Sial. Benar-benar sial. Bagaimana bisa Senja memenangkan setiap tantangan jika partnernya seorang gadis yang manja seperti Amanda. Senja benci gadis yang manja. Menurut Senja, gadis yang so kaya dan bergaya seperti crazy rich itu menyusahkan dan membuat kepalanya pening. Di layar kamera mereka penuh senyum bahagia, hura-hura, pamer barang mewah dan bermain seks bebas. Ada juga yang berlagak so dermawan demi mendapat simpati dan banyak suara.
Oh iya. Dia jadi ingat MND TV milik ayahnya Amanda, media televisi ini memang banyak menayangkan tayangan yang berbobot, hanya ada minusnya yakni pernah menayangkan berita-berita selebriti dan kalangan atas yang kerjaannya hanya pamer saja. Senja juga jadi ingat wajah Amanda ini, dulu dia hanya menonton Amanda kurang dari lima menit. Tayangan awalnya saja sudah memperlihatkan seorang gadis yang berdiri di samping ayahnya yang pemilik stasiun televisi, gayanya luar biasa hebat dan barang yang digunakan terlihat mahal. Dari ekspresi gadis yang ada di televisi tersebut, Senja bisa membaca bahwa sang gadis hanya melakukan pencitraan saja, televisi yang menyala langsung Senja matikan saja. Sekarang, gadis yang tidak ia sukai itu ada di hadapannya, lebih kesalnya lagi karena ternyata gadis itu jadi partnernya.
‘Ada peserta lain tidak, ya?’ Jika ada Senja ingin menukarkan pasangannya ini saja dengan pasangan orang lain yang lebih berguna. Sayang sungguh sayang mereka sudah bersanding untuk melanjutkan reality show ini sampai selesai dan tanpa berganti pasangan. O iya, semua penjelasan gambaran acara ini dari ayahnya seolah telah hilang dari otaknya.
Senja sudah membayangkan bagaimana nasibnya nanti, pasti dia yang akan direpotkan Amanda dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Meski sudah biasa melakukan apapun sendiri, tapi dia tidak suka jika melayani orang lain, berarti dia seperti babunya Amanda saja.
Ada tugas lain ternyata untuk mereka berdua, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu tapi saat dilihat tidak ada siapapun. Menurut petunjuk yang ada pada secarik kertas yang membungkus batu. Senja membuka kertas itu dan membacanya. Mereka harus pergi ke ladang khusus dan menanam bibit sayuran yang ada di dalam karung di depan pintu vila.
“Jadi kita pergi ke ladang?” tanya Amanda. Biasanya kalau sudah makan ya tidur, matahari sudah mulai naik ke tengah-tengah langit, pasti hari akan panas sekali. Ini daerah pantai lho, kalau siang ya pasti panas banget. Nanti kulit Amanda bisa belang-belang.
“Iya.” Senja hanya menjawabnya ketus.
“Tempatnya di mana?” tanya Amanda tak mau lihat kertas yang Senja pegang.
Senja pun baca lagi petunjuknya. “Ikuti arah mata angin maka kamu akan tahu di mana tempatnya setelah berjalan satu kilo meter. Tapi ingat, ya. Harus cepat atau nanti kamu tertinggal jauh dari yang lain.” Berarti perlombaannya sudah dimulai. Akan ada lawan mereka untuk memenangkan tantangan ini.
“Mana tau sudah jalan satu kilo apa belum.” Amanda tidak pernah jalan sejauh itu. Di kantor pakai lift, di rumah pun sama. Mau ke mana-mana pakai mobil dan kalau mau apa-apa menyuruh ART-nya saja.
“Saya bisa memprediksikannya.” Senja kan anak gunung, dia bisa kira-kira sudah berapa lama berjalan hingga bisa menempuh jarak satu kilometer.
“Bagaimana caranya?” tanya Amanda bingung, seolah dia meremehkan kemampuan Senja. Dia tidak tahu jika Senja ini sudah naik semua gunung yang ada di indonesia.
“Seseorang yang biasa berjalan di alam akan tahu seberapa jauh dia telah menyusuri jalan,” kata Senja bijak.
“Heh …. So tau.” Amanda berjalan sambil menyilangkan tangan di depan dada. Bodohnya lagi bukan ikuti arah mata angin, malah sebaliknya.
