Share

Bertemu Suku Pedalaman

Di sisi sungai, Nick membasuh wajahnya. Ia melihat pantulan wajahnya di air keruh yang sudah koyak, ia melihat kegagalan dan masa depannya yang buruk. Tiga puluh hari, Nick mengembara bersama Mehmet, mencari jalan juga teman-temannya. Seringkali ia mengingat Jess juga buah hati mereka. Penampilannya kini nyaris tak dikenali. Ia dan Mehmet bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tumbuh di hutan, tiga puluh hari bukan sesuatu yang mudah. Berbagai macam kesulitan datang bertubi-tubi, dan hal itulah yang membuat mereka terlihat lebih kuat.

“Nick!” Suara Mehmet membuyarkan lamunannya, ia berjalan mendekati Mehmet.

“Kau mendapatkannya?” Nick melihat sesuatu di tangan Mehmet.

“Yeah, ini yang ke lima puluh kali setelah aku mendapatkan piranha lebih dari dua puluh kali.” Mehmet mengangkat kayu yang berhasil menusuk buruannya.

“Baguslah, setidaknya kau mendapatkan ikan gabus walau cuma satu!”

“Ya, setidaknya ini bisa menjadi tenaga kita sampai esok hari.” Mehmet duduk di tempat yang agak jauh dari sungai, menyusul Nick yang telah selesai membuat api dengan ranting. Dalam beberapa menit, gabus yang diperkirakan seberat satu kilo itu sudah menghitam dan siap disantap.

“Kau teringat dengan istrimu?” tanya Mehmet, mencari jawaban atas pandangan aneh Nick pada kilatan api.

“Seperti kau yang selalu ingat kekasihmu, aku juga teringat istriku juga bayi dalam kandungannya,” jawab Nick.

“Kau meninggalkannya dalam keadaan seperti itu? Berapa bulan waktu itu?” Mehmet menghentikan aktivitas mulutnya sejenak.

“Memasuki bulan ke sembilan.”

“Itu artinya sekarang, anak kalian sudah lahir. Maaf, Nick!”

“Aku tidak tahu bayiku perempuan atau laki-laki. Apa pun itu, aku sangat menyesal telah meninggalkannya. Seharusnya aku mendengarkan kata-kata istriku.”

“Semua sudah terjadi, kau harus menerima kenyataan. Lagi pula kita sedang berusaha mencari jalan pulang, bukan? Sudahlah, Nick, lebih baik kau makan ikanmu karena setelah ini kita butuh banyak tenaga."

Setelah menghabiskan makanan, mereka melanjutkan perjalanan melalui jalur sungai. Mereka mendayung perahu rakitan mereka di arus yang tenang itu. Beberapa ratus meter terlewati, perahu bergoyang. Ada sesuatu yang menghantam badan perahu, Nick mengintai sekeliling, tetapi ia tidak menemukan apa-apa selain gelombang air bekas lintasan perahu mereka. Nick mengintruksikan Mehmet untuk terus mendayung, tetapi lagi-lagi, perahu bergoyang. Sekilas mereka melihat hempasan air mirip pancuran di hamparan kulit kehitaman raksasa yang muncul di permukaan.

Kedua laki-laki itu mendayung lebih cepat untuk menghindarinya segala kemungkinan bahaya yang ada. Seperti tertantang, ikan yang mereka duga berukuran besar itu juga mempercepat lajunya. Dan dalam sekali hentak, tiba-tiba perahu mereka terbang ke udara. Seekor paus besar menyundul perahu hingga terurai semua isinya. Nick dan Mehmet terlempar ke dalam air, gelombang yang tercipta membuat mereka kesulitan bernapas. Keadaan perahu yang pecah belah tidak bisa digunakan lagi. Arus sungai sedikit kencang, mereka melihat paus besar itu berbalik arah. Satu bahaya telah pergi, mereka berusaha mencapai tepian dengan segenap tenaga, tetapi ….

“Nick!” Mehmet berteriak, ia tidak dapat berenang karena arus sungai yang semakin ekstrem.

“Mehmet!”

Nick hanya bisa melihat, karena dirinya sendiri juga terjebak. Mereka hanyut terbawa arus. Walaupun begitu, mereka berusaha agar kepala mereka tetap berada di permukaan untuk mendapatkan udara. Hingga sampai ke puncak arus ….

“Whoaaa!”

Dalam hitungan detik, mereka terlempar bersama gelombang air yang terjun ke dalam kolam dangkal berukuran kecil. Air yang menikam tubuh mereka tanpa jeda, melahirkan sensasi pegal luar biasa. Sungguh pembangkit adrenalin yang datang secara mendadak. Mereka segera bangkit dari hantaman air dan segera menuju ke tepian. Kedua pria itu meluruskan kaki dan mengatur napas di tepi kolam, tiba-tiba Nick melihat sesuatu di semak-semak tempat Mehmet menyandarkan kepala. Sebuah kejutan yang membuat wajah Nick berubah pias.

“Ada apa?” Mehmet yang menyadari keanehan di wajah Nick pun segera mencari tahu, pemuda berjampang itu mengikuti arah telunjuk Nick.

“Ha!” Mehmet tercengang melihat tumit manusia di bawah tumpukan daun kelapa yang mengering. Nick menyibak daun-daun kering, sebuah wajah di baliknya membuatnya berjingkat.

“Sanskar!” Mata Nick melebar.

