Share

Sebuah Perjanjian

Aira, dan Xabiru sarapan pagi bersama dengan suasana yang kaku. Tidak ada pembicaraan diantara mereka kecuali Jingga yang sesekali berceloteh tentang kegembiraannya karena telah tidur sekamar dengan ayah dan bundanya. Ia juga mengaku berpindah posisi karena merasa sesak dipeluk ayahnya saat tidur. Mendengar hal tersebut Aira menoleh ke Xabiru, menatapnya lekat seolah menyatakan kalau bukan dia yang sengaja bertukar posisi jadi berada di tengah, tapi anaknya sendiri. Xabiru yang ditatap bersikap datar saja seakan membalas pernyataan Aira kalau dia tidak tertarik dengan fakta yang terjadi. Ia sudah menganggap angin lalu hal tersebut, seolah bukan hal yang penting.

"Ini, tanda tanganilah!" pinta Xabiru setelah mereka selesai makan pagi dan hanya menyisakan keduanya di ruang makan. Jingga sudah berlalu pergi ke ruang tengah menonton tivi, tayangan kartun kesukaannya.

Aira mendongak ke arah Xabiru sebentar lalu kembali fokus ke lembaran kertas di atas meja makan. Ada tiga lembar yang disodorkan Xabiru padanya.

''Wedding Agreement?'' ucap Aira dalam hati membaca tulisan paling atas di lembar paling depan dari lembaran kertas putih tersebut.

"Apa ini, Pak?" tanyanya dengan wajah bingung.

"Perjanjian pernikahan. Kita perlu membuat hal tersebut untuk mencegah hal yang tidak diinginkan." Xabiru mengartikan bahasa asing tersebut karena dia yakin istri barunya ini tidak mengerti. Dari info ibunya, Aira hanya lulusan SMA.

Kening Aira berkerut mendengarnya. "Mencegah apa Pak?" tanyanya lagi memastikan. Aira belum mengerti maksud dari kertas yang disodorkan Xabiru padanya. Dia juga tidak menyadari sejak kapan laki-laki yang berstatus suami tersebut sudah menyiapkan kertas tersebut agar ditandatanganinya.

"Maaf, aku tidak mencintaimu dan pernikahan ini terpaksa dijalani. Ibu yang memaksaku menikahimu. Dia yang menyukaimu, bukan aku, dan aku tak bisa menolaknya. Lagi pula kamu pasti tahu kalau aku sudah punya pacar. Jasmin. Wanita itu sudah sering datang ke rumah."

Aira mengepalkan satu tangannya di bawah meja makan tanpa sepengetahuan Xabiru. Itu dilakukannya untuk menahan sakit yang tiba-tiba mendera hatinya. Hatinya berdenyut nyeri saat laki-laki yang diharapkan mencintainya tersebut mengatakan hal yang sangat menyakitkan.

'Tidak mencintai? Aku paham karena pernikahan ini sangat mendadak dan kita tidak diberi waktu untuk saling mengenal dulu, tapi bisakah diam saja tak perlu mengungkapkannya?' Aira menyanggah dalam hati. Sesak, itu yang saat ini dirasakannya.

"Baca saja dulu poin-poin yang ada di sana. Biar kamu tahu batasan di antara kita dan apa saja hal yang perlu kamu patuhi. Perjanjian ini tidak akan lama. Hanya setahun saja, jadi bersabarlah. Bertahanlah tetap di sisiku sampai batas waktu yang ditentukan. Setelah itu kita akan berpisah," lanjut Xabiru tanpa rasa bersalah.

Kepalan tangan Aira makin erat sampai menggenggam ujung bajunya. Ia masih mencoba bertahan, mengontrol emosinya yang semakin naik. Aira berpura fokus ke tulisan dalam lembaran kertas tersebut seolah sedang membacanya hikmat. Padahal ia sedang mengendalikan diri, menahan sesuatu yang mendesak keluar dari kedua pelupuk matanya.

