Share

Jessy Kehilangan Velove

“Aaaa!”

Suara teriakan membuat orang tergopoh-gopoh ingin mencari tahu apa yang terjadi. Seorang lelaki masuk dengan sangat terpaksa. Bill, pria itu melihat panik kondisi Jess. Ia mengambil segelas air, gadis itu masih berusaha mengendalikan napasnya yang memburu. Butuh waktu lima menit sebelum air mineral itu berpindah tangan, Jess meneguknya bersama butiran pil berwarna putih yang diambilnya dari sebuah botol transparan.

“Terima kasih!” Jess melempar senyum kecil pada Bill, pria itu menaruh gelas yang sudah kosong di atas nakas.

“Kau memimpikannya lagi?” tanya Bill sambil merapikan perkakas ranjang yang berhamburan di lantai marmer.

“Maaf, kalau aku selalu merepotkanmu!” Jemari Jess menyisir poni yang terlihat memanjang.

“Bukankah aku dibayar untuk itu?” Bill berujar tanpa melihat wajah Jess, mata elangnya masih melekat di lantai. Jess menarik satu sudut bibirnya kemudian mencebik ketika tangis bayi mengisi kamarnya. Malas, ia memutar bola matanya.

“Kenapa kamu membawa dia ke kamarku, Ve?” tanya Jess, Velove mengusir pelan tunangannya dengan lirikan. Bill yang memahami kode itu pun bergegas keluar.

“Elfara menangis terus, Jess. Dia tidak mau susu botol, kau harus memberi asimu padanya!”

“Aku tidak bisa!” Jessy membuang pandangannya, seperti enggan melihat bayi cantik yang dilahirkannya dua minggu yang lalu.

“Kenapa? Kasian Elfara, Jess. Payudaramu terlihat sangat penuh tapi tak sedikit pun kau memberinya untuk bayimu.” Jess memijit pelipis, mimpi buruk baru saja usai, kini kepalanya kembali berdenyut mendengar lengkingan tangis bayi yang disempurnakan oleh khotbah dari Velove.

“Kemarikan, kau dan Bill pulang saja. Biar aku menjaganya sendiri. Kau sudah sangat lelah, kau menjaganya dari pagi sambil mengikuti kelas online sampai tengah malam begini.”

“Apa kau tidak apa-apa? ”

“Aku tidak apa-apa. Aku hanya perlu menyusuinya dan dia akan tidur sampai pagi.”

“Baiklah, aku akan pulang. Hati-hati, ya! Kau harus benar-benar menjaganya.”

“Tentu saja, aku ibunya.”

“Baiklah, sampai jumpa besok!”

Sosok gadis berusia sembilan belas tahun itu sudah meninggalkan kamar, kini hanya ada Jess dan bayi Elfara. Dia menatap lekat bayi yang tengah menangis di sampingnya, tubuhnya menggeliat mencari sesuatu yang biasa dihisap oleh bayi. Jessy masih membiarkan anak polosnya menangis hingga kulit putihnya bersemu merah.

Tiba-tiba, ada rasa bersalah yang menyelinap dalam dada. Ia melihat diri Nick ada pada bayi mereka, mata cokelatnya terlihat jernih walau sedang basah dan bibir bagian bawahnya yang seolah terbelah. Kemudian, Jessy menatap gusi-gusi tanpa gigi yang masih terlihat agak meruncing, ia tidak membayangkan apa yang akan terjadi pada kulitnya jika mulut bayi itu menghisapnya. Mengingat tentang Nick, raut wajahnya berubah.

“Tidak, aku tidak bisa memberikan asiku padamu. Kau harus mengalah Elfara! Aku tidak ingin payudaraku menjadi jelek karena menyusuimu, itu bisa memudarkan rasa cinta ayahmu padaku.”

