Aira tampak serius menuliskan poin-poin yang ingin ditambahkannya ke dalam surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Xabiru. Laki-laki yang duduk di seberangnya mengamati dengan lekat.
"Tidak jelek. Dia cantik, dia juga baik, tapi … aku sungguh tidak mencintainya. Tidak ada perasaan itu untuknya. Bagaimana mungkin bisa menjalani pernikahan ini kalau tanpa cinta di hatiku? Maaf jika ini menyakitimu. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu. Aku ingin kamu bahagia dan aku yakin itu bukan denganku." Xabiru mengungkapkan perasaan hanya dalam hati. Egonya terlalu tinggi untuk langsung mengucapkan hal tersebut pada wanita polos di depannya saat ini."Maaf, poin satu saya coret. Saya rela disentuh Bapak karena status kita adalah suami-istri. Dosa jadinya kalau istri menolak hasrat suami. Terserah Bapak ingin menyentuh atau tidak, jika ingin, lakukanlah, saya takkan keberatan. Lagipula saya harus memenuhi kewajiban saya sebagai seorang istri." Xabiru tercengang dengan pernyataan Aira. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran istri barunya ini. Diuntungkan malah meminta rugi, pikirnya. Padahal itu semua ia lakukan agar nantinya Aira bisa memberikan yang terbaik untuk pasangannya kelak. Bukan bekas orang. Ia pikir semua laki-laki pasti mengharapkan yang pertama."Bagaimana?" tanya Aira menatap Xabiru.Laki-laki yang bersandar pada kursi makan tersebut mengedikkan bahu. "Terserah," jawabnya singkat. Bingung juga kalau harus menolak."Oke, terus poin kamar terpisah, Saya tidak setuju. Kita harus satu kamar layaknya suami istri.""Tidak! Poin itu tetap ada dan jangan diubah. Aku tidak bisa satu kamar denganmu," sela Xabiru menolak poinnya diganti Aira. Baginya itu harga mati. Ia tidak ingin satu kamar dengan Aira. Ia takut bakal menjadi lemah dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tragedi kecoa dan tidur sekamar hampir membuatnya oleng, apalagi kalau harus setiap hari bersama. Aira diam tanpa mengiakan dan kembali menatap ke kertas lembaran tersebut."Poin Bapak akan memberikan rumah dan sebagainya saya ucapkan terima kasih, tapi Pak, saya tidak meminta kemewahan seperti ini. Berapa pun nafkah yang Bapak beri akan saya terima karena Bapak memang wajib memberikan saya nafkah selama saya masih berstatus sebagai istri Bapak. Namun satu hal yang Bapak harus tahu, setelah saya resmi menjadi istri Bapak, sedikitpun tak ada dalam pikiran saya ingin mengambil upah. Status baru saya ini adalah amanah dari Tuhan, bukan sebuah pekerjaan yang harus dibalas dengan uang. Saya pun ikhlas menjaga Jingga. Tak perlu Bapak minta, itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai ibu sambungnya Jingga. Jadi Bapak tidak perlu memberikan gaji untuk merawat Jingga karena itu sebuah bentuk penghinaan bagi seorang ibu." Dengan nada tegas Aira menuturkan hal yang mengganjal di hatinya saat mendengar poin aturan dari Xabiru tersebut disebutkan. Ia merasa direndahkan. Xabiru hanya menanggapi dengan anggukkan. Ia tak berani menatap Aira karena tatapan wanita tersebut sangat menakutkan saat lagi kesal. Namun ada perasaan lega juga jika memang benar seperti itu pemikiran wanita yang baru sehari dinikahinya tersebut. "Penolakan Bapak tentang tidur terpisah harus saya tolak balik. Jika Bapak ingin saya sesuai dengan aturan yang Bapak buat, maka tolong penuhi juga permintaan saya ini. Cuma setahun kan? Apa itu sulit? Lagipula bebas Bapak punya hak mau menyentuh saya atau tidak. Semua keputusan di tangan Bapak, tapi tolong perlakukan lah saya seperti istri pada umumnya. Cuma setahun dan setelah itu hubungan kita akan benar-benar berakhir seperti yang Bapak inginkan." Aira menantang memberikan penawaran pada Xabiru. Meskipun berat, ia ingin merasakan jadi seorang istri seutuhnya. Berharap