"Kuat, Ai. Kuat! Kamu harus kuat!' Batin Aira bersuara memberinya semangat. Kepalanya dipaksa tegak jangan sampai menunduk. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Xabiru apalagi sampai meneteskan air mata. Meskipun kaca-kaca bening di pelupuk matanya sudah menumpuk memaksa ingin dikeluarkan.

"Berpisah?" lirih Aira bersuara setelah sekian menit diam.

Xabiru mengangguk.

"Kamu tenang saja. Perjanjian itu tidak akan merugikanmu, malah menguntungkan. Ada poin di sana aku tidak akan menyentuhmu. Jadi kamu tidak perlu takut kalau aku macam-macam. Lagipula kamar kita terpisah, jadi semua akan aman sampai akhirnya kita bercerai. Terus ada poin kalau kamu akan mendapatkan rumah, mobil, bahkan tabungan selama setahun. Tiap bulannya pasti kuisi sesuai nominal yang kamu minta, jadi nanti kamu tinggal tulis saja mau berapa. Kalau bisa jangan berlebihan. Ada tawaran nominalku di sana, kalau dirasa kurang bisa dinaikan, tapi jangan memberatkan, tapi terserah lah, akan kuusahakan berapa pun itu." Xabiru tampak kebingungan sendiri memberi penjelasan. Ia takut Aira memanfaatkan keadaan dan mempersulitnya. Bisa jadi Aira bersikap tamak dengan meminta nominal yang tak masuk akal. Ia berharap Aira bisa bijak dalam mengambil keputusan.

"Apa tidak bisa dicoba dulu, Pak? Kita baru mulai, siapa tahu kita cocok." Aira memberi saran dengan hati yang remuk. Suaranya sampai bergetar.

Xabiru menggeleng. "Perbedaan kita terlalu besar. Sulit untuk disatukan. Lagi pula kita tidak saling cinta. Kamu cukup mencintai dan merawat Jingga dengan baik, maka aku akan memperlakukanmu dengan baik juga. Jangan khawatir, mengasuh Jingga juga ada rinciannya, akan terpisah dengan nominal gajimu sebagai istriku."

"Gaji? Menjadi istri dan ibu itu digaji, Pak?" Nada Aira meninggi saat mempertanyakan dua hal tersebut. Ia kesal karena Xabiru menilai semuanya dengan uang.

"Maaf, kalau perkataanku menyinggungmu. Aku hanya bicara fakta. Anggap saja begitu karena seperti itu nantinya yang tertera di surat perjanjian kita."

"Aku tidak akan menandatanganinya!" Aira dengan kasar mendorong lembaran kertas tersebut ke arah Xabiru.

"Aku hanya ingin memberikan keuntungan. Mau ditandatangani atau tidak, pernikahan kita akan tetap berakhir," balas Xabiru menatap tajam Aira.

"Bagaimana kalau ini kuberikan ke Ibu Laila? Biar kita minta pendapatnya tentang hal ini." Lembaran surat perjanjian itu diambil kembali oleh Aira. Ia bahkan mendekapnya ke dada.

'Ayah itu takut sama Nenek. Semua yang diminta Nenek selalu dituruti Ayah.' Aira teringat akan ucapan Jingga kemarin tentang ayahnya. Makanya Aira mencoba menggunakan hal tersebut untuk mengancam Xabiru.

Xabiru tersenyum masam. "Jangan mengancamku, Aira. Dalam benakku kamu bukan wanita seperti itu."

Sedikit terenyuh Aira mendengarnya. Senang karena Xabiru mempunyai pemikiran yang baik tentangnya, tapi rasa itu hanya sementara hadir, setelahnya, rasa kecewa tetap mendominasi.

"Baik, akan kutandatangani, tapi aku ikut memberikan aturan juga di sini. Tak adil kalau cuma Bapak saja yang memberikan aturan."

Xabiru tampak berpikir lalu ….

Xabiru mengangguk. "Boleh, asal tidak merugikanku."

Senyum tipis terbit di wajah Aira. "Baik, Pak. Akan kubuat poinku lah yang menang. Kita lihat saja nanti."

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jogi Hutapea
makin seru
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status