"KIARA!" teriak Keenan yang entah sejak kapan ada di dekat kami. Suara bariton-nya mengagetkanku, aku menoleh ke arah belakang, dan mataku membulat tak percaya melihat Keenan ada di belakangku."K-Keenan," gumamku lirih. Aku melihat mata coklatnya menatapku begitu tajam, sepertinya dia mendengar apa yang telah aku katakan sebelumnya.Aku terkesiap ketika dia menarik tanganku, menjauh beberapa meter dari Marissa, lalu setelah itu, ia menghempaskan tubuhku ke dinding yang membuat punggungku terasa sakit."Aduh!" rintihku kesakitan."Apa yang kamu katakan kepada Marissa, hah?" Dia bertanya dengan emosi, bisa kulihat rahang tegasnya sudah mengeras."Aku tidak mengatakan apa-apa," gumamku.Dia menyela, "Memangnya kamu pikir aku tidak mendengar perkataanmu?!"Aku menatap matanya yang sudah begitu sangat marah. "Memangnya apa yang salah dengan perkataanku?""Dasar wanita tidak tahu malu!" bentaknya. "Seharusnya aku membuka pikiranku dari dulu, mengapa aku bisa jatuh cinta kepada wanita seper
Perasaanku sulit diungkapkan saat ini, jantungku berdegup, kesedihan yang mematri dalam benak ini. Cukup sulit untukku mencerna setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Semakin aku mencoba untuk pura-pura kuat, semakin sakit rasanya."Ada apa. Ara? Ceritakan pada ibu, mungkin ibu bisa membantu," ujar Ibu lirih, sambil mengusap punggungku.Aku hanya bisa menangis, tanpa menjawab perkataan Ibu. Ibu lantas menepuk pundakku, lalu membawa tubuh ini ke dalam dekapannya yang hangat.Kelembutan dan sentuhan kasih sayang dari Ibu membuatku merasa nyaman dan aman. Sejenak, hatiku merasa lebih tenang, seperti mendapatkan kekuatan baru dari keajaiban pelukan Ibu.Ketika air mata terus mengalir tak terbendung, aku melihat putraku, Kenzie, yang keluar dari dalam kamar. Aku berusaha mengusap air mataku, berusaha menyembunyikan kesedihan di hati, lalu segera melepaskan pelukan Ibu."Mom, ada apa?" tanya Kenzie dengan wajah polos, sambil berjalan menghampiriku.Aku mengatur perasaan, tersenyum mema
Pagi ini, aku bersiap-siap untuk segera menuju butik. Ini kali pertama aku mengunjungi butik setelah pulang dari Singapura. Selama ini, asisten sekaligus sahabatku, Sissi, yang mengurus butik di Tuban. Aku merasa kagum kepada sahabatku itu karena ia mampu mengorganisir butik selama aku berada di luar negeri.Tok! Tok! Tok!Pandanganku tertuju pada cermin di depanku, lalu menoleh ke arah pintu saat mendengar ketukan. Senyumku terukir begitu melihat Ibu berdiri di ambang pintu."Apa kamu sudah selesai bersiap?" tanyanya ramah.Aku mengangguk dengan senyum. "Sudah, Bu.""Baguslah, Kenzie juga sudah siap."Aku segera meraih tas yang ada di atas meja, lalu keluar dari kamar. Hari ini, aku akan mengantarkan putraku, Kenzie, ke sekolah barunya.Setelah sampai di ruang tamu, aku melihat Kenzie sedang termenung. Aku mendekat dan duduk di sebelahnya. "Hai, ada apa dengan putra mommy?" tanyaku."Ken harus pergi ke sekolah?" tanyanya dengan tatapan penuh keraguan, sambil menatapku.Aku mengelus l
"Siapa?" tanya Sissi.Aku menatap ke arahnya. "Ibu," jawabku."Ada apa dengan Tante Sinta?" tanya Sissi, yang tampak khawatir.Aku menghela napas dalam sebelum menjawab, "Ibu bilang ada yang terus mengirimiku bunga lagi." Aku meletakkan ponselku di atas meja. Aku merasa bingung, karena selama beberapa hari terakhir aku menerima bunga setiap harinya. Entah siapa orang yang sudah memberiku bunga itu?Sissi melihat ponselku sejenak sebelum memandangku dengan heran. "Bunga? Siapa yang mengirimimu bunga setiap hari?"Aku menggeleng dan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku juga tidak tahu. Tidak ada pesan atau keterangan apa pun dari pengirimnya." Sissi terlihat sedikit khawatir. "Kamu harus berhati-hati, Ara. Mungkin ada orang yang mencoba mengganggumu."Namun, bukankah itu terlalu berlebihan? Apa yang bisa didapat oleh seseorang dengan mengirimiku bunga setiap hari? Pertanyaan ini terus menghantui pikiranku sepanjang hari, bahkan setelah aku berbicara dengan ibuku dan menge
