"Nah. Riri, ini dia Kiara. Kiara, ini dia Riri. Kalian akan bertukar pekerjaan seperti yang aku katakan sebelumnya," terang Ben memberi kejelasan.
"Sebelumnya? Kamu kan-" Terhenyak. "Maksud saya, Pak Ben nggak ada bilang sebelumnya. Saya benar-benar nggak tau." Kiara benar-benar kebingungan sekarang ini. Terlebih lagi, tatapan semua orang begitu aneh padanya. Terkhusus Riri.
"Harusnya kamu senang dong, Nona Kiara." Riri sedikit menekankan kata-katanya. "Di sini, kamu akan mendapatkan pengalaman baru. Ayo, ikut saya."
Benar-benar canggung, suasananya begitu mencekam. Riri sepertinya tidak suka dengan Kiara, itu terlihat dengan sangat jelas. Walau begitu, ia tetap melangkah mengikuti wanita itu. Bagaimana pun, ia harus mengikuti skenario yang dimainkan oleh Ben.
"Kamu pakai pelet apa sama Pak Ben sampai tiba-tiba mindahin kamu ke sini yang kamu sendiri aja nggak tau? Nona Kiara, ingat ya, segala sesuatu yang didapatkan dengan mudah, akan terlepas juga dengan mudah!" Riri mendorong bahu Kiara dengan jari telunjuknya.
Terdiam.
"Kamu dengar saya nggak, sih? Sepertinya bibit pelakor juga sudah tertanam di tubuhmu. Dasar wanita penggoda!"
Argh! Hinaan baru apa lagi ini? Kiara benar-benar tak habis pikir. Ia ingin sekali melawan wanita ini, setidaknya dengan berteriak. Namun, semua itu hanyalah bayangan sekilas saja. Ia tidak akan pernah berani melakukannya.
"Lalu, apa yang akan saya lakukan wahai wanita yang bukan penggoda?" balas Kiara.
"Sssh!" Riri mengangkat tangannya. Sepertinya ia hendak bermain kasar. "Jaga mulutmu. Ah, beruntung sekali kamu bisa berada di posisiku. Harusnya kamu masih di bawahku, jadi aku bisa menamparmu sesuka hati."
"Oh. Jadi, Bu Riri yang bukan penggoda ini sering menyiksa? Baiklah, akan aku lanjutkan. Terima kasih." Kiara segera meraih kertas yang ada da di tangan Riri. Kemudian melangkah masuk ke dalam toilet.
Air matanya menetes, sungguh di setiap harinya selalu saja ada yang masuk ke dalam hatinya, begitu panas dan menyakitkan. Tapi tak apa, semua ini memang sudah menjadi takdirnya. Entahlah, pangeran mana yang akan membawanya pergi menuju kebahagiaan dan kebebasan, kelak.
***
Kini, Lehon tengah duduk di sebuah kafe yang ternyata adalah milik Ben.
"Nama kafenya, ageaH AraiK. Nama yang cukup unik," ucapnya sekilas kemudian menatap ke arah jam tangannya. "Sudah lima menit aku menunggu," ucapnya sedikit kesal kemudian memanggil pelayan untuk membuat pesanan.
Dari sampingnya, Kiara sedang berjalan melewati. Gadis itu hendak berbelanja kebutuhan sesuai isi tulisan Riri. Ia sama sekali tidak sadar akan kehadiran Lehon, begitu sebaliknya.
Gadis itu melangkah cepat hingga tak sengaja menabrak seorang wanita tua. "Aduh, aduh, maaf. Maaf, Bu, eh..."
Wanita itu segera membawa Kiara untuk bersembunyi dari tatapan Lehon yang merasa ada sedikit keributan. Keduanya berada di dalam mobil sekarang.
"A-ada apa? Kenapa kita sembunyi?"
"Hehehe. Tidak ada apa-apa, Nak. Sekarang keluarlah."
"Baiklah. Sekali lagi saya minta maaf ya, Bu. Saya benar-benar nggak sengaja tadi, abisnya sembunyi di situ sih, kan nggak keliatan." Menunjuk arah tembok dengan bibirnya yang dimonyongkan.
"Panggil nenek saja. Saya sudah tua. Omong-omong kamu kerja di sini, Nak?"
"Iya benar, Nek. Saya kerja di sini."
"Oh. Nama kamu?"
"Kiara."
"Kiara? Nama panjangnya?"
"Kiara Haega."
"Nama yang cukup bagus. Siapa yang kasih kamu na-"
"Makasih buat pujiannya, Nek. Lain kita lanjutkan, ya. Saya pergi dulu, ada urusan kerja soalnya." Kiara buru-buru pamit tanpa peduli dengan raut wajah sedih, juga kecewa di wajah wanita itu.
