Share

1

"Dari segi penulisan cerita gua masih kurang ... "

Sana menatap tangan seniornya itu, kemudian melihat ke tangannya. "Kek tangan babu." Bisiknya dalam hati. Bagaimana bisa seorang laki-laki  memiliki tangan yang lebih lentik, ramping dan juga lebih putih daripada tangan perempuan. Saya iri saya bilang.

"San.."

Sana terjengit kecil ketika pundaknya di sentuh. "Lo suka banget ya sama tulisa gua, apa mau bikin salinannya?" Tanya Kak Firdaus seniornya yang sedang memperlihatkan contoh cerpen yang dia buat.

Sana yang sudah tersadar dari lamunanya, tertawa kecil. "Iya kak gua suka. Apalagi karakternya, mereka punya keunikannya masing-masing. Gua boleh pinjem? Buat contoh." Sana ngeles, padahal dari tadi yang dilihatnya bukan tulisan yang berada di kertas, melainkan tangan yang memegang kertas itu.

"Aaa ... dia malu!!" Teriak Sana dalam hati, matanya sedikit terbelalak melihat reaksi Kak Firdaus yang ngeblus. Orang ini cantik banget!! Wajahnya itu seputih apa sampai bisa keliatan merah. Tapi Sana agak sedikit merasa bersalah, karena dia berbohong padahal orang yang di pujinya sampai seseneng itu.

"Makasih, gua seneng. Lo boleh kok bawa." Kak Firdaus menyodorkan kertas yang berisi cerpennya. Posisinya di organisasi jurnalistik adalah sebagai Ketua. Saat ini pun mereka masih berada di pelataran ruang jurnalistik kampus, seharusnya sudah dari tadi jam pulangnya.

Sana tersenyum. "Boleh, kak? Makasih loh." Dia mengambil kertas itu, sebenarnya dia tidak butuh tetapi mungkin bisa sebagai salah satu referensinya. Tidak buruk juga tulisannya, masih masuk kategori cerita yang Sana suka.

Sana yang sudah berniat berpamitan pergi tetapi urung, karena tiba-tiba teman kak Firdaus datang merangkulnya dari belakang. Dia menutupi setengah wajahnya dengan kertas Hvs beberapa lembar yang di pegangnya.

"Firda ... apa kabar nih?" Ucap senior itu. Firdaus mendorong orang itu menjauh, "Apaan sih lo. Jauh-jauh dari gua." Dia tau orang disampingnya ini hanya ingin menggodanya.

"Firda kalau lagi deket cewe suka jaim ya." Goda senior itu lagi, kemudian dia menatap Sana yang berada di depannya. "Tenang aja. Walaupun Firda cantik, dia tetep suka cewek kok."

Sana hanya mengangguk. "Pergi gak lo darisini. Omongan lo ngelantur." Sentak Kak Firdaus. Senior di depannya malah tertawa mengejek. "Iya iya Firda. Lo jangan marah-marah terus, nanti tambah cantik."

"Adaw." Ringis seniornya itu karena di geplak kepalanya oleh Kak Firdaus. Tapi seniornya setelah itu malah tertawa.

Sana meremat kertas di genggamannya. Rasanya dia ingin berteriak dan menggigiti kertas itu. Dia ingin sekali mengeluarkan ponsel lalu memotret momen di depannya. Gemes banget lohh!! Tapi Sana tetap berusaha tenang. 

"Nama lo siapa de?" Tanya Senior itu menoleh ke arah Sana lalu tersenyum sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Tapi Sana mengabaikan hal itu, dia menundukan kepalanya dengan tangan yang masih memegang kertas menutupi setengah wajahnya, lalu berbalik pergi darisana tanpa sepatah katapun.

"Lo ya Fikar! Dia marahkan."

"Ya maap, gua gak tau." 

Sana masih bisa mendengar suara mereka di belakangnya. Dia harus pergi darisana untuk keselamatan jantungnya. Sebenarnya dia sudah mengetahui nama seniornya dari awal yaitu Fikar nama yang sangat Sana kenal. "Jantung gua, gak bakalan bisa lupa sih." Gumam Sana.

