Revi masih termangu, bahkan saat suaminya itu pergi bergandengan tangan memasuki kamar utama yang selama ini ditempatinya.
"Ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan? Kenapa nasibku semalang ini Tuhan…"Revi hanya bisa merintih, di rumah itu dia bahkan tidak bisa berbicara keras apalagi menangis puas. Ada ibu mertuanya yang sedang sakit di salah satu kamar di dalam rumah itu, dia tidak mau ibu mertuanya itu tahu tabiat asli putranya. Bagiamanapun juga Rizal adalah suaminya dan dia harus menutupi aib-aibnya, namun sekarang pria itu berani membawa wanita lain ke dalam rumah. Tampaknya Revi sudah tidak bisa lagi menutupi keburukan suaminya jika sudah begini keadaannya.Dalam diamnya Revi, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam rumah. Itu adalah Raya, kakak perempuan Rizal yang entah habis pergi dari mana."Rev, dimana ibu? Udah dimandiin belum sih?" tanya wanita itu, datang-datang bukan tanya kabar malah ngomel.Revi segera mengusap air matanya, "sudah Mbak. Tinggal makan siang sebentar lagi." Jawabnya.Melihat Revi yang berbicara tanpa melihat ke arahnya, Raya mendadak kepo dan mendekati adik iparnya itu untuk memastikan sesuatu."Kamu habis nangis? Kenapa nangis pagi-pagi begini, bukannya ngurusin rumah sama anak. Makanya hidup itu jangan terlalu nganggur, jadinya banyak pikiran." Tanyanya."Lagian kamu mikirin apa sih? Hidup kamu itu udah enak banget, tinggal diam di rumah ngurusin rumah tangga. Kan segala sesuatu sudah dipenuhi sama suami kamu itu." Lanjutnya masih ngomel-ngomel, karena dimatanya adik iparnya itu adalah wanita paling tidak bersyukur.Seperti biasa Revi hanya bisa diam saat keluarga dari suaminya marah atau ngomel, lagipula sudah jadi makanan sehari-hari dia diperlakukan begitu."Tuh, mana gak ada makanan lagi. Jam berapa ini Revi, kenapa kamu belum masak hah?" Terdengar wanita itu kembali ngomel saat membuka tudung saji dan didalamnya tidak ada masakan sama sekali."Aku lapar Revi, ayo masak kamu. Suami kamu sama ibu juga pasti lapar, ini hari minggu harusmya kamu masak enak.""Pantas suami kamu cari wanita lain diluaran, di rumah ada istri tapi berasa kayak gak punya istri. Pemalas kamu Rev, gimana bisa adikku itu kuat hidup sama kamu sih?" Raya terus saja ngomel-ngomel, dari dapur hingga ruang tengah. Perempuan itu memperhatikan segala sudut rumah, meja berdebu, lantai kotor, dapur berminyak, semua jadi sasaran kemarahannya.Revi geram, rasanya hari ini dadanya ingin meledak saja. Pagi-pagi sekali dia baru selesai memandikan ibu mertuanya yang struk, lalu mengurus bayinya, saat akan mengurus rumah dan memasak untuk suaminya. Tiba-tiba ada seorang wanita mengetuk pintu rumah dan dia datang sambil membawa koper, seolah masalahnya tidak selesai sampai disitu. Suaminya lalu memperkenalkan jika wanita itu adalah calon istri mudanya, lalu kini ditambah lagi dengan kakak iparnya yang terus saja ngomel dan berkicau seperti burung beo. Revi memang pemilik sah rumah itu, tapi keluarga Rizal diboyong ke rumah tersebut saat dirinya menikah dengan pria itu. Makin kesini dia yang direpotkan, dia bahkan diperlakukan seperti pembantu di rumahnya sendiri. Namun apa yang bisa wanita itu lakukan, jika dia keluar dari rumah ini. Mau kemana dia pergi?"Akh, aku berasa ngomong sama benda mati!"Terdengar Raya semakin marah, wanita itu kini masuk ke kamar dan membanting pintu kamar dengan keras. Suasana rumah kembali hening, kedua mata Revi kini tertuju ke arah kamar dimana suami dan calon istri mudanya berada."Aku menyesali semuanya, namun apa yang harus aku lakukan sekarang Tuhan?"Revi kembali merintih, beberapa kali dia memukul-mukul dadanya namun rasa sakit itu seolah pergi begitu saja. Matanya masih tidak mau menangis, air matanya tidak mau keluar.Di dalam kamar, Rizal dan Nana tengah saling berpagut mesra. Sejauh ini dari sekian banyak wanita yang dekat dengannya, hanya Nana yang mampu membuat pria itu klepek-klepek."Sayang, apa kamu menyukai kamar ini?" tanya Rizal setelah dia puas dengan service ciuman panas dari wanita yang ingin dinikahinya itu.Kedua mata Nana mengerling genit, "hmm… tapi ini kan kamar kamu sama istri kamu." Balasnya."Kamu harus tahu, nanti dia akan pindah dari kamar utama ini. Dengan begitu orang rumah akan tahu siapa nyonya di rumah ini." Jawab Rizal, dia kembali akan mencium bibir Nana namun perempuan itu segera mencegah bibir nyosor pria itu dengan jari telunjuknya."Bentar-bentar, orang rumah? Memangnya ada siapa saja disini selain istri kamu dan anaknya?" "Ekhem, ayo sini duduk dulu. Akan aku jelaskan." Pinta Rizal sambil menepuk-nepuk kasur disampingnya.Nana duduk di samping Rizal, bagaimanapun juga dia harus tahu apa yang mau disampaikan oleh pria itu."Hem… aku suka wanita cantik penurut ini.
