Share

BAB 4

"Emma?" 

Emma menelan ludah dan berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. Dia kembali tersenyum lalu menyerahkan buku menu kepada masing-masing tamu.

"Emma apa kau bekerja disini?"

Emma menanggukkan kepalanya dengan sopan.

"Silakan memilih menu yang diinginkan, saya akan datang lagi untuk mencatat pesanannya," ucap Emma lembut.

"Emma, kita harus bicara."

"Paman, aku sedang bekerja. Tolong jangan mempermalukan aku," ucap Emma hampir berbisik.

"Baik, setelah kami selesai makan. Minta izin kepada bos mu untuk keluar sebentar dan berbicara dengan paman!" tegas Mike Palaru dengan tatapan tajam.

Emma benar-benar tidak menyangka pamannya akan datang ke restoran ini. Dia tahu pamannya memiliki kehidupan yang baik di ibukota. Tapi dia juga tahu pamannya bukanlah konglomerat atau orang dengan kekayaan berlimpah. Bertemu dengan pamannya benar-benar mengubah suasana hati Emma.

"Ada apa?" tanya Alice yang mengamati Emma sejak tadi.

"Pamanku. Dia ingin bicara denganku setelah selesai makan," ucap Emma dengan suara pelan.

"Minta izin saja pada manajer, lagipula sudah tidak terlalu banyak tamu. Kalau hanya berbicara lima sampai sepuluh menit, harusnya diizinkan," bisik Alice sambil mengambil buku menu.

Emma kembali ke meja pamannya dan mulai mencatat menu yang mereka pesan.

"Setelah selesai makan. Paman menunggumu di depan," ucap Mike Palaru sambil menyerahkan buku menunya.

Emma hanya menggangguk.

Sambil melayani tamu yang lain, Emma sesekali melirik ke meja pamannya. Setelah pamannya selesai makan dan keluar dari restoran, Emma segera mengikuti keluar.

"Emma, paman tidak percaya kau bekerja sebagai pramusaji," omel Mike Palaru begitu mereka sampai di teras restoran.

"Memangnya kenapa paman? Aku rasa tidak ada yang salah dengan pekerjaan ini," jawab Emma sopan.

"Kau adalah lulusan terbaik di Universitas Calamba. Selain itu kau masih memiliki paman yang sehat dan sanggup membiayaimu. Apa kau pikir ibumu akan tenang di atas sana kalau tahu putri kebanggaannya bekerja sebagai pramusaji di ibukota?" 

Emma diam. Dia hanya menundukkan kepala dan tidak mampu berkata apa-apa. Setiap kali orang menyebutkan ibunya, hati Emma selalu terasa nyeri. Mengapa mereka suka sekali memanggil ibunya yang sudah tenang disana.

"Dengar! Paman tidak peduli dengan pendapatmu. Besok kau harus menemui paman dan paman akan memberikan pekerjaan yang jauh lebih baik dari ini. Pekerjaan ini akan membuatmu menjadi gadis kaya. Kau bisa memiliki apapun yang dimiliki oleh para artis bila kau melakukan pekerjaan yang paman tawarkan ini."

"Tapi paman-"

"Tidak ada tapi! Paman akan mengirimkan alamatnya ke telepon genggammu. Apakah kau bisa datang menggunakan pakaian ini?" tanya Mike Palaru sambil menatap Emma dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Tidak paman. Ini adalah milik restoran, aku hanya boleh memakainya di dalam restoran," jawab Emma pelan.

"Sayang sekali, padahal kau terlihat sangat cantik dan menarik dengan pakaian ini. Baiklah, tidak apa-apa, datang saja dengan pakaian biasa. Ingat, aku menunggumu besok. Jangan sampai tidak datang!" ancam Mike Palaru lalu segera pergi.

Emma menghembuskan napas dengan keras. Dia benar-benar tidak menyukai pamannya. Caranya memandang, caranya bicara bahkan caranya memuji membuat Emma merinding ketakutan.

"Kira-kira pekerjaan apa yang akan dia tawarkan kepadamu?" tanya Alice setelah mendengar cerita Emma dalam perjalanan pulang.

"Entahlah, tapi aku pasti akan menolaknya. Aku tidak mau menambah hutang kepada pamanku," jawab Emma acuh.

"Tapi apakah kau akan tetap menemui pamanmu besok?"

Emma mengangguk dengan lemah.

"Setidaknya aku harus menolak secara langsung. Dia pasti akan sangat kecewa kalau aku mengatakannya di telepon."

"Hmm, andai pamanmu membutuhkan orang lain untuk menggantikan posisimu-"

"Alice, aku sudah katakan tidak mau berhutang apapun lagi pada pamanku. Termasuk membiarkan dia membantu temanku. Kalau kau mau, silakan mendatanginya dan meminta pekerjaan kepadanya," tegas Emma sambil menutup matanya dan menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi bus.

"Baiklah, aku mengerti," jawab Alice sambil memajukan bibirnya.

***

"Alice apakah kau tahu kendaraan apa yang harus kau gunakan untuk menuju ke tempat ini?" tanya Emma begitu menerima alamat tempat pertemuan besok dari pamannya.

