Ethan menatap Emma dengan wajah tidak percaya. Ternyata bantuan yang diminta Emma sama sekali tidak sama dengan dugaan Ethan. Emma menatap balik Ethan dengan panik. Dia benar-benar putus asa.
"Kalau kau tidak percaya itu urusanmu! Yang pasti Ethan adalah kekasihku!" seru Emma cepat.
Dia khawatir Ethan akan menceritakan yang sebenarnya bila membuka mulut.
"Tapi kalau dilihat-lihat kalian memang tampak serasi. Penampilan kalian sama-sama berantakan," ucap Oliver dengan sinis.
Emma menghela napas dalam, dia benar-benar tidak menyangka pernah menjalin hubungan dengan pria sebrengsek Oliver.
"Oliver, apa kau tidak bisa berkaca? Kau memang memakai pakaian rapi dan kekasihku tidak. Tapi wajah dan tubuhmu sama sekali tidak sebanding dengannya! Mungkin kalau kau melakukan operasi plastik 5 atau 6 kali baru bisa menyamai ketampanan kekasihku!" seru Emma dengan senyum mengejek.
Keberadaan Ethan tiba-tiba membangkitkan keberanian Emma untuk membalas Oliver. Sebelumnya dia menahan semua hinaan Oliver karena perasaan sayangnya yang tulus kepada pria itu. Tapi kali ini, untuk pertama kali Emma menganggap Oliver sebagai sampah.
Mata Oliver membesar dan pipinya memerah, dia memajukan bibirnya karena kesal. Jessica juga tampak marah setelah mendengar kata-kata Emma.
"Emma, kau sangat keterlaluan! Bagaimana kau bisa membandingkan Oliver dengan kekasihmu itu? Apa kau pikir ketampanannya bisa memberimu makan? Melihat penampilannya, kehidupannya pasti tidak jauh berbeda denganmu. Sama-sama miskin!" seru Jessica sambil membelai punggung Oliver untuk menenangkan pria itu.
"Aku tidak peduli. Memandangi wajah tampannya setiap hari pun bisa membuatku kenyang," balas Emma semakin tidak terkendali.
Satu-satunya yang ada di pikiran Emma hanyalah membalas kedua orang yang paling dia benci ini dengan kata-kata yang menyakitkan. Sementara Ethan hanya berdiri sambil melipat kedua tangannya. Dia menikmati pertunjukkan yang ada di hadapannya sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan bangga.
"Emma, kau-"
"Kenapa? Apa kau tahu setelah bertemu Ethan aku baru menyadari betapa tahun-tahun kehidupan masa mudaku bersama Oliver sangat sia-sia. Sayangnya saat itu di Calamba aku tidak punya pilihan!" serang Emma, membalikkan kata-kata Oliver.
"Emma, aku akan mengadukan semua ini kepada ayahku. Kau lihat saja, kau tidak akan lagi menerima sepeser bantuanpun dari dia! Kau pasti akan mati di jalanan!" teriak Jessica yang tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya.
"Silakan! Dan tolong sampaikan juga kepada paman. Kalau dulu kau bercumbu dengan Oliver, saat pria tidak berguna ini masih menjadi kekasihku!" seru Emma lalu menarik tangan Ethan dan pergi meninggalkan Jessica dan Oliver.
Emma terus berjalan, dia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari kedua orang itu. Sambil berjalan Emma mulai terisak, air mata mulai turun ke pipinya. Tapi Emma tidak menyekanya, dia tidak ingin Oliver dan Jessica melihatnya. Dia terus berjalan, semakin lama semakin cepat dan semakin jauh.
"Kau mau berjalan sampai kemana? Mereka sudah tidak kelihatan lagi," ucap Ethan tiba-tiba.
Emma terkejut karena tidak menyadari kalau Ethan masih disisinya.
"Kenapa kau terus mengikutiku?" tanya Emma kaget.
"Aku tidak mengikutimu. Kau yang terus menarikku," jawab Ethan sambil menunjukkan tangannya yang masih digenggam Emma.
Emma segera melepaskan tangan Ethan dan menyeka air matanya. Dia sangat malu karena Ethan melihatnya menangis.
"Maafkan aku. Terima kasih banyak sudah membantuku. Aku sudah berjanji akan melakukan apapun yang kau minta. Katakan apa yang kau inginkan?" tanya Emma dengan tubuh lunglai.
"Aku tidak menginginkan apa-apa. Lagipula tadi aku hanya berdiri di sampingmu tanpa melakukan apapun," jawab Ethan sambil membalikkan tubuhnya lalu meninggalkan Emma.
