Share

1. Awal Mula

Karleen sibuk membantu ibunya mengaduk adonan roti. Mereka tidak butuh karyawan lain untuk menjalani bisnis turun temurun keluarga Becker. Karleen yang sekarang memiliki banyak waktu luang karena dia baru saja lulus dari sekolah akhir, banyak membantu ibunya. Ayahnya baru saja kembali setelah mengantarkan pesanan dari blok sebelah.

Karleen yang menunggu roti matang dari pembakaran duduk bergabung dengan ibu dan ayahnya. Dia ingin berdiskusi mengenai masa depannya serta bertanya mengenai sesuatu yang tidak pernah diajari di sekolahnya, demon. Makhluk yang diyakini sebagai perusak di muka bumi. Karleen selalu mendengar perkataan kakek Weber yang bilang bahwa demon adalah musuh manusia. Mereka berusaha memusnahkan umat manusia dan menguasai dunia.

“Ibu, ayah! Aku ingin mendiskusikan sesuatu,” ucap Karleen lembut.

“Kau ingin mendiskusikan apa sayang?”tanya Nyonya Becker tampak membersihkan celemeknya dari tepung yang menempel.

“Anu, Yah-Bu tahun depan aku ingin bergabung menjadi prajurit.”

Tuan dan Nyonya Becker melempar pandangan dan bingung. Mereka paham di usia Karleen sekarang adalah waktu yang tepat untuk berdiskusi mengenai profesi yang akan ditekuni remaja yang sedang mengalami masa peralihan menuju dewasa seperti Karleen.

“Kau tidak salah sayang? Kau bilang ingin menjadi prajurit?”Tuan Becker bertanya.

“Iya Yah, aku yakin. Aku sangat ingin menjadi prajurit.”

“Dari sekian banyak profesi, kenapa kau ingin memilih menjadi prajurit?” Giliran Nyonya Becker yang bertanya kepada Karleen.

“A-aku, ingin menegakkan keadilan dan menciptakan kedamaian, Bu.”Karleen sedikit gugup. Dia tidak ingin salah memberi jawaban kepada orang tua angkatnya.

“Alasan yang mulia. Tetapi mengapa? Desa kita sudah sangat aman dan damai. Jika kau menjadi prajurit kau tidak akan tinggal bersama kami lagi, Ibu mencemaskan itu.”Nyonya Becker menggenggam tangan Karleen erat. Karleen membalas genggaman ibunya dan tersenyum.

“Tidak usah khawatir Bu, aku akan selalu mengirim surat dan mengunjungi kalian. Lagi pula aku belum diterima sebagai prajurit. Ada banyak langkah yang harus aku lalui terlebih dahulu. Makanya dari sekarang aku meminta izin dan berlatih untuk tes di akhir tahun.”

Nyonya dan Tuan Becker tersenyum. “Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Kami akan mendukungmu,” respon Tuan Becker.

Nyonya Becker mendekati Karleen dan memeluknya. Karleen tidak menyangka akan semudah ini mendapatkan izin dari kedua orangtuanya.

“Ayah? Aku ingin bertanya sesuatu,”ucap Karleen hati-hati. Dia takut akan mendapatkan jawaban yang tidak sesuai karena yang ingin dia tanyakan mengenai hal yang sensitive.

“Apa itu, Kar?”

“Apa Ayah tahu mengenai demon, penyihir, atau makhluk mitologi yang nyata? Maksudku benaran ada di bumi.”

Tuan Becker tertawa pelan. Beberapa detik kemudian tawanya memudar dan berganti dengan kening yang berkerut. “Apakah kau membaca buku tentang makhluk mitologi, Kar?”

Karleen menggeleng. “Aku mendengar cerita dari kakek Weber. Dia berkata saat dia masih menjadi prajurit, mereka pernah melawan demon di daerah pesisir. Dan mereka menang. Kakek Weber juga pernah bilang, bahwa di suatu daerah di negara kita terdapat tempat rahasia yang menjadi sarang demon. Tempat itu sudah disegel berates-ratus tahun lamanya. Tetapi di beberapa celah terkadang ada yang rusak sehingga demon-demon kecil dapat keluar dan menyerang manusia. Bagaimana jika mereka masih ada dan menyerang kita? Kakek Weber bilang demon itu adalah musuh manusia dan mereka memiliki tujuan untuk menguasai dunia dengan menghancurkan peradaban manusia. Kakek We-”

Ucapan Karleen terpotong. “Itu hanya dongeng Karleen. Kenapa kau mempercayai omongan kakek Weber?”

“T-tapi Yah, kakek Weber tidak berbohong. Aku sangat yakin bahwa yang diceritakan kakek Weber adalah kebenaran.”