Saat mulai jauh, Sana menurunkan kertas dari wajahnya dan bernafas lega. Tak lupa Senyumnya tidak lepas dari bibirnya. Sana sekarang sedang menuju parkiran, untuk menghabiskan waktu menunggu jemputan kakaknya dia rela membantu merapikan ruang organisasi jurnalistik bersama ketuanya.

Dan tidak sengaja Sana menemukan tulisan hasil kak Firdaus, awalnya dia tidak mengetahuinya, dia kira itu tulisan anggota jurnalistik lain yang memang sengaja di tinggal disana. Karena itu lah percakapan tentang tulis menulis mengalir begitu saja diantara mereka, dan Sana cukup menikmatinya.

Dia juga sangat senang bisa bertemu kembali dengan Kak Fikar.

"Ada kejadian ya? Cerita-cerita dong." Sana tersentak kaget, senyumnya luntur seketika dari wajahnya ketika melihat siapa orang yang berbicara di samping telinganya.

"Gak ada apa-apa? Lo juga baru selesai?" Tanya Sana mengalihkan pembicaraan. Gak mungkin kan dia bilang lagi ngayalin yang aneh-aneh.

"Iya baru aja. Gebetan baru ya? romannya mukanya seneng banget." Goda Sarah dengan tangan masuk ke dalam kantong hoodienya.

"Mana ada!" Sanggah Sana membuang wajahnya, menghindari tatapan Sarah. "Masa? Merah lo mukanya." Dia mendekatkan wajahnya pada Sana. 

"Dibilang gak ya gak!" Sentak Sana kesal. Sarah mencubit kedua pipinya. "Iya Iya percaya." Kemudian dia melepas cubitannya, dan menjauh.

Sana mengusap pelan kedua pipinya yang sakit. Diam-diam dia menoleh pada jendela yang di lewatinya, untuk melihat pantulannya, memastikan apa perkataan Sarah itu benar. Sarah  melihatnya tersenyum. "Jangan lupa traktir kalau jadian."

"Apaan sih, gak ada yang jadian!" Sewot Sana. Mereka pun sampai di parkiran. Sana berhenti untuk menunggu mobil kakaknya. "Gua duluan ya."  Ucap Sarah menuju parkiran motor, Sana mengangguk memberikan tanda jempol oke.

Tak lama kemudian, mobil datang dan berhenti tepat depannya. Sana tahu itu mobil kakaknya, dia langsung masuk ke dalamnya. Aroma kopi langsung menyerbu hidungnya, pengharum mobil ini merupakan permintaan Sana. Mana mungkin dia bisa berdiam diri di ruangan yang menggunakan wangi St*** rasa jeruk di dalamnya.

"Gimana kuliahnya?" Sana langsung disambut oleh pertanyaan kakaknya yang bernama Dewa, kepanjangan dari Dewa Anggara.

"Biasa aja. Cape. Banyak tugas, padahal masih maba." Jawab Sana singkat. Dia mengedarkan pandangan, wajahnya langsung sumringhai melihat kotak itu. Seperti biasa kakaknya yang pengertian itu sangat tahu kesukaan adiknya yaitu ayam goreng. 

"Makasih kak." Ucap Sana tersenyum senang. Dia membuka kotak yang berisi ayam goreng itu, lalu memakannya. Enakk!! Sana menggelengkan kepalanya senang, saat rasa ayam goreng sampai di lidahnya.

Dari samping kanan mobilnya, ada suara motor yang berhenti. Dewa tau siapa orangnya , karena itu dia menurunkan kaca jendela mobilnya. 

"Hei."

Sarah membuka kaca helmnya, dia tersenyum dan membalas sapaan Dewa. "Gua duluan ya kak."

"Gak mau mampir ke rumah? Masih ada bensin gak?" Tanya Dewa.

"Iya kak. Tapi sekarang kayaknya gua gak bisa." Dia melihat motornya, lalu menoleh menatap Dewa lagi. "Santai tangki motor gua masih penuh."

Tapi Dewa tetap memberikan Sarah uang selembar seratus ribuan. "Nih buat nambah-nambahin bensin."

