Share

Melawan sang Nenek

Lutri tengah sibuk memperhatikan biodata para karyawan di kantornya. Ia terpaku cukup lama dengan biodata Kiara. Ia menatap layar laptopnya hingga terbenong dan dikejutkan oleh sang adik yang memang selalu usil.

"Aish! Kamu bener-bener ngangetin kakak, deh!" seru Lutri dengan sangat kencang sembari memukul punggung adiknya sehingga menimbulkan bunyi. Korbannya tentu saja meringis.

"Kakak apa-apaan juga, sih?! Sakit tau. Aw! Sssh!"

"Diam!" kesal Lutri segera menutup pekerjaannya.

"Kakak tau nggak sih kalau Pak Lehon ternyata tinggal di daerah sini. Rumahnya di mana, Kak?" Gadis centil penyuka budaya korea itu menggoyang-goyangkan paha kakaknya dan berharap akan mendapat informasi.

Lutri bangkit sembari menunjuk-nunjuk keningnya seolah sedang berpikir. Tunggu punya tunggu, ternyata gadis itu malah berlari untuk pergi dari sana. 

"Aku tau... aku beli ayam goreng aja, deh. Laper!" serunya begitu riang, membuat Nesya yang serius menunggu sejak tadi benar-benar kesal.

"Dasar kakak laknat. Nggak guna sebagai senior di kantor." Melipat kedua tangannya di dada sembari memikirkan sumber yang tepat untuk informasi yang sangat ingin ia ketahui.

***

Mery telah menanti di ruang utama ketika cucunya telah kembali. Ia tersenyum hangat menyambut lelaki.

"Nenek nungguin aku buat makan malam bersama?" tanya Lehon cukup senang.

"Gimana? Senang hari ini? Kamu benar-benar cucu yang baik, ya, selalu nurut sama nenek." Wanita itu bertepuk tangan beberapa kali.

Merasa curiga dan ada yang tidak beres. Ia segera duduk sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Ia terus menatap ke arah neneknya sembari memikirkan kesalahan yang telah ia perbuat. Namun, tetap saja ia tak berhasil.

"Ada apa, Nek?"

"Bagus, kamu ternyata sama sekali nggak sadar, ya. Hm..."

Semakin gelisah. "Ya sudah, kalau aku ada salah, tolong dimaafkan ya, Nek. Tolong jangan hukum aku, apalagi dengan benda itu." Menunjuk teplon yang ternyata telah diduduki wanita tua itu sebagai persiapan.

"Kamu membohongi nenek. Lain kali lakukan kencanmu dengan baik, temui dia dan ajak bicara selayaknya calon istri. Gadis-gadis yang nenek pilih dan carikan untukmu bukanlah klien. Jadi, sadari itu."

"Makanannya sudah siap, Nyonyta," ujar pembantu di rumah itu membuat Lehon segera bergerak menuju meja makan.

Bahkan setelah berada di meja makan, wanita itu masih membicarakan hal yang sama dan menyudutkan dirinya. Hal itu tentu saja membuat panas hati dan kepala.

"Nenek jangan salahkan aku terus, dong. Aku manusia bukan robot yang bisa Nenek kendalikan. Aku juga manusia yang punya hati dan perasaan, jangan memaksakan perasaan susaku. Ini hidupku bukan hidupmu!" Berucap dengan sangat jelas, pun sangar. Ia melangkah meninggalkan meja makan.

"Lehon, duduk! Makan dulu."

Pria itu berhenti sejenak. "Makan saja sendiri." Berucap dengan ketus kemudian keluar rumah tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.

"Astaga, anak itu. Aku belum pernah melihat dia semarah ini. Apa perusahaan sedang ada masalah?" gumamnya pelan. Ia bangkit, tak jadi makan. Sungguh lidahnya tak lagi ingin menikmati makanan yang telah dihidangkan.

***

Ben dan Kiara baru saja tiba di apartemen yang jaraknya tidak jauh dari kafe. Keduanya masuk ke dalam kamar masing-masing untuk membersihkan diri sembari menunggu pesanan makan malam mereka datang.

Kiara menatap dirinya di kaca. Ingin sekali rasanya ia membotak kepalanya agar tidak menjadi bahan pelampiasan Ben ketika marah. Dijambak itu cukup menyakitkan.

"Tapi, kalau aku botak. Dia bisa saja membenturkan kepalaku ke dinding. Dengan begitu, aku akan gila, atau amnesia, atau mati dan kemungkinan paling menyakitkan adalah tidak bisa bertemu ayahku lagi. Tidak, tidak, tidak. Itu tidak akan pernah terjadi." Menggeleng kencang sekali.

