Pov Keenan.Setelah menyapa beberapa rekan kerja, rasa gundah muncul begitu saja. Tempat ini, yang kuharap bisa membantuku melupakan masa lalu, kini menjadi saksi kembalinya sosok menyakitkan itu. Wanita yang menghancurkan hidupku hingga hancur berkeping-keping.Aku mengepalkan tanganku, merasakan amarah yang berkobar di dada. Berbagai pertanyaan muncul di benakku. Apakah dia kembali hanya untuk menyakiti perasaanku saja? Mengapa di saat aku mulai melupakannya, dia kembali dengan membawa luka lama? Apakah dia kembali hanya untuk menambah derita? Kenapa dia harus kembali lagi, di saat hatiku sudah membaik?Luka lama mulai terasa membakar kembali. Betapa dulu, aku begitu mencintainya dan ingin menjadikannya pelabuhan terakhirku. Tapi, dia dengan tega menghancurkan semuanya. Kini, dia kembali hadir dan membawa luka-luka itu bersamanya.Kepalaku terasa sakit, seperti akan meledak karenanya. Aku menapakkan kaki keluar, meninggalkan tempat keramaian untuk mencari ketenangan. Meski berulang
"Aku bilang pergi! Apa kau tidak mendengarku?!" bentakku, tak bisa menahan emosi yang memuncak.Prang …!Tak sengaja, kuhempaskan botol minum yang ada di atas meja. Botol itu jatuh dan terpecah belah di lantai, menggambarkan perasaanku yang sudah hancur lebur karena ulah Kiara. Meskipun dia mencoba untuk memperbaikinya, tetap saja tidak akan pernah utuh seperti sedia kala.Aku menahan air mata yang akan mengalir seiring dengan jatuhnya botol minum tersebut. Wajahku bermuram, mencerminkan rasa sakit yang tak mampu terungkapkan. Kiara mulai menangis, tangisnya terdengar pelan dan perlahan menyayat hati. Namun, aku tidak bisa melupakan pengkhianatan yang dia lakukan padaku. Semua kenangan bersama bagai terkoyak oleh pilihan yang dia ambil, membuat cinta yang selama ini kami jalin tak lagi bermakna."Maafkan aku, aku tahu aku salah karena telah meninggalkanmu begitu saja. Mungkin maafku tak bisa menyembuhkan perasaanmu, tapi kuharap kau bahagia bersama Marissa," ucap Kiara.Cebikan sinis
Sambil tersenyum, aku menegaskan pada mamaku. "Mama tidak salah dengar, aku ingin bertunangan dengan Marissa. Aku percaya pilihan Mama yang terbaik untukku." Ucapan itu keluar dari mulutku dengan penuh ketulusan, karena aku tahu betapa mama ingin aku bahagia bersama Marissa.Mama menatapku dengan kasih sayang, kemudian mengelus wajahku lembut. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak yang baik. Mama sangat beruntung memilikimu," kata Mama dengan nada lembut.Meski begitu, di dalam hati, aku merasa terpaksa menerima keputusan untuk bertunangan dengan Marissa. Sejak dulu, Mama selalu mendorongku untuk segera menikahi Marissa. Namun, entah mengapa, perasaanku masih bimbang. Kami memang sudah menjalin hubungan, tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.Aku mencoba menyembunyikan keraguan itu dan menuruti keinginan Mama agar ia bahagia. Aku ingin melihat Mama bahagia melihatku sebagai calon suami Marissa. Namun, pertanyaannya adalah, apakah aku juga akan bahagia dengan keputusan ini?Seba
Pov KiaraSejak pagi tadi, aku terus mencari Kenzie di seluruh penjuru apartemen dan ke mana-mana, namun tak kunjung menemukan keberadaan putraku itu. Aku mulai merasa cemas, dan memutuskan untuk bertanya ke area resepsionis yang ada di area apartemen, mungkin saja mereka dapat membantuku. Sebelumnya, sudah kucoba menghubungi Kenzie lewat telepon, namun yang kulihat hanya dering ponselnya yang ada di dalam kamar. Ternyata, Kenzie meninggalkan ponselnya di apartemen.Dengan napas tersengal, aku mendekati resepsionis dan menunjukkan foto Kenzie sambil berkata, "Maaf, Mbak, saya sedang mencari anak saya, apa ada yang melihatnya?"Mereka lalu memperhatikan foto Kenzie dengan seksama, lalu kembali menatapku.Salah satu resepsionis mengangguk dan menjawab, "Mm … dia ada di belakang Bu Kiara."Aku terperanjat mendengar jawaban tersebut. "Hah? Belakang?" Tanpa berpikir panjang, aku langsung menoleh ke arah belakang dan benar saja, ternyata di sana ada Kenzie. Putraku yang kucari itu sedang te
