"Halo, Kai. Ini gue, Rado."
"Rado? Oh ya, kenapa?"
"Bisa hubungin gue ke Risty?"
"Tunggu bentar."
Terdengar suara gelak tawa beberapa perempuan di sambungan telfon.
"Halo?"
"Ris, gue Rado."
Tawa Risty terdengar mengejek. Selain cantik, kaya, dia juga sedikit sombong.
"Butuh gue juga lo heh?!"
Rado mengangguk meski Risty tidak melihatnya. "Ya."
"Untung gue masih berbaik hati nerima lo."
"Bisa ketemu dimana?"
"Nggak sabaran banget? Lo butuh duit banget emangnya heh?!"
Tidak dipungkiri jika Rado teramat membutuhkan uang itu. Hatinya sangat gusar karena tidak mampu melawan gangguan kecemasan dan kelekatan ini seorang diri.
Pun, obat penenang yang ia simpan baik-baik hanya tinggal satu butir. Obat itu tidak bisa dibeli sembarangan tanpa resep dokter.
"Bisa ketemu sore ini?"
"Oke. Gue share tempatnya."
Dan sore yang mendung itu, Rado memaksa keluar dan beralasan pada Kian dan Sasha akan berlatih bela diri karena perubahan jadwal. Semenjak ia kuliah di kota dan tinggal satu atap bersama, perhatian Kian dan Sasha cukup posesif dan selalu menelfon Rado sesuai jam pulang yang ia katakan.
Sebagai kakak sekaligus langit bagi Rado, mereka tidak mau Rado salah melangkah karena tahu betul kondisi mental adiknya itu belum sepenuhnya sembuh.
"Sorry lama." Risty baru saja datang dengan pakaian kurang bahannya ditemani seorang lelaki yang memilih duduk tidak jauh dari mereka.
Rado tidak bernafsu dengan kemolekan tubuh Risty, hanya saja ia justru terlihat seperti ayam kampus murahan baginya.
"Apa yang jadi tugas gue?"
"Tugas lo simple. Kemanapun gue pergi, lo harus selalu ada."
"Kedua kakak gue posesif."
Rado tidak berbohong karena faktanya memang begitu.
"Bilang aja tugas kelompok."
"Kadang mereka perlu bukti."
"Ribet. Lo bujangan tapi kayak perawan." Cibirnya.
"Masih mending dari pada lo, perawan kayak preman." Ucap Rado lirih tapi menusuk.
Bukannya marah, Risty justru tertawa. "Gue hargai kejujuran lo, Do. Masalah kakak lo, gampang aja. Tunjukin pesan bodong dari gue yang isinya kegiatan belajar bareng. Cukup kan jadi bukti?"
Rado mengangguk tapi ia tidak yakin bisa terus-terusan mengelabuhi Kian dan Sasha.
"Tapi gue minta bayaran di muka. Boleh?"
"Belum kerja udah minta bayaran. Gimana sih lo?!"
"Gue butuh, Ris. Please. Tolongin gue."
Setelah berucap, Rado menunduk malu jika ketahuan cemas seperti pemuda tidak normal.
"Oke, dari pada lo berubah pikiran. Berapa?" Risty bersiap dengan e-banking miliknya.
"Sepuluh juta dulu. Ini nomor rekening gue." Rado menyodorkan layar ponselnya pada Risty.
"Oke, surat perjanjiannya gue buatin besok."
Rado mengangguk patuh. "Oke."
"Lo nggak pengen tahu sama alasan gue kenapa milih lo jadi bodyguard?"
"Sorry, lo bisa jelasin karena gue nggak pinter basa basi."
Risty meneguk lemon tea-nya lalu menatap Rado lekat.
"Gue punya saudara tiri yang kuliah di fakultas Ilmu Administrasi, namanya Ziany. Kita nggak pernah akur malah lebih tepatnya dia selalu nyari masalah sama gue. Kemarin dia sengaja mau nabrak gue waktu ngajak kucing gue jalan-jalan ke taman deket apartemen. Itu bukan sekali, tapi sebelum-sebelumnya dia juga nekat bikin ribut sama gue."
"Bodyguard sebelum lo terlalu formal, gue nggak suka. Kemampuan bela dirinya juga nggak asyik. Buktinya Ziany masih bisa bikin pipi gue lebam." Imbuhnya dengan menunjukkan pipi kirinya yang bila diperhatikan baik-baik terlihat lebam namun samar.
