Share

5. Pria Setengah Iblis

“Apa yang terjadi? Wanita yang bersamaku semalam bukan perawan. Itukah sebabnya dia melawanku mati-matian tadi?” gumam Marco di antara isak tangis Rosetta.

Marco kembali menengok ke arah wanita yang sedang bergelung rapat menutupi tubuh polosnya dengan ujung seprai tersebut. Tatapannya kemudian tertuju pada bercak darah yang mengering di dekat pinggul Rosetta. Tanda yang meninggalkan sisa dari pergumulan panas mereka.

“Apa dia orang yang berbeda?”

Marco mendengus gusar, lantas menyambar kemeja miliknya di pinggir ranjang dan mengenakan pakaian itu tanpa memedulikan bagian yang kusut di sejumlah area. Dia keluar sambil menenteng gesper—mengedarkan pandang ke sekeliling—mencari para bawahannya yang biasa berjaga di beberapa titik tertentu.

“Giuseppe! Matteo!” panggil Marco pada mereka.

Seseorang yang bernama Giuseppe itu kemudian menghampiri Marco dengan segera. Dia menjatuhkan puntung yang tinggal separuh tersebut dan menginjaknya hingga remuk, sementara Matteo datang dari sisi yang berlawanan dengan tergesa-gesa. Mereka menghadap pada Marco yang ekspresi wajahnya sontak berubah kaku.

“Kalian menangkap target yang salah! Dia bukan wanita yang kucari.”

Giuseppe menoleh pada Matteo yang keningnya seketika mengernyit heran. Tatapan pria bergigi jarang itu pun kembali pada Marco dan menyahut, “Dia adalah wanita yang sama dengan yang ada di dalam potret, Tuan Botticelli.”

“Mereka hanya mirip!”

“Mi-mirip? Bagaimana—”

“Mereka jelas berbeda. Dia perawan dan wanita yang menghabiskan waktu bersamaku kemarin telah terlatih untuk melayani pria.”

“Apa mereka kembar?” celetuk Matteo yang langsung menyita perhatian Marco dan Giuseppe sepenuhnya.

“Kembar?” desis Marco yang sontak menyipitkan mata.

“Itu bisa jadi, Tuan Botticelli. Maksud saya, mereka memang persis, tetapi tetap saja berbeda. Apa lagi kemungkinan yang paling cocok untuk itu?”

“Aku ingin kalian menyelidikinya sekarang juga.”

“Baik,” balas Giuseppe dan Matteo secara serentak.

Mereka beranjak dari sana—meninggalkan Marco yang bergeming di posisinya—pikiran pria itu melayang pada momen liar yang dia nikmati bersama Leah. Wanita panggilan yang sengaja dia sewa untuk pelepasan hasratnya itu memang serupa dengan Rosetta. Saudarinya yang masih menangis sesenggukan di kamar.

“Kacau!” rutuk Marco sambil menyugar kasar sebagian rambutnya.

Siapa sangka masalah mereka akan berubah menjadi serumit itu? Seseorang yang ingin Marco hukum bukan Rosetta. Namun, Leah—si pencuri licik yang telah membawa kalung warisan dari mendiang orang tuanya. 

Marco salah sasaran. Dia bukan hanya menyakiti Rosetta, tetapi juga menghancurkannya. Sesuatu yang selalu terjadi dalam dunianya yang kotor—melindas siapa saja yang berani menghalangi jalan pria itu—untuk mencapai tujuan.

Mengapa sesuatu yang biasa itu justru berganti menjadi sejenis kekhawatiran ganjil di hati Marco? Dia mendadak menaruh simpati pada Rosetta. Ke mana sosok penerus Botticelli yang dikenal kejam dan tanpa belas kasih itu pergi?

Marco merasa bersalah, tetapi hanya untuk sekejap. Egonya kembali melesat naik ke puncak—menenggelamkan semua perasaan yang sempat melunak itu di lapisan paling dasar, lantas membiarkan segalanya karam tanpa jejak. Dia akan mengatur siasat lain agar Leah muncul di depannya.

Rosetta.

Jika mereka memang saudari kandung, maka Leah pasti akan datang menyelamatkannya. Ide cemerlang itu menyesaki kepala Marco dengan sejuta harap agar rencananya dapat berjalan sesuai seperti yang dia inginkan. Rosetta akan menghadapi takdir buruknya sekali lagi dengan status sebagai tawanan.