Xabiru mengiakan. Walaupun ujungnya berakhir menyakitkan."Beri aku waktu, untuk sementara ini kita tidur terpisah dulu." Xabiru menjawab tanpa membalas tatapan Aira. Ia menatap ke arah berlawanan. "Sampai kapan? Jangan ditunda, karena kalau ditunda maka waktu berpisahnya pun akan dimundurkan." Refleks Xabiru menatap Aira tajam. Ia terkejut mendengar ucapan Aira yang terdengar seperti sebuah ancaman untuknya."Iya. Semakin Bapak menunda, itu sama saja seperti memundurkan waktu perpisahan kita karena poin yang saya minta tidak dipenuhi Bapak dengan baik.""Ternyata wanita di depanku ini pintar juga. Sepertinya aku harus hati-hati dalam bertindak. Bisa jadi malah aku yang terjebak dalam perjanjian yang kubuat sendiri." Xabiru menatap Aira serius. Mencoba menyelami seperti apa wanita yang berada di depannya saat ini."Terserah, tapi aku tetap belum bisa untuk saat ini," balas Xabiru tetap bersikeras dengan keinginannya. Ia masih belum bisa membiarkan wanita lain tidur di kamarnya. Kalau yang kemarin adalah perumpamaan karena dipaksa oleh keadaan. Kalau tidak ada drama kecoa, pasti tidak akan ada dua wanita dengan rentang umur yang berbeda jauh tersebut bisa tidur di kamarnya.Tanpa menanggapi Aira bicara kembali. "Dan ini poin tambahan dari saya. Satu, tolong perlakukan Saya seperti istri pada umumnya.""Maksudnya umum seperti apa?" Xabiru menyela meminta kejelasan."Ya semuanya. Seperti pasangan suami-istri pada umumnya." Kening Xabiru masih berkerut mencoba mencerna permintaan Aira."Misal, izinkan saya untuk memanggil Bapak dengan sebutan, Mas, atau Sayang kapanpun saya mau." "Oh itu, baik. Terserah kamu mau panggil aku apa." Xabiru merasa lega karena itu bukan hal yang penting baginya."Izinkan saya mempunyai wewenang di rumah ini. Mengatur rumah ini seutuhnya, baik dekorasi dan lain sebagainya, melakukan apapun yang saya inginkan," lanjut Aira.Xabiru terdiam tampak berpikir."Baik, terserah mau kamu apakan rumah ini. Anggap saja selama setahun itu, ini rumahmu.""Terima kasih," balas Aira tersenyum lega."Ada lagi?" sela Xabiru merasa Aira sudah terlalu banyak bicara. Entah sudah berapa poin ditambahkannya."Hm …." Aira berpikir."Untuk saat ini cukup. Nanti bisa ditambahkan lagi.""Tidak! Setelah ini tidak akan ada perubahan. Kita akan tandatangani surat perjanjian ini lalu aku akan mencetaknya masing-masing untuk kita satu sebagai pegangan. Jadi jika kamu mau menambahkan lagi, harus sekarang ini."Aira dengan jeli membaca kembali poin-poin perjanjian yang ia tambahkan, dan mengingat keras apalagi yang harus ia tulis."Baiklah. Sepertinya sudah cukup." Aira mengulurkan lembaran surat perjanjian tersebut pada Xabiru."Tulis ulang, jangan seperti ini. Penuh coretan," titah Xabiru setelah mengambil kertas hvs yang baru dari dalam laci lemari yang tak jauh dari tempatnya duduk. Aira bahkan baru sadar kalau dalam laci lemari tersebut ada kertas lembaran itu di sana. Ia memang belum menjelajahi isi rumah baru yang didiaminya saat ini. Jadi tidak tahu apapun selain kamarnya dan kamar Xabiru. Itu pun ia tak berani mengamati lekat setiap sudut kamar suaminya tersebut. Tak ada ruang untuk melihat lebih dekat. Suaminya itu tampak tak suka."Baik. Sini saya tulis ulang." Aira mengambil dan menyalin apa yang tertera dalam kertas surat perjanjian tersebut. Berharap apa yang ia ambil bukan keputusan yang salah.Seminggu sudah Xabiru dan Aira tinggal serumah setelah resmi menikah. Tidak ada perubahan dari hubungan keduanya selama tujuh hari tersebut karena perjanjian pernikahan baru dimulai tepat di hari ke delapan. "Bismillah, semangat Aira! Ayo kita mulai pertempuran ini!" Aira bicara sendiri di depan cermin di dalam kamarnya dengan penuh semangat. "Jangan sampai kalah," lanjutnya lagi menambahkan. Hari ini akan dimulai hubungan