Share

Tugas Gila Pertama

Rado menghentikan aksinya dengan jantung berdegub kencang. Bahkan bisa dipastikan tubuhnya dipenuhi kecemasan yang luar biasa. 

Beruntung ia tidak bersembunyi di balik mobil Ziany, melainkan di mobil sebelahnya dengan memejamakan mata begitu erat. Nafasnya seperti orang sehabis lari tanpa berhenti sama sekali. 

"Oey, Man! Buruan! Ngapain lo kesana." 

Kali ini dewi fortuna berada di pihak Rado. Beruntung seseorang memanggil lelaki yang meneriaki aksi Rado. Tanpa melanjutkan langkahnya menuju mobil Ziany, lelaki itu berbalik arah ke temannya. 

Tubuh Rado meluruh di badan mobil lalu kembali terpejam sesaat untuk mengumpulkan kewarasan dan tenaga yang mendadak tersedot entah kemana. Setelah tenaganya sedikit kembali dan degub jantungnya tidak sekencang tadi, Rado berdiri dengan susah payah sambil berpegangan pada badan mobil.

Selesai?

Tidak. Ia masih harus memotretnya sebagai bukti pada Risty jika tugasnya telah usai. 

Bukannya memotret, jemari tangan Rado yang telah basah keringat dingin, justru menekan tombol video call tanpa sengaja.

"Gimana, Do?"

Rado terperanjat ketika mendengar suara Risty.

"Be... beres." Ia memasang wajah penuh ketakutan dengan deru nafas yang cepat.

Risty tertawa melihat ekspresi Rado yang menurutnya lucu. "Lo gemeteran?"

Rado mengangguk sebagai jawaban dan itu makin membuatnya sebagai bahan tertawaan Risty.

“Gue pengen lihat hasilnya.”

Kamera ponsel Rado diarahkan ke kaca mobil Ziany lalu keempat ban mobil. 

"Bagus! Nggak salah gue milih lo jadi bodyguard gue."

"Tolong... jangan... suruh... gini... lagi."

Rado sungguh-sungguh dengan gemetar yang menjalari tubuhnya. Bahkan ia sampai tergagap menjawab pertanyaan Risty. 

Ini kali pertama Rado berbuat nakal demi rupiah.

"Terserah gue. Karena gue bos lo. Dan tugas lo nurut sama gue."

Tanpa mau berdebat dengan Risty, Rado memasukkan ponselnya begitu saja ke dalam saku hoodie.

Setelah parkiran sepi, ia berjalan menuju motor dengan menekan kuat dada yang berdebar keras. Berusaha memusatkan pandangannya saat berkendara agar tidak sampai kecelakaan. Dan tak jauh dari apartemen Ziany, ia menepikan motornya lalu mengambil sebutir obat penenang terakhir yang ia simpan baik-baik kala membutuhkan di saat darurat.

Berbeda dengan Rado, senyum kemenangan tersungging di wajah Risty.

“Kenapa lo senyam-senyum?” Tanya Kaika yang duduk di sebelah Risty.

“Rado ngelakuinnya dengan rapi.”

“Oh ya? Nggak nyangka gue kalau dia bisa nyeremin.”

“Tapi ada yang aneh.”

“Apa?”

Risty mendekatkan suara yang dihasilkan dari penggilan videonya dengan Rado yang belum terputus ke telinga Kaika. Lalu keningnya berkerut heran.

“Kayak suara nafas habis lari maraton?”

Risty mengangguk. “Gue pikir juga gitu. Apa si Rado baik-baik aja ya?!”

“Ya kali, Ris. Rado tuh masih awam sama hal ginian. Mungkin dia ngejer.”

Keduanya tertawa meningkahi ulah Rado yang begitu pemula. Dan tidak lama terdengar deru motor sport-nya membelah jalanan kemudian Risty mematikan sambungan video.

“Dia udah lolos. Barusan kedengeran suara mobil-mobil di jalanan.”

“Jangan lupa transfer.”

“Oke.”

Lalu jemari Risty bergerak lincah mengirim sepuluh juta yang Rado butuhkan dan dalam hitungan detik uang itu telah berpindah ke rekening Rado.

Risty : Duitnya udah gue transfer. Tunggu perintah gue selanjutnya.

Tidak ada jawaban dari Rado setelahnya karena ia tengah menunggu reaksi obat penenang itu bekerja.

