Edwyn dan Lisette telah kembali ke rumah. Setelah Conrad mengenalkan diri kepada mereka, Edwyn meminta maaf kepada Conrad dan Karleen. Kini tinggal mereka berdua. Apsel telah kenyang dan tampak berenergi lebih.
Hari sudah menjelang sore. Karleen dan Conrad berdiri saling berdiam-diaman. Tidak ada yang berniat memulai percakapan. Sampai Conrad berpikir ini adalah saat yang tepat untuk berpamitan kepada Karleen.
"Karleen," panggil Conrad dengan suara bassnya.
"Ya?" jawab Karleen tanpa melihat ke arah Conrad. Karleen memainkan kakinya, menggesek sol sepatunya ke atas tumpukan salju yang masih tipis.
"Aku ingin berpamitan sekarang."
"Eh? Cepat sekali? Bukankah kau akan pergi besok?"
Conrad tersenyum tipis. "Bukankah segala sesuatu itu lebih cepat lebih baik?”
"Bagaimana kalau kita minum cokelat panas dulu sebelum kau kemba
“Bibi Eva! Apa kabarmu?” Karleen merenggangkan pelukannya.Bibi Eva yang menangis melangkah mundur. Dia mengelus kepala Karleen dengan lembut. “Seperti yang kau lihat sayang. Aku baik-baik saja, terlebih aku sangat senang bisa bertemu denganmu,” jawab Bibi Eva dengan suara yang sedikit bergetar. Karleen bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dari suara Bibi Eva.“Bagaimana kabarmu sayang? Kau tumbuh dengan sangat cantik,”puji Bibi Eva. “Aku sangat baik, Bi. Terima kasih Bi!” Karleen memperlihatkan senyum terbaiknya kepada Bibi Eva. Edwyn dan Lisette berdiri canggung melihat Karleen dan Bibi Eva.“Ah, apakah mereka sahabatmu?”tanya Bibi Eva sambil menunjuk Edwyn dan Lisette yang berdiri tepat di depan kereta kuda.“Iya Bi. Mereka sahabatku sejak umur 7 tahun. Mereka juga teman pertamaku di lingkungan baru,” jawab Karleen de
Karleen dan Warren sama-sama terdiam. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan tadi karena Karleen enggan bertanya duluan. Dia menunggu-menunggu untuk Warren mengajaknya berbicara lagi. Suasana semakin canggung saat perut Karleen meronta kelaparan. Kruuuk Karleen menutupi perutnya dengan kedua tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya menahan malu. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Warren melirik ke arahnya sebentar. “Apa kau lapar?” Pertanyaan Warren hanya mendapat jawaban anggukan dari Karleen. “Kalau begitu ayo ikut aku. Jika Bibi Eva sedang kedatangan tamu, pasti dia akan masak besar.” Warren sudah berdiri duluan. “Kau mengenal Bibi Eva?” dalam keadaan masih duduk Karleen mendongakkan kepalanya menatap Warren yang tunjang. Melihat Warren seperti ini seakan mengingatkannya pada seseorang. Karleen tidak yakin dimana dia melihat seseorang seperti
Karleen ingin cepat sampai di rumah karena hari sudah mulai gelap. Dia berjalan melewati jalan pintas. Jalan pintas ini berada di pemukiman yang tidak dipenuhi oleh penduduk. Karleen berlari berharap agar dia sampai di rumah tepat waktu. Di tengah perjalanan, dia dihadang oleh seorang bapak.-bapak.“Tuan? Apakah anda baik-baik saja?” Karleen tampak sedikit khawatir dengan bapak itu yang wajahnya sangat pucat. Bapak itu mengangguk dengan perlahan.“Apakah anda membutuhkan sesuatu?” Karleen tampak kasihan dengan bapak itu. Bapak itu menggeleng dengan pelan. Gerakannya seperti patah-patah.“Kalau begitu, saya pergi dulu,” kata Karleen berusaha berjalan meninggalkan bapak itu. Belum sempat kaki Karleen melangkah sempurna, tangan Karleen dicengkram dengan kuat oleh bapak itu.“Astaga! Apa-apaan anda!” Karleen berusaha melepaskan cengkraman bapak itu. D
Karleen berjalan terseok-seok ke luar dari ruangan itu. Dia sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Lorong yang panjang dan bersih. Karleen tidak bisa berpikir sedang berada di mana dia. Tangan kiri Karleen menahan ke dinding dan dia berjalan dengan pelan. Dia menggerek kakinya perlahan.Warren dan Gunther tampak berdiri berhadapan di depan jendela besar. Warren melihat kedatangan Karleen. Dia berlari mendekati Karleen dengan ekspresi yang tidak bisa Karleen tebak.“Astaga! Maafkan aku, seharusnya aku menunggumu di depan ruangan itu.”“Ah! Kenapa kau minta maaf? Aku tidak apa-apa,” jawab Karleen ramah.“Sejak kapan kau berbicara dengan informal kepada Kapten?” Gunther memandang Karleen dengan tatapan misterius.“Hahahah, sejak tadi.” Karleen beralibi.“Kapten, bisa kau jelaskan ini? Bahkan untuk mendapatkan kepercayaanmu untuk berbicara tidak formal membutuhkan bertahun-tahun. Dia, perempuan yang baru kau kenal berbicara seperti itu apa kau tidak kesal?” Gunther terlihat sedik
“Lisette, apa boleh kau temani aku dulu di sini?”Karleen memohon dengan tatapan yang memelas. “Tenang Karleen. Aku akan selalu di sini sampai kau tertidur,” jawab Lisette. “Kau tahu Lisette, aku sangat takut semalam. Aku pikir aku akan mati.” “Karleen, kau tidak mungkin mati karena luka seperti itu. Mungkin kau pingsan karena terkejut ditabrak kuda. Aku yakin dalam dua hari kau akan benar-benar sembuh.” Karleen tersenyum riang mendengarnya. “Terima kasih, Lisette cantik!” “Hmm, Karleen.” “Iya, Lisette?” Jari telunjuk Lisette mengarah kepada jaket hitam yang digantung dengan hanger di depan lemarinya. “Apakah itu jaket orang yang di panti asuhan kemarin?” Karleen mengangguk. “Kenapa tidak langsung kau lipat saja?” Lisette bertanya setelah menujuk jaket milik Warren. “Ah, itu kemarin aku belum sempat melipatnya,” jawab Karleen dengan jujur. “Aku akan mengembalikannya saat kita akan pindah ke asrama militer.” “Kenapa begitu? Memangnya apa hubungan laki-laki itu dengan militer?”