Tanpa rasa bersalah, Jess beringsut dari ranjang kemudian mengganti kausnya yang basah di bagian dada. Suara tangis semakin kencang, Jess meraih botol susu yang tadi Velove bawa. Kini Elfara berada dalam dekapan tangan Jess yang terlihat berotot. Elfara memalingkan wajah, menolak benda elastis yang masuk ke dalam mulutnya.

“Ayo minum! Kalau tidak, kau sendiri yang akan kelaparan!” Jess menahan napas, kegusaran memperjelas mata pandanya.

“Diam!” Jess menaikkan suara hingga menyembul urat-urat di bagian leher jenjangnya.

Jess bukan hanya tidak mengerti bahasa bayi, tetapi juga melawan naluri keibuannya. Dengan kasar, ibu muda itu meletakkan Elfara di ranjang bercorak api miliknya sedangkan bayi tak berdosa itu terus menangis, merasakan haus dan lapar serta kemarahan wanita yang menjadi ibunya. Jess berlalu, membanting pintu sekeras-kerasnya. Ia beralih ke kamar sebelah untuk meluapkan emosinya, Jess memandangi pantulan dirinya di cermin, ia merutuki sebagian dagingnya menghilang entah ke mana.

Ia terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usianya, kemolekan tubuh dan kecantikannya hilang. Hanya tersisa dua gunung yang membengkak dan selalu basah. Ia menjerit merasakan sakit di area sensitif itu. Dalam sekejap, kamar yang selalu rapi itu tak ubahnya tempat pembuangan sampah. Penampilannya sangat kacau, sangat jauh dari Jess yang selalu tampil rapi dan modis. Jess menyandarkan punggungnya di sofa, menikmati sebatang benda berasap. Entah sejak kapan ia menyukainya, ia tak mau pusing mengingatnya. Ibu muda itu sibuk mengamati kepulan asap yang membentuk seni tanpa berniat menolong Elfara yang malang.

***

Pagi hari, Jess menengok Elfara di kamarnya. Entah sejak kapan bayi itu diam, ia tidak memerhatikannya. Seperti biasa, hari ini ia akan menelpon jasa seseorang yang biasa memandikan Elfara. Luka bedah di perut menyebabkan seluruh aktivitasnya terbatas. Jess mengulas senyum, jika saja bayi itu diam sejak semalam, tentu saja dia tidak akan meninggalkannya untuk tidur sendiri. Gadis itu mengamati bayinya sekilas, ada yang berbeda dari Elfara. Jess memberanikan diri untuk mengusap pipi gembul bayinya, wajahnya berubah pias.

“Hei, apa kau tidur?” Sentuhan Jess tak memberi reaksi apa-apa.

“Bangunlah! Kalau kau gerah, bilang padaku, jangan seperti itu!” Elfara tetap diam dan menutup mata walau Jess menaikkan sedikit suaranya.

“Elfara!” Kali ini, Jess benar-benar memaksimalkan pita suaranya.

Merasa ada yang tidak beres, Jess menelepon kontak bernama “Dokter Hans”. Atas permintaannya, dokter yang biasa dipakai oleh keluarganya itu datang setelah dua puluh menit, lebih cepat dari wanita yang biasa memandikan Elfara. Sialnya, dokter Hans datang bersamaan dengan Velove dari arah pintu yang berbeda, tetapi arah tujuannya sama.

“Dokter Hans! Kenapa Anda di sini, siapa yang sakit?” Suara Velove terdengar dari balik pintu. Belum sempat menjawab, ponsel lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu kemudian berdering.

“Maaf, saya angkat telepon sebentar!” Terdengar sahutan dari dokter Hans bersama nada ponselnya, tetapi hal itu tak serta-merta membuat Jess tenang.

Entah apa yang dia takuti, suara pintu meriuhkan keheningan, diiringi munculnya sosok Velove. Kecemasan membuat Jess merasa gugup. Entah apa yang akan dia dapatkan dari gadis berdarah Indonesia itu jika tahu Elfara tidak baik-baik saja. Selama ini, Velove bersikap layaknya seorang ibu bagi bayinya, gadis itu menjadi sangat ketus padanya sejak kelahiran Elfara. Velove terlihat bingung saat memandang Jess, ia hampir bertanya, tetapi urung karena kedatangan dokter Hans.