***

Rado tidak kembali ke rumah. Masih dengan pakaian yang sama, ia mengunjungi Dokter Rafael yang kebetulan tengah berdinas ke salah satu rumah sakit di kota ini.

Reaksi obat bekerja dengan baik, oleh sebab itu Rado bisa mengemudikan motornya hingga rumah sakit dengan selamat. Walau tidak sepenuhnya tenang, setidaknya Rado bisa berjalan lebih tegap tanpa ekspresi ketakutan. 

“Hai, Do. Gimana kabarnya brother?”

Dokter Rafael tidak pernah menganggap Rado seperti seorang pasien, tapi seperti adik sendiri untuk menghilangkan sekat yang membuatnya enggan mengutarakan semua isi hatinya.

“Baik, Kak Raf.”

“Ayo diminum dulu.” Dokter Rafael mengulurkan satu kaleng minuman dingin agar Rado lebih rileks.

“Tenang dulu, jangan tergesa-gesa.” Ucapnya lalu menyandarkan tubuhnya di meja praktik. Sedang Rado senantiasa duduk dengan wajah tertunduk di kursi pasien.

“Kak, aku mau ambil konseling.”

“Kan kamu udah sembuh.”

Rado menggeleng. “Tadi aku hampir berteriak kayak orang gila, Kak Raf. Satu-satunya obat penenang yang tersisa akhirnya kuminum.”

“Apa pemicunya?”

“Mbak Sasha dan … pekerjaan konyolku.”

Kening Dokter Rafael berkerut. “Nggak ada yang namanya pekerjaan konyol, Do. Dan kenapa juga sama kakak iparmu?”

Dari situlah cerita pun mengalir, Rado mengatakan segalanya. Perbuatan terlarangnya yang takut terbongkar oleh Kian, membuat kecemasannya kembali tergugah lalu memutuskan mengambil pekerjaan sebagai bodyguard Risty untuk membiayai konselingnya.

“Rado, kamu jatuh cinta sama wanita yang salah. Dia istri Masmu. Dan nggak seharusnya kamu nidurin dia juga. Oh Tuhan?!”

Rado mengangguk pelan. “Tapi jangan bilang Mas Kian. Dia pasti bakal murka lalu masukin aku ke rumah konseling. Aku nggak mau.”

Juga, Rado tidak yakin jika ia baik-baik saja di tempat itu karena sehari saja tidak bertemu kakak ipar tercintanya, Sasha, maka makin runyamlah hatinya. Karena sejauh ini, baik Kian dan Sasha tidak pernah menyadari kemanjaan Rado yang sering menempel pada Sasha memiliki maksud lain yang sesungguhnya terlarang.

“Do, kamu jadi bodyguard temanmu itu bukan kerjaan konyol. Itu kerjaan yang halal karena kamu keluarin usaha buat lindungin dia. Tapi yang jadi masalah kalau sampai Masmu tahu perbuatanmu dan kerjaan ini.”

“Tapi aku butuh uang, Kak. Aku bisa gila kalau nggak konseling sama minum obat. Aku nggak mau minta uang sama Mas Kian dan bilang soal perasaanku. Aku nggak mau Mas Kian nggak ngakuin aku adiknya lagi. Aku nggak mau dia jauhin Mbak Sasha dari aku. Aku mencintainya, Kak Raf!”

Dengan bibir bergetar dan wajah mulai panik, Rado kembali berucap. “Apa aku salah mencintai Mbak Sasha? Cuma dia, Kak Raf. Cuma dia! Satu-satunya cewek yang peduli dan sayang sama aku!”

Dokter Rafael mengambil kursi lalu duduk di dekat Rado, mengusap pundaknya layaknya kasih sayang seorang kakak pada adiknya.

“Sudah, jangan khawatir, aku pasti sembunyiin ini seperti maumu. Biar kamu juga lebih cepat sembuhnya.”

Rado mengangguk sembari menghela nafas lega dan mengusap air matanya.

“Tapi kamu harus tahu, sepandai apapun kamu sembunyiin hal ini, suatu saat Masmu pasti tahu. Kamu siap terima hukumannya?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
juliana dewi
Lebih kesel liat kelakuan Rado... masa iya sampai 3x meniduri kakak iparnya....jgn sampai terulang lg laah thor... kasian Sasha walaupun Sasha gk menyadarinya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status