“Sayang, kakek Weber itu sudah sangat tua. Mungkin itu hanya dongeng turun-temurun dari para leluhurnya. Jika memang itu nyata, mengapa di buku sejarah kita tidak tertulis?”Nyonya Becker menimpali.

“Hhmm, baiklah. Itu artinya aku mempercayai dongeng. Berarti demon dan makhluk-makhluk mitologi seperti itu tidak ada di bumi, kan?”

“Tidak ada, itu hanya dongeng saja,”jelas Tuan Weber singkat. “Jika tidak ada yang ingin didiskusikan lagi Ayah akan melanjutkan pekerjaan.”

Tuan Becker pamit kepada Nyonya Becker dan Karleen. Karleen termenung memikirkan perkataan kaker Weber. Meskipun dia sudah sangat tua, Karleen percaya bahwa yang dikatakan kakek Weber bukan omongan belaka. Itu kenyataan yang tidak semua orang tahu kebenarannya. Karleen sudah terlalu lama penasaran dengan apa yang dikatakan kakek Weber. Jika itu benar, salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan Karleen menjadi prajurit.

Di tengah kesibukan Karleen dengan pikirannya, dia baru ingat sedang memanggang roti. “Astaga!”Karleen sontak berlari ke pemanggangan dan mengecek keadaan roti. Untung saja rotinya tidak hangus. Dia mengeluarkan roti yang baru masak dan mendinginkannya pada Loyang berjaring.

Karleen dan ibunya sibuk menyusun roti di etalase. Dia masih penasaran dan ingin bertanya lebih lanjut dengan ibunya mengenai masalah demon tadi. Tidak hanya demon saja, dia ingat dengan jelas bahwa kakek Weber menceritakan manusia keturunan penyihir yang hidup berdampingan dengan kita.

“Ibu, apakah penyihir itu beneran ada?”

Nyonya Becker yang sedang menyusun roti begel mengalihkan pandangannya kepada Karleen. Dia tampak sedikit menimbang-nimbang menjawab pertanyaan Karleen.

“Soal itu, kakekmu pernah menceritakan kepada Ibu. Hanya saja Ibu menganggap itu semua cuma dongeng.”

“Memangnya kakek bercerita tentang apa, Bu?”Karleen mendekati ibunya dan memerhatikan Nyonya Becker dengan serius.

“Dahulu kala, di negara kita. Ada sekumpulan penyihir yang hidup berdampingan dengan manusia. Mereka sama seperti kita, mereka makan, minum, bekerja, memiliki keturunan, dan melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Akan tetapi, suatu ketika ada seorang saksi mata yang melihat seorang penyihir menggunakan kekuatannya untuk membunuh manusia. Sejak saat itu,  mereka tidak mempercayai lagi penyihir dan membakar penyihir hidup-hidup agar mereka tidak memiliki keturunan dan tidak bisa mengatur kehidupan manusia dengan kekuatan mereka.

Meski begitu, beberapa saksi mengetahui kekuatan apa saja yang dimiliki oleh penyihir. Salah satunya adalah kehidupan abadi. Mereka memiliki banyak kekuatan yang tidak banyak diketahui oleh manusia karena tidak ada yang membahas hal itu hingga sekarang. Jika kau ingin membaca mengenai mereka, kau bisa membaca buku dongeng tentang penyihir.”

Nyonya Becker tersenyum dan mengelus rambut Karleen yang panjang. “Hhmm, aku pikir itu hanya dongeng saja. Kenapa Ibu tidak pernah menceritakan itu kepadaku dulu?”

“Karleen, kau tahu sendiri bahwa kau tidak suka dibacakan dongeng sebelum tidur, kan? Kau lebih suka membaca sendiri buku-bukumu yang lebih banyak mengenai aksi dan laga.”

Nyonya Becker tertawa kecil. “Ya, memang benar sih, Bu.”

Kling!

Pintu toko terbuka lebar. Terdapat dua sosok yang tidak asing bagi mereka berdiri berdampingan sambil tersenyum. Laki-laki dan perempuan sebaya Karleen berdiri sejajar dan berjalan menghampiri Nyonya Becker dan Karleen.

“Nyonya, apa kabarmu?” tanya perempuan bersurai cokelat.

“Nyonya tambah cantik saja. Padahal terakhir aku bertemu denganmu beberapa hari yang lalu,” puji laki-laki berambut cokelat tua.

“Lisette! Edwyn! Ibu baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya dan terima kasih pujiannya, Edwyn. Kalian ingin bermain dengan Karleen?”

Lisette dan Edwyn tersenyum lebar. “Tidak, Nyonya. Kami ingin membantu anda hari ini.”