“Ikuti saya, bodoh.” Senja mengangkat karung dan ia taruh di pundak kanannya. Dia sudah seperti kuli angkat beras saja.
Amanda pun menoleh dan balik arah lagi. Dia takut nyasar dan takut sendirian. “Emangnya kuat bawa itu?”
“Hmmm ….” Pertanyaan konyol macam apa itu, Senja sudah biasa angkat tas gunung lima belas sampai lebih dari dua atau tiga puluh kilo, naik dan turun gunung lho. Angkat dua puluh kilo bibit sayuran macam begini sepanjang satu kilometer doang mah cetek.
“Tungguin Senja. Cepet banget sih jalannya.” Dalam satu menit saja Amanda lengah sudah tertinggal jauh. Langkah kaki Senja besar dan kokoh, langkah kaki Amanda kecil-kecil dan ringkih.
“Itu cowok gak punya rasa capek apa?” Amanda baru jalan lima menit saja sudah ngos-ngosan. Senja yang sudah jalan jauh lebih depan tidak mengurangi kecepatannya sama sekali tidak terlihat kelelahan, bahkan beristirahat saja tidak.
“Gak kasian sama gue yang gak biasa jalan apa?” Amanda berdiri sejenak, telapak tangannya bersandar ke pohon rindang. Rencananya Amanda berlindung dari panas terik matahari dan mengatur napasnya dulu.
“Kuat juga ternyata bawa barang sekarung. Huuu ….” Dia mengagumi kharisma Senja.
Gadis ini pun kembali berjalan pelan seperti kura-kura. “Hu, ha, hu, ha. Gila dia udah jauh.”
Senja yang merasa suara langkah kaki Amanda semakin jauh pun menoleh. “Heiii …. Bisa tidak kamu berjalan tak seperti siput, lambat sekali. Nanti kita kalah bagaimana? Kalau ada hukuman bagaimana?” teriaknya sambil memaki Amanda.
“Masa iya? Aku kan yang punya acaranya.” Dia tetap saja berlagak sombong.
“Yang punya acaranya masa disiksa di sini!” Senja mengejeknya lagi.
“Hehh …. Nyebelin.” Amanda meraih sebuah batu pantai dan ingin melempar Senja dengan batu itu.
Senja yang melihat tingkah kekanak-kanakan itu hanya melirik sinis. “Buruan jalannya kalau kamu tidak mau dimakan harimau atau dipatuk ular kobra.”
Ditakut-takuti begitu Amanda langsung ketakutan. “Heh …. Tungguin. Takutttt …..” Jalannya kini lebih cepat, bahkan Amanda berlari untuk bisa menyusul Senja.
“Sepertinya kita sudah sampai.” Langkah kaki keduanya kini sudah sampai di wilayah yang tidak memiliki pepohonan, tanahnya bukan tanah liat atau tanah merah, hanya tanah pasir dan sedikit banyak bebatuannya.
“Ini tempatnya?” tanya Amanda sambil mengatur napasnya lagi yang memburu.
“Iya nona si pemilik MND TV yang lemah.” Dari tadi dia diejek saja, tak mendengar ada satupun kata pujian. Amanda cantik kek, Amanda baik kek, atau Amanda super duper kaya. Mon maaf Senja bukan teman parasit yang cuma numpang tenar saja, ya. Dia anti muji-muji orang demi minta dibayari ini itu.
“Hu, ha, hu, ha. Heh lo-” Amanda sedikit merasa sesak, dia usap dadanya pelan.
“Gue kan gak biasa jalan jauh.” Paling jauh dari kamar ke dapur atau dari ruangannya di kantor ke ruangan ayahnya saja.
Terlihat ada beberapa orang yang datang mendekati mereka. Ladang ini memiliki luas enam puluh kali enam puluh meter. Tanahnya itu dominan pasir karena dekat ke pantai, pantas saja mereka hanya dibekali tanaman kentang dan ubi, dua sayuran ini kan bisa tumbuh di tanah berjenis apapun.
“Itu siapa?” tanya Amanda sambil memperhatikan setiap pasangan.
“Satu, dua, tiga, empat.” Senja sampai menghitungnya.
“Jadi tiga pasang.” Ini jika mereka juga dihitung.
“Weh yang itu ceweknya gempal sekali. Kalau yang satunya lagi cantik dan langsing.” Amanda memperhatikan dua saingannya.