"Tugas lo harus selalu jagain gue, bakal gue atur waktu yang sekiranya Kakak lo nggak curiga sama aktivitas lo."
Rado hanya mengangguk lalu kembali menunduk.
"Lo nggak pengen bicara apapun? Dari tadi gue perhatiin lo banyak diem?"
Rado mengangkat kepalanya. "Gue nggak pandai bergaul."
"Terserah. Oh ya, gue punya satu tugas buat lo."
Risty kembali mengutak atik ponselnya lalu menunjukkan sebuah mobil pabrikan Jepang dengan nomor polisi yang jelas.
"Ini mobil Ziany. Tugas pertama lo, kempesin keempat ban mobilnya lalu kasih cat pilox di atas kaca mobilnya. Sekalian tulis nama gue disana."
Rado memandang Risty tidak percaya karena belum apa-apa sudah mendapat tugas segila itu. Hal yang memacu adrenalin dan mungkin bisa memperburuk gangguan kecemasannya. Ia takut ketika menjalankan aksi itu justru ia yang akan dipergoki dan dihajar massa.
"Kenapa?"
"S... sekarang?"
"Besok lah."
Risty mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah dan meletakkannya di atas meja cafe.
"Pakai uang ini buat beli cat pilox sama pisaunya."
Rado menelan bulat-bulat salivanya sambil membayangkan perbuatan anarkis itu menari-nari dalam benaknya.
"Di kampus?"
Risty menggeleng. "Apartemennya. Pakai pisau, Rado."
Lagi, Rado tidak percaya dengan sosok Risty yang terlihat seksi, cantik, dan kaya itu ternyata memiliki fantasi aksi segila itu.
"Berani nggak? Kalau nggak, duitnya batal gue kirim."
***
Rado tidak punya pilihan.
Dia membutuhkan uang banyak dalam waktu cepat untuk mengatasi gangguannya sebelum terlambat.
Masih segar diingat, selepas bertemu dengan Papanya kemarin, ia baru terpejam di pukul dua dini hari.
Ia cemas jika Papanya benar-benar berniat mengambil dirinya dari asuhan Kian dan Sasha. Ia tidak mau hidup satu atap dengan Papanya yang dianggap orang asing berbahaya.
"Duitnya gue transfer setelah kerjaan lo beres, Do." Ucap Risty melalui sambungan telfon.
"Ya."
"Lo udah di apartemen Ziany?"
"Udah."
Risty memutar bola matanya jengah menghadapi Rado yang kaku dan introvert. Namun itulah yang ia suka. Bukan bodyguard yang sok tahu dan bermata jelalatan.
"Lakukan dengan bersih."
Begitu sambungan terputus, ia mengamati sekitar area parkir apartemen yang telah berjajar mobil-mobil bagus. Rado berada di pojok basement, lebih tepatnya berada di seberang mobil saudara tiri Risty, Ziany.
Risty sudah berpesan agar memakai masker dan hoodie, barangkali ada cctv agar wajah Rado tidak dikenali.
"Jangan cemas. Jangan cemas. Sekali ini aja lalu semuanya usai."
Sebelum kecemasan itu menggulung keberaniannya, Rado bergerak nekat mendekati mobil Ziany. Bela diri membuatnya mampu menggunakan tenaga dengan baik ketika menancapkan pisau di masing-masing ban.
Lalu tangannya bergerak terburu mengambil pilok di dalam tas hingga benda itu terjatuh. Rado hampir diambang batas ketakutan.
Ia segera memungut pilok yang menggelinding tidak jauh darinya. Mengocoknya beberapa kali lalu menekan ujungnya ke arah kaca mobil Ziany hingga membentuk nama Risty.
"Hei? Siapa itu?"
