Share

2. Kalung Warisan

Akal sehat Leah luruh oleh gelombang pasang yang seketika muncul memorak-porandakan isi kepalanya. Erangan garau tersebut langsung meluncur lewat bibir seksi sang wanita. Dia baru saja menjemput orgasme kedua yang datang menyapu tubuhnya.

Sepasang tungkai Leah mengejang ke atas bersama geliat acak yang mengacaukan seluruh sistem pernapasannya. Pergulatan panas itu pun kembali berlanjut sesaat setelah Marco menarik pinggangnya—mendudukkan wanita bermata cokelat yang masih gemetar tersebut ke dalam pangkuan, lantas memacu ritme yang sama. Lagi dan lagi.

Punggung Leah terguncang hebat. Dia mendesah jauh lebih keras dari sebelumnya, sementara Marco yang bergerak kelewat liar itu tetap bertahan pada ambisi untuk meraih sesuatu yang akan segera hadir melalui penyatuan mereka. Detik berikutnya, terjangan yang luar biasa sontak tercurah penuh di ujung karet pelindung.

Marco menggerung, kemudian menggeram tertahan atas aksi panjang yang membuat segenap tenaganya habis dihantam sensasi puas. Dia mendorong Leah dari posisi semula dan mengistirahatkan staminanya yang hanya tinggal separuh. Itu seks yang dahsyat, pikirnya.

Selepas menjadi stabil dan siap untuk petualangan selanjutnya, Marco memerintahkan Leah agar mengambil pengaman baru dari balik laci. Dia menunggu wanita itu mengoyak foil, lantas memasangkannya di area yang basah oleh sisa pergumulan mereka. Puncak itu masih setangguh juga setegang sesi pertama.

Bukti bahwa Marco punya performa yang fantastis seperti pesonanya. Dibekali sejuta daya pikat. Dingin, tetapi terkenal sebagai bajingan yang rupawan. Leah bertaruh siapa pun yang menjadi partner ranjang pria itu berikutnya akan kewalahan dan takluk tanpa harus berpikir dua kali.

“Apa kau masih sanggup melakukannya?” desis Leah yang baru selesai melekatkan benda berbahan lateks tersebut di antara kedua paha Marco.

“Kau meragukanku, hm?”

“Bu-bukan—”

“Kemarilah, berbaring di sampingku.”

Leah mengangguk—mematuhi pinta Marco, merebahkan dirinya persis di sebelah pria itu dengan semua gentar yang betah menetap. Mereka kembali mengarungi rasa yang siap mengantarnya menuju ke persepsi tiada akhir. Sesuatu yang akan membuat Leah lebur dalam ruang tanpa batas di benaknya.

Marco lagi-lagi mengayunkan pinggulnya dengan tempo yang pas. Memompa dan menghancurkan pusat tubuh Leah yang kian lama kian licin oleh aktivitas mereka. Tautan dalam gaya spooning itu membuat lebih banyak desahan mengudara.

Kayuhan Marco menguat—laju dan laju, menghantam celah paling pribadi milik Leah. Leher wanita itu refleks menjenjang setelah Marco menambah intensitas gempuran. Dia pun serta-merta melenguh oleh gelitik yang mencengkeram rapat di bagian intinya.

“Aku tidak tahan lagi,” bisik Leah yang sorot matanya membuang ke segala arah.

Ombak itu kembali datang menyerbu tubuh mereka. Leah otomatis menggelepar di bawah kendali Marco yang ikut hancur dengannya. Untuk sejenak, dunia terasa lain bagi dua insan yang sedang larut dalam kenikmatan yang mereka reguk bersama. 

Obrolan basa-basi menjadi penutup sebelum Marco tertidur selepas menyalurkan seluruh energinya. Dia lelap di seperempat malam tanpa menyadari rencana licik Leah yang terbit untuk mengambil salah satu barang pria itu. Kalung warisan dengan liontin berbentuk naga yang akan mengeluarkan pendar setiap kali diterpa cahaya.

Marco meletakkan aksesori tersebut di atas nakas—membiarkannya tergeletak di sana, mengundang hasrat Leah untuk menyimpan sesuatu yang bukan miliknya. Dia akan dapat uang yang besar dari hasil penjualan. Cukup banyak demi tambahan koleksinya di lemari.