“Gempal juga setidaknya mungkin dia bisa diandalkan, tidak seperti kamu yang manja dan tidak punya keahlian.” Senja melirik Amanda sinis. Dia ingin memilih wanita yang gempal saja, tangannya dan uratnya terlihat besar seperti pekerja keras. Amanda tangannya kecil, pembuluh darahnya juga kecil, kelihatan sekali jarang bekerja keras.
“Ada kok keahlianku.” Dia angkat satu alisnya.
“Apa? Sebutkan?” Senja penasaran.
“Memarahi dan memerintah orang-orang!” Ini sih karena dia manja dan pemalas saja, merasa jadi bos dan semena-mena.
“Itu bukan keahlian, Nona!” Jelas Senja makin ilfil.
“Hai …. Kalian peserta juga?” sapa gadis cantik yang badannya langsing. Saat bersalaman ternyata tangannya terlihat kuat dan sedikit memiliki otot.
“Iya.” Senja mengangguk sambil membalas jabatan tangannya.
“Kenalkan saya Marsha Timothy.” Gadis ini berusia dua puluh enam tahun dan baru saja lulus kuliah, dia ikut acara ini agar bisa bekerja di televisi dan mengisi kegiatannya sebagai pengacara yang merupakan singkatan dari pengangguran banyak acara.
“Saya Senja!”
“Ini pasanganmu?” tanya Marsha sambil melirik ke arah Amanda.
“Iya. Namanya Amanda.” Senja memperkenalkan pasangannya. Sayangnya Amanda diam saja bahkan mengarahkan wajahnyanya ke arah lain.
“Amanda? Maukah bersalaman denganku?” tanya Marsha sambil mengulurkan tangannya.
“Tidak mau.” Dia menggeleng, tak mau berkenalan dengan orang sembarangan.
“Jangan bersalaman dengannya. Dia orangnya sombong.” Senja pun membela Marsha.
“Oh.” Marsha buru-buru menarik lengannya.
“Gue bisa gatal-gatal nanti.” Amanda pun melirik Marsha sinis. Tatapan Manda agak tajam seolah tidak suka jika wanita ini memperhatikan Senja saja.
“Kenalkan saya Michel Danielo.” Pasangan Marsha ini berkenalan dengan Senja. Pria yang berusia dua puluh delapan tahun ini baru saja terkena PHK, untuk melunasi hutang-hutang keluarganya dia cari pekerjaan dan akhirnya mendaftarkan diri untuk acara ini.
“Senja kau terlihat seperti penyuka alam. Berarti saingan yang berat juga.” Jelas pria pengangguran ini tahu Senja anak penyuka alam. Otot Senja saja sangat terlihat jelas dan dari warna kulitnya saja sudah menandakan dia suka panas-panasan di alam.
“Tidak juga jika pasanganku wanita manja ini.” Dia menunjuk Amanda.
“Apa katamu? Aku manja?” Amanda menunjuk dirinya sendiri sambil memelototi Senja.
Prok, prok, prok.
Gadis yang Amanda sebut gempal tadi mendekati mereka. “Hai Amanda Manuela Dermawan.” Akhirnya ada yang mengenali gadis crazy rich televisi ini.
“Akhirnya ada yang mengenalku juga.” Amanda membanggakan dirinya.
“Siapa yang tidak kenal pada gadis manja dan populer ini.” Gadis ini bertepuk tangan dari tadi.
“Apa kau bilang?”