Rado menghentikan aksinya dengan jantung berdegub kencang. Bahkan bisa dipastikan tubuhnya dipenuhi kecemasan yang luar biasa. Beruntung ia tidak bersembunyi di balik mobil Ziany, melainkan di mobil sebelahnya dengan memejamakan mata begitu erat. Nafasnya seperti orang sehabis lari tanpa berhenti sama sekali. "Oey, Man! Buruan! Ngapain lo kesana." Kali ini dewi fortuna berada di pihak Rado. Beruntung seseorang memanggil lelaki yang meneriaki aksi Rado. Tanpa melanjutkan langkahnya menuju mobil Ziany, lelaki itu berbalik arah ke temannya. Tubuh Rado meluruh di badan mobil lalu kembali terpejam sesaat untuk mengumpulkan kewarasan dan tenaga yang mendadak tersedot entah kemana. Setelah tenaganya sedikit kembali dan degub jantungnya tidak sekencang tadi, Rado berdiri dengan susah payah sambil berpegangan pada badan mobil.Selesai?Tidak. Ia masih harus memotretnya sebagai bukti pada Risty jika tugasnya telah usai. Bukannya memotret, jemari tangan Rado yang telah basah keringat dingin
"Aku tahu apa konsekuensinya kalau Mas Kian tahu aku pernah meniduri Mbak Sasha secara diam-diam." Rado berucap dengan pandangan menunduk menerawang jauh."Tapi aku sendiri juga nggak bisa jauh dari Mbak Sasha. Dia penyemangatku, Kak Raf. Cinta pertamaku."Dokter Rafael mengangguk sambil menepuk pundak Rado. "Masih banyak perempuan disana yang mau sama kamu, Do. Jangan berpikir perempuan yang bisa ngerti kamu cuma kakak iparmu aja."Rado menggeleng. "Nggak, Kak Raf. Aku udah terlanjur nyaman sama perasaan ini meski salah.""Aku tanya, tapi kamu harus jujur. Gimana caranya kamu bisa nidurin kakak iparmu?"Rado menatapnya gamang."Bilang aja. Kan kita teman. Aku tempatmu berkeluh kesah.""A... aku... " jeda, Rado seperti tidak siap mengatakannya tapi konseling adalah waktu dimana ia harus terbuka dengan Dokter Rafael untuk membuang segala kecemasannya."Aku... kasih... obat penenang milikku."Selanjutnya Rado tertunduk takut dan malu tapi Dokter Rafael justru menepuk pundak Rado. Sebena
POV RADOTidak kupungkiri jika Mbak Sasha adalah cinta pertamaku, wanita kedua setelah Mama yang merawatku dengan penuh kasih ketika aku sudah pindah ke kota. Dia bisa meraih hatiku yang keras dan dingin menjadi penuh cinta dan sayang meski itu masih hanya untuknya dan keluargaku. "Rado, jangan begini.""Aku capek, Mbak.""Kalau capek kamu duduk. Bukan nempel ke aku kayak gini.""Kan biasanya aku juga kayak gini ke kamu, Mbak."Bukan hal baru jika aku sering memeluk dan bermanja-manja pada Mbak Sasha. Dan itu kerap kulakukan tanpa sepengetahuan Mas Kian jika aku merasa pelukan ini terlalu intim dan berani."Tapi aku yang nggak bisa siapin makan buat kamu kalau kayak gini, Do." Perlahan Mbak Sasha melepas rengkuhan tanganku yang melingkar di perutnya. Debaran, gairah, dan hasrat bisa begitu dekat dengannya yang hanya memakai pakaian tidur berbahan satin, terpaksa harus diakhiri. Sebenarnya aku tidak mau kesenangan ini cepat berlalu. "Kamu duduk di sini aja gih." Dengan lembut dia m
Kata pepatah, lebih baik mencintai dari pada dicintai. Karena itu sama dengan lebih baik memberi dari pada diberi. Tapi bagaimana jika hanya bisa mencintai tapi tidak pernah dicintai kembali? Bagi lelaki introvert, nyatanya aku lebih banyak tersenyum dan bisa berbicara dengan beragam konteks bila itu bersama Mbak Sasha. Karena dia yang membuat hatiku berbungah bahkan berdebar walau hanya berada di dekatnya. Perasaan hebat ini datang untuk pertama kalinya meski bermuara pada wanita yang keliru. Namun aku tidak menyesalinya karena jatuh cinta membuat hidupku berwarna dan merasa selalu ingin mendapatkannya.Namun, sebelum jatuh cinta ini menjadi bumerang karena Mas Kian telah menyimpan rekaman CCTV rumah, aku memberanikan diri mencarinya sebelum berangkat ke apartemen Risty. Aku tidak mau Mas Kian melihat ulah brengsekku karena telah lancang mencumbu istrinya. "Sial! Dimana Mas Kian nyimpen rekaman itu?!" Geramku. Tanganku bergerak tergesa-gesa membuka dan menutup laci meja yang ada
