Share

Belongs To Mr Lehon
Belongs To Mr Lehon
Author: penuliskecil

Menyiksa

“Ingat, kamu di sini untuk bekerja. Jangan bersentuhan atau menjalin hubungan dengan orang lain, apa lagi pria, kalau masih mau hidupmu aman,” tegas Ben pada Kiara sebelum gadis itu menjalani hari ketiga bekerja.

“Baik, Ben.”

“Ingat itu dan keluarlah!” Jambakan rambut itu segera dilepaskan oleh Ben.

Segera menyeka air mata yang menetes. Ia bersikap seolah baik-baik saja dan berjalan dengan cepat, sebab sudah terlambat beberapa menit.

"Happy birth day to you! Happy birth day to you! Happy birth day, happy birth day, happy birth day to you!"

Suara nyanyian itu membuat Kiara—si anak baru yang ditugaskan membawa kue ulang tahun menjadi sangat panik. Ia telat.

Drrrt! Drrrt! Drrrt! Suara getaran ponselnya semakin membuat panik.

"Tunggu, tunggu, aku akan segera sampai!" geramnya pada diri sendiri.

Keringat di keningnya bahkan mengucur sangat deras. Ia sudah tidak peduli lagi. Setelah mengabsen di print finger, gadis itu buru-buru menaiki tangga menuju lantai 2.

Ia terduduk sejenak di kursi kerjanya sebelum akhirnya sadar dengan hiasan kue yang bertuliskan 'hbd father'. What? Father? Ini sudah jelas sangat salah. Lalu apa dan bagaimana sekarang?

"Kiara, cepetan dong! Masa iya, lagu udah tiup lilin tapi lilinnya kagak ada?" protes Lutri, senior yang paling dikagumi. Ia bahkan berteriak dari balik jendela kaca.

"Eh iya, sebentar, Bu. Ini aku datang." Kiara tersenyum tipis kemudian bangkit dari duduknya.

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang..." Suara yang tadinya bersemangat malah kian meredup. Kenapa?

"Brother? Kok jadi brother sih, Kia? Hiasannya juga terkombinasi dengan kertas seperti itu?" tanya Lutri memburu. Ia menahan amarahnya sekarang. Alis matanya menaik.

"Yeee!" Mereka bersorak dan bertepuk tangan tatkala lilinnya telah ditiup oleh sang general manager.

"Terima kasih untuk kalian semua. Ini kejutan yang benar-benar kejutan, sih. HAHAHA." Lehon mengangkat kertas yang untung saja tidak ikut terbakar. "Semoga saja tulisan aslinya bukanlah father," lanjutnya dengan lekungan senyum, walau sudah bisa dipastikan itu adalah paksaan.

"Kok bisa bener sih, Pak?" tanya Kiara dalam hati. Ia mengelus dada sekarang.

"Kuenya juga kecil sekali. Hanya cukup untuk dua orang. Ulang tahun hari ini benar-benar kejutan!" seru Lehon disusul dengan tepuk tangannya.

"Kok bisa bener lagi, sih? Ha?" Kiara menundukkan kepalanya dalam.

"Dira, ini tolong berikan saja pada orang yang membawa kuenya tadi dan kalian silakan buat pesta sendiri. Khusus hari ini bisa pulang jam 3 dan saya akan transfer biaya pesta kalian."

"Baik, Pak." Setelah jawaban itu, semua karyawan yang ikut merayakan di ruangan Lehon segera keluar.

Pria itu sekilas menatap ke arah Kiara yang keluar paling terakhir, masih dengan kepala yang tertunduk. Ia tak berkata apa-apa.

"Apa ada yang mau disampaikan?" tanya Lutri dengan nada tegasnya membuat Kiara tertunduk.

"Kak Lut, kenapa kita tidak ada sesi salam-salaman dengan Pak Lehon? Padahal ini adalah kesempatan emas dan satu-satunya untuk menyentuh tangan lembutnya," decit Nesya. Adik kandung Lutri.

"Sudah berapa puluh kali saya sampaikan, panggil saya ibu di tempat kerja. Di sini, kita adalah rekan kerja, bukan keluarga atau adik kakak!" tegas Lutri. "Sekarang keluar dari ruangan saya dan tolong tutup pintunya."

"Iya ih, galak amat!" Nesya bergumam pelan, namun segera mengiyakan perintah sang kakak yang terkenal tegas itu.

"Apa yang terjadi, Kia? Apa kamu ada masalah? Sejak awal kamu masuk ke sini, saya sudah bilang berkali-kali untuk cerita kalau memang lagi ada masalah. Siapa tau bisa bantu cari solusi."