“Bukankah itu sempurna?” bisik Marco pada dirinya sendiri.

Marco pun kembali ke dalam kamar dan menemukan Rosetta yang tengah duduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Kelopak matanya terpejam rapat—menahan sensasi nyeri di selangkangannya—menunggu rasa perih itu hilang. Bibirnya sesekali merintih mengundang simpati Marco hadir—lagi.

“Kau harus membersihkan diri.”

Rosetta spontan terkesiap dan beringsut mundur ke samping—meringkuk di dekat nakas—dengan sekujur tubuh yang gemetar. Dia kelewat kalut untuk mampu berpikir dengan rasional sekarang. Satu-satunya yang wanita itu inginkan hanya dibebaskan.

“Aku akan membantumu.”

Suara bariton milik Marco berhasil membuat Rosetta mendongak—mengintip melalui sela-sela rambut yang kusut—dengan gentar yang masih mengendap di dadanya. Dua pasang mata itu pun serta-merta bertemu—biru kelam yang menghanyutkan dan cokelat terang yang redup oleh luka-luka di hatinya. Jenis tatapan yang sanggup meruntuhkan seluruh ambisi dalam diri pria itu.

Detik berikutnya, Marco bergerak menghambur langkah dan menggendong Rosetta yang lagi-lagi mengeluarkan kesiap syok. Mereka menuju ke kamar mandi—merawat wanita itu dengan penuh perlindungan—menepikan segenap emosinya ke pinggir. Sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.

Marco membiarkan insting kelelakiannya mengambil alih untuk menebus semua kesalahpahaman di antara mereka. Menebarkan sisi barunya yang lembut. Dia mengeringkan rambut panjang Rosetta yang basah dengan handuk, lantas memasangkan kimono yang ukurannya dua kali lebih besar pada wanita itu. 

“Aku tidak mengerti. Mengapa kau melakukannya?” tanya Rosetta yang berpaling menghindari sorot mata tajam Marco.

“Apa itu penting?”

“Demi Tuhan, kau baru saja memperkosaku. Lima belas menit lalu kau masih menjadi pria buas yang mengerikan itu dan kini kau menjadi orang yang sangat berbeda dari sebelumnya.”

Marco mencengkeram dagu Rosetta—menyejajarkan tatapan mereka dan menjawab, “Aku tahu itu, tetapi bukankah kau juga menikmatinya?”

“Berani-beraninya kau! Aku akan menuntutmu.”

Kekehan menyebalkan itu kembali mengudara dan membuat Rosetta marah. “Aku akan memenjarakanmu, Tuan Botticelli.”

“Memenjarakanku?” seloroh Marco dengan nada yang dibuat-buat.

“Jika kau pikir ucapanku hanya lelucon konyol bagimu, maka bersiaplah untuk membusuk lebih lama di dalam sana.”

“Namamu Rosetta, bukan? Dengarlah, Rosetta. Kau boleh melaporkanku dengan bukti dan tuduhan apa saja pada polisi, tetapi ada yang harus kau tahu tentang diriku.”

Marco membuat jeda—mengunci pandangan mereka satu sama lain, kemudian meneruskan, “Hukum diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kakiku. Tidak ada satu orang pun yang dapat menyentuh Marco Botticelli.”

Rosetta lupa bahwa dia tengah berurusan dengan sang mafia. Siapa yang berani mengusik keluarga mereka? Pria itu merupakan sosok yang kebal hukum—menurut selentingan kabar yang beredar, dia juga setuju untuk ikut mendanai beberapa fasilitas pemerintah di Bari dan Napoli dari pendapatan bisnis terlarangnya.

“Orang macam apa kau?” geram Rosetta sambil menepis genggaman Marco dari wajahnya.

“Aku? Anggap saja setengah iblis.”

“I-iblis?”

“Aku sudah lupa caranya berbuat baik dan membedakan mana perilaku yang manusiawi atau tidak sejak lama.”

Rosetta menelan air ludahnya dengan susah payah. Dia lagi-lagi memandang Marco yang masih menatapnya dan berujar, “Aku bertaruh kau juga sudah tahu bahwa aku bukan wanita yang sedang kau cari. Mengapa kau masih menyanderaku?”

“Karena aku Marco dan aku terbiasa mendapatkan sesuatu yang kuinginkan.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status