Brak!Usai menutup pintu unit apartemennya dengan tergesa-gesa hingga berbunyi keras, Risty menatapku dengan raut cuek. Bahkan ia tidak peduli dengan pakaian minimnya yang memperlihatkan dengan jelas lengan tangannya yang putih merit tanpa lemak itu. Rambutnya yang digerai bebas dengan bagian ujungnya di bentuk rol seperti rambut para noni-noni Belanda, membuat tampilannya begitu berkelas. Khas anak gadis jaman sekarang dari keluarga terpandang. "Santai aja lagi, Do." Ucapnya santai lalu berlalu ke dalam unit apartemennya. Aku hanya berdiri mematung sembari menatap kepergiannya. Dia benar-benar memiliki kehidupan bebas hingga tidak mengapa aku melihat bagian lekuk tubuhnya. Perempuan kaya nan berkelas macam apa dirinya ini? Bukankah sebagai seorang perawan dia seharusnya menjaga keindahan tubuhnya untuk seorang yang berarti untuknya? Bukan mengumbarnya dihadapanku yang hanya bertugas sebagai bodyguardnya saja?Pantas jika bodyguard sebelum aku tidak bisa menahan nafsunya untuk tida
Tangan Risty memukul kedua tanganku yang bertengger di kedua pundaknya lalu menyorotku dengan tatapan kesal bercampur marah. Bukan apa-apa, tapi secara reflek aku ingin melindunginya. "Apa-apaan sih lo, Do?! Lepasin deh!" "Lo nggak lihat Ziany ngejar kita, heh?! Belum lagi premannya yang bisa aja udah nungguin kita di depan pagar!" Ekor mataku menangkap sosok perempuan yang tidak kukenal namun memiliki selera gaya berpakaian yang sama dengan Risty. Kurang bahan dan sebenarnya ... memalukan! Dia berjalan cepat ke arah kami dengan rambut rebondingnya diterpa angin pagi setengah siang di area parkir motor apartemen Risty. Namun, sebelum dia mencapai tempat dimana aku dan Risty berdiri, dengan sigap aku segera melingkarkan kedua lengan hoodie hitam milikku ke perut Risty. "Rado! Apaan sih?!" "Bisa diem nggak?!" Tanyaku lirih namun tajam. Risty sedikit terhenyak ketika mendapatiku untuk pertama kalinya bersikap begitu tegas kepadanya. "Gue nggak mau bonceng cewek yang pakaiannya
"Gimana rasanya boncengan sama cewek cantik, seksi, dan tajir kayak Risty heh!?" Aku menoleh begitu pundakku ditepuk sedikit kencang oleh lelaki yang kutahu bernama Richard. Lelaki berkulit putih dengan wajah setengah bule yang hobi bermain basket sekaligus ketua BEM fakultasku. Sekilas dari yang pernah kudengar, dia pernah dekat dengan Risty namun belakangan ini anak-anak kerap membicarakan hubungan mereka yang telah kandas. Alasannya simple, Risty sudah merasa bosan dengan Richard. Seperti itulah Risty. Dia memiliki harta, kecantikan, dan otak yang tidak bodoh. Wajar jika banyak lelaki yang ingin menjadikan dia sebagai kekasih. Dan mungkin Richard tidak terima jika bunga seindah Risty ingin mengakhiri hubungan atas nama 'bosan'. "Sorry, gue nggak ada urusan sama lo." Ucapku datar. Aku segera menuruni motor sport hitam milikku. Tapi sebelum aku melangkah pergi, tangan Richard kembali meraih pundakku. Reflek aku menggunakan seujung tenagaku untuk melepaskan diri darinya. Bela dir
Mengembalikan uang Risty yang telah kupakai? Yang benar saja! Uang dari mana lagi untuk mengembalikan uang Risty? Sedang aku saja bekerja untuk dia demi mendapatkan uang yang langsung kupergunakan untuk membiayai konsultasi kejiwaan dan penebusan obatku. Meski Mas Kian berlimpah harta, namun dia tidak pernah memberiku uang berlebih. Khawatir aku menggunakannya untuk hal menyimpang mengingat aku masih belum sepenuhnya sembuh dari gangguan kelekatan ini. Ucapan Kaika masih terus terulang di otakku hingga jam mata kuliah berikutnya. Aku yang biasa menunggu jam mata kuliah dengan menyendiri di atas gedung rektorat seorang diri ditemani semilir angin dan pancaran mentari di siang hari, akhirnya turun menggunakan lift menuju gedung fakultasku yang berada di sebelah gedung pusat kampus ini. Seperti biasa, Risty, Kaika, Greys, dan Livy akan duduk di satu bangku yang sama. Sedang aku selalu duduk di pojok, berseberangan jauh di belakang mereka berempat. Risty dan segala daya tariknya, mu