Amanda kesalnya bukan main pada wanita bertubuh berisi di hadapannya ini. Dia kira gadis itu mau memuji kecantikannya, mau menyanjung-nyanjung Amanda setinggi mungkin sesuai status sosial ekonominya, eh malah kebalikannya. Amanda dikatai manja, kata manja ini bosan dan tidak suka Amanda dengar. Kalau dilihat dari sedotan atau sisi manapun, yang mengatai Amanda manja tu jelas kalah telak, dari manapun canti Amanda, kaya Amanda, berwibawa Amanda, lebih berpendidikan Amanda. Sungguh sombong sekali ini anak mentang-mentang oke. Uh padahal kalau gadis yang ada di hadapan Amanda ini memujinya begitu tinggi, bakal dia balas pujian itu dengan traktiran tas kremes alias Hermes, makan di restoran mewah dan jalan-jalan ke luar negeri gratis. Bego ini orang malah ngatain, maklum bukan parasit yang bermuka dua, menyanjung demi dapat keuntungan dari Amanda kan temen bangke! “Oppss …. Kenalkan aku Bianca Aura dan pasanganku Brilian Candra.” Dia membenci Amanda tapi masih mending mau menjabat tanga
Semangat Amanda jadi menggebu-gebu, dia paling tidak suka jika diremehkan dan ditantang seperti itu, lihat saja, biar begini Amanda tidak akan pantang menyerah dalam menghadapi sebuah tantangan. Dia pernah merasakan tinggal di kota besar tepatnya di luar negeri untuk kuliah, di sana persaingan sengit sehingga dia juga sering diremehkan. Amanda untungnya bisa menyelesaikan studi dengan cepat dan mempunyai nilai yang bagus, dia tampar semua ejekan dan tantangan dari teman-temannya melalui sebuah prestasi. Sayang ilmunya tidak diterapkan di sini, balik ke indonesia malah leha-leha dan terlalu dimanja, efeknya kerja ke stasiun televisi cuma nampang aja.Oke karena niat gigih Amanda untuk menyelesaikan tantangan dan ambisinya mengalahkan lawan, Senja akan memulai kerja sama tim dengan gadis ini. Senja amati dulu apakah sayuran ini sudah ditumbuhi dengan akar dan daun. Kalau kentang biasanya kan ada timbul dedaunan lalu siap ditanam, kalau umbi bakal timbul seperti akar dan daun. “Kita har
Senja bergegas membawa Manda berteduh. Kini, gadis itu sedang ditenangkan oleh Marsha yang terlihat andal. Sepertinya, Marsha memang bisa melakukan banyak hal, tentu bisa diandalkan. Senja hanya bisa menghela, Michle sebagai pasangan Marsha dalam acara ini jelas beruntung. Mereka pasangan paling kompak di antara dua peserta lainnya.“Amanda, sudah merasa lebih tenang?” Marsha bersuara. Wanita itu melambaikan tangan di depan wajah Manda yang kini tengah memijat pangkal hidungnya. Posisi Manda saat ini masih terbaring dengan paha Senja sebagai bantalan. Senja hanya bisa memasrahkan diri, ia yakin kakinya kan kebas saat hendak berdiri nanti.Pergerakan abnormal terasa, Senja menundukkan wajah guna menatap Amanda lebih dalam. Wanita itu menggeliat pelan. Lalu mengeluarkan isak tangis dengan alasan yang tidak pria itu mengerti. Begitu mendengar Amanda menangis, Marsha, Michel, dan Senja saling bertatap satu sama lain sembari melempar tanya lewat ekspresi wajah mereka.“Oh, apa aku salah me
Lokasi tempat mereka melanjutkan permainan kali ini ternyata tepat di pesisir pantai. Amanda bisa mendengar desiran ombak yang pecah tatakala mengenai batu karang. Wanita itu menmeluk tubuh, mencoba menghalauy angin malam walau itu tidak cukup berpengaruh.Dari arah utara, Senja memperhatikan pasangannya dengan raut wajah tak terbaca. Laki-laki itu sempat mengembuskan napas, lalu berniat menemani Amanda. Namun salah seorang juru kamera yang datang membuat Senja mengurungkan niatnnya.Karena kali ini mereka tidak ada di dalam rumah, pihak stasiun televisi mengirimkan dua juru kamera untuk merekam interaksi dan kegiatan tiga peserta malam ini.Pengumuman dengan alat bantu pengeras suara yang baru saja terdengar mengundang atensi Amanda, sejenak wanita itu menyipitkan pandang, lalu merekahkan senyuman begitu mengenali salah satu juru kamera yang ditugaskan oleh ayahnya.Senja mengangkat alis begitu mendapati Amanda berlari menerjang pasir putih pantai dengan flat shoes-nya. Begitu menyad