"Kita sudah lima tahun pacaran Rev, apa salah jika aku ingin menikahimu?" tanya Rizal sambil berkacak pinggang.Perempuan cantik berhijab yang dipanggil dengan nama Revi itu hanya bisa terdiam, bukannya dia tidak bahagia kekasihnya itu melamar dan mengajaknya menikah. Revi hanya merasa jika waktunya belum tepat, usianya baru 25 tahun dan dia sedang menikmati masa-masa indah dalam hidupnya. Setidaknya dia berharap satu atau dua tahun lagi targetnya untuk menikah.Saat ini Revi bahkan baru diangkat menjadi kepala bagian di sebuah perusahaan besar di ibukota dengan gaji perbulannya gak kaleng-kaleng, wanita itu bahkan bisa menabung paling sedikit 10 juta perbulannya. Dari hasil kerjanya selama 5 tahun, Revi bahkan sudah bisa membeli rumah dan kendaraan mobil."Kenapa diam saja Rev? Apa selama ini kamu hanya main-main denganku?" tanya Rizal lagi, kini pria itu malah seolah menjadi orang yang paling tersakiti."Piuh! Sia-sia saja aku menghabiskan waktu lima tahunku jika begini akhirnya." L
Untuk beberapa saat Aryan terdiam, dia tidak menyangka jika akhirnya sahabatnya itu tetap akan memilih Rizal sebagai pelabuhan terakhirnya."Kamu kok diam aja sih Ar, terus aku harus jawab apa ya ke dia? Tolong dong kasih aku jalan keluar kayak biasanya…." Tanya Revi, wanita itu merajuk sambil menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya karena Aryan hanya terdiam saja.Aryan segera tersadar meskipun perasaannya tidak enak atau lebih tepatnya tidak menentu namun dia tidak mau memperlihatkan rasa gundah gulananya itu."Kamu ingin aku jujur atau gimana?" Aryan malah balik bertanya."Ya jujur dong… gimana sih masalah sepele aja nanya." Jawab Revi mendengus.Aryan menghela napas, "aku berharap kamu lanjutin karir kamu dulu aja Rev. Kamu kan tahu perjuangan kamu untuk sampai di titik ini sangatlah tidak mudah." Ucapnya serius."Tapi… dia ngancem aku putus kalau aku gak mau nikah ama dia Ar." Balas Revi.Aryan tidak terkejut sama sekali saat sahabatnya itu berkata demikian, dari awal Aryan bahkan
Nan jauh disana, tapi masih bisa dilihat oleh mata Aryan. Terlihat Rizal yang akhirnya pergi berboncengan dengan wanita lain, sayangnya Aryan tidak membawa kendaraannya karena sedang dipinjam adiknya. Jadi dia tidak bisa mengikuti kemana Rizal akan pergi.Bus yang sedang Aryan naiki akhirnya tiba di tempat yang dituju, Aryan berhenti di halte perhentian lalu dia berjalan lagi beberapa menit dari sana. Hingga pria itu sampai di sebuah kedai kopi yang cukup estetik."Sore Pak." Salah satu pelayan menyapa Aryan.Aryan membalas dengan lambaian tangan, dia memasuki kedai kopi yang bernama "Kopi Persahabatan Dan Cinta" terlihat kedai sudah mulai penuh, dari dua lantai kedai itu hampir semua tempat duduknya terisi."Ar." Seorang pria seumuran Aryan memanggil sambil melambaikan tangan saat Aryan menoleh ke arahnya."Eh Fer udah lama? Ayo pindah tempat, ke kantorku aja." Tanya Aryan, lalu mengajak pria itu mengikuti di belakang.Sepanjang jalan yang Aryan lewati, banyak para pelayan menyapanya.