"Hm. Padahal, saya masih mau memuji kecantikan kamu, Nak." Ia bergumam pelan sebelum akhirnya keluar dari mobil untuk melanjutkan rencananya.
Terlihat jelas, jika seorang gadis pada akhirnya datang dan duduk bersama Lehon. Keduanya tampak berbincang, bersalaman sepertinya perkenalan diri, memesan minuman, dan lima menit kemudian keduanya bubar.
Namun, hanya gadis itu yang melangkah pergi dan pulang. Sementara Lehon masih tetap berada di tempatnya dengan senyum yang lebar. Ia merasa puas dan bangga setelah menyelesaikan pekerjaannya kali ini.
Ponsel Mery berdering, panggilan masuk dari cucunya. "Nenek, aku sudah bertemu dengannya. Dia cantik. Sama seperti yang nenek katakan. Kami sudah berbincang selama 30 menit dan memberi tahu satu sama lain, ketidaktertarikan kami."
Kemudian menutup sambungan telepon secara sepihak.
"Kurang ajar kamu, Lehon!" geram wanita yang sejak tadi mengintai. Ia kemudian masuk ke dalam mobil. Memerintah supirnya agar segera pergi dari sana dengan nada ketus.
***
Kiara membuat pesanan sesuai yang diperintahkan oleh Riri. Ia memilih bahan terbaik untuk menu baru mereka. Dan beberapa saat kemudian, ia pergi ke arah kasir untuk membayar tagihan.
"Dari kafe ageaH araiK?"
"Iya betul, Pak."
"Tumben sekali datang ke sini langsung, Nona."
"Saya diperintahkan untuk memilih bahan terbaik, Pak."
"Hm, begitu rupanya. Padahal selama ini kami selalu memberikan bahan terbaik sesuai pesanan kalian. Apa mengecewakan?"
"Tidak, Pak. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin berjalan-jalan ke sini. Memangnya Bapak tidak suka kalau pelanggannya datang berkunjung?" balas Kiara gelagapan dan sedikit mengernyit kebingungan. Dia baru menyadari jika dirinya telah dikerjai oleh wanita iblis bernama Riri itu.
Kini, ia telah sampai di kafe dan terdengarlah teriakan dari suara Ben yang memaki Kiara. Suara itu bahkan sampai ke telinga Lehon yang bahkan ingin memastikan.
"Apa ada masalah?" tanyanya.
Menyadari jika lokasinya tidak aman. Ben buru-buru membawa gadis itu ke lantai atas dan kedap suara. Ia menjambak rambut Kiara dan menamparnya.
"Kamu bodoh!" teriak pria itu.
Riri datang bertepatan dengan Ben yang segera melepaskan rambut gadis itu.
"Padahal saya sudah bilang, Pak. Supaya dia tidak usah pergi ke sana karena akan menghabiskan waktu. Selama ini juga saya tidak pernah melakukan hal itu.Ini kan sudah sore, mereka saja sudah mau tutup."
Kiara benar-benar muak dengan sikap ular Riri. Ia merapikan rambutnya lalu mendekat, berbaris rapi di sisi wanita itu.
"Oh. Jadi begitu? Untung saja saya yang pergi ke sana, jadi saya bisa tau kalau ada karyawan yang menghabiskan waktu sejam untuk pulang ke rumahnya ketika menjemput bahan dengan alasan mereka masih mengemas? Dan ya, memang mereka sudah hampir tutup. Tapi, setidaknya aku bisa memastikan jika memang pelayanan mereka sangat baik, karyawan kita yang buruk." Kiara memberi penjelasan yang membuat Ben sedikit penasaran.
"Apa maksudmu?"
"Selama ini Bu Riri tidak pernah meninjau langsung, kan? Untung saja saya sudah melakukannya hari ini dan akan saya lakukan setiap bulannya. Saya harap Pak Ben memberi izin sesuai dengan posisi yang diberikan. Saya juga berharap bisa menegas karyawan bernama Abi, pacar Bu Riri!"
Niat mengerjai dan cari muka itu seketika batal. Kini, malah Riri yang terkena masalah oleh maksud jahatnya sendiri. Permintaannya untuk membaw Abi bekerja dengannya di bar pun ditolak keras.
"Kalau masih mau kerja, bertanggungjawablah!" tegas Ben.