Dalam permainan lanjutan kali ini, sebenarnya tidak ada pemenang. Hanya tentang siapa pasangan yang paling cepat menyelesaikan dua masakan diantara dua pasangan lain. Dan kini, kerusuhan tengah terjadi pada Amanda. Gadis itu memekik berulang kali saat uap panas mengepul mengenai permukaan kulit, tentunya saat gadis itu sedang berusaha mengaduk sup yang hampir matang.“Ouh, sungguh, Senja. Kulitku terasa terbakar!” keluh Amanda, tetapi suaranya di kecilkan. Ia tidak ingin ada pasang telinga lain yang mendengar keluhannya. Manda juga tetap mempertahankan senyuman saat mengeluh, tentu karena kamera besar yang ada di hadapannya terus menyala. Ia tidak bisa menampilkan ekspresi kesal yang sebenarnya.Senja melirik Amanda sebentar, lalu mengembuskan napas panjang. Pria itu memilih untuk tidak peduli, lantas melanjutkan kegiatannya memotong cabai dan beberapa iris bawang yang akan ia jadikan bumbu membuat tumis kangkung.“Senja, jangan mencoba mengabaikanku. Kau tidak lihat bagaiman serasiny
Amanda tidak langsung menjawab pertanyaan Senja. Tangannya membawa jaket milik pria itu agar menepel sempurna pada punggungnya yang terbuka. Ia tidak menolak atau langsung melepas jaket pemberian pria itu. Sebab pada kenyataanya, ia memang sedang kedinginan sekarang.“Terima kasih,” ujar Amanda. Namun tatapan gadis itu terus tertuju pada hamparan pasir di lantai dasar sana. Ia membiarkan angin malam mengombang-ambingkan rambut panjang yang ia geraikan.Senja menoleh, lalu mengerutkan dahi, “Terima kasih untuk apa?” tanya pria itu. Kini kedua alisnya ikut terangkat, meleengkapi ekspresi bertanyanya saat ini.Amanda tertawa kecil, “Untuk jaketnya,” balasnya. Amanda kembali mengangkat kecil jaket berat milik senja agar tubuhnya tidak kedinginan. Mengingat dress yang ia kenakan masih sama dengan dress saat berada di luar, bahunya terlalu terbuka. Dan itu membuat Amanda merinding kapan saja.“Oh,” balas Senja singkat. Laki-laki itu memilih untuk ikut menatap lurus ke depan. Mencoba untuk m
Sekarang, Senja bisa melihat sifat asli Amanda lewat pergerakan tidurnya. Perlahan ia bangkit dari posisi terbaring, setelahnya meletakan satu kaki dan satu tangan milik Manda yang nangkring tanpa dosa di atas tubuhnya. Pantas saja sepanjang malam memejamkan mata ia merasa ada beban yang tak dikenalinya. Rupanya ini milik Amanda.Senja mengembuskan napas, menatap bantal guling yang semalam Amanda jadikan batas antar tubuh keduanya terjatuh mengenaskan di atas lantai. Pose tidur gadis itu tidak terbilang baik, tidurnya royal dan tidak bisa berhenti bergerak. Sepertinya itu yang membuat tidur Senja sama sekali tidak nyenyak. Ini menyebalkan, tetapi ia ingin tertawa melihat cara tertidur Amanda. Rupannya tidak seanggun saat sadar sepenuhnya.Pergerakan abnormal di sampingnya membuat Senja menoleh. Lantas laki-laki itu menatap Amanda yang kini tengah mengerjapkan mata. Rambut panjang tergerai gadis itu tampak berantakan. Tidak tertata dan mirip seperti rambut singa.Amanda menguap sebenta
“Ya tuhan, punggungku benar-benar terasa pegal!” Amanda mengeluh. Wanita itu baru saja mendudukkan diri pada sofa di teras vila. Tepat setelah menyapu pelataran rumah yang kotor karena daun-daun pohon yang gugur. Ia membiarkan sapu yang ia gunakan terjatuh mengenaskan di atas lantai. Biarlah, ia akan mengambilnya nanti. Yang perlu dilakukannya saat ini adalah mengatur deru napasnya sendiri. Ia memejamkan mata, angin sepoi-sepoi yang sangat jarang ia temukan di pusat kota membuat Amanda larut dalam hening. Mencoba merespi apa yang tengah dirasanya saat ini. Di depan vila, hanya ada satu kamera pengawas, letaknya di atas pintu. Amanda tidak memperdulikan itu. Ia hanya ingin duduk sebentar karena tubuhnya terasa sangat pegal. Perlu diingat kembali, ini adalah kali pertama Amanda menyapu atas kemauannya sendiri. Di rumah, ia selalu mengandalkan semua tugas harian pada pelayan yang ayahnya pekerjakan. Termasuk pakaaian dan kebersihan kamar. Sejak kecil, ayahnya selalu memanjakan putri se