“Kembaliannya, Nona Alighieri.”
“Terima kasih, Nyonya Moretti.”Rosetta menyunggingkan senyumnya sesaat sebelum menerima beberapa lembar pecahan euro dari si kasir dan memasukkannya ke dalam dompet. Dia beranjak ke samping—membiarkan pengunjung selanjutnya maju, lantas bergegas melangkah keluar. Wanita itu menenteng tiga kantong belanjaan yang berisi stok bahan makanan untuk dua minggu berikutnya. Senandung lagu lawas pun mengalun dari mulut Rosetta di perjalanan pulang. Dia mendendangkan nyanyian salah satu grup musik favoritnya dan mengambil rute melalui jalan pintas. Sesuatu yang biasa wanita itu lakukan untuk membunuh rasa takut di antara minimnya pencahayaan pada gang sempit yang akan dia lalui.Rosetta melenggang tanpa memedulikan suasana yang kian lama kian redup di sekitarnya. Situasi temaram itu menyambutnya di tengah-tengah lorong dan membuat Rosetta berhenti sejenak untuk mendongakkan kepala—menatap langit, kemudian menyadari sore sudah hadir. Sapuan warna oranye lembut yang mencair di ujung horizon seketika turun menggerus hatinya. “Mengapa waktu cepat sekali berlalu?” bisik Rosetta sambil menyoroti gradasi yang familier di atas sana.Sebelum Rosetta mampu meneruskan perjalanan lagi, sesuatu dari arah berlawanan datang mengepungnya. Gerombolan para pria dengan model pakaian yang sama—jas serba hitam dan topi fedora, lengkap bersama cerutu yang menyala pada dua dari lima sosok. Mereka berdiri rapat menghalangi akses untuk lewat.“Si-siapa kalian?” desis Rosetta yang tanpa sengaja menjatuhkan benda yang sedang dijinjingnya.Semua barang itu sontak terhambur keluar—tercecer di antara tanah lembap sisa hujan tadi malam, sebagiannya bahkan ikut terinjak oleh Rosetta yang bermaksud mundur memperlebar jarak. Kedua lututnya mendadak gemetar, sementara degup jantung wanita itu memburu. Dia berbalik—berniat untuk lari, tetapi terlambat. Dua orang lainnya sudah muncul di belakang Rosetta. Mereka menutup seluruh celah agar dia terkurung tanpa kesempatan sedikit pun untuk lolos dari perangkap. Sukses membawa ‘buruan’ itu ke hadapan Marco atau kehilangan satu-dua jari sebab gagal menyelesaikan misi menjadi konsekuensi yang mustahil boleh ditawar. “Ringkus dia!” seru salah satu dari mereka.Sejumlah pria asing itu langsung merangsek maju—menangkap Rosetta yang meronta-ronta dengan kuat, demi kebebasan. Perlawanannya terhenti dua menit kemudian sesaat setelah seseorang memukul tengkuknya dan membuat Rosetta jatuh pingsan. Dia diboyong ke suatu tempat yang jauh dari kawasan pusat kota.Rosetta mulai sadar selepas hari berganti menjadi larut dan bulan tergelincir penuh di balik bukit yang menjorok ke selatan. Sekujur tubuhnya terasa kaku. Sepasang pergelangan tangannya dikekang oleh seutas tali yang otomatis membatasi ruang gerak wanita itu untuk bangkit.Pandangan Rosetta pun ditutup dengan sehelai kain yang terpasang di matanya. Dia menoleh ke samping—mencoba menajamkan indra pendengaran, beradaptasi pada kebutaan sementaranya. Terpenjara dalam ketidakberdayaan yang membelenggu cukup lama hingga bunyi decit itu muncul melalui sisi kiri.Nada yang hanya dapat dihasilkan dari gesekan antara lantai dan tumit sepatu. Derap langkah tersebut mendekat pada Rosetta yang menjengit—bertanya-tanya dalam ketidakpastian, siapa orang yang tega menculik dan menyekapnya? Pikiran buruk menghantui wanita itu dengan segera.‘Apa aku akan dibunuh?’ batin Rosetta. Habislah, sesalnya. Dia akan kehilangan kesempatan untuk bernapas dan berakhir tragis di tangan orang asing—mengutuki nasib pun tiada gunanya lagi, kecuali pada takdir yang memang selalu ingin melihat dirinya celaka.“Si-siapa itu? Siapa kau?”Gerakan kaki yang semula mengentak kaku itu serta-merta terhenti dan menciptakan kesunyian panjang yang mengerikan. Rosetta membeku di posisinya—gagal menelan habis segenap kecemasan yang menggantungi punggungnya, dia lagi-lagi menggigil. Tremor itu berpindah ke sekujur tubuhnya yang mengejang oleh rasa gugup.“Mengapa kau menangkapku? Apa salahku?”Tawa hambar itu spontan berderai di udara. Suara maskulin. Berat dan dalam—lambang dari mimpi buruk, fenomena yang selalu Rosetta alami dalam tidurnya. Apa sesuatu itu mampu menjelma sebagai sosok yang nyata di depannya sekarang?“Me-mengapa kau justru menertawakanku?”Keheningan kembali membentang di antara mereka. Rosetta menjilat bibir—berjuang untuk menghalau seribu kegelisahan yang terbit memeluknya, diam-diam menyimpan harap agar dapat melarikan diri. Dia harus tetap tenang, bukan?