Konyol, tetapi kelancangan membuat Leah memutuskan untuk berhenti peduli. Persetan dengan Marco yang akan marah atau risiko tertangkap basah atas aksi nekatnya, toh pria itu juga kaya. Jadi, apa salahnya mencuri sedikit receh dari sang taipan asing?

Leah kemudian menuruni ranjang dengan hati-hati—berusaha meminimalisir suara, enggan menciptakan gerakan ceroboh yang akan membuat Marco menyudahi mimpinya. Dia berjingkat ke tujuan—menyambar kalung, lantas mengantonginya tanpa ragu. Wanita itu pun bergegas mengenakan kembali semua pakaiannya dan keluar melalui jendela.

Jam-jam berlalu. Marco mendadak terbangun oleh jerit alarm yang menyala dari telepon selulernya. Dia membuka mata dan hanya menemukan kekosongan yang menari di setiap sudut—tanpa sosok Leah di mana pun, pemandangan terjanggal yang menyapa fajarnya kala itu.

“Di mana dia?” gumam Marco sambil mengusap-usap wajahnya.

Pandangan Marco mengedar ke sekeliling. Dia lagi-lagi mencari figur cantik yang sudah menghabiskan waktu bersamanya itu di sejumlah lokasi lain, tetapi Leah memang tiada di sana. Kehampaan menyeruak turun dan menyentak pikirannya.

“Berengsek! Apa dia kabur?”

Marco meraup kemeja yang tergantung di dekat sofa, lantas menyampirkannya ke pundak. Dia mengecek benda yang semula ditaruh di atas nakas. Namun, barang berharganya itu telah raib dan memancing emosinya untuk pecah dalam sekejap.

Marco sontak berteriak memanggil nama bawahannya satu-persatu yang masih berjaga di depan pintu. Kedua pundaknya bergetar menahan amarah yang seketika naik menggulung dirinya. Dia bersumpah akan menangkap Leah yang kurang ajar itu untuk dilelang pada para Syekh di Syria.

“A-ada apa, Tuan Botticelli?” tanya salah satu dari mereka yang memakai topi fedora dengan terbata-bata.

Marco spontan melayangkan tatapan tajamnya dan menghardik mereka dengan sederet kalimat kasar. Dia mencela kinerja buruk mereka sampai-sampai membuat seorang wanita biasa seperti Leah mampu melarikan diri tanpa jejak. Pria itu kembali meluapkan amukan yang menjejali dadanya.

“Dasar tidak becus! Kalian bodoh!” umpatnya lagi.

“Ka-kami tidak melihat sesuatu yang aneh, Tuan Botticelli. Kami selalu berjaga sepanjang malam.”

Sorot mata Marco langsung terkunci pada pria yang baru saja menyahuti makiannya. Dia maju—menarik kerah jas hingga tubuh yang hanya punya ukuran tinggi rata-rata itu sedikit terangkat dari tempatnya berpijak, kemudian membalas, “Dia lenyap bersama kalung warisanku dan kau masih berani menjawab bahwa kau tidak melihat sesuatu yang ganjil?”

“Ma-maafkan saya.”

Marco langsung menyipitkan mata dan melepaskan genggamannya dengan cara mendorong. Pria itu pun serta-merta terhuyung ke belakang—menabrak vas hias, sebelum jatuh menimpa pria lain yang tengah berdiri sambil menundukkan kepala. Mereka hanya diam sebab menutup mulut merupakan satu-satunya metode paling tepat untuk menghadapi badai dalam diri sang pimpinan.

Mereka sudah terbiasa dengan sifat temperamen Marco. Dia adalah penguasa dan pendominasi—semua penduduk di Puglia juga tahu itu, seolah-olah menindas memang menjadi takdir yang digariskan sejak lama untuknya. Darah campuran Italia-Meksiko mengalir di setiap nadinya—menyumbangkan segenap daya tarik yang sulit terbantahkan dari balik otot-otot liatnya yang menawan.

“Carilah jalang itu sekarang dan seret dia ke hadapanku dalam keadaan hidup atau mati!” sembur Marco tanpa mengalihkan pandangan dari wajah-wajah takut mereka.

Itu perintah yang hukumnya mutlak untuk dipenuhi. Mereka harus berhasil atau Marco akan menghukum mereka tanpa ampun. Entah bagaimana, tetapi yang dia inginkan hanya barang tersebut dapat kembali secara utuh ke tangannya lagi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status