Aryan memilih menepiskan tangannya, dia tidak mau menjawab pertanyaan dari teman lamanya itu."Ayo pak Feri, sebaiknya kita keluar dan aku kenalkan Anda pada staf yang lain." Ajak Aryan, dia berdiri dan mulai berbicara formal.Feri mengangguk, dia juga tidak mau mengorek apalagi membahas yang sempat temannya itu katakan tadi, karena kini Aryan adalah bos dan bukan temannya jika di lingkungan kerja.Feri mengekor dari belakang, Aryan membawanya ke dapur, menjelaskan ini itu dan juga memperkenalkan Feri pada karyawannya yang lain."Jadi… ada tempat ibadah, kamar khusus karyawan beristirahat juga ya." Kata Feri."Terus, untuk ruangan para pelanggan ada dua lantai sama outdoor juga." Lanjutnya seakan sedang berbicara sendiri."Ya betul, Outdoor itu bagi perokok karena di indoor ada larangan merokok." Balas Aryan.Feri mengangguk-angguk, lalu langkahnya terhenti dan dia memandang seksama ke arah dua pelanggan yang berada di lantai bawah."Ada apa Fer? Jika tidak ada yang membuatmu kurang ny
"Sebaiknya kamu kirim saja foto-fotonya Ar, jangan ragu deh kasihan teman kamu jadi korban si buaya buntung itu." Desak Feri geregetan, apalagi jika dia mengingat yang sudah dibohongi pria paling dibencinya itu adalah teman Aryan.Aryan masih termangu, dia masih ragu.Sedangkan di bawah sana, Rizal dan Sinta sedang duduk sambil menunggu menu makan malam yang mereka pesan datang."Sayang… makasih ya, berkat kamu kini aku diangkat jadi manajer di perusahaan." Kata Rizal.Sinta memandang genit, "kamu ih kayak sama siapa saja bilang makasih segala. Kamu kan calon suami aku, tentu saja aku senang kalau suamiku naik pangkat." Jawabnya.Rizal tersenyum manis, tangannya dari tadi tidak bisa diam mengelus-elus rambut, pipi, hidung bahkan mulai nakal menelusuri paha mulus Sinta yang terhalangi oleh meja."Ih… geli…" ucap Sinta merajuk manja."Hehe, aku gak kuat Sayang… habis ini mau nggak check in?" Ajak Rizal genit.Sinta tidak menjawab tapi dia mengangguk sebagai isyarat mengiyakan."Ah, udah
"Antar aku dan ikuti mereka." Ajak Aryan, meskipun penasaran Feri akhirnya mengangguk tanpa banyak bertanya-tanya.Terlihat mobil yang ditumpangi Sinta dan Rizal keluar dari parkiran Kedai itu, mereka melaju ke arah jalan raya hingga beberapa menit kemudian mereka berbelok ke sebuah Hotel yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kedai milik Aryan tadi.Feri memarkirkan mobilnya, namun baik dia dan Aryan tidak keluar dari mobil. Mereka melihat dari dalam mobil saja, saat Rizal dan wanita bernama Sinta itu memasuki pintu Hotel di depan mata mereka."Sialan. Bener-bener berani ngamar!" seru Feri sambil memukul setir di depannya.Sedangkan Aryan terlihat tampak pasrah dan frustasi, bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Hingga setelah dia menatap layar ponsel sekian lama, akhirnya Aryan mengirimkan foto-foto mesra Rizal saat di Kedai tadi.Kembali ke dalam Hotel, Rizal dan Sinta sudah masuk ke dalam kamar yang dipesannya. Tanpa menunda waktu lama keduanya begitu bernafsu saling berpagut
Aryan dan Feri akhirnya pergi dari hadapan Revina dengan penuh kekesalan. Revina benar-benar wanita yang bodoh, dia lebih percaya dengan kekasihnya ketimbang fakta dan ucapan dari sahabatnya yang sudah dia kenal belasan tahun lamanya. "Ar, kamu baik banget dari dulu. Sayang sekali sepertinya teman wanitamu itu tidak percaya dengan ucapan kita." Desah Feri memecah keheningan apalagi malam sudah larut dan kendaraan berlalu lalang mulai berkurang. Aryan terdiam, untuk sekian kalinya dia gagal melindungi Revina. Sebenarnya Aryan tidak ikhlas jika temannya itu jatuh ke dalam tipu muslihat Rizal, pria buaya darat yang sudah berkali-kali terciduk selingkuh dari temannya itu."Turunkan aku di Kedai, besok terserah kamu mau masuk jam berapa. Senyamannya saja." Pinta Aryan, pria itu tidak mau membalas perkataan Feri tadi dan memilih turun di Kedai yang sudah tutup daripada pulang ke rumahnya.Feri hanya bisa mengangguk, dia tidak mau mengganggu pikiran Aryan yang sedang terganggu. ***Di temp