Ternyata yang berdiri di balik pintu bukanlah Keenan. Kelegaan menyapu seluruh tubuhku seketika. Namun, siapa sebenarnya sosok yang berdiri di hadapanku ini? Apa yang ingin dia lakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini mulai bergelora dalam pikiranku. Kubuat jarak agar lebih aman sambil mencoba membaca niat orang yang ada di depanku.Dengan sopan, ia menyapaku, "Permisi, apa benar dengan Bu Kiara Dewi Anggraeni?" tanyanya.Aku menghapus keringat di dahi sambil tersenyum ramah. "Benar, saya sendiri. Ada apa, ya?"Dia menyerahkan sebuah buket bunga mawar berwarna merah kepadaku. "Ini ada kiriman untuk Ibu," katanya.Seketika aku mengerutkan keningku. Aku berpikir keras siapa yang mungkin mengirim bunga untukku. Aku bertanya pada kurir itu, "Maaf, Mas, dari siapa, ya?"Lelaki itu menggeleng. "Pengirimnya tidak ingin memberitahu namanya, Bu." Mataku membulat, kening terangkat, aku semakin kebingungan dengan semua ini."Tapi … ini beneran untuk saya?" Aku memastikan agar orang itu tidak salah kir
"KIARA!" teriak Keenan yang entah sejak kapan ada di dekat kami. Suara bariton-nya mengagetkanku, aku menoleh ke arah belakang, dan mataku membulat tak percaya melihat Keenan ada di belakangku."K-Keenan," gumamku lirih. Aku melihat mata coklatnya menatapku begitu tajam, sepertinya dia mendengar apa yang telah aku katakan sebelumnya.Aku terkesiap ketika dia menarik tanganku, menjauh beberapa meter dari Marissa, lalu setelah itu, ia menghempaskan tubuhku ke dinding yang membuat punggungku terasa sakit."Aduh!" rintihku kesakitan."Apa yang kamu katakan kepada Marissa, hah?" Dia bertanya dengan emosi, bisa kulihat rahang tegasnya sudah mengeras."Aku tidak mengatakan apa-apa," gumamku.Dia menyela, "Memangnya kamu pikir aku tidak mendengar perkataanmu?!"Aku menatap matanya yang sudah begitu sangat marah. "Memangnya apa yang salah dengan perkataanku?""Dasar wanita tidak tahu malu!" bentaknya. "Seharusnya aku membuka pikiranku dari dulu, mengapa aku bisa jatuh cinta kepada wanita seper
Perasaanku sulit diungkapkan saat ini, jantungku berdegup, kesedihan yang mematri dalam benak ini. Cukup sulit untukku mencerna setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Semakin aku mencoba untuk pura-pura kuat, semakin sakit rasanya."Ada apa. Ara? Ceritakan pada ibu, mungkin ibu bisa membantu," ujar Ibu lirih, sambil mengusap punggungku.Aku hanya bisa menangis, tanpa menjawab perkataan Ibu. Ibu lantas menepuk pundakku, lalu membawa tubuh ini ke dalam dekapannya yang hangat.Kelembutan dan sentuhan kasih sayang dari Ibu membuatku merasa nyaman dan aman. Sejenak, hatiku merasa lebih tenang, seperti mendapatkan kekuatan baru dari keajaiban pelukan Ibu.Ketika air mata terus mengalir tak terbendung, aku melihat putraku, Kenzie, yang keluar dari dalam kamar. Aku berusaha mengusap air mataku, berusaha menyembunyikan kesedihan di hati, lalu segera melepaskan pelukan Ibu."Mom, ada apa?" tanya Kenzie dengan wajah polos, sambil berjalan menghampiriku.Aku mengatur perasaan, tersenyum mema
Pagi ini, aku bersiap-siap untuk segera menuju butik. Ini kali pertama aku mengunjungi butik setelah pulang dari Singapura. Selama ini, asisten sekaligus sahabatku, Sissi, yang mengurus butik di Tuban. Aku merasa kagum kepada sahabatku itu karena ia mampu mengorganisir butik selama aku berada di luar negeri.Tok! Tok! Tok!Pandanganku tertuju pada cermin di depanku, lalu menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan. Senyumku terukir begitu melihat Ibu berdiri di ambang pintu."Apa kamu sudah selesai bersiap?" tanyanya ramah.Aku mengangguk dengan senyum. "Sudah, Bu.""Baguslah, Kenzie juga sudah siap."Aku segera meraih tas yang ada di atas meja, lalu keluar dari kamar. Hari ini, aku akan mengantarkan putraku, Kenzie, ke sekolah barunya.Setelah sampai di ruang tamu, aku melihat Kenzie sedang termenung. Aku mendekat dan duduk di sebelahnya. "Hai, ada apa dengan putra mommy?" tanyaku."Ken harus pergi ke sekolah?" tanyanya dengan tatapan penuh keraguan, sambil menatapku.Aku mengelus l