Tak jauh berbeda dengan Ben yang memutuskan untuk menjatuhkan diri di sofa. Ia menampar dirinya dengan makian. Sungguh, ia semakin merasa bersalah untuk setiap kekejaman dan tidak kekerasan yang ia lakukan pada gadis itu.

"Ada apa sebenarnya? Kenapa denganku?" Pertanyaan yang selalu muncul di benaknya dan masih belum bisa terpecahkan.

Ia meninju nakas yang ternyata mengenai sudut benda itu. Rasanya sangat menyakitkan, tapi ia seolah tidak waras lagi. Rasa sakit dan cairan kental berwarna merah itu ia bawa mandi.

Beberapa menit kemudian, keduanya keluar dari kamar masing-masing. Bertepatan dengan bel apartemem berbunyi. Si kurir pengantar pesanan makanan datang.

"Aku aja yang ambil, kau siapkan meja makan," perintah Ben seraya berjalan menuju pintu.

Gadis itu ternyata malah menyusul dengan mengikuti jejak cairan kental yang bertetesan di lantai.

"Kamu gila?!" teriak Ben, sangat kencang pada gadis itu.

"Kamu yang gila! Lihatlah lantai itu, bahkan pakaianmu pun merah-merah semua. Nih, tanganmu terluka!" Berlari mengambil kotak P3K.

"Tidak usah sok peduli, siapkan saja meja makan."

"Ck! Tidak ada niatan untuk peduli padamu. Aku hanya memikirkan lantai ini yang sudah sangat kotor dan ketika kamu melihat kotoran secuil pun, aku yang akan kau siksa."

Sadar jika itu adalah kesalahannya, Ben hanya terdiam. Ia membiarkan gadis itu untuk melakukan apapun pada tangannya.

***

Sementara di sana, di sebuah bar. Tampak jika Lehon baru saja tiba dan membalas seruan seseorang yang ternyata adalah tetangganya semasa kuliah di luar negeri dulu.

"Nggak nyangka bisa ketemu lagi kita, bahkan di tempat seperti ini. Haha... bisa dong lanjutin minum enak kita?" ujar Abi.

"Iya. Nggak nyangka. Kok kamu bisa mengenali aku dengan mudah?" balas Lehon mencoba berbasa-basi.

"Siapa sih yang tidak akan hapal dengan wajah tampanmu itu. Oh iya, kerja di mana sekarang? Kamu sukses tidak?" 

"Ya, beginilah, masih makan gaji bulanan." Tersenyum tipis seraya menuangkan minuman ke dalam gelasnya yang segera disahut oleh Abi dan teman-temannya yang lain. "Kamu yang sepertinya sangat sukses, ya. Pakaianmu saja bermerek."

"Haha... jangan terlalu fokus dengan merek, harganya masih standart." Abi sedikit menjauhkan dirinya dari Lehon, ia sepertinya risih ketika lelaki itu mendikte dirinya.

"Terus, kerja di mana, Bro?"

"Aku kerja di perusahaan yang masih sedang aku rintis. Nanti akan aku tunjukkan pada kalian. Bahkan, aku akan mengundang kalian untuk aku pekerjakan," balas Abi dengan tingkah yang sangat meyakinkan.

"Baiklah. Kamu memang akan selalu menjadi yang terbaik dan nomor satu, Abi. Kalau begitu, billnya kamu yang bayar?" tawar Lehon dalam keadaan yang sudah mulai oleng. Walau begitu, ia masih tetap menuangkan sisa minuman ke dalam gelasnya.

Riri datang lalu menarik kekasihnya, Abi. "Sayang, ini hari pertama kita bekerja di sini, jangan membuat kekacauan, deh. Terus, aku dengar, kamu yang akan bayar semua minuman itu? Itu ... sebanyak itu udah gaji kita sebulan, Sayang." Wanita itu mencoba meminta pengertian.

"Kamu bisa nggak sih, Ri. Untuk sekali aja kasih aku kebahagiaan tanpa itung-itungan?" Abi membalas dengan cuek dan bebal. Ia kemudian kembali ke mejanya.

Riri benar-benar kesal. Untuk sekarang, mau tidak mau dirinya harus melakukan penggelapan dana dan mutilasi data.

Sementara Lehon, ia berteriak meminta pulang dan tengah mengkhawatikan neneknya.

"Nenek, maafkan aku ... maafkan aku nenekku sayang. Nenek...."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status