“Hallo, Nona Jess! Ada apa dengan bayimu?” Velove tampak bingung dengan pertanyaan dokter.

“A—aku tidak tahu! Kau periksa saja dia!” Dokter Hans mengangguk.

“Jess, memangnya kenapa Elfara?” tanya Velove.

“Nona Jessy, bayimu demam tinggi. Kenapa kau tidak langsung membawanya ke rumah sakit?”

“A—pa? Demam?” Jess tergagap, keterangan dokter membuat mereka terkejut.

“Demam? Bagaimana mungkin? Jessy, kenapa Elfara bisa sampai demam? Semalam aku meninggalkannya dalam kondisi baik-baik saja.” Velove memberondong Jess dengan tatapan menyelidik.

“Kemungkinan, anak itu mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan,” ujar dokter Hans.

“Ini saya kasih resep sementara, sebaiknya bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang tepat. Saya permisi!” 

“Baiklah, terima kasih. Maaf, sudah merepotkanmu.” 

“Tidak apa-apa, mari!”  Jess menerbitkan senyum yang dipaksakan. Selepas kepergian dokter Hans, Jess mendapatkan tatapan intimidasi dari Velove.

“Jelaskan padaku, apa yang kau lakukan pada Elfara!” Jess yang baru saja akan menggendong bayinya, membalas tatapan Velove.

“Apa yang aku lakukan?”

“Kehilangan Nick tidak membuatmu tuli, kan, Jess?”

“Kenapa kau berbicara seolah-olah aku ini kehilangan kewarasan?”

“Kalau kau memang masih waras, apa yang kau lakukan sampai bayimu sendiri demam seperti itu?”

“Kenapa kau bersikap seolah-olah kau ini ibunya dan aku tukang asuhnya? Kau bertanya, apa yang aku lakukan, hah? Aku melakukan segalanya agar anak itu diam. Aku berusaha keras untuk memberinya minum, jika memang dia tidak mau, apa itu kesalahanku?” Suara Jess meninggi, mengiringi laju langkahnya yang berhasil membuat jantung Velove berdegup kacau. Velove terus memundurkan langkahnya, menyimpan keterkejutan yang tercipta.

“Jadi, kau tidak memberinya asi?”

“Kenapa? Menyusui atau tidak itu urusanku. Kau tidak berhak mengaturku. Jangan lupa, apa posisi dan jabatanmu di sini. Kalau bukan berkat belas kasih suamiku, kau tidak akan mungkin bisa meneruskan pendidikanmu sejauh itu.”

Plak!

Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi Jessy, ia merasakan panas yang menjalar di seluruh pipinya. Perempuan itu menatap nyalang gadis bodoh yang ada di hadapannya.

“Kau benar-benar sudah tidak waras, Jessy. Nick tidak beruntung mempunyai istri sepertimu. Kau bukan hanya ibu yang buruk, tetapi juga istri yang buruk. Mulai saat ini juga aku takkan mengurusi hidupmu lagi!” Kata-kata Velove berhasil menusuk relung hati Jess, tetapi ia tak bisa lagi melakukan apa-apa walau hanya sekadar membuka mulut.

“Maaf, Elfara. Tuhan pasti akan menjagamu.” Velove mencium kening Elfara. Tiba-tiba, buliran air mata membasahi hamparan dahi Elfara yang panas.

“Ingat satu hal, Jessy. Nick pasti akan membenci dirimu jika tahu sifatmu yang sebenarnya!” ucap Velove, sebelum benar-benar pergi.

“Aku istri buruk? Aku ibu buruk? Tidak, tidak. Itu tidak mungkin.” Jess beringsut, tubuh Velove telah pergi, tetapi jejak kalimatnya masih tertinggal, memenuhi tempurung kepalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status