suami-istri sesuai isi perjanjian pernikahan yang telah disepakati Aira dan Xabiru. Tak ada pilihan karena itu keinginan suaminya. Banyak rencana yang sudah dipersiapkan oleh Aira dan ia berharap semua berjalan sesuai dengan rencananya. Pagi-pagi Aira bangun seperti biasanya. Beraktivitas subuh menjalankan ibadah, baru keluar kamar membersihkan rumah. Tidak ada asisten rumah tangga yang akan membantunya di rumah ini seperti di rumah ibu mertuanya karena dia sendiri yang menolak hal tersebut. "Kamu bisa membereskan rumah ini sendirian? Apa perlu asisten rumah
[Kamarku jangan diotak-atik. Biarkan saja begitu adanya.]Pesan dari Xabiru mengerutkan kening Aira. Awalnya Aira senang mendapatkan pesan pertamanya di ponsel baru yang telah diberikan Xabiru, dan itu dari suaminya, tapi bibirnya seketika manyun kecewa dengan pernyataan yang tertulis pada pesan tersebut. "Suamiku itu cenayang, ya? Dukun atau anak indigo? Kok dia tahu aku mau ke kamarnya?" Aira bergumam sendiri. Langkahnya yang mengarah ke kamar Xabiru terhenti sejenak. Lalu Aira berbalik arah menuju lantai bawah dengan langkah gontai. Semua sudut ruangan dan kamar di rumah ini sudah dibersihkan Aira, tinggal satu kamar saja yang belum dan itu kamarnya Xabiru. Kamar yang tampak suram karena dinding kamarnya berwarna monokrom hitam-putih. Seperti kamar laki-laki bujang yang belum menikah. Pikir Aira. Teng! Terdengar kembali dering pesan masuk di ponselnya. Aira yang duduk di sofa ruang tengah segera merogoh ponsel di saku celana. [Kenapa tidak dibalas?] Dari 'suamiku', nama yan
"Ibu?" Aira dengan cepat menghampiri wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat cantik di usia senjanya. Senyum merekah dilemparkannya ke arah wanita tua tersebut setelah berhasil menetralkan gemuruh keterkejutan dalam hatinya. Aira meraih tangan mertuanya dan mencium takzim punggung tangan yang mulai berkeriput tersebut. "Ibu kok datang mendadak? Pagi tadi nggak bilang bakal mau ke sini. Ibu sudah makan? Kalau belum biar Aira siapkan. Kebetulan kami baru saja selesai makan malam, Bu." Aira mencoba mengajak bicara Bu Laila. Menyambut dengan ramah dan hormat. "Tidak usah. Ibu sudah kenyang. Syukurlah kalau kalian sudah makan malam. Ibu mau ke kamar saja, capek di jalan menempuh waktu dua jam. Eh, tapi Ai, kamu kalau di rumah dasteran gini?" Tiba-tiba Bu Laila memindai penampilan menantu barunya. "Hah?" Ekspresi terkejut Aira keluar lagi. Belum apa-apa sudah dikomentari ibu mertua cara berpakaiannya. "Iya, Bu? Kenapa?" Refleks, Aira bertanya. Aira sempat memindai sebentar pe
"Kenapa jadi berantakan begini? Terus mau ditaruh dimana semua barangmu ini?" Xabiru berdecak kesal melihat barang Aira tersusun berantakan di kamarnya. Ia tak mengira kalau Aira asal letak saja barangnya tanpa menyusun dengan rapi seperti dalam benaknya. Mereka berdua telah berada di kamar Xabiru. Aira yang masih berdiri di depan pintu kamar, hanya menatap bingung pada barangnya. Sembari menggaruk kepala yang tentu saja tak gatal. "Mas kan cuma bilang taruh di kamar, nggak bilang disusun rapi. Lagi pula aku nggak tahu harus meletakkannya dimana. Ini kan kamar Mas, maksudnya menunggu Mas lihat dulu biar ngasih tahu aku harus meletakkannya dimana. Nanti kalau asal taruh, salah lagi." Aira membela diri. Ia tak mau disalahkan. Lagipula mana sempat meletakkannya dengan baik. Bukankah ia didesak untuk gerak cepat. Ada ibu mertua yang sedang menunggunya di bawah. "Ya sudah. Kopermu taruh di sana dulu. Peralatan tak jelas itu taruh saja di meja kerjaku." Xabiru menunjuk tas kecil berisi
