pergi bekerja dulu. Sepulang kerja nanti kita bicara lagi."

Emma mengangguk sambil berdiri dan mengantarkan Alice keluar lalu mengunci pintu. Dia baru saja melemparkan tubuhnya ke atas sofa tua tempatnya tidur ketika telepon genggamnya berbunyi. Emma terkejut melihat nama yang muncul di layar teleponnya.

"Paman."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status