***
Emma tiba di apartemen sederhana milik sahabatnya yang sudah terlebih dahulu pindah ke ibukota enam bulan yang lalu.
Setelah kematian ibunya, Emma merasa kehilangan harapan. Alice, sahabatnya sejak kecil memberinya semangat untuk pindah ke ibukota bersamanya, hingga dua minggu yang lalu Emma memutuskan untuk mengikuti saran sahabatnya itu. Alice mengizinkan Emma tinggal bersamanya sampai dia mendapatkan pekerjaan dan sanggup menyewa apartemennya sendiri.
Emma yang tadinya menyangka Alice sangat sukses hingga bisa menyewa sebuah apartemen, terkejut begitu tiba dan masuk ke dalam gedung apartemen tua yang tidak terawat ini. Kamarnya hanya satu dengan dapur dan ruang tamu sempit. Emma terpaksa tidur di sofa ruang tamu karena tempat tidur Alice hanya cukup untuk satu orang.
Emma berpikir Alice akan membantunya mencari pekerjaan. Namun Alice sama sekali tidak punya waktu untuk melakukannya. Dia harus bekerja paruh waktu di dua tempat agar bisa membiayai hidupnya. Dia hanya membantu Emma dengan menunjukkan warung internet yang bisa Emma gunakan untuk mengetik lamarannya, dan menunjukkan jalan pulang dan pergi dari pusat perkantoran ke apartemennya.
"Kau ada di rumah? Aku pikir kau sudah berangkat bekerja," sapa Emma ketika melihat Alice yang baru keluar dari kamarnya.
"Aku hanya pulang sebentar untuk mengambil sesuatu. Bagaimana hari ini?" tanya Alice sambil membereskan beberapa barangnya.
"Aku bertemu Oliver dan Jessica."
"Apa? Tidak mungkin! Di kota sebesar ini kau bisa bertemu mereka? Aku rasa kau benar-benar sial. Kita harus melakukan sesuatu untuk membuang kesialanmu!" seru Alice sambil menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Entahlah. Aku rasa sebaiknya aku pulang saja dan kembali ke Calamba. Kota ini tidak cocok untukku," keluh Emma putus asa.
"Apa kau sudah gila? Kau sudah sampai di ibukota, bagaimana kau bisa kembali tanpa hasil? Pulanglah kalau kau sudah sukses, supaya tidak ada yang mengejekmu."
"Aku lebih suka diejek," jawab Emma pelan.
Dia menundukkan kepala mencoba menahan airmatanya. Saat ini dia merasa diejek oleh orang-orang di rumahnya lebih baik daripada bertemu dengan kedua manusia yang paling dibencinya.
"Dengar! Salah satu pramusaji di restoran tempatku bekerja berhenti hari ini. Apakah kau mau mencoba melamar untuk menggantikannya?"
Emma mengangkat kepalanya. Dia adalah lulusan terbaik jurusan desain dari universitasnya. Dia juga mengikuti banyak kursus dan memiliki banyak keahlian. Dia sedang magang di kantor periklanan terbesar dan satu-satunya di kota Calamba sebelum akhirnya memutuskan untuk berangkat ke sini.
Kalau saja dia tetap tinggal di Calamba dia sudah pasti bisa bekerja di kantor tempatnya magang atau membuka usahanya sendiri. Tapi disinilah dia sekarang, mengadu nasib di kota besar yang sama sekali tidak memberikannya kesempatan.
"Aku akan memikirkannya. Meskipun saat ini, rasanya lebih baik bekerja sebagai pramusaji daripada berdiam di rumah ini," jawab Emma pasrah.
"Tenang saja. Ini hanya pekerjaan paruh waktu dan kau hanya perlu bekerja di malam hari. Pagi harinya kau masih bisa mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginanmu," ucap Alice mencoba menghibur sahabatnya itu.
"Baiklah, aku pergi bekerja dulu. Sepulang kerja nanti kita bicara lagi."
Emma mengangguk sambil berdiri dan mengantarkan Alice keluar lalu mengunci pintu. Dia baru saja melemparkan tubuhnya ke atas sofa tua tempatnya tidur ketika telepon genggamnya berbunyi. Emma terkejut melihat nama yang muncul di layar teleponnya.
"Paman."