***
Lutri tengah sibuk memperhatikan biodata para karyawan di kantornya. Ia terpaku cukup lama dengan biodata Kiara. Ia menatap layar laptopnya hingga terbenong dan dikejutkan oleh sang adik yang memang selalu usil."Aish! Kamu bener-bener ngangetin kakak, deh!" seru Lutri dengan sangat kencang sembari memukul punggung adiknya sehingga menimbulkan bunyi. Korbannya tentu saja meringis."Kakak apa-apaan juga, sih?! Sakit tau. Aw! Sssh!""Diam!" kesal Lutri segera menutup pekerjaannya."Kakak tau nggak sih kalau Pak Lehon ternyata tinggal di daerah sini. Rumahnya di mana, Kak?" Gadis centil penyuka budaya korea itu menggoyang-goyangkan paha kakaknya dan berharap akan mendapat informasi.Lutri bangkit sembari menunjuk-nunjuk keningnya seolah sedang berpikir. Tunggu punya tunggu, ternyata gadis itu malah berlari untuk pergi dari sana."Aku tau... aku beli ayam g
Keesokan paginya, Lehon telah bangun dari tidurnya. Ia merasakan pening di kepalanya sebab kebanyakan minum. Tersentak kemudian sadar. 'Aku pikir tidur di rumah orang lain, ternyata di kamar sendiri,' batinnya merasa tenang dan damai. Perlahan, ia bangkit untuk membereskan kamar tidurnya kemudian berjalan menuju meja makan."Nenek, siapa yang anterin aku ke sini?"Mery yang sebenarnya masih merasa malas pada cucunya itu pun tak sanggup untuk mengabaikan setelah melihat Lehon yang sedang memijit keningnya sendiri."Nenek nggak kenal sama dia, katanya sih teman kamu. Sini..." Membantu Lehon menghilangkan rasa penat di kepalanya."Sepertinya dia Abi. Dia sangat keren, Nenek. Sebentar lagi dia pasti akan memberiku undangan untuk peresmian perusahaannya. Tidak seperti aku yang masih tak berkembang dan masih harus makan gaji setiap bulannya." Menghela napas panjang.Mendorong kepala cucunya sebab merasakan kekesalan yang teramat pada lelaki itu. "Apa-apaan? Dia saja memakai pakaian pelayan
Kiara benar-benar histeris dengan kegiatan Ben yang tengah menyakiti dirinya sendiri. Lelaki itu malah menampar dirinya sendiri untuk memuaskan rasa kesalnya, juga menendang apapun yang ada di hadapannya.Gadis itu mencoba menahan lelaki itu dengan penuh kekuatan hingga tak sengaja memeluknya. Entah dari mana asalnya ketenangan itu, tapi Ben seketika tenang kemudian membalas pelukan Kiara."Apa kamu baik-baik saja sekarang?" tanya Kiara ketika dirinay dituntun untuk masuk lebih dalam ke kamar Ben.Lelaki itu hanya mengangguk kemudian menempelkan kepalanya di dada gadis itu ketika keduanya duduk di atas kasur. "Aku ingin tetap seperti ini, tolong. Aku capek, kepalaku rasanya mau pecah. Maafkan aku, Kiara."Tampaknya lelaki itu telah ketiduran sekarang. Ben benar-benar terlelap dalam dekapan gadis yang masih berusia belasan tahun itu.Kiara masih sangat bingung dengan suasana ini. Entahlah ia harus berbuat apa. Tatkala dirinya hendak bergerak keluar dari sana, ia malah semakin didekap d
Lehon merasa senang sebab neneknya telah pulang. Kini, ia bisa bernapas dengan lega setelah mengunjungi ruangan demi ruangan yang terdiri dari 10 lantai.Sejenak ia terdiam, mencoba memikirkan permintaan dan tuntutan neneknya selama ini. Benar adanya memang. Namun, yang namanya jodoh akan datang jika sudah waktunya. Sekuat apapun kita mengejar, jika memang bukan jodoh maka tetap saja tidak akan bisa dipaksakan.Beberapa menit ia terpaku sebelum akhirnya sadar dengan kegiatan Kiara yang lebih santai dari biasanya. Kini, ia sudah lebih tenang ketika menjawab telepon sambil merapikan meja kerjanya sebelum ia tinggal pulang."Apakah memperhatikan karyawan seperti ini ada manfaatnya?" tanyanya pada diri sendiri yang tentu saja tidak ada jawaban.Beberapa saat setelahnya, ia sadar jika memang sudah waktunya pulang. Ah, ia sampai lupa jika neneknya bahkan harus makan di kantor karena penasaran akan kondisi karyawan dan kinerjanya."Baru aja beberapa saat berpisah dari nenek, sekarang sudah h