Karleen terperanjat dari tidurnya. Dia memijat pelipisnya dengan pelan. Mimpi aneh yang masih tergambar jelas di ingatannya, membuat Karleen bergidik ngeri. “Alih-alih aku takut mendapatkan mimpi buruk karena telah diserang demon, aku malah bermimpi mengenai Warren. Ini pasti karena aku selalu terbayang-bayang olehnya. Ah, lukaku!” Karleen melihat lengan kanan dan kakinya secara bergantian. Luka itu telah hilang. Tidak ada satu pun goresan yang tersisa. Karleen yang mengira ini hanya halusinasi semakin berpikiran aneh. “Apa jangan-jangan luka itu hanya halusinasi saja? Atau sebenarnya demon itu tidak ada? Dan semalam itu aku hanya pingsan dan bermimpi buruk kemudian aku ditolong oleh Warren dan Gunther? Atau jangan-jangan aku sudah gila?” Karleen tertawa untuk menenangkan dirinya. Dia mengambil kotak obat di atas nakas kamarnya. Dia membalut kembali bagian terluka dengan perban yang bersih. Tidak mungkin Karleen memberi tahu hal yang tidak masuk akal ini kepada orang tuanya. Karle
Lisette menyadari perubahan air muka Karleen. Pipi Karleen bersemburat merah muda terlihat seperti buah persik. Karleen menggelengkan kepalanya dengan kencang. “Karleen, apa kau demam?” Lisette menaruh telapak tangannya di kening Karleen. “Meskipun kau tidak panas, ada baiknya kau melanjutkan istirahatmu. Kalau begitu aku pamit ya! Besok aku ke sini lagi.” Lisette mengusap kepala Karleen gemas. Dia tidak memiliki ide apa yang dirasakan Karleen barusan. “Baiklah, hati-hati! Sampai ketemu besok!” Karleen tersenyum melihat punggung Lisette yang hilang setelah pintu kamar Karleen. “Ah! Aku baru sadar bahwa minggu depan aku sudah harus berada di asrama.” Karleen berdiri dari baringnya dan membuka lemari. Dia berniat untuk memilah baju yang akan dibawanya nanti. Saat membongkar lemari, dia menemukan sebuah kotak. Karleen sudah sangat lama tidak membuka kotak tersebut. Isi kotak itu adalah kalung. Kalung berliontin batu rubi peninggalan orang tuanya. Sewaktu masih di panti asuhan, Karl
Karleen dan Conrad sudah berada di perpustakaan. Mereka mencari buku yang ingin mereka baca. Karleen terlihat sangat antusias mencari buku baru di rak depan. Sedangkan Conrad sedang berada di rak paling belakang, mencari buku biru yang pernah menarik perhatian Karleen. Dia berencana ingin menimbulkan kembali ketertarikan Karleen terhadap buku itu. Mantera Ajaib yang Mudah, Conrad sangat yakin sekali judul bukunya itu. Dia menyusuri semua rak di bagian belakang. Dengan sampul yang berwarna biru, seharusnya buku itu mudah ditemukan. Usaha Conrad sia-sia ketika beberapa menit telah berlalu dan Karleen datang menghampirinya. “Conrad? Kau belum menemukan buku yang ingin kau baca?” Karleen datang memeluk dua buku yang memiliki sampul yang mirip. Conrad sangat yakin jika buku itu novel bersambung. “Iya, Karleen. Aku kesulitan mencari buku itu.” Conrad menyandar di dinding. Dengan badannya yang tinggi, Conrad masih sibuk mencari-cari buku itu di rak teratas. Betapa senangnya Conrad ketika