Kalimat terakhir spontan membuat tenggorokan Rosetta tercekat. Menjadi pelacurnya sekali lagi katanya? Dia sama sekali bukan jalang yang suka menjajakan diri di luar sana—menawarkan tarif fantastis untuk kencan satu malam, lantas menikmati gelimang dosa sekaligus nikmat pada waktu yang sama.
“Aku bukan pelacur!” tampik Rosetta yang kemudian tersedak oleh isak tangisnya sendiri.“Sampai kapan kau ingin memainkan peran sok sucimu di hadapanku?”“Percayalah padaku, kumohon. Aku hanya seorang pengasuh. Aku tidak pernah menjual diri pada siapa pun,” sanggahnya lagi.“Apa yang kau maksud ‘pengasuh di atas ranjang’?”“A-apa?”Kekehan pendek Marco kembali terdengar menyelingi air mata yang turun di kedua pipi Rosetta. Pria itu merengkuh rahang Rosetta yang bersimpuh dalam ketidakberdayaannya, lantas memindai garis wajah cantik tersebut dengan tatapan penuh emosi. Sorot mata dendam—perasaan yang kini mengalir deras di balik dadanya—sesak oleh kebencian.“Aku akan membuatmu menderita, Leah. Kau harus membayar untuk perbuatan lancangmu.”“Percayalah, Tuan Botticelli. Aku tidak pernah mencuri. Aku tidak pernah mengambil barang milikmu.”“Katakan itu padaku setelah kita membuktikannya lewat permainan yang akan kau nikmati persis seperti tadi malam,” bisik Marco dengan nada parau.Detik berikutnya, tubuh Rosetta langsung terangkat dari simpuhnya dan dibopong pada pundak kiri Marco yang mengangkut wanita itu keluar. Dia mencoba meloloskan diri, tetapi tetap gagal seperti yang sudah-sudah. Teriakan paniknya seketika menggaung menulikan indra pendengaran Marco.“Diamlah atau akan kulempar kau ke dalam kandang singa sekarang juga!” ancam pria itu tanpa ragu.“Turunkan aku! Aku bukan wanita bayaran—”“Kubilang, diam!” hardik Marco yang kelewat jengkel dengan sikap Rosetta.“Aku tidak akan diam! Aku hanya ingin kau membebaskanku! Turunkan! Turunkan aku!”“Turunkan? Baiklah. Aku akan menurunkanmu di depan sana.”Langkah Marco terayun dengan cepat. Mengentak dan mengantar mereka ke suatu tempat yang ditutup oleh sistem pengamanan berlapis—sebuah pintu dengan susunan jeruji yang dibangun kokoh, lengkap bersama induk kunci berukuran besar. Area khusus untuk menyimpan separuh dari sejumlah koleksi hewan buas yang eksotis miliknya.Bunyi sayup-sayup auman sontak mengudara dari balik kaca. Suara yang serta-merta membuat jantung Rosetta mencelus ke rongga perutnya. Segenap keberanian yang semula berkobar lantang dalam dirinya pun mendadak lenyap tanpa bekas.“Apa itu? Apa kau akan membunuhku?” pekik Rosetta yang sudah berhenti melawan dan memasrahkan tubuhnya ada dalam cengkeraman Marco.“Itu tergantung.”“Ter-tergantung?”“Tergantung dari seberapa baik perilakumu padaku.”“Apa maksudmu aku harus menerima tuduhan itu? Bagaimana caranya untuk membuatmu percaya? Namaku bukan Leah. Aku juga bukan—”Sebelum Rosetta berhasil menyelesaikan semua kalimatnya, dia diturunkan dengan kasar dan membuat sebagian tubuhnya membentur terali. Aum penuh semangat itu pun kembali terdengar dari arah belakang. Sukses menciptakan jerit baru yang meluncur melalui bibir Rosetta.Derap langkah lagi-lagi muncul melalui sisi lain. Rosetta yang masih terperangkap dalam kebutaan sementaranya berjuang untuk menjauhi sesuatu yang sedang mengintainya. Dia mencoba merangkak sambil berteriak memanggil Marco agar diampuni.Sesuatu yang keras kemudian menghantam dari samping—mengenai kaca dengan intensitas pukulan yang luar biasa—meninggalkan jejak tapak dua kaki depannya di sana. Seekor singa putih jantan dewasa tersebut kembali melompat dengan tujuan untuk menerkam. Disusul oleh raung panjang yang refleks melonjakkan tubuh Rosetta.“Tu-Tuan Botticelli, kumohon. Maafkan aku. Maafkan aku, tolong. Aku tidak ingin dimakan makhluk apa pun itu yang tengah menerjang dinding pelindungnya,” rengek Rosetta sambil memantapkan posisinya di bawah kaki Marco.Siulan singkat menyela dan membuat serangan dari binatang karnivora itu otomatis terjeda. Marco mengumbar tawanya, lantas berujar, “Dia hewan yang cerdas. Dia juga akan mengikuti setiap perintahku.”“Ba-baiklah. Aku bersumpah akan menutup mulutku.”“Itu pilihan yang bijak,” komentar Marco yang kemudian membungkuk dan memandangi wajah Rosetta yang basah sekali lagi.Tangan kanan Marco spontan terulur—jemarinya menyentuh pangkal hidung Rosetta—mengaitkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke sehelai kain yang menghalang di sana. Benda tersebut pun terlepas dalam sekejap. Sepasang mata indah milik wanita itu seketika terbebas untuk kembali melihat dengan leluasa.Kepala Rosetta tertunduk menghindari cahaya yang menyilaukan di sekitar. Iris cokelat itu mengerjap-ngerjap selepas sinar terang dari lampu pijar di sekeliling membuatnya harus beradaptasi pada lingkungan baru. Dia mendongak dengan rasa gugup yang hebat, lantas menemukan sosok asing tersebut sedang menatapnya.Figur Marco yang menawan itu mendadak menyita seluruh perhatian Rosetta untuk berpusat penuh hanya pada dirinya. Dia tampan—terlalu rupawan malah, pesonanya sukses menghapus segenap fantasi liar yang semula tertuang dalam kanvas imajiner di benak Rosetta. Paruh baya, berkumis tebal ala imperialis atau justru punya masalah dalam mengendalikan berat badannya.Bayangan itu langsung terpatahkan oleh Marco. Dia punya sepasang iris memukau yang selaras dengan warna samudra—biru gelap yang pekat, seolah-olah sanggup menyeret siapa saja yang balas memandang ke dalam sana. Rahang tegas yang menjadi simbol unggul dari sifat maskulinnya hingga kumpulan rajah tato yang membungkus kulit cokelat menakjubkannya. Putra sulung keluarga Botticelli memang merupakan lawan jenis yang mengagumkan. Rambut pirang panjangnya yang setengah ikal dibiarkan tergerai menyentuh kedua pundak. Masih tergolong muda dengan rentang usia dua puluh tujuh tahun.Rosetta kembali mengerjap-ngerjap—menjernihkan pandangan—berusaha menepis aura aneh yang muncul dari balik sorot mata Marco. Sesuatu yang mampu memberi kuasa untuk melepaskan serbuan hormon adrenalin itu melesat di setiap lapisan aortanya. Bukankah dia kelewat sempurna untuk ukuran seorang kriminal?“Kau hanya punya dua pilihan, Leah. Kembalikan kalung warisan itu atau kau akan menjadi santapan makan malam mereka.”“I-izinkan aku menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita, Tuan Botticelli. Pertama, aku bukan Leah. Namaku Rosetta. Rosetta Alighieri. Kedua, aku juga tidak mencuri barang milikmu. Ketiga, aku sama sekali tidak mengenalmu.” Marco menggertakkan gigi—kesal pada Rosetta yang dia anggap terlampau piawai untuk berkelit, kemudian mendesis, “Aku hanya ingin kau mengembalikan sesuatu yang bukan milikmu.”“Kau boleh mengeceknya sendiri. Bongkar dan geledah saja flatku, kau akan tahu bahwa aku tidak pernah menyimpan kalung yang kau maksud.”Seringai Marco pun terbit dan berhasil membuat sekujur tubuh Rosetta membeku tanpa sanggup mengalihkan tatapan dari sorot mata tajam pria di hadapannya. Pandangan mereka saling mengunci satu sama lain. Sarat dengan gentar yang menjejali setiap celah dalam dadanya.“Akan kulakukan segera, tetapi sebelum itu terjadi kau harus melayaniku dahulu.”“Apa maksudmu?”“Bukankah itu cukup jelas?”“Berhentilah untuk bertindak sesuka hatimu dan melecehkan harga diri seseorang!” bentak Rosetta yang merasa muak pada perilaku Marco.“How dare you yell at me? I will definitely make you regret this day.”***“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.“Apa dia orang yang berbeda?”Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut
“Apa maksudmu?”“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”“Tentu saja, Rosetta.”Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”Marco menyipitkan mata—men
“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.“Nyonya Carfagna?”“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu. “Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.“Aku membawa berita yang
“Terima kasih,” ucap Rosetta pada seorang pelayan yang baru saja mengantarkan senampan penuh sajian khas kawasan utara tersebut untuknya.Remaja tanggung itu langsung meletakkan semuanya di atas meja yang ada di samping ranjang. Dia bekerja dengan cekatan, tetapi hati-hati. Rambut pendeknya disisir rapi—memakai bando warna abu-abu yang selaras dengan corak pada seragam ala maid yang sedang dia kenakan—dalam potongan sebahu.Kepala pelayan muda itu hanya mengangguk pada Rosetta tanpa menyahut atau terlihat ingin mengucapkan basa-basi pagi pada majikan barunya. Dia mundur beberapa langkah sebelum Rosetta sempat mengintip menu yang tersedia di sana. Senyumnya yang samar terbit dan lagi-lagi mengangguk dengan sopan.“Tung-tunggu, Nona—um, Nona Sanzio?” tahan Rosetta sambil membaca tanda pengenal yang tersemat di dada sebelah kiri si pelayan. “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”“Tinggallah sebentar,” pintanya lagi.