"Halo," sapa Emma pelan."Emma, Jessica bilang dia bertemu denganmu di depan kantornya. Mengapa tidak memberitahu paman kalau kau datang ke kota?" tanya Mike Palaru, paman Emma.Pria paruh baya itu adalah adik dari ibu Emma. Tapi Emma tidak pernah menyukainya. Meskipun dia banyak membantu Emma dan ibunya, tapi sikap genit pria tua itu selalu membuat Emma merasa tidak nyaman. "Aku tidak mau merepotkan paman," jawab Emma berbohong.Emma tidak menyangka Jessica mengadu begitu cepat. Tapi mendengar nada suara pamannya, sepertinya Jessica belum mengadukan pertengkaran mereka tadi."Apa maksudmu merepotkan? Kau tinggal dimana? Biar paman jemput. Tinggallah bersama kami!" perintah sang paman bersemangat."Tidak usah paman. Aku tinggal bersama seorang temanku dari Calamba. Kami sudah berjanji untuk terus bersama, aku tidak mau membuatnya kecewa," sahut Emma kembali berbohong.Tinggal bersama paman, bibinya dan Jessica adalah hal terakhir yang dia inginkan. Lebih baik dia hidup di jalanan dar
"Emma?" Emma menelan ludah dan berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. Dia kembali tersenyum lalu menyerahkan buku menu kepada masing-masing tamu."Emma apa kau bekerja disini?"Emma menanggukkan kepalanya dengan sopan."Silakan memilih menu yang diinginkan, saya akan datang lagi untuk mencatat pesanannya," ucap Emma lembut."Emma, kita harus bicara.""Paman, aku sedang bekerja. Tolong jangan mempermalukan aku," ucap Emma hampir berbisik."Baik, setelah kami selesai makan. Minta izin kepada bos mu untuk keluar sebentar dan berbicara dengan paman!" tegas Mike Palaru dengan tatapan tajam.Emma benar-benar tidak menyangka pamannya akan datang ke restoran ini. Dia tahu pamannya memiliki kehidupan yang baik di ibukota. Tapi dia juga tahu pamannya bukanlah konglomerat atau orang dengan kekayaan berlimpah. Bertemu dengan pamannya benar-benar mengubah suasana hati Emma."Ada apa?" tanya Alice yang mengamati Emma sejak tadi."Pamanku. Dia ingin bicara denganku setelah selesai makan," ucap
"Kita mau kemana, paman?" tanya Emma mulai khawatir begitu mereka keluar dari lift. Semua tampak seperti pintu kamar dan tidak ada satu ruanganpun yang tampak seperti ruang pertemuan."Seseorang sedang menunggumu di kamar VVIP. Dia adalah teman paman yang makan bersama paman semalam. Apa kau tahu bahwa dia adalah seorang konglomerat? Dia sangat menyukaimu. Layani dia dengan baik, maka kau pasti akan mendapatkan uang yang banyak."Emma terbelalak. Dia mundur dan menatap Mike Palaru dengan bingung."Apa maksud paman? Mengapa aku harus melayaninya? Bukankah hotel ini punya pegawai yang siap melayani setiap tamu?" tanya Emma dengan suara bergetar."Emma, dia menginginkanmu. Apa kau tahu betapa sulitnya mencari wanita yang sesuai dengan seleranya? Dia bersedia membayarmu puluhan juta demi melayaninya. Lagipula ini kan juga pekerjaanmu," paksa Mike sambil menarik lengan Emma."Paman aku mohon, aku tidak mau masuk ke sana. Aku sudah katakan, aku tidak mau menerima pekerjaan yang paman tawar
"Tuan, proyek kita di Calamba mengalami masalah. Sebagian warga terprovokasi oleh beberapa orang yang meyakinkan mereka bahwa kita akan menghancurkan kota mereka," lapor Tony, asisten Ethan begitu pria itu tiba di kantor."Lalu?" tanya Ethan sambil berjalan dengan cepat. Hari masih pagi, tapi berita pertama yang dia dapatkan adalah berita buruk. Suasana hati Ethan memburuk mendengar berita itu, belum lagi dia masih kesal memikirkan apa yang terjadi terhadap Emma di hotel miliknya kemarin. "Mereka menolak pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan.""Aku akan kesana hari ini dan memeriksanya langsung. Siapkan saja semua berkasnya!""Baik, Tuan. Berapa orang yang anda butuhkan untuk mengantar anda, Tuan?""Aku akan kesana sendirian, siapkan saja mobilku. Aku akan menghubungimu bila membutuhkan bantuan,""Baik. Tuan," jawab Tony cepat. Dia baru saja akan keluar dari ruangan Ethan ketika Ethan kembali memanggilnya."Bagaimana dengan Mike Palaru?" "Sudah saya bereskan, Tuan.""Baik, ingat