“Oh Ya ampun! Kalian berdua. Hari ini kebetulan tidak banyak pesanan dan  Karleen juga banyak membantu hari ini. Ayo duduk dan minum teh serta makan roti cokelat hangat. Temani saja Karleen untuk menjaga toko. Ibu akan ke belakang setelah ini membereskan beberapa hal.”

Nyoya Becker terlihat menyiapkan satu teko teh yang baru saja diseduh. Tanpa segan dan malu Lisette dan Edwyn membantu membawa cangkir dan piring ke salah satu meja di mana Karleen duduk. Dia sedang membaca buku yang tampaknya novel romansa. Nyonya Becker membawa teko teh ke atas meja dan mengambil berbagai macam roti cokelat ke atas piring lebar yang datar.

“Ibu ke belakang dulu, ya?”Karleen menoleh ke arah ibunya. “Baiklah, Bu!”

“Selamat menikmati!”

“Terima kasih Nyonya!” ucap Lisette dan Edwyn serempak.

“Terima kasih, Ibu!”Karleen menutup bukunya dan meletaknya di ujung meja.

“Apa ada kalian kemari? Tumben?”tanya Karleen membuka pembicaraan.

“Memangnya kami tidak boleh kemari?”Edwyn bertanya kembali.

“Bukan begitu maksudku. Hanya saja akhir-akhir ini kita jarang berkumpul. Tiba-tiba kalian datang ke sini aku menjadi senang. Kebetulan ada yang ingin aku bicarakan kepada kalian.”

Lisette yang asik mengunyah roti cokelat terdiam. Edwyn memandang Karleen dengan tatapan bingung.

“Bicarakan hal apa?”Edwyn bertanya dengan was-was.

Karleen tampak membuang napasnya dengan pelan. Dia tidak bisa menebak bagaimana respon sahabatnya setelah mendengar ucapan dirinya.

“Akhir tahun nanti aku akan tes menjadi prajurit.”

Mulut Edwyn dan Lisette kompak menganga. “Hei, jangan kaget seperti itu dong!”ujar Karleen memegang kedua tangan sahabatnya.

“Karleen, kau serius?” tanya Edwyn memastikan.

“Aku sangat serius. Aku bahkan sudah mendiskusikan kepada orangtuaku. Aku bilang ini sebagai bentuk izin mungkin? Karena besok aku akan fokus latihan. Ke depannya aku akan jarang bermain dengan kalian,”jelas Karleen sedih.

Mereka bertiga sama-sama diam. Edwyn dan Lisette tampaknya masih sibuk mencerna ucapan Karleen.

“Karleen, kenapa kau ingin jadi prajurit? Bukannya hal itu hanya membuang waktumu saja mengabdi pada negara dan bahkan kau hanya mendekatkan dirimu dengan ajal. Maksudku banyak prajurit yang meninggal saat melakukan tugasnya, kan?”Giliran Lisette angkat bicara.

“Kau ingin mati dengan cara keren begitu? Dengan menjadi prajurit kau bisa mati dengan alasan yang luar biasa. Dan kau bisa memakai seragam kebanggaan prajurit dan menyombongkan dirimu menjadi prajurit Wanita muda, begitu?” tanya Edwyn dengan sarkas.

“Maksud kalian? Aku tidak paham dengan apa yang kalian bilang.”

“Lalu apa tujuanmu menjadi prajurit?”tanya Edwyn lagi.

“Aku ingin menegakkan keadilan dan menciptakan kedamaian.”

“Alasan klasik,”timpal Edwyn. Edwyn tampak sangat tidak suka dengan keputusan Karleen.

“Edwyn, apa masalahmu? Mengapa kau marah mendengar keputusanku ingin menjadi prajurit?”Karleen menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan duduk tegap menghadap Edwyn. Edwyn takut-takut membalas pandangan Karleen.

“Pokoknya kau tidak boleh menjadi prajurit. Jika kau bersikeras ingin menjadi prajurit kami tidak akan menjadi sahabatmu lagi,”jelas Edwyn dengan suara yang sedikit bergetar.

“Omong kosong apa itu, Edwyn?” Karleen sontak menaikkan suaranya.

“Karleen, tenang dulu. Kau tahu bukan risiko menjadi prajurit tidak semudah yang kau bayangkan. Menjadi prajurit sama saja dengan kau menyerahkan kehidupan amanmu dan menjadi budak bersenjata. Kau tidak bisa hidup tenang menikmati hidupmu dan bahkan kau tidak  bisa-”

Penjelasan Lisette dipotong oleh ucapan Karleen. “Tidak bisa apa? Menikah? Aku sudah memikirkan matang-matang risiko ini jauh sebelum aku berpikir ingin menjadi prajurit. Lalu apa enaknya menikah? Punya pasangan lalu memiliki keturunan dan mengurus mereka. Itu tidak adil buatku. Sedangkan aku, orang tua kandungku tidak tahu mereka kemana dan malah membuangku ke panti asuhan. Hanya meninggalkanku kalung merah tak berguna ini. Tanpa penjelasan apa-apa, bahkan pihak panti asuhan tidak tahu orang tuaku siapa.”

