Share

6. Budak Seksual

“Apa maksudmu?”

“Maksudku adalah aku menginginkanmu.”

Rosetta mendadak membeku di bawah tatapan Marco yang memindai wajahnya dengan kerlingan penuh hasrat. Aksi yang sukses membuat punggungnya kembali gemetar tanpa sanggup dia kendalikan lagi. ‘Apa-apaan itu? Menginginkanku?’ batinnya.

“Apa kau sadar dengan ucapanmu?”

“Tentu saja, Rosetta.”

Rosetta. Ada sesuatu yang membuat Marco mendadak menyukai cara lidahnya menggeliat mengeja nama itu di langit-langit mulutnya. Sesuatu yang membuat degup jantung pria itu bekerja lebih cepat. Sesuatu yang menciptakan sensasi asing lain di dadanya.

“Menginginkanku sebagai budak seksualmu? Kau orang yang sangat menjijikkan!”

“Budak seksual? Aku hanya ingin menyanderamu sampai wanita kurang ajar itu muncul di depanku.”

“Apa hubunganku dengan pencuri itu? Mengapa aku harus menjadi tawanan karenanya?”

Marco menyipitkan mata—menyoroti wajah Rosetta, lantas menyahut, “Karena dia saudari kembarmu. Apa aku benar?”

Rosetta membeku sekali lagi. Dia langsung teringat pada Caritta Alighieri—kakak kembarnya. Mereka memang terlahir sebagai bayi kembar identik dua puluh tahun lalu di Magnolia Springs—salah satu kota kecil yang indah di negara bagian Alabama, Amerika Serikat. 

Tragedi kemudian terjadi pada usia mereka yang masih remaja. Orang tua kandung mereka tewas seketika dalam insiden kebakaran di pabrik roti milik keluarganya. Sejak itu, hubungan Caritta-Rosetta menjadi renggang hingga akhirnya setelah mereka lulus SMU pun pergi dari sana untuk menempuh jalan masing-masing. 

Rosetta pindah ke Puglia—melanjutkan hidup—mengharapkan nasib yang dia pikir akan berubah menjadi lebih baik. Namun, dia justru terseret dalam kasus yang dibuat oleh Caritta hanya gara-gara kemiripan wajah di antara mereka. Berapa banyak lagi mimpi buruk yang tersisa untuk dia jalani?

“A-apa kau bertemu dengan Caritta? Apa dia ada di Puglia?”

“Caritta? Itukah nama aslinya?”

“Aku memang punya saudari kembar, tetapi sudah lama sekali aku tidak pernah tahu mengenai kabarnya. Apa dia baik-baik saja?”

Marco menelengkan kepalanya ke arah Rosetta yang sedang memandangi dirinya dengan sorot mata ingin tahu. Dia mendengus sesaat sebelum membalas, “Ha. Itu pertanyaan yang konyol. Jika dia baik-baik saja, maka dia tidak akan mengambil kalungku kemarin malam.”

“Mengapa dia mencuri?” gumam Rosetta yang merasa cemas dengan keadaan Caritta.

“Orang-orang menjadi serakah pada harta yang tergeletak tepat di hadapan mereka. Itu merupakan sesuatu yang biasa terjadi.”

“Caritta tidak pernah melakukan—”

“Bukankah kalian terpisah dalam waktu yang cukup lama? Apa kau tahu persis yang dia jumpai di luar sana? Dia bisa jadi terjerat dalam masalah utang-piutang atau mungkin juga memang hanya suka lancang pada barang-barang milik orang lain.”

“Aku tahu Caritta. Dia tidak akan pernah lancang. Itu sama sekali bukan sifatnya.”

Marco mengumbar tawa hambarnya, lantas menanggapi, “Kau harus bergaul dalam lingkaran yang jauh lebih luas, Rosetta. Waktu berganti, hari pun juga menghilang bersamanya. Sama dengan orang-orang yang sempat kau pikir ‘baik’ di matamu. Kau akan terkejut saat menemukan saudari manismu telah berubah menjadi sosok yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya.”

“Apa kau pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa ‘setiap orang punya sisi jelek yang tengah tertidur di dalam dirinya’? Aku sudah menjumpai ratusan orang yang serupa dan asal kau tahu saja, dunia tidak menyisakan tempat untuk wanita naif sepertimu,” lanjutnya lagi.

“Jaga bicaramu, Tuan Botticelli. Aku yakin Caritta tidak seburuk yang kau pikir.”

“Kita akan melihatnya segera.”

“Segera?”

“Para bawahanku sedang mencari Caritta sekarang dan kalian akan merayakan reuni keluarga sebentar lagi. Bukankah itu menarik?”

“Tung-tunggu. Bagaimana kalian saling mengenal?”

Seringai Marco spontan terbit di sudut bibirnya. Dia lagi-lagi mendengus dan menjawab, “Ha. Apa kau juga tidak tahu tentang profesinya yang membanggakan itu? Dia pelacur yang aku sewa. Aku juga membayarnya dengan dolar yang tidak sedikit.”

“Pe-pelacur?”

Rasa sesak serta-merta datang menghantam sistem pernafasan Rosetta. Informasi itu membuat lehernya refleks tercekik oleh kenyataan yang baru saja dia dengar dari Marco. Sejak kapan Caritta bersedia merendahkan harga dirinya dan menjadi wanita bayaran?

Seluruh perasaan gamang yang menyertai hati Rosetta seperti teka-teki. Dia ingin mengetahui alasan Caritta yang memilih untuk menerjunkan dirinya dalam dunia prostitusi sekaligus ingin bersua kembali sebagai satu keluarga. Namun, dia juga enggan membiarkan saudari kembarnya itu terperangkap dalam jerat yang sama.

Rosetta ingin melindungi Caritta dari pria keji seperti Marco, tetapi bagaimana caranya? Dia mencoba memikirkan rencana lain dan mengatur siasat untuk menyelamatkan Caritta. Sebelum ide-ide itu sempat mengalir, Marco justru melemparkan sikat punggung yang tergantung di sampingnya ke pangkuan Rosetta.

“Apa—oh, mengapa kau—”

“Tutup mulutmu dan mandikan aku juga.”

Rosetta sontak terperangah sambil memandangi Marco yang melangkah ke dekat bathub dengan tatapan syok. Pria itu menanggalkan semua pakaiannya dan memasuki bak bergaya vintage dengan empat kaki tersebut tanpa menunggu lama. Ekor matanya melirik pada Rosetta yang seketika membuang muka.

“Mengapa kau memalingkan wajah? Bukankah kau juga sudah melihatnya tadi?”

“A-aku—”

“Cepatlah, aku tidak punya waktu untuk tertahan bersamamu lebih lama. Ada pekerjaan yang harus kuurus di Napoli.”

Rosetta berusaha menggerakkan sepasang kakinya untuk melangkah, tetapi dia kelewat keras kepala untuk melakukannya. Apa yang Marco pikirkan? Menggosok punggung pria yang baru saja melecehkannya dan menuruti perintah mafia itu tanpa berani menolak?

“Se-ka-rang,” tekannya lagi sambil menoleh pada Rosetta yang belum juga beranjak dari posisinya.

“Aku tidak ingin melakukannya.”

Marco menyandarkan kedua lengannya di pinggiran bathub, kemudian beralih mengeraskan tatapan—memandangi botol-botol sabun yang terjejer rapi dengan sorot mata kaku. Normalnya, emosi pria itu akan meledak dalam sekejap. Namun, raut wajah Rosetta yang tampak rapuh di ujung sana membuat segenap amarahnya otomatis tersingkir ke tepi.

“Keluarlah dan pergi tidur. Kita akan bertemu kembali minggu depan,” pinta Marco yang masih berjuang mengontrol letupan kecil di balik dadanya.

‘Itu saja? Keluar dan tidur?’ batin Rosetta. Dia tercengang pada tingkah Marco yang berubah menjadi ganjil. Wanita itu sempat mengira bahwa Marco akan mengamuk atau mengeksekusinya di hadapan kandang lagi.

Rosetta beruntung sebab dugaannya salah. Marco justru membiarkannya istirahat dan akan membuat hari-harinya jauh lebih tenang selama perjalanan bisnis itu masih berlangsung sampai kira-kira minggu berikutnya. Dia akan memikirkan cara untuk mengamankan Caritta sekaligus melarikan diri nanti.

“Ada apa?”

Rosetta tersentak dari lamunannya, lantas pria itu lagi-lagi meneruskan, “Mengapa kau masih berdiri di sana? Pergilah sebelum aku berubah pikiran dan menarikmu untuk berendam ke dalam bak bersamaku.”

Rosetta pun serta-merta berbalik dan meninggalkan Marco yang menonton punggung wanita itu menghilang dari pandangannya. Senyum Marco seketika terurai samar—menyadari ada sesuatu yang janggal tersemai di antara mereka, kemudian mencoba abai. Komitmen bukan prioritas baginya.

Belum.

Hanya tinggal menunggu waktu hingga cinta membuat mereka saling terikat di bawah lingkup takdir. Membutuhkan satu sama lain seperti Marco yang perlu oksigen agar dapat bernapas dengan lega dan Rosetta yang perlu matahari untuk hidup. Namun, apa segala sesuatunya akan berjalan lancar dan ‘selamanya’ akan berlaku bagi setiap orang?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status