Share

5. Buku Demon

Karleen membuang napasnya kasar. Raut wajahnya masih kesal. Conrad yang sedari tadi memerhatikan dari samping hanya tersenyum saja dan tidak mengatakan apapun.

“Dasar laki-laki aneh,” tukas Karleen dengan suara kecil. Sayangnya, Conrad mendengar perkataan Karleen dan meresponnya.

“Iya, aku aneh setelah bertemu denganmu.” Karleen menunduk mendengar jawaban Conrad. Semburat merah muncul di pipinya.

“Ah, maafkan aku Conrad aku tidak bermaksud. T-tapi kau memang aneh.”Lagi-lagi Conrad tertawa mendengarnya.

“Kau ingin mencari buku apa?” Pertanyaan Conrad membuat kepala Karleen mendongak. Karleen mendekati Conrad dan membisikkan sesuatu.

“Kau tidak perlu berbisik sedekat itu,”tutur Conrad. Conrad berdiri dan menyurusuri rak terdekat. Kepalanya bergerak ke arah berbeda. Karleen hanya mengikuti dari belakang. Dia juga mencari sekali lagi. Conrad terhenti di pojok rak dan mengambil buku bersampul gelap dari rak paling atas.

Conrad kembali ke tempat duduk tadi bersama Karleen. Dia membuka perlahan buku yang tampak sedikit using. Dari penampakannya jelas buku ini sudah sangat tua. “Karleen, sini mendekat.” Conrad menginstruksikan dengan tangannya memberi perintah untuk Karleen mendekat.

Karleen mendengarkan perkataan Conrad. Dia mendekatkan dirinya, tulisan di buku ini tampak sudah sedikit tidak jelas. Di beberapa bagian bahkan terlihat luntur. “Kau ingin membaca bagian yang mana?” tawar Conrad.

“Entahlah, yang mana saja. Asal masih bisa terbaca.” Conrad menggeser buku itu tepat ke hadapan Karleen. Karleen memulai membacanya dengan cepat. Baru beberapa halaman dibacanya, Karleen merinding.

“Apakah ini betulan?”tanya Karleen pelan.

“Itu tergantung kepada pembacanya. Di halaman paling depan sudah ada instruksi untuk pembacanya. Buku ini dibuat bukan untuk dipercayai mentah-mentah tanpa adanya bukti atau dukungan buku yang lain.” Conrad menjelaskan.

Karleen mengangguk tanda mengerti. Dia sebenarnya takut untuk percaya. Sehingga apa yang sudah dia dapati dari buku ini mengenai asal-usul demon hanya dijadikan pengetahuan saja.

“Kenapa kau penasaran membaca buku ini, Karleen?” Conrad bertanya di sela-sela bacaan Karleen. Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku, Karleen menjawab pertanyan Conrad.

“Aku ingin mengetahui kebenaran,”jawabnya singkat. Conrad kurang paham dengan jawaban Karleen. Alis Conrad naik sedikit.

“Maksudmu, kau ingin mencari tahu apakah demon itu nyata?”

“Ya, seperti itulah. Aku tidak bisa percaya begitu saja bahwa demon hanya dongeng.”Karleen semakin fokus membaca halaman selanjutnya. Siapa pun yang menulis buku ini pasti nyalinya sangat kuat.

“Hhmm, aku menyarankanmu untuk tidak terlalu tertarik dengan demon-demonan.”

“Kenapa begitu, Conrad? Apakah salah jika aku penasaran dengan fakta yang ada?”  Karleen mengalihkan pandangannya dari buku. Dia merasa sedikit tertanggu dengan saran Conrad.

“Itu  bukan suatu yang seru untuk dicari tahu, Karleen. Makhluk mitologi seperti mereka sangat menyeramkan, apakah itu tidak membuatmu parno? Dari ekspresimu membaca buku ini saja kau sudah tidak nyaman. Padahal itu masih di halaman depannya saja, bagaimana reaksimu selanjutnya jika sudah selesai membaca buku ini? Apakah yakin kau masih bisa hidup tenang? Tidak merasa terngiang-ngiang dengan deskripsi yang ada di buku ini?”

Karleen terkesiap dengan perkataan Conrad. Dia tidak nyangka Conrad akan berbicara seperti itu. Dia tidak paham apakah Conrad begitu peduli kepadanya atau hanya sekadar menakut-nakutinya saja.

“Iya, aku akui aku merasa takut. Tapi aku ingin mengetahuinya.”

“Aku mohon Karleen, aku memintamu untuk tidak membaca buku-buku aneh seperti ini. Aku tidak akan menjamin apa yang akan kau alami selanjutnya jika kau mengetahui banyak hal mengenai demon,”jelas Conrad.

“Maksudmu aku akan celaka? Aku tidak mengerti Conrad. Kenapa kau melarangku? Aku bukan anak kecil. Lagipula ini bukan buku aneh yang menakut-nakuti pembacanya. Buku ini berisi pengetahuan  meskipun aku meragukan keberanannya. Kau berkata seperti itu kepadaku seakan-akan kau mengetahui sesuatu.”Karleen merapatkan bibirnya setelah berbicara dengan nada yang sedikit tinggi. Dia  mengamati Conrad dengan lekat.

