"Kenapa jadi berantakan begini? Terus mau ditaruh dimana semua barangmu ini?" Xabiru berdecak kesal melihat barang Aira tersusun berantakan di kamarnya. Ia tak mengira kalau Aira asal letak saja barangnya tanpa menyusun dengan rapi seperti dalam benaknya. Mereka berdua telah berada di kamar Xabiru. Aira yang masih berdiri di depan pintu kamar, hanya menatap bingung pada barangnya. Sembari menggaruk kepala yang tentu saja tak gatal. "Mas kan cuma bilang taruh di kamar, nggak bilang disusun rapi. Lagi pula aku nggak tahu harus meletakkannya dimana. Ini kan kamar Mas, maksudnya menunggu Mas lihat dulu biar ngasih tahu aku harus meletakkannya dimana. Nanti kalau asal taruh, salah lagi." Aira membela diri. Ia tak mau disalahkan. Lagipula mana sempat meletakkannya dengan baik. Bukankah ia didesak untuk gerak cepat. Ada ibu mertua yang sedang menunggunya di bawah. "Ya sudah. Kopermu taruh di sana dulu. Peralatan tak jelas itu taruh saja di meja kerjaku." Xabiru menunjuk tas kecil berisi
Aira menggaruk kepalanya karena bingung apakah harus menuruti keinginan mertuanya atau abaikan saja. Toh, mau dikenakan atau tidak, Ibu mertuanya tidak bakalan tahu. Namun kalau tidak dituruti, lagi-lagi dia harus berbohong. Rasanya berat kalau membohongi orang tua, apalagi mertua. Bagaimanapun juga Aira sudah menganggap Ibu mertuanya sebagai orang tua sendiri. Ini juga yang menyebabkan Aira bersedia menikah dengan Xabiru. Bukan hidup nyaman yang jadi alasan utama Aira, tapi lebih kepada ingin mempunyai ibu mertua seperti Bu Laila. Dulu, selama kerja di rumah Bu Laila, ia diperlakukan dengan sangat baik oleh wanita paruh baya tersebut, meskipun Bu Laila bersikap sangat tegas tapi tidak berlebihan dan masih dalam batas wajar. Tidak terlihat jenjang status sosial keduanya karena Bu Laila memang memperlakukan pekerjanya sebagai manusia. Bu Laila bukan tipe majikan yang asal memerintah dan gila hormat. Apa yang dimakan keluarga Bu Laila maka para pekerja disana ikutan merasakan. Sering
"Aaargh!" teriak Jasmin seraya menyapu bersih peralatan make upnya hingga terlempar berantakan jatuh ke lantai. Beberapa pecah dan retak, tapi Jasmin tak peduli. "Kurang ajar! Nenek bangka menyebalkan! Kenapa aku bisa kecolongan?!" hardiknya di depan cermin seraya menatap wajahnya yang penuh amarah. Mbak Yusi–asisten rumah tangga di rumah Jasmin yang tidak sengaja melintas di depan kamar wanita tersebut hanya mampu mengurut dada. Tidak sekali, dua kali ia mendengar hal tersebut terjadi. Sudah sering, jadi bukan sesuatu yang mengejutkan lagi baginya. Ia hanya melewati kamar Jasmin tanpa berniat singgah, apalagi mengetuk pintu kamar yang sedang diisi oleh penghuninya yang sedang marah. "Yusi, itu suara dari kamar…?" Bu Mita sengaja menggantung perkataannya karena yakin asisten rumah tangganya tersebut paham dengan apa yang sedang ditanyakannya. Yusi berpapasan dengan Bu Mita, ibunya Jasmin di ruang tengah. Ia ingin menuju dapur. "Iya, Bu. Itu suara dari kamar Non Jasmin," sahutny
Dia memanggilku? Buat apa? Apa jangan-jangan mau itu?" Aira bergumam sendiri dalam hati mendengar Xabiru memanggilnya. Dadanya berdegup kencang, pikirannya sudah ke hal lain. Ia tak menyangka kalau Xabiru memilih tidur bersamanya ketimbang tidur sendiri di sofa. "Balik, tidak? Balik, tidak? Balik, tidak? Akh… apa ya?" Aira bingung sendiri apakah harus berbalik menghadap Xabiru dan mencari tahu apa keinginan lelaki tersebut atau diam saja tetap berpura-pura tidur. Setelah berpikir keras akhirnya Aira memutuskan menunggu Xabiru memanggilnya kembali baru dia akan berbalik. Ia teringat ucapan Ibu panti yang dulu pernah menasihatinya tentang kehidupan berumah tangga. Katanya kalau suami sedang memanggil harus segera direspon, jangan diabaikan apalagi sengaja dicuekin, pamali, bakal kena tulah. Berbekal hal tersebut, entah benar atau tidak, Aira mencoba merespon andai dipanggil kembali. Namun anehnya semenit, dua menit telah berlalu hingga Aira merasa waktu sudah berjalan lebih dari l
"Mandi, Mas nggak mau mandi? Ini sudah subuh, biar kita bisa solat subuh berjamaah," tegas Aira memperjelas perkataannya. "Oh, I–iya. Ini juga mau mandi." Tanpa menoleh ke arah Aira, Xabiru bergegas menuju kamar mandi. Dia tidak kuasa kalau harus melihat pemandangan indah di depan matanya. Xabiru lelaki, sekian lama tak pernah melihat wanita di kamarnya dan tiba-tiba wanita tersebut melintas di depannya hanya dengan melilitkan handuk, itu sungguh menggoyahkan iman bagi Xabiru. "Astaga! Apa tadi?" Xabiru membasuh mukanya di depan wastafel sambil berkaca. Ia merutuki dirinya yang tiba-tiba terpaku melihat Aira keluar dari kamar mandi. "Aku sudah sering melihat wanita cantik dan jauh diatas Aira, tapi kenapa tetap terpana melihat sosoknya yang hanya mengenakan handuk saja? Ada apa denganku?" Xabiru bicara sendiri. Ia mempertanyakan dirinya yang gampang tergoda dengan tampilan Aira barusan. Bukankah hal biasa melihat wanita cantik dan seksi. Xabiru saat diundang ke pesta rekan kerjanya
"Kemana perginya?" Aira celingukan mencari Xabiru, tapi sosok laki-laki tersebut tidak terlihat di sepanjang dia berjalan menuju ke arah dapur. "Aira.""Eh, Ibu. Kirain siapa?" Aira terkejut ada yang menepuk pundaknya dari belakang dan ternyata itu ibu mertuanya. "Ngapain sepagi ini celingukan gitu? Cari siapa?" Bu Laila menatap tajam ke arah Aira. "Eh, nggak kok, Bu. Anu … nggak ada." Aira tak berani jujur kalau dia sedang mencari Xabiru. Tatapan mertuanya membuatnya sedikit takut. "Ayo ikut Ibu ke dapur. Kita masak. Di kulkas ada apa saja. Kamu ada belanja?" Sambil jalan menuju arah dapur, Bu Laila membuka obrolan ringan sebelum ia bertanya ke arah yang serius. Ia sangat penasaran apa saja yang dilakukan kedua anak dan menantunya itu semalam. Sampai-sampai pesannya tidak dibalas satu pun dari mereka. "Ada macamnya Bu. Mas Xabiru yang sempatin belanja. Kalau Aira kan belum kenal daerah sini, Bu," jawab Aira menerangkan. Bu Laila hanya manggut-manggut mendengarkan. Tangannya me
Dengan perasaan gugup Aira keluar dari kamar mandi. Perlahan ia mendongakkan kepalanya mencari sosok Xabiru, laki-laki dingin yang baru saja masuk ke dalam kamar tidur. Perlahan tapi pasti dilepaskannya kimono luaran yang membungkus lingerie merah menyala yang dikenakannya. Lalu berjalan menghampiri laki-laki yang terpaku menatapnya tanpa berkedip. Kedua pasang manik mata berbeda warna itu saling terpaut pandang dalam hitungan detik. Hingga akhirnya sang laki-laki memalingkan muka lebih dulu. Dadanya berdegup kencang karena penampilan tak biasa yang baru saja ditunjukkan Aira padanya. Xabiru beranjak dari duduknya dan mengabaikan Aira yang berdiri di hadapannya. Hati wanita yang bersusah payah menahan malu mengenakan pakaian kurang bahan itu mencelos seketika. Kecewa. Ternyata penampilan yang menurutnya sudah sangat sempurna itu tetap diabaikan oleh laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. "Pakailah! Aku belum siap untuk menjamahmu," ucap Xabiru sambil memasangkan kembali kim
"Mau kemana?" tanya Bu Laila dengan mata awas mencuri celah ke dalam kamar dari pintu yang baru saja dibuka Xabiru."Ke dapur, haus," jawab Xabiru dengan cepat menutup rapat pintu kamarnya. "Memang habis makan apa?"Kening Xabiru berkerut mendengar pertanyaan ibunya. "Makan?" Kepala Xabiru refleks menggeleng setelahnya. "Tidak ada.""Terus ngapain haus? Tuh kenapa keringatan? AC di kamarmu mati?" Bu Laila bertanya menyelidik. Ia penasaran apakah sepasang suami-istri tersebut telah melakukan ritual malam pertama mereka. "Ehm, ini ee … I–iya, ada masalah sama AC-nya. Nanti besok Xabiru panggil orang buat benerin. AC di kamar Ibu, aman kan? Ada masalah? Biar sekalian nanti barengan minta dibenerin." Xabiru mencoba mengelak seraya menyapu tengkuk lehernya yang ternyata memang basah karena keringat. Ia baru sadar ucapan ibunya benar. Ia berkeringat di dalam kamar yang sebenarnya AC-nya baik-baik saja. "Aman, dingin kok. Aira mana? Apa dia kepanasan di sana? Kalau bisa dicek sekarang s