"Siapa?" tanya Sissi.Aku menatap ke arahnya. "Ibu," jawabku."Ada apa dengan Tante Sinta?" tanya Sissi, yang tampak khawatir.Aku menghela napas dalam sebelum menjawab, "Ibu bilang ada yang terus mengirimiku bunga lagi." Aku meletakkan ponselku di atas meja. Aku merasa bingung, karena selama beberapa hari terakhir aku menerima bunga setiap harinya. Entah siapa orang yang sudah memberiku bunga itu?Sissi melihat ponselku sejenak sebelum memandangku dengan heran. "Bunga? Siapa yang mengirimimu bunga setiap hari?"Aku menggeleng dan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku juga tidak tahu. Tidak ada pesan atau keterangan apa pun dari pengirimnya." Sissi terlihat sedikit khawatir. "Kamu harus berhati-hati, Ara. Mungkin ada orang yang mencoba mengganggumu."Namun, bukankah itu terlalu berlebihan? Apa yang bisa didapat oleh seseorang dengan mengirimiku bunga setiap hari? Pertanyaan ini terus menghantui pikiranku sepanjang hari, bahkan setelah aku berbicara dengan ibuku dan menge
"Halo, ada apa, Marissa? Kenapa kamu mengganggu aku? Aku sedang dalam rapat penting.""Maaf, aku tidak menemukan gaun yang cocok di sini. Sebaiknya kita beli dari luar negeri saja.""Astaga, Marissa! Kamu menelponku hanya untuk menanyakan soal itu? Besok adalah hari pertunangan kita, dan kamu masih belum menemukan gaun. Dan kamu bilang apa tadi, membeli dari luar negeri? Apa kamu pikir, ke luar negeri cuma butuh waktu sejam?""Tapi, Sayang.""Aku tidak mau tahu. Pokoknya segera urus sendiri. Jangan menghubungiku lagi, aku sedang sibuk."Aku bisa mendengar Marissa menghela napas panjang ketika Keenan memutuskan sambungannya. Aku hanya merasa puas mendengar sikap tegas Keenan.Marissa menggerutu kesal sambil menatap ke arahku. "Kenapa? Apa kamu senang Keenan memarahiku?" katanya dengan wajah yang muram."Tidak. Lagian, aku tidak mendengarkan perbincangan kalian," alibiku."Aku ambil gaun yang ini saja," ujar Marissa sambil mengambil gaun sembarangan dari gantungan.Setelah melihatnya pe
Hari pertunangan Marissa dan Keenan tiba, suasana begitu ramai di rumah Marissa. Aku mencoba menyamarkan perasaan tidak nyaman di tengah keramaian. Saat ini, aku melihat Marissa yang tengah sibuk dengan persiapan. Meskipun hubungan kami penuh dengan dinamika, aku tetap ingin melihatnya bahagia di hari istimewanya.Marissa mengenakan gaun putih yang elegan, memancarkan kecantikan yang memukau. Dia benar-benar terlihat cantik, dan aku tidak bisa menahan senyum kebahagiaan melihatnya. Meskipun kadang sikapnya kasar, tapi di momen ini, aku hanya ingin fokus pada kebahagiaannya."Kak Ara." Aku terkesiap ketika ada seseorang menepuk bahuku. Segera menoleh ke arah belakang, aku melihat Putri yang ada di belakangku. Aku mencoba tersenyum ke arahnya."Putri," gumamku lirih."Putri tidak menyangka Kak Ara akan datang di hari pertunangan Kak Keenan. Kalau Putri jadi Kakak, mungkin Putri tidak akan pernah mau."Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Putri. Meski sebenarnya aku hanya pura-pura te
"Enyahlah dari pandanganku, aku muak melihat wajahmu!" Dia menghempaskan tubuhku, membuatku kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh ke kolam renang."Aaa …!" Aku berteriak, tapi untung saja, Keenan langsung meraih pinggangku, kalau tidak, mungkin aku sudah terjatuh ke kolam. Aku mencengkram erat dadanya, berharap ia tidak menjatuhkanku ke dalam air yang dingin.Kedua bola mata kami saling menatap dalam diam. Aku tak kuasa mengalihkan pandangan dari wajah Keenan yang memukau. Bulu halus yang terlihat jelas di kulitnya, alis tebal di atas matanya yang coklat bersinar, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang berwarna merah muda membuatku terpana. Tanpa sadar, jantung ini terus berdebar kencang sejak tadi."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya dengan pandangan yang tajam. Aku hanya bisa terdiam dan merasa gugup karena terkejut dengan pertanyaannya."Apa kamu terpesona denganku?" kata Keenan sambil bergurau, membuatku sedikit merasa cemas. Lalu, Keenan mengendurkan tangannya, dan
Aku tidak tahu, mengapa cincin itu tiba-tiba jatuh di hadapanku. Para tamu yang hadir saling berbisik, dan aku bisa mendengar mereka mengatakan bahwa jika cincinnya jatuh, pertanda hal buruk akan menimpa.Aku meremas gaun yang aku kenakan. Tanpa berpikir panjang, aku menepis semua perkataan buruk mereka. Dengan segera, aku berjongkok dan mengambil cincin tersebut. Setelah cincin itu ada di tanganku, aku segera berjalan menuju Keenan dan Marissa. Tidak peduli semua orang menatapku seperti apa, aku hanya mencoba untuk tetap tenang.Setelah berada tepat di hadapan Keenan, aku mengulurkan tanganku ke arahnya, lalu membuka cincin yang ada genggamanku."Cincinnya terjatuh," kataku dengan singkat.Helaan napas Keenan terdengar jelas di telingaku. Aku tidak tahu mengapa ia hanya terdiam saja. Kemudian, ia segera meraih cincin itu yang ada ditanganku."Terima kasih, Kiara. Kamu sudah mengembalikan cincinku," ucap Marissa.Aku tersenyum ke arahnya. "Tenang saja, aku tidak mungkin mengambilnya d
Tok! Tok! Tok!Aku terkesiap dari lamunanku ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruang kerjaku."Masuklah," titahku.Seseorang pun memasuki ruangan kerjaku, dan aku melihat Sissi yang tengah tersenyum ke arahku sambil memasuki ruangan kerjaku."Ada apa?" tanyaku.Dia lalu menyerahkan beberapa dokumen dan meletakkannya di meja kerjaku."Ada seseorang yang ingin memesan sebuah gaun, tapi orang itu ingin kamu mendesainnya sendiri," kata Sissi."Siapa orang itu?""Orang itu tidak mau memberitahu namanya."Aku lantas mengerutkan keningku. "Kenapa seperti itu? Apa kamu tidak khawatir bila orang itu menipu kita?"Sissi menggeser kursi yang ada di depanku, lalu ia segera duduk."Tidak, Ara. Aku yakin dia bukan penipu.""Kenapa kamu bisa seyakin itu?""Itu karena dia sudah membayarnya lunas.""Hah? Benarkah? Tapi aku tidak tahu dia menginginkan desain yang seperti apa?""Dia bilang seperti yang kamu inginkan."Aku merenung sejenak, mencoba memahami situasi ini. Seseorang yang tidak mau mem
"Benarkah? Apa kamu menolak bunga dariku?"Aku terkesiap ketika mendengar suara bariton seseorang yang aku kenal, lalu dia menyingkirkan bunga yang menutupi wajahnya."Hah?" Aku benar-benar tak menyangka, mulutku ternganga ketika dia ada di hadapanku."Kenapa, Kiara? Sepertinya kamu terlihat kaget dengan kedatanganku?" Dia berkata seolah aku kaget, jelas saja, bagaimana aku tidak kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba, apalagi sambil membawa bunga mawar yang begitu besar."Bagaimana aku tidak kaget? Kamu datang tanpa memberiku kabar terlebih dulu," jawabku sambil bersidekap dada.Dia hanya terkekeh melihatku. "Aku merindukanmu, makanya aku ke sini.""Hmm … sejak kapan kamu bisa gombal?""Sejak saat aku menemukan kamu kembali. Apa kamu tidak mau menerima bunga pemberianku ini?" ujarnya sambil menyerahkan bunga ke arahku.Aku tersenyum ke arahnya. "Baiklah, ini kali terakhirnya aku menerima bunga pemberianmu. Tapi bila lain kali kamu masih memberiku bunga lagi, aku akan menolaknya.""
Jordi, teman baikku selama bertahun-tahun, tiba-tiba mengaku mencintai aku. Aku tak pernah berpikir bahwa dirinya akan melampaui batas teman biasanya dan mengubah hubungan kami menjadi yang lebih serius. Sebelumnya, aku menganggap Jordi seperti saudaraku sendiri, dan dia selalu mendukungku di saat-saat sulit dengan ibuku.Aku menghargai perasaannya dan terus mencoba memahami perasaanku sendiri. Semenjak aku memutuskan untuk meninggalkan Keenan, aku merasakan rasa sakit yang mendalam. Sejak saat itu, aku tidak lagi pernah jatuh cinta pada lelaki manapun, atau setidaknya aku berpikir bahwa itu sudah cukup menutup hatiku untuk cinta selamanya.Namun, semuanya berbeda dengan Jordi. Aku takut jika hubungan yang telah kami bangun selama ini akan berubah jika kami mencoba menjalin hubungan romantis. Aku tak ingin kehilangan hubungan persahabatan yang telah kami bangun selama ini. Namun, aku juga merasa tidak ingin menerima permintaannya, karena terkadang aku tak bisa membayangkan diriku dala