“Aku hanya tidak ingin kau merasa takut. Siapa yang bisa menjamin kau masih bisa tidur dengan nyenyak setelah menamatkan buku ini?” jawab Conrad dengan nada sedikit dibuat-buat.

“Hah, baiklah. Apa yang tidak kau inginkan tidak akan terjadi. Aku akan tetap membaca buku ini, meskipun aku merasa takut.” Karleen mengatupkan rahangnya.

“Aku akan  menemanimu membaca, jadi kau tidak perlu meminjam buku ini untuk dibaca pulang. Baca sebisamu di perpustakaan, berjanji kepadaku untuk tidak membaca buku ini sendirian.”

“Serius, kau sangat berlebihan dari awal pertemuan kita. Kalau begitu aku akan membaca bab yang menurutku menarik saja.”Karleen melihat daftar isi buku itu. Dia membaca bab deskripsi demon. Matanya menyipit setelah membaca satu halaman. Begitu menyeramkan. Karleen langsung membayangkan rupa demon yang sangat buruk. Imajinasinya melayang, Karleen menjadi melamun. Conrad yang menyadari tingkah Karleen menguncang bahu Karleen.

“Astaga! Jangan bilang kau membayangkan rupa demon yang jelek itu?” Conrad tampak cemas dengan tingkah Karleen yang terdiam. Karleen hanya mengangguk menjawab pertanyaan Conrad.

“Huh, dasar keras kepala!” Conrad mengambil paksa buku itu. Dia tidak mengembalikan buku itu rak asalnya. Conrad menuju meja resepsionis dan meminta petugas itu untuk tidak meletak buku semacam ini lagi di rak. Petugas yang sudah berumur itu awalnya bingung dengan permintaan Conrad, dia akhirnya mengerti ketika melihat buku itu.

Saat Conrad kembali Karleen masih melamun. Dia tidak tahu pasti apa yang dipikirkan Karleen. Yang pastinya wajah gadis itu tampak pucat. Semangat yang terlihat di wajahnya beberapa menit yang lalu tergantikan dengan rasa takut. Conrad mengerti apa yang dirasakan Karleen. Apalagi sepengamatan Conrad, Karleen adalah anak yang imajinatif. Sangat sulit bagi Karleen jika sudah membayangkan sesuatu dan melupakannya begitu saja.

“Hei, Karleen. Jangan terlalu dipikirkan, itu semua hanya fiktif saja. Tidak asli.” Conrad berusaha menenangkan Karleen. Karleen hanya mengangguk mendengarkan perkataan Conrad. Mereka berdua sama-sama diam sebelum Conrad memiliki ide untuk mengajak Karleen berjalan-jalan.

“Karleen, ayo ikut aku!”Conrad sudah terlebih dahulu berdiri. Dia mengulurkan tangan kanannya di hadapan Karleen. Karleen yang masih mencerna perkataan Conrad, dengan pelan menerima uluran tangan Conrad. Mereka keluar dari perpustakaan dengan berlari kecil.

Tangan mereka masih bertautan saat Conrad berhenti di sebuah jalan setapak. Di ujung jalan itu terdapat kuda berwarna cokelat yang diikat pada pohon yang berukuran sedang. Karleen menatap Conrad penuh tanda tanya. Dengan pelan Conrad melepaskan tangan mereka dan menghampiri kuda itu. Conrad melepaskan ikatan kuda itu dari pohon. Karleen kaget dengan tingkah Conrad.

“Hei, Conrad! Kau ingin apa? Kau mau mencuri kuda itu?” tanya Karleen dengan nada tinggi. Conrad melirik Karleen dan tertawa. Setelah sukses melepas tali, Conrad menuntun kuda itu untuk melangkah beberapa meter. Conrad pun naik ke atas pelana. Karleen menatap tidak percaya.

“Hei! Itu milik orang lain!”sahut Karleen. Lagi-lagi Conrad tertawa kecil.

“Ini milikku, ayo naik Karleen!” Conrad mengulurkan tangan kirinya. Masih dalam posisi yang tadi, Karleen takut-takut menerima uluran tangan Conrad. Karleen sedikit kesulitan memposisikan duduknya karena dia sedang memakai gaun. Untung saja dia memakai celana panjang sebagai dalamannya.

Baru pertama kali bagi Karleen naik kuda bersama orang yang baru ditemuinya dua kali. Tanpa persetujuan Karleen, Conrad memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Karleen yang hampir terjungkang, reflek mengalungkan kedua lengannya pada pinggang Conrad. Conrad yang awalnya kaget dengan perlakuan Karleen yang tiba-tiba sekarang malah merasa nyaman. Dengan sengaja dia semakin menambah kecepatan. Karleen memeluk erat pingang Conrad.

“Hei! Sekarang sedang musim dingin, nanti kita bisa tergelincir jika laju-laju!”

Hanya butuh lima belas menit untuk mereka sampai di sebuah danau. Karleen hanya sekali ke mari saat masih kecil. Waktu itu dia dibawa orang tua angkatnya untuk berkeliling desa.

“Wah! Sangat menakjubkan!” Kagum Karleen melihat pemandangