Drtt. Drttt. Drrttt. Maura buru-buru keluar dari kamar mandinya saat mendengar ponselnya terus-menerus berdering. Di malam-malam begini siapa yang menghubungnya. Saat ponselnya sudah berada di genggamannya. Rupanya, Rion yang menghubunginya malam-malam begini. Langsung saja Maura menerima panggilan telepon itu. "Halo, Rion. Ada apa?" "Kamu diaman? Aku di depan." "Apa? Sebentar aku keluar." Maura terkejut saat mengetahui rupanya Rion berada di depan sana. Untuk apa laki-laki itu datang kesini malam-malam. Tadi Rion berkata jika dia ada urusan. Buru-buru Maura lari keluar dan menghampiri Rion. "Ada apa malam-malam begini, kamu kemari?" Pasalnya ini jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Dan Rion berada di hadapannya sekarang. "Kamu dari mana saja?" Tanya Rion pada Mauta. "Aku? Aku emm.." Maura diam, gadis itu masih memikirkann jawaban apa yang akan dia berikan pada Rion tentang pertanyaan barusam. Tidak mungkin sekali, Maura menjawab dengan jujur kalau dia tadi pergi makan ma
"Ah segarnya, habis mandi." Kini Maura sudah terbaring di atas ranjangnya. Pulang dari jogging tadi Maura langsung saja mandi. Tubuh gadis itu terasa sangat lengket. Mandi sehabis olahraga sangatlah menyegarkan tubuh. Badannya terasa segar dan fresh. Sesuai dugaan Maura juga, punggung gadis itu yang tadi pagi terkena bola basket kini sudah tidak sakit lagi. "Untung saja, tidak keras tadi lemparannya. Kalau keras, bida patah tulang aku tadi." Sambil bermalas-malasan sehabis mandi, Maura juga sembari memainkan ponselnya. Ting! "Ada apa ya, dia menghubungiku hari ini?" Tiba-tiba saja sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya. Maura sudah sempat membaca siapa orang yang mengiriminya pesan barusan. Orang itu adalah Jevan. Jevan:: Sore nanti bisa antarkan aku membeli kado untuk adikku? Maura tak langsung menjawab pesan yang barusan Jevan kirimkan. Gadis itu masih menimang-nimang jawaban apa yang akan Maura berikan pada Jevan. Gadis itu bingung, Maura sebenarnya tak ada niat untuk m
Maura sedang duduk di kursi riasnya. Gadis itu sedari tadi tak bisa berhenti untuk tidak tersenyum saat mengingat kejadian semalam. Maura melirik ke arah boneka beruang yang ada di atas ranjangnya. Saat ingat boneka itu adalah pemberian dari Jevan, lagi dan lagi Maura tersenyum malu. "Bisa gila aku, jika terus-terusan seperti ini." Jevan benar-benar berhasil, membuat Maura jatuh sangat dalam menaruh perasaan padanya. Maura merasa Jevan sudah benar-benar berubah kali ini. Bahkan, Maura juga merasa Jevan sudah lebih menjaga jarak dengan Sarah. Entahlah sebenarnya Maura tak begitu yakin tapi, itu yang Maura lihat sejauh ini. Namun, anehnya Sarah juga sekarang tidak pernah mengganggu Maura lagi. Ya seharusnya Maura senang tapi, Maura malah merasa aneh dengan sikap Sarah yang seperti itu. "Apa dia juga sudah berubah? Ah tidak mungkin tapi, ah sudahlah biarkan saja." Tak mau ambil pusing, Maura lebih memilih untuk tidak memikirkannya lagi. Kini gadis itu sudah siap untuk berangkat ke k
Maura berjalan di koridor kantornya dengan perasaan lesu. Entah kenapa akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang menguras energinya. Dia bahkan beberapa kali tak selera makan. Namun, dia masih harus tetap bekerja. Sebenarnya dia malas sekali untuk berangkat ke kantor pagi ini. Dia malas jika nanti akan bertatap muka dengan Rion."Tuhan, aku mohon. Keberuntungan berpihak padaku hari ini. Hari ini saja, jangan pertemukan aku dengan Rion dn juga Pak Jevan."Setelah berdoa dan menyemangati dirinya. Maura melanjutkan langkah kakinya untuk menuju ke ruang kerjanya.Apa Maura sejahat itu, sampai-sampai Maura berdoa pun tak dikabulkan oleh Tuhan. Baru saja Maura berdoa tadi, belum sempat lima menit. Maura sudah dipertemukan oleh Rion. Laki-laki itu terlihat di depan sana hendak berjalan menuju ke arahnya. Mau menghindari pertemuannya itu pun tak bisa.Akhirnya Maura memasang wajah datarnya dan berjalan menghadap lurus ke depan tak memperdulikan Rion yang melewatinya. Tentu saja Rion gelisah
“Mas, apa-apan sih?” teriak Maura marah.Badan Maura membeku seketika, saat matanya menangkap kejadian yang benar-benar mengiris hatinya. Di depan sana, tepat di lorong samping kamar mandi. Laki-laki yang dia sukai tengah bercumbu dengan mesra bersama wanita lain. Dengan perasaan yang hancur berantakan, dan mata yang berkaca-kaca. Maura menghampiri Jevan, sampai di depan laki-laki itu. Maura menarik Jevan dengan keras, menjauh dari perempuan yang Maura yakini adalah Sarah sekretaris pribadi Jevan. Tentu saja tindakannya itu membuat Jevan dan Sarah terkejut. Baik Jevan maupun Sarah, memandang Maura dengan raut wajah kesal mereka, Jevan kemudian menghentakkan tangan Maura yang memegangi lengannya dengan kasar.“Kamu yang apa-apaan, Maura!” kata Jevan dengan nada kerasnya sambil memandang Maura dengan tatapan tajam. Suasana di lorong ini sangat sepi, karena letaknya yang memang berada di ujung gedung, jadi sekalipun mereka berbicara dengan nada keras, tak ada yang mendengar mereka.Kali
Suasana kantin kantor pagi ini cukup ramai, sepertinya para pegawai sedang tidak sempat membuat sarapan di rumah pagi ini. Sama halnya seperti Maura, dia bangun kesiangan pagi ini. Tak sempat sarapan di kos tadi. Jadi dia mengajak Salwa, sahabatnya. Untuk pergi sarapan bersama. Itu juga dikarenakan semalam dia harus melembur di kantor, Maura bekerja menjadi staff administrasi di kantor ini. Jadi dia lumayan sibuk.Salwa, duduk di depan Maura. Daritadi Salwa memperhatikan gerak-gerik sahabatnya itu. Seperti mayat hidup, pikirnya. Bukannya memakan makanannya. Maura malah mengaduk-aduk salad di depannya itu sambil menatap makanannya dengan tatapan kosong.“Dimakan, Mau, “ ujar Salwa menegur Maura. Sedangkan yang ditegur, tak memberikan reaksi apapun.Salwa menghembuskan nafasnya kasar. Dia kemudian menaruh sendok yang dia pegang diatas piring miliknya. Gadis itu melipat kedua tangannya diatas meja, dan memfokuskan pandangannya kepada Maura.“Sudahlah, Mau. Berhenti menangisi laki-laki br
Perlahan, Maura membuka matanya. Pemandangan yang dia lihat saat pertama kali membuka mata, adalah sebuah atap berwarna putih, dan juga lampu yang menyala terang. Maura lantas memegangi keningnya yang masih saja terasa berat. Pandangan Maura menelusuri setiap sudut ruangan, tidak ada siapa-siapa disini. Hanya ada dirinya yang terbaring lemas di brankar.Tunggu, apa Maura saat ini, sedang berada di klinik kantornya?CeklekSuara pintu terbuka itu, mengalihkan pandangan Maura. Dan ternyata itu adalah Salwa. Salwa tersenyum, kala melihat Maura sudah sadar dari pingsannya. Gadis itu, lantas berlari dengan girang menuju kearah Maura.“Bagaimana keadanmu, Mau? “ tanya Salwa dengan nada khawatir.“Aku tidak apa-apa, Salwa.”“Maura, maaf ya. Sudah meninggalkanmu sendirian. Mungkin jika aku tetap bersamamu tadi, kamu tidak akan jadi seperti ini.”Salwa, mengatakan hal tersebut dengan nada yang penuh dengan penyesalan. Dia terkejut, saat dijalan hendak menuju kembali e kantin tadi untuk menyusu
“Aw, sakit!”Maura terkejut, saat tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik rambutnya dengan kuat. Salwa, yang melihat kejadian tersebut. Lantas, hendak menarik tangan seseorang yang berani-beraninya menarik rambut Maura secara tiba-tiba itu. Namun, belum sempat Salwa membantu Maura. Tangan gadis itu, sudah ditarik oleh dua gadis lainnya dan dibawa menjauh dari tempat Maura berada.“Sarah, lepas!” kata Maura, saat membalikkan badannya dan melihat Sarahlah yang menarik rambut gadis itu.Maura dan Salwa, awalnya sedang bersantai saja. Di taman dekat area kantor mereka, tepatnya berada pas di belakang gedung tempat mereka bekerja. Setelah makan siang tadi, mereka berdua memutuskan untuk menikmati udara sejuk terlebih dahulu sebelum kembali bekerja. Saat mereka tengah duduk-duduk santai, di bangku taman. Tiba-tiba Sarah datang dari arah belakang mereka, dan menarik rambut Maura, sampai kepala gadis itu mendongak ke atas.“Apa? Sakit? Aku tidak peduli!” ujar Sarah berteriak.“Hey wanita gi