"Tidak apa-apa, Bu." Kiara menggeleng keras hingga poninya segera menutupi keningnya yang sepertinya lebam.

"Apa itu?" Semakin merasa penasaran.

"Bukan apa-apa, Bu. Kalau memang saya salah dan harus mendapat surat peringatan, silakan saja. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat pagi!"

Gadis itu keluar dari ruangan dengan menyisakan seribu tanya di kepala Lutri. Ia menatap ke arah kue yang ada di mejanya, lalu bergerak mengantarkan ke meja kerja Kiara.

***

"Apakah Ayah baik-baik saja? Apa tempat tidur di sini cukup nyaman?" tanya Kiara setelah ia sampai di tempat tinggal ayahnya selama ini, bui.

"Cukup nyaman, Sayang. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan keadaan ayah. Pikirkan saja dirimu sendiri dan ... ini apa?" Bimo menunjuk ke arah kening putrinya. "Luka apa ini? Apa kamu dilukai oleh Ben lagi?"

"Tidak sama sekali, Ayah. Mendengar nama ayahku saja, dia sudah takut. Bimo Hernanda!" jawab Kiara dengan ceria dan lantang. Senyum itu benar-benar mengambang di bibirnya sekarang.

"Ayah tidak akan percaya begitu saja. Coba kamu ceritain ke ayah, ada apa?"

Begitulah Bimo, akan selalu mendengar apapun dari putrinya setiap mereka punya waktu untuk bertemu.

Kali ini ia kesiangan, tak menjelaskan alasannya pada sang ayah. Ia menyalakan mesin motor lalu buru-buru berangkat menuju toko yang sebelumnya sudah dipesankan oleh Lutri.

Kala kemacetan melanda, ia dengan sedikit memaksa mencoba lewat dari celah yang ada untuk segera sampai di kantor tepat waktu. Namun, malangnya, ia malah terjatuh dan membuat kue besar pesanan bosnya yang ada di belakang terjatuh dan hancur.

"Mau tidak mau, aku harus menggunakan kue yang bertuliskan father ini, Ayah."

Cerita gadis itu lolos membuat keduanya saling tertawa sambil menikmati potongan kue yang masih bersisakan tulisan 'ther'.

"Lalu, apa bosmu galak? Apa dia pernah melukai hati putri ayah?" tanya Bimo.

Menghela napas panjang. "Yah, aku sangat bersyukur untuk sekarang. Mereka semua baik. Ayah juga tidak perlu khawatir, segalak-galaknya bos, itu tidak akan berpengaruh padaku. Aku sama sekali tidak ada hubungan dengan mereka. Aku hanya karyawan biasa, Ayah, jadi tenang saja."

"Baiklah, Sayang. Semoga hidupmu selalu bahagia mulai sekarang, bahkan sampai nanti ketika Ayah menghilang dari dunia ini dan duniamu."

"Ayah, jangan berkata seperti itu. Keadilan itu akan selalu didapatkan oleh orang percaya dan tidak bersalah. Ayah tidak bersalah." Gadis itu menjadi sangat sedih.

Bimo tak kuasa menahan air matanya. Ia berniat memeluk putrinya yang bertepatan dengan waktu berkunjung yang telah habis.

"Tolong biarkan aku memeluk putriku," pintanya.

"Tolong, Pak. Biarkan saya memeluk ayahku." Kiara juga berusaha melunakkan hati penjaga dengan mengatupkan kedua tangannya yang hanya berakhir sia-sia.

Ponselnya bergetar sekarang. Panggilan masuk dari Ben.

"Aku harus segera pergi, Ayah. Maafkan aku yang masih belum punya kekuatan untuk mengeluarkanmu dari sini," gumamnya sedih kemudian memakan sisa kue dengan lahap.

"Hei? Dasar wanita jalang, kenapa lama sekali? Apa kau tidak tau seberapa berharganya rasa sabarku menunggumu?" teriak Ben yang sudah menunggu sedari tadi.

Kiara menahan amarahnya dengan mengepal tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia masuk ke dalam mobil.

"Bagaimana keadaan keningmu sekarang?" tanya lelaki itu sambil sengaja menekan lukanya sehingga Kiara meringis kesakitan. "Jangan berlebihan! Diam atau aku akan membunuh ayahmu. Jangan pernah membuatku marah. Ingat itu!"

Plak! Tamparan keras itu benar-benar menyakitkan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status