“Masuklah. Tuan Pacciardi sedang menunggu Anda,” sapa seorang penjaga yang baru saja mempersilakan Caritta masuk ke dalam kawasan megah hunian milik keluarga politisi itu.“Terima kasih,” sahut Caritta sambil menganggukkan kepala, lantas melenggang dengan rasa gugup hebat yang memadati dadanya.Area itu sangat luas dan dilengkapi dengan material elite yang fantastis di setiap sudutnya. Sesuatu yang akan membuat siapa saja berdecak kagum pada pencapaian luar biasa yang sang senator hasilkan hanya dalam kurun waktu yang singkat. Sesuatu yang juga mampu membuat Caritta terperangah takjub dengan keadaan di sekelilingnya.“Apa Anda yang bernama Leah?” tegur seseorang yang lain. “Eh? Aku—um, ya, aku Leah.”Pelayan wanita yang berkucir kuda itu melemparkan senyum sesaat sebelum melanjutkan, “Mari, saya antarkan ke sana.”Caritta lagi-lagi mengangguk tanpa mengedipkan mata—memandang lekat-lekat pada penampi
“Maaf tentang tadi. Aku memang suka bercanda.”Pria misterius itu kemudian menyunggingkan senyumnya yang menawan dan menuangkan teh bunga krisan lewat teko jenis kaca tersebut ke dalam cawan milik Rosetta. Aroma khusus seketika menguar mengundang rasa ingin tahunya terbit untuk mencicipi minuman. Dia pun mengintip di antara kepulan asap yang meliuk tanpa henti.“Apa kau pernah mencoba teh khas Cina sebelumnya?” sambungnya lagi.“Belum,” gumam Rosetta yang balas memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot mata kagum.“Cobalah sekarang. Kau akan terkejut dengan cita rasanya yang sangat lain.”Rosetta menurut—mengangkat wadah yang terbuat dari bahan keramik tersebut ke mulutnya, lantas menyesap dengan hati-hati. Sensasi baru itu serta-merta melapisi seluruh indra pengecapnya dan membuat dia takjub pada sensasi yang ditawarkan. Ringan, tetapi manis.“Bagaimana menurutmu?”“Enak.”
“Bukankah aku baru saja mengatakannya padamu? Dia milikku. Aku tidak terbiasa untuk membagi sesuatu yang kupunya dengan orang lain,” desis Marco yang kemudian menggertakkan giginya.Seringai yang sarat akan ejekan itu seketika muncul di sudut bibir Ludovic. Dia menelengkan kepalanya sedikit, lantas menyipitkan mata. Pandangan pria tersebut terkunci hanya pada Marco yang sedang menyembunyikan sepasang kepalan tangannya di dalam saku mantel kardigan polosnya.“Tidak ada yang terjadi. Kami hanya mengobrol. Kau boleh membawa Rosetta pergi,” balas Ludovic yang justru memilih untuk mengalah.“Aku tidak ingin ikut dengannya,” tolak Rosetta yang serta-merta membangkitkan emosi Marco.“Kau harus kembali ke dalam kamarmu sekarang,” perintah Marco yang membuat nada penekanan di bagian akhir kalimat.“Aku belum menghabiskan minumanku,” kilah Rosetta yang mencari alasan agar tetap tinggal.“Don’t cross my line or
“Bagaimana kabar wanita kurang ajar itu? Di mana dia sekarang?”Giuseppe pun menoleh pada rekannya sesaat sebelum menjawab sang pemimpin. Dia menelan air ludahnya dengan susah payah, lantas menyahut, “Er—kami kehilangan jejaknya, Tuan Botticelli.”“Kehilangan jejak?” desis Marco yang siap untuk meluapkan emosinya di hadapan mereka.“Kami hanya mampu melacaknya hingga ke daerah timur. Dia terlihat sedang memasuki Hotel Firenze lusa kemarin, tetapi kami tidak menemukan keberadaannya lagi sejak sore.”“Sial!” maki Marco yang kemudian menendang salah satu kaki meja dan membuat benda itu terbalik dengan keadaan patah.“Apa kalian tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar? Apa kalian tidak malu menyebut diri kalian mafia?” jeritnya lagi sambil menudingkan jari telunjuknya pada wajah mereka.“Maafkan kami, Tuan Botticelli. Kami mengaku salah,” balas sepuluh orang itu dengan serentak. “Maaf?