Napas Karleen berderu tidak karuan. “Maksudku bukan begitu, Karleen,”ujar Lisette yang merasa bersalah.

“Karleen, apa kau tidak ingin hidup tenang dan menikah nanti? Setidaknya kau harus memiliki keturunan untuk orangtuamu. Mereka pasti ingin memiliki cucu yang-”

Lagi-lagi Karleen memotong pembicaraan sahabatnya. Kali ini pembicaraan Edwynlah yang Karleen potong.

“Anak-anak yang memiliki orang tua kandung seperti kalian mana mengerti perasaan anak yang diadopsi sepertiku.” Karleen berdiri dan meninggalkan toko. Dia berlari sekuat tenaga menuju bukit di ujung desa.

“Aaah.” Edwyn mengacak rambutnya kesal.“Sekarang bagaimana?”Edwyn bertanya kepada Lisette. Lisette diam sejenak memikirkan jawaban.

“Berikan Karleen waktu sendiri untuk menenangkan diri, Edwyn. Mungkin kita harus menghargai keputusan Karleen. Karena itu keputusan yang dia pilih. Kita tidak boleh semena-mena menentangnya. Bahkan orangtuanya sudah memberikan Karleen izin. Hal yang seharusnya kita lakukan adalah mendukungnya, bukan mengintervasinya.”

Edwyn mengangguk mendengar penjelasan Lisette. Penjelasan Lisette membuka pikiran Edwyn. Sebagai sahabat Karleen, seharusnya dia tidak berkata seperti itu kepada Karleen.

“Aku pikir, apa yang sudah kita katakan kepada Karleen sudah keterlaluan, Edwyn. Kita tunggu sekitar 30 menit untuk Karleen menenangkan diri dan setelah itu kita susul Karleen.”

Edwyn menunduk mendengarkan perkataan Lisette. “Baiklah, Lisette. Seperti biasa hanya kau yang bisa berpikir jernih di saat keadaan rumit.”Senyum paksa terukir di bibir Edwyn. Dia sadar apa yang telah dikatakannya kepada Karleen adalah sebuah kesalahan. Seharusnya mereka tidak harus memvonis keputusan Karleen yang ingin menjadi prajurit.

Edwyn dan Lisette sama-sama duduk terdiam menunggu waktu 30 menit. Selama menunggu Nyonya Becker masih sibuk bekerja di belakang dan tidak ada pelanggan yang ke toko roti. Kelihatannya Nyonya Becker sangat sibuk mengerjakan pekerjaannya sehingga tidak mendengar keributan yang barusan terjadi.

Edwyn dan Lisette pamit kepada Nyonya Becker. Kemudian mereka berdua berlari menuju bukit. Dari kejauhan mereka dapat melihat Karleen yang sedang menyandar di pohon. Karleen terlihat menutup matanya dan mengatur napasnya. Saat mereka berdua berjalan dengan tidak menimbulkan suara, Karleen membuka matanya. Dia tidak mengatakan apapun setelah melihat kedua sahabatnya menghampirinya dan duduk bersebelahan dengan Karleen.

“Karleen,”panggil Edwyn dengan pelan. Edwyn berniat menggapai tangan kanan Karleen. Karleen tidak menolak saat Edwyn berhasil menggenggam tangannya. Sorot matanya lurus, seakan tidak peduli dengan panggilan Edwyn.

“Hei, Karleen,”panggil Edwyn sekali lagi. Edwyn semakin erat menggenggam tangan Karleen. “Maafkan kami. Maafkan aku karena telah berbicara sesukaku. Aku sadar apa yang telah kukatakan menyakiti hatimu. Aku hanya tidak ingin kau tersiksa menjadi prajurit. Aku hanya ingin melihatmu bahagia dan menikmati hidupmu tanpa beban. Melakukan hal yang kau suka tanpa mengorbankan dirimu untuk orang lain, terlebih lagi orang lain yang tidak kau kenal, Karleen.”

Karleen mencerna kata-kata Edwyn. Mata Karleen yang awalnya tampak sedih menjadi berbinar, meski hanya sebentar. Tak lama kemudian sorot mata Karleen berubah menjadi menyala, seakan dia tidak menerima perkataan Edwyn semuanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status