"Halo, ada apa, Marissa? Kenapa kamu mengganggu aku? Aku sedang dalam rapat penting.""Maaf, aku tidak menemukan gaun yang cocok di sini. Sebaiknya kita beli dari luar negeri saja.""Astaga, Marissa! Kamu menelponku hanya untuk menanyakan soal itu? Besok adalah hari pertunangan kita, dan kamu masih belum menemukan gaun. Dan kamu bilang apa tadi, membeli dari luar negeri? Apa kamu pikir, ke luar negeri cuma butuh waktu sejam?""Tapi, Sayang.""Aku tidak mau tahu. Pokoknya segera urus sendiri. Jangan menghubungiku lagi, aku sedang sibuk."Aku bisa mendengar Marissa menghela napas panjang ketika Keenan memutuskan sambungannya. Aku hanya merasa puas mendengar sikap tegas Keenan.Marissa menggerutu kesal sambil menatap ke arahku. "Kenapa? Apa kamu senang Keenan memarahiku?" katanya dengan wajah yang muram."Tidak. Lagian, aku tidak mendengarkan perbincangan kalian," alibiku."Aku ambil gaun yang ini saja," ujar Marissa sambil mengambil gaun sembarangan dari gantungan.Setelah melihatnya pe
Hari pertunangan Marissa dan Keenan tiba, suasana begitu ramai di rumah Marissa. Aku mencoba menyamarkan perasaan tidak nyaman di tengah keramaian. Saat ini, aku melihat Marissa yang tengah sibuk dengan persiapan. Meskipun hubungan kami penuh dengan dinamika, aku tetap ingin melihatnya bahagia di hari istimewanya.Marissa mengenakan gaun putih yang elegan, memancarkan kecantikan yang memukau. Dia benar-benar terlihat cantik, dan aku tidak bisa menahan senyum kebahagiaan melihatnya. Meskipun kadang sikapnya kasar, tapi di momen ini, aku hanya ingin fokus pada kebahagiaannya."Kak Ara." Aku terkesiap ketika ada seseorang menepuk bahuku. Segera menoleh ke arah belakang, aku melihat Putri yang ada di belakangku. Aku mencoba tersenyum ke arahnya."Putri," gumamku lirih."Putri tidak menyangka Kak Ara akan datang di hari pertunangan Kak Keenan. Kalau Putri jadi Kakak, mungkin Putri tidak akan pernah mau."Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Putri. Meski sebenarnya aku hanya pura-pura te
"Enyahlah dari pandanganku, aku muak melihat wajahmu!" Dia menghempaskan tubuhku, membuatku kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh ke kolam renang."Aaa …!" Aku berteriak, tapi untung saja, Keenan langsung meraih pinggangku, kalau tidak, mungkin aku sudah terjatuh ke kolam. Aku mencengkram erat dadanya, berharap ia tidak menjatuhkanku ke dalam air yang dingin.Kedua bola mata kami saling menatap dalam diam. Aku tak kuasa mengalihkan pandangan dari wajah Keenan yang memukau. Bulu halus yang terlihat jelas di kulitnya, alis tebal di atas matanya yang coklat bersinar, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang berwarna merah muda membuatku terpana. Tanpa sadar, jantung ini terus berdebar kencang sejak tadi."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya dengan pandangan yang tajam. Aku hanya bisa terdiam dan merasa gugup karena terkejut dengan pertanyaannya."Apa kamu terpesona denganku?" kata Keenan sambil bergurau, membuatku sedikit merasa cemas. Lalu, Keenan mengendurkan tangannya, dan
Aku tidak tahu, mengapa cincin itu tiba-tiba jatuh di hadapanku. Para tamu yang hadir saling berbisik, dan aku bisa mendengar mereka mengatakan bahwa jika cincinnya jatuh, pertanda hal buruk akan menimpa.Aku meremas gaun yang aku kenakan. Tanpa berpikir panjang, aku menepis semua perkataan buruk mereka. Dengan segera, aku berjongkok dan mengambil cincin tersebut. Setelah cincin itu ada di tanganku, aku segera berjalan menuju Keenan dan Marissa. Tidak peduli semua orang menatapku seperti apa, aku hanya mencoba untuk tetap tenang.Setelah berada tepat di hadapan Keenan, aku mengulurkan tanganku ke arahnya, lalu membuka cincin yang ada genggamanku."Cincinnya terjatuh," kataku dengan singkat.Helaan napas Keenan terdengar jelas di telingaku. Aku tidak tahu mengapa ia hanya terdiam saja. Kemudian, ia segera meraih cincin itu yang ada ditanganku."Terima kasih, Kiara. Kamu sudah mengembalikan cincinku," ucap Marissa.Aku tersenyum ke arahnya. "Tenang saja, aku tidak mungkin mengambilnya d