Abi tengah duduk bersantai dengan Riri. Keduanya merasa senang sebab telah mendapat kepercayaan dari Ben.Keduanya sangat yakin jika Kiara akan mendapat siksaan lebih lagi dari pria itu jika laporan mereka berhubungan dengan dekatnya gadis itu pada orang lain."Aku sudah bilang berkali-kali, Riri. Pak Ben memang ada perasaan sama Kiara."Riri mengangguk setuju. "Iya. Aku percaya dan setuju dengan ucapanmu, tapi kasihan juga gadis itu. Dia masih sangat muda, harus mendapat siksaan dari Pak Ben yang padahal nggak pernah jujur akan perasaaanya.""Ngapain kamu peduliin kehidupan mereka? Mau nyusul? Atau jangan-jangan kamu merasa cemburu lagi sama Kiara dan berharap kamulah yang ada di sisi Pak Ben?""Astaga." Riri kaget mendengar perkataan pacarnya itu. "Kita sudah dewasa, Sayang. Ngapain sih masih ada pemikiran kayak gitu. Mending kita fokus sama karir kita sekarang. Bagaimana pun, usia kita sudah usia yang harus menikah dan aku menginginkan itu."Abi tidak menanggapi perkataan Riri sete
Seperti yang sudah dijanjikan oleh Lehon kemarin, hari ini ia akan menghabiskan waktu bersama neneknya, Mery. Wanita itu telah berdiri di depan kamar cucunya, memanggil-manggil nama Lehon dengan maksud pria itu segera bangun dan mereka bisa pergi segera."Astaga, berisik sekali orang tua itu," geram Lehon yang merasa terganggu sebab masih mengantuk. Ia pulang subuh memang."Lehon, kamu mau ingkar janji sama nenek?!" Mery terus memanggil dan kali ini dibarengi dengan pukulan-pukulan di pintu."Astaga, Nenek ... dua menit lagi aja. Tolong diamlah," mohonnya walau dengan suara yang sangat pelan. Sepertinya, kantuk yang ia rasakan memang sangat berat."Woi, bangun! Nenek tau kamu pasti udah bangun. Jangan sampai pintunya nenek dobrak sekarang juga!" ancam Mery yang sudah kehabisan cara agar cucunya itu segera bangun."Iya! Aku udah bangun!" teriak Lehon pada akhirnya yang merasa tidak lagi bisa melanjutkan tidurnya. "Nenek turunlah dan berdandan, aku akan keluar sebentar lagi dan kita aka
Mery dan cucunya, Lehon telah tiba di kafe pagi itu. Padahal mereka buka di jam 10. "Astaga, Nenek. Kita terlalu cepat. Masih kurang sepuluh menit, lihatlah stikernya masih belum dibalik," protes Lehon yang merasa kesal, juga akan malu apabila ada orang yang melihat mereka berdiri lama di sana."Astaga, Lehon. Itu aja dibebanin, tinggal dibalik gini doang!" Mery dengan segala keberaniannya membalik stiker close menjadi open dan masuk. Walau jauh di lubuk hatinya, ia akan tetap mengandalkan lelaki itu dalam segala hal.Lehon tak lagi bisa berkata-kata. Ia masuk lalu duduk di sisi neneknya dengan perasaan yang tidak terlalu tenang."Pelayan!" panggil Mery. Merasa tidak mendapat pelayanan baik karena yang diharapkannya adalah Kiara segera masuk lebih dalam dan memastikan sendiri."Nenek!" seru Lehon merasa kesal. Sungguh kali ini ia tak dapat menyembunyikan rasa kesal itu. "Maaf kalau nenek saya keterlaluan dan lancang." Meminta maaf pada semua orang dapur dan pelayannya."Tidak apa-apa
Mery benar-benar tidak menikmati harinya, apalagi ketika ia harus ditinggal sendiri oleh cucunya demi kesenangan semata. Ia bahkan tidak keluar kamar seharian membuat semua orang terheran-heran, juga sedikit cemas akan keadaannya.Beberapa saat kemudian, ia mengajak semua orang yang ada di rumahnya untuk membuat hiasan dinding. Ia meminta supir pribadinya, Pak Jodi untuk mencetak namanya dengan Kiara untuk hiasan dinding nantinya.Sungguh rumah itu benar-benar ramai dengan kertas hias juga orang-orang yang tadinya hanya sibuk di kebun."Tapi setelah ini makan ya, Bu? Kami takutnya nanti Pak Lehon datang, Bu Mery malah belum makan, kami juga yang kena," keluh Pak Jodi dengan maksud mendapat pengertian dari majikannya ini."Makanya jangan dikasih tau, dong! Ini rahasia besar kita bersama." Mery malah memberikan ajaran sesat pada mereka yang membuat kepala mereka serentak menggeleng tidak percaya."Lalu ini untuk apa, Bu? Maksud saya, apa ada acara?" tanya Susi, pembantu di rumah itu."K