“Apa maksudmu?” tanya Mehmet, ia berjalan mendekati sosok mayat yang mengejutkan mereka.

“Jadi, benar?” Mehmet memejamkan matanya sambil menghirup napas dalam-dalam.

“Nick, tidakkah kau berpikir, jasad Sanskar persis seperti jasad Gaffin?” ucap Mehmet.

“Kau benar! Tubuh mereka sama-sama membiru dan alat kelamin mereka putus, tanpa darah.” Nick memandangi jasad Sanskar dengan seksama.

“Ini persis seperti yang diinformasikan oleh Jacob. Para turis mati dalam kondisi seperti ini,” jelas Nick.

“Jika ini ulah orang-orang pedalaman, dengan cara apa mereka membunuhnya?” Rasa penasaran menggelayut di hati Mehmet.

“Entahlah,” jawab Nick sambil menutupi bagian pinggang dan kemaluan Sanskar dengan kain yang tersisa yang masih ia bawa.

Nick hendak bangkit, tetapi tiba-tiba sumpit racun sepanjang dua meter melayang. Nick merunduk dengan kecepatan kilat sehingga sumpit langsung terjun ke tanah. Sejurus dengan itu, rombongan lelaki yang mengenakan pakaian khas pedalaman datang mengepung dan meringkus Nick dan Mehmet. Orang-orang berambut panjang itu menggiring mereka dan membawa jasad Sanskar ke sebuah tempat melewati kebun karet.

Di tempat itu ada bangunan-bangunan kayu dan ramai oleh orang-orang serupa. Nick dan Mehmet dibawa menghadap seorang lelaki tua berpawakan kekar dan gagah dengan tangan terikat ke belakang. Jika dilihat dari gestur, lelaki berambut putih tersebut sepertinya pemimpin atau ketua suku. Lelaki itu memandang mereka tanpa ekspresi.

“Siapa kalian?”

“Kami komunitas penjelajah dari Brasilia,” jawab Nick.

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

“Kematian para turis di hutan ini,” ujar Nick.

“Dan beberapa anggota kami yang mati secara misterius,” timpal Mehmet.

“Jadi untuk itu?”

“Lalu kenapa kalian bersama mayat? Di hutan ini tidak boleh membunuh orang yang tidak berbahaya.”

“Itu Sanskar, teman kami yang tidak diketahui sebab kematiannya.” Nick menjawab seadanya.

Angin menggetarkan pucuk-pucuk rambutnya, bola matanya melirik ke jasad Sanskar. Karena tiupan angin sedikit kencang, kain yang melilit pinggang mayat tersingkap dan potongan kemaluan yang Nick ikat di dalam kain melorot jatuh. Orang-orang suku melihatnya terbelalak.

“Pulanglah, jika kalian tidak ingin bernasib sama seperti teman kalian.”

“Kenapa seperti itu? Siapa yang melakukan itu? Apa suku kalian atau suku lain yang ada di hutan ini?” Pertanyaan Nick berhasil menyulut amarah lelaki tua berparas tegas itu.

“Jika kau ingin jawaban, kau akan mendapatkannya tapi bersama dengan itu kau berada dalam pintu kematian. Pergilah, jangan memasuki area yang berkabut. Karena itu akan merusak penglihatan kalian.”

“Apa maksud—“ Orang-orang pedalaman itu langsung menggiring mereka ke luar wilayah, mengabaikan pertanyaan Mehmet yang menggantung di udara. Mereka kembali berjalan menyusuri kebun karet.

“Kenapa, semuanya menjadi rumit? Nick, apa menurutmu perkataan orang itu?” 

“Melihat sikapnya tadi, aku tidak yakin suku-suku itu yang membunuh turis sedangkan selama ini kita tidak menemui suku pedalaman lain.”

“Kau benar, Nick. Kata Jacob, memang ada banyak suku asli. Tapi sampai detik ini, tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka.”

“Kalaupun ada, mungkin mereka tak seburuk yang kita duga.” Terpaan mentari menyipitkan mata Nick.

“Nick, mungkin ada makhluk lain di sini yang tidak kita tahu.” 

“Mehmet, berapa kali harus kukatakan, makhluk halus itu hanya ada di dunia fantasi.”

“Makhluk itu ada dan itu tertulis dalam kitab Tuhanku!” Intonasi Mehmet naik beberapa oktaf.

“Aku tidak mengenal Tuhanmu, dan aku tidak percaya bualanmu, Mehmet. Lebih baik kau mencoba menonton film genre yang lainnya agar kau tidak perlu berhalusinasi.”

“Berhalusinasi katamu? Aku memiliki iman dalam sebuah keyakinan. Lalu bagaimana denganmu? Bahkan kau tidak percaya dengan keberadaan Tuhan. Bagaimana kau menjalani hidup?” Perkataan Mehmet merebus aliran darah Nick sampai puncak ubun-ubun.

Nick mengepalkan tinju dan mendaratkannya di wajah Mehmet. Mehmet tercengang kemudian menghapus garis merah di sudut bibirnya.

“Fuck! Kalau kau terus membual, lebih baik kita mencari jalan sendiri-sendiri. Jika kau sangat percaya dengan Tuhanmu, pasti Dia akan menolongmu, bukan?”

“Baiklah, sampai jumpa di rumah.” Jawaban Mehmet, mengakhiri pertengkaran mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status