"Sini aku lihat," jawab Alice sambil mengambil telepon genggam Emma.

"Untuk apa bertemu disini? Apakah kau akan dijadikan pegawai hotel?" tanya Alice bingung.

"Apa maksudmu?"

"Empire adalah nama sebuah hotel mewah yang berada di tengah kota. Kau bisa naik kereta bawah tanah kesana. Aku akan menuliskan rutenya. Dari stasiun kereta kau bisa lanjut dengan berjalan kaki, hotel ini tidak terlalu jauh dari stasiun kereta bawah tanah," jelas Alice sambil mengetik rute kereta bawah tanah yang harus ditumpangi Emma.

"Baiklah, terima kasih."

"Apakah kau tahu proyek pembangunan pusat perbelanjaan dan hotel yang rencananya akan dibangun di Calamba?"

Emma mengangguk.

"Pemilik Empire adalah orang yang memiliki proyek itu."

"Bagaimana kau tahu?" tanya Emma takjub dengan pengetahuan sahabatnya.

"Berita," jawab Alice singkat lalu kembali mengurus keperluannya.

Emma kembali membaca nama lokasi yang dikirim pamannya. 

'Hotel? Mengapa harus bertemu di hotel?' batin Emma dengan perasaan terganggu.

"Alice, apa mungkin orang di ibukota suka melakukan pertemuan di hotel?" tanya Emma mencoba meruntuhkan keraguannya sendiri.

"Mungkin saja. Aku juga baru disini, aku masih susah mengerti kebiasaan orang-orang yang berada di ibukota ini. Di Calamba orang-orang pasti menduga kau akan berbuat mesum bila bertemu di hotel."

Emma setuju dengan Alice. Bertemu di hotel bukanlah hal yang lazim di kota kecil tempat mereka tinggal.

Emma bersiap-siap untuk berangkat. Alice akan mengantarnya ke stasiun kereta bawah tanah terdekat, lalu berangkat ke tempat kerja paruh waktunya. Mereka sengaja berangkat lebih awal agar dapat berjalan dengan santai.

"Alice, apakah kau suka kehidupan seperti ini?" tanya Emma sambil memandangi sekelilingnya.

"Di Calamba pekerjaanmu hanya bermain. Kau bahkan tidak suka belajar, tapi sekarang kau harus bekerja paruh waktu di dua tempat demi hidup."

Alice menghela napas.

"Dan aku menyesalinya. Andai saja dulu aku belajar dengan giat, pasti sekarang aku sedang bekerja di salah satu gedung tinggi itu," sahut Alice sambil menujuk salah satu gedung perkantoran.

"Apa kau menyindirku?" tanya Emma dengan tatapan tajam.

"Tidak, aku sungguh-sungguh menyesalinya. Kau baru saja tiba di kota ini, tapi kau sudah mencuri hati manajer karena kecerdasanmu. Aku yakin cepat atau lambat kau akan berhasil. Nasibmu tidak akan berakhir sepertiku," jawab Alice sambil tersenyum lembut.

"Alice, aku-"

"Kita sudah sampai. Masuklah, aku harus melanjutkan perjalananku. Sampai nanti," ucap Alice cepat lalu segera meninggalkan Emma.

Emma masuk ke dalam stasiun bawah tanah dengan ragu. Ini adalah kali pertamanya menaiki kereta bawah tanah. Calamba tidak memiliki moda transportasi ini. Mereka hanya memiliki kereta api untuk menghubungkan Calamba dengan kota lain.

Setelah duduk dengan tegang sambil terus memperhatikan setiap pemberhentian, akhirnya Emma tiba di tempat yang dia tuju. Dia kembali membaca petunjuk yang ditulis oleh Alice lalu berjalan mengikuti petunjuk itu.

Emma berdiri dengan gugup di depan lobi hotel Empire. Dia kagum dengan kemewahan hotel yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dia lalu menghubungi pamannya untuk memberitahu kalau dia sudah sampai.

"Emma, ayo ikut paman," sapa Mike Palaru begitu bertemu Emma di lobi.

"Maaf paman tapi aku datang hanya untuk mengatakan kalau aku tidak bisa menerima pekerjaan yang paman tawarkan," ucap Emma cepat.

"Jadi maksudmu kau akan tetap bekerja sebagai pramusaji?"

"Itu hanya pekerjaan sementara sampai aku menemukan pekerjaan yang lebih baik, paman."

"Untuk apa mencari lagi? Aku sudah menemukan pekerjaan yang cocok denganmu. Sebelum kau menolak, paling tidak lihat dulu saja pekerjaan apa yang paman tawarkan. Ayo, ikut paman," paksa Mike Palaru sambil merangkul pundak Emma.

Namun Emma berkelit dan segera menjaga jarak dari pamannya agar dia tidak kembali merangkulnya. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai 29. Emma merasa khawatir tapi dia percaya pamannya tidak akan melakukan sesuatu yang akan menyakitinya. 

Sementara itu seorang pria sedang mengamati Emma dan Mike Palaru. Pria itu segera mengikuti Emma dan pamannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status