Aira menggaruk kepalanya karena bingung apakah harus menuruti keinginan mertuanya atau abaikan saja. Toh, mau dikenakan atau tidak, Ibu mertuanya tidak bakalan tahu. Namun kalau tidak dituruti, lagi-lagi dia harus berbohong. Rasanya berat kalau membohongi orang tua, apalagi mertua. Bagaimanapun juga Aira sudah menganggap Ibu mertuanya sebagai orang tua sendiri. Ini juga yang menyebabkan Aira bersedia menikah dengan Xabiru. Bukan hidup nyaman yang jadi alasan utama Aira, tapi lebih kepada ingin mempunyai ibu mertua seperti Bu Laila. Dulu, selama kerja di rumah Bu Laila, ia diperlakukan dengan sangat baik oleh wanita paruh baya tersebut, meskipun Bu Laila bersikap sangat tegas tapi tidak berlebihan dan masih dalam batas wajar. Tidak terlihat jenjang status sosial keduanya karena Bu Laila memang memperlakukan pekerjanya sebagai manusia. Bu Laila bukan tipe majikan yang asal memerintah dan gila hormat. Apa yang dimakan keluarga Bu Laila maka para pekerja disana ikutan merasakan. Sering
"Aaargh!" teriak Jasmin seraya menyapu bersih peralatan make upnya hingga terlempar berantakan jatuh ke lantai. Beberapa pecah dan retak, tapi Jasmin tak peduli. "Kurang ajar! Nenek bangka menyebalkan! Kenapa aku bisa kecolongan?!" hardiknya di depan cermin seraya menatap wajahnya yang penuh amarah. Mbak Yusi–asisten rumah tangga di rumah Jasmin yang tidak sengaja melintas di depan kamar wanita tersebut hanya mampu mengurut dada. Tidak sekali, dua kali ia mendengar hal tersebut terjadi. Sudah sering, jadi bukan sesuatu yang mengejutkan lagi baginya. Ia hanya melewati kamar Jasmin tanpa berniat singgah, apalagi mengetuk pintu kamar yang sedang diisi oleh penghuninya yang sedang marah. "Yusi, itu suara dari kamar…?" Bu Mita sengaja menggantung perkataannya karena yakin asisten rumah tangganya tersebut paham dengan apa yang sedang ditanyakannya. Yusi berpapasan dengan Bu Mita, ibunya Jasmin di ruang tengah. Ia ingin menuju dapur. "Iya, Bu. Itu suara dari kamar Non Jasmin," sahutny
Dia memanggilku? Buat apa? Apa jangan-jangan mau itu?" Aira bergumam sendiri dalam hati mendengar Xabiru memanggilnya. Dadanya berdegup kencang, pikirannya sudah ke hal lain. Ia tak menyangka kalau Xabiru memilih tidur bersamanya ketimbang tidur sendiri di sofa. "Balik, tidak? Balik, tidak? Balik, tidak? Akh… apa ya?" Aira bingung sendiri apakah harus berbalik menghadap Xabiru dan mencari tahu apa keinginan lelaki tersebut atau diam saja tetap berpura-pura tidur. Setelah berpikir keras akhirnya Aira memutuskan menunggu Xabiru memanggilnya kembali baru dia akan berbalik. Ia teringat ucapan Ibu panti yang dulu pernah menasihatinya tentang kehidupan berumah tangga. Katanya kalau suami sedang memanggil harus segera direspon, jangan diabaikan apalagi sengaja dicuekin, pamali, bakal kena tulah. Berbekal hal tersebut, entah benar atau tidak, Aira mencoba merespon andai dipanggil kembali. Namun anehnya semenit, dua menit telah berlalu hingga Aira merasa waktu sudah berjalan lebih dari l
"Mandi, Mas nggak mau mandi? Ini sudah subuh, biar kita bisa solat subuh berjamaah," tegas Aira memperjelas perkataannya. "Oh, I–iya. Ini juga mau mandi." Tanpa menoleh ke arah Aira, Xabiru bergegas menuju kamar mandi. Dia tidak kuasa kalau harus melihat pemandangan indah di depan matanya. Xabiru lelaki, sekian lama tak pernah melihat wanita di kamarnya dan tiba-tiba wanita tersebut melintas di depannya hanya dengan melilitkan handuk, itu sungguh menggoyahkan iman bagi Xabiru. "Astaga! Apa tadi?" Xabiru membasuh mukanya di depan wastafel sambil berkaca. Ia merutuki dirinya yang tiba-tiba terpaku melihat Aira keluar dari kamar mandi. "Aku sudah sering melihat wanita cantik dan jauh diatas Aira, tapi kenapa tetap terpana melihat sosoknya yang hanya mengenakan handuk saja? Ada apa denganku?" Xabiru bicara sendiri. Ia mempertanyakan dirinya yang gampang tergoda dengan tampilan Aira barusan. Bukankah hal biasa melihat wanita cantik dan seksi. Xabiru saat diundang ke pesta rekan kerjanya