Sarah tertawa kecil. "Padahal mah gak usah." Meski begitu dia tetap mengambilnya.

Sana mendengus melihatnya. "Sok jaim lo." 

"Mmm ... Apa. Liat pipi lo noh awas meletus." Sahut Sarah mengejek. Sana menatapnya sengit. "Dih." Dewa hanya tertawa mendengarnya. 

"Yaudah gua berangkat." Ucap Sarah menutup kaca helmnya dan bersiap. Dewa dan Sana pun mengangguk. "Hati-hati di jalan." Ucap Dewa mengingatkan. Sarah mengangguk kecil kemudian melajukan motornya.

Kemudian disusul oleh Dewa yang melajukan mobilnya. Dalam perjalanan hanya terdengar suara musik. Sejak tadi tidak ada yang berbicara karena Sana sedang makan, mereka di ajarkan oleh ke dua orang tuanya ketika sedang makan tidak boleh berbicara.

"Kak Dewa mau?" Ucap Sana sambil menyodorkan ayam di genggamannya, tentu saja potongan ayam yang baru. "Mau, tapi suapin." 

"Iya, nih." Menyodorkan ayamnya di depan wajah Dewa. "Jangan lama-lama ngunyahnya. Pegel."

Dewa menggigit ayam yang di sodorkan Sana, tangan dan matanya tetap fokus pada jalanan. Kan tidak lucu kalau mereka kecelakaan gara-gara makan ayam. Mereka lakukan itu sampai satu potong ayam habis.

"Dek, pengen minum!"

Sana membuka botol air mineral, kemudian dia membantu kakaknya minum. Memang sungguh ribet, setelah Kak Dewa minum, dia menaruh kembali botol minumnya dan menyimpan kotak ayam gorengnya. Dia ingin melanjutkan di rumah saja.

"Kak lo waktu magang dimana?" Tanya Sana iseng. Dia penasaran, karena banyak sekali teman-temannya yang sudah ngomongin soal magang padahal mereka Mahasiswa Baru dua Bulan.

"Kenapa? Pengen magang di tempat gua?" Tanya Dewa menanyakan alasan Sana.

"Temen gua banyak yang ngomongin soal magang. Jadi pengen tau aja." 

"Ohh. Gua dulu magang di kantor Papa." Senyum Dewa. Sana menoleh bingung.

"Emang ada kantornya? Bukannya bisnis Papa cuma restoran?"

"Gimana sih usaha bapak sendiri gak tau. Resto papa kan udah banyak cabangnya, jadi butuh kantor." Jelas Dewa. "Gua magang jadi pengembang website resto papa, sama penanggung jawab media sosialnya."

"Mereka gak pernah ngasih tau." Sana yang masih bingung bertanya lagi. "Padahal bukannya lo jurusan IT kan? Kok jadi penanggung jawab sosial media?" 

Dewa ketawa. "Cuma posisi aja, gua sekalian ngawasin karyawan lain yang Up konten-koten papah. Soalnya gua juga bertanggung jawab sama keamanan di sosial medianya."

"Ohh." Sana mengangguk-angguk. Tanda dia mengerti.

"Saran Gue kalau mau magang nanti aja, agak semester akhir. Santai aja lo mah, kan tinggal bilang Papah." Dewa terkekeh.

Sana ragu. "Tapi bukannya kalau gitu gak adil ya buat mahasiswa yang lain?"

"Ngapain di pikirin." Dewa mengusap kepala Sana. "Papa kan bangun usaha gitu biar keluarga kita hidupnya lebih mudah."

Sana menatap Dewa. Dia tau kakaknya ini orang yang sangat bertanggung jawab. Meskipun saat ini bekerja di perusahaan orang lain, yang katanya untuk mencari pengalaman, tapi Kak Dewa tetap akan meneruskan Usaha, saat Papa pensiun nanti. 

Sana menoleh kesamping menatap jalanan, dia diam merenungi ucapan kak Dewa. Setelah itu, perjalanan mereka hanya di iringi musik, karena mengantuk tanpa sadar Sana pun tertidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status