"Sudah berapa lama kau bekerja sebagai asisten?" tanya Emma lagi."Belum lama," jawab Ethan asal-asalan.Emma berhenti bertanya dan mulai sibuk dengan telepon genggamnya. Ethan merasa lega karena akhirnya dia lolos dari pertanyaan-pertanyaan Emma yang menyudutkan."Aku sedang mencari pemilik Empire, ternyata Empire adalah bagian dari Atlantis Grup dan aku tidak menduga kalau ternyata perusahaan ini sangat besar. Pantas saja kau diperbolehkan membawa mobil sebagus ini. Siapa nama bosmu?"Pertanyaan Emma membuat tenggorokan Ethan tercekat. Dia pikir Emma sudah tidak tertarik dengan latar belakangnya, ternyata sebaliknya."Ngomong-ngomong aku lupa menanyakan namamu, Nona ....""Emma. Namaku Emma Cruz. Jadi siapa nama bosmu?" jawab Emma lalu melanjutkan pertanyaannya."Namanya Tuan Francis Lucero," jawab Ethan cepat.Francis Lucero adalah nama paman Ethan, adik ibunya. Tadinya dia ingin menyebutkan nama ayahnya, tapi jika Emma mencari tahu tentang ayahnya maka kebohongan Ethan pasti ketah
"Membersihkan rumahmu?" ulang Ethan masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya."Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Aku tahu kau kelaparan. Ayo," ajak Emma sambil menarik tangan Ethan.Ethan mengikuti Emma dengan patuh, dia benar-benar tidak menyangka kebohongannya akan membuat keadaannya memburuk. Dia datang hanya untuk memeriksa proyek yang dia buat dan berakhir membersihkan rumah seorang gadis asing yang akan membayarnya dengan makanan."Ayo masuk."Ethan masuk perlahan, dia melihat sekelilingnya. Rumah sederhana namun sangat apik. Halamannya terlihat tidak terlalu kotor, hanya beberapa tanaman yang tampak layu karena tidak disiram dan beberapa rumput liar yang tidak terlalu mengganggu pemandangan. Ethan merasa tidak akan terlalu masalah membersihkan rumah yang sedikit kotor.Memasuki rumah barulah Ethan melihat debu yang cukup tebal. Ethan adalah penggila kebersihan dan semua orang disekitarnya tahu itu. Dia tidak tahan melihat debu yang memenuhi rumah Emma. Dia mulai
Emma menatap Ethan dengan mata membesar. Ethan membalas tatapan Emma dengan senyum lembut. "Wah, kekasihmu tampan sekali!" seru wanita lain sambil tertawa senang. Emma benar-benar putus asa karena tahu kali ini dia tidak akan lolos dari gerombolan pemangsa gosip ini. 'Ethan bodoh!' maki Emma dalam hati. "Anak muda, dari mana asalmu? Apa kau seorang mahasiswa di Universitas Calamba?" tanya wanita termuda di antara mereka. "Apa wajahku terlihat seperti mahasiswa?" tanya Ethan sambil tersenyum manis. "Ya, kau terlihat sangat tampan dan muda. Aku menduga kau berumur 22 tahun," jawab wanita itu malu-malu. "Nyonya, anda benar-benar berlebihan. 22 tahun? Apa anda tidak melihat keriput di wajahnya? Aku hampir memanggilnya paman, ketika kami baru pertama kali bertemu," sahut Emma yang merasa tersinggung karena para wanita itu menduga dirinya lebih tua dari Ethan. Mendengar kata-kata Emma semua orang tertawa mereka pikir Emma hanya bercanda. "Apa kalian mau makan?" tanya salah satu wan
"Mengapa kau harus melakukan itu, Emma?" tanya Ethan mulai marah."Ini adalah tanah kelahiranku. Kewajibanku melindunginya dari orang-orang yang akan merusaknya!" tegas Emma tidak peduli dengan nada suara Ethan."Lalu apa kau tidak peduli dengan keuntungan yang akan didapat oleh tanah kelahiranmu ini? Oleh orang-orang yang kesejahteraannya akan meningkat karena pembangunan itu?" tanya Ethan mencoba mempengaruhi Emma."Keuntungan? Apa menurutmu mereka mau, tanah tempat mereka hidup dijadikan tempat perzinahan?" "Darimana kau tahu hotel itu akan dijadikan tempat perzinahan? Kalau orang mau melakukan hal itu, maka hotel bukan satu-satunya tempat! Apa di Calamba tidak ada prostitusi? Apa tidak ada yang berzinah disini? Apa hanya orang-orang suci yang hidup disini?" bentak Ethan tidak tahan lagi dengan Emma yang sangat keras kepala.Emma menatap Ethan dengan tajam. Dia tidak suka dengan kata-kata Ethan tapi tidak dapat membantahnya."Kau benar-benar anjing penjaga yang setia. Pantas saja