“Apa itu lelucon, Leah?”“Leah?” ulang Rosetta yang keningnya seketika mengernyit bingung.“Berhentilah berlagak bodoh dan kembalikan benda yang sudah kau curi!” bentak Marco yang kelewat jengkel pada sikap sok polos wanita itu.“Mengapa kau menuduh—”“Kubilang, berhentilah berpura-pura dan katakan di mana kau menyimpannya.”“Teta—”“Jika kau masih sayang dengan nyawamu, maka akan lebih bijak untuk mengembalikannya padaku sekarang.”“Tung-tunggu, aku tidak pernah mengambil barang milik orang lain.”“Benarkah? Jadi, kau lebih suka mengakuinya dengan caraku?”Kepala Rosetta lagi-lagi terteleng ke samping. Dia berusaha untuk duduk dengan nyaman. Namun, kondisi itu membuatnya sulit bergerak dan hanya sanggup berbaring miring di sana. Menunggu Marco mendampratnya lagi.“A-aku tidak mengerti maksudmu.”“Cukup main-mainnya, Leah. Aku memberimu satu kesempatan terakhir. Kembalikan kalungku atau akan kubuat kau menyesal karena pernah berurusan dengan Marco Botticelli.”“Mar-Marco Botticelli?” eja Rosetta yang masih terbata-bata.Keluarga Botticelli.Sang mafia.Berdarah dingin.Kejam.Tanpa belas kasih.Terkenal di seantero Puglia oleh reputasi kotornya. Spesialis kriminal dengan sindikat kejahatan terorganisasi dalam bisnis narkotika, penyeludupan senjata, penyuapan para politisi sampai perdagangan manusia ke negara-negara Timur Tengah. Tiada satu pun orang waras yang sudi mengenal pria seperti Marco.Namun, di sana lah Rosetta berada sekarang. Terjebak dalam kesalahpahaman yang membuatnya terancam untuk dilenyapkan tanpa mampu melakukan pembelaan bagi dirinya. Apa dia juga harus menghitung sisa usianya sendiri atas keputusasaan yang menderanya?“Demi Tuhan, aku tidak pernah mencuri—”“Nyalimu cukup besar, eh? Kau berani menyangkalku.”Tremor di punggung Rosetta sontak kembali—jauh lebih hebat dari sebelumnya, tanpa sanggup dikendalikan lagi. Dia mendadak kehilangan kontrol atas tubuhnya. Isak tangis wanita itu pun pecah dan membasahi kain yang membungkus alat penglihatannya.“Aku bukan Leah. Aku juga bukan pencuri,” gumam Rosetta dengan artikulasi yang kurang tepat karena guncangan syok di dadanya.“Aku benci penipu licik sepertimu!” hardik Marco yang kemudian menarik leher Rosetta ke atas agar mendongak selaras ke wajahnya.Teriakan Rosetta refleks menggema dan membangkitkan emosi lain pada Marco yang masih mengunci tatapan dengan sorot mata kejinya. Dia menggertakkan gigi, lantas mengumpat dalam rasio desibel yang lebih tinggi. Berhasil menciptakan kekacauan lain di sepasang kaki jenjang wanita itu.Rok pias milik Rosetta mendadak tersingkap naik seiring dengan gerakan acak yang dia buat untuk melepaskan diri dari cengkeraman Marco. Tanpa sadar mengundang hasrat liar sekaligus sumber bencana baru bagi dirinya sendiri. Sesuatu yang membuat Rosetta ingin menyumpahi pria laknat di hadapannya.“Aku akan melelangmu ke Syria lusa, tetapi sebelum itu terwujud kau harus menjadi pelacurku sekali lagi.”***Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”“A-apa?”Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir
“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut
“Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men
“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu. “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang
“Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.
“Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi
“Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”
“Bukankah aku baru saja mengatakannya padamu? Dia milikku. Aku tidak terbiasa untuk membagi sesuatu yang kupunya dengan orang lain,” desis Marco yang kemudian menggertakkan giginya.Seringai yang sarat akan ejekan itu seketika muncul di sudut bibir Ludovic. Dia menelengkan kepalanya sedikit, lantas menyipitkan mata. Pandangan pria tersebut terkunci hanya pada Marco yang sedang menyembunyikan sepasang kepalan tangannya di dalam saku mantel kardigan polosnya.“Tidak ada yang terjadi. Kami hanya mengobrol. Kau boleh membawa Rosetta pergi,” balas Ludovic yang justru memilih untuk mengalah.“Aku tidak ingin ikut dengannya,” tolak Rosetta yang serta-merta membangkitkan emosi Marco.“Kau harus kembali ke dalam kamarmu sekarang,” perintah Marco yang membuat nada penekanan di bagian akhir kalimat.“Aku belum menghabiskan minumanku,” kilah Rosetta yang mencari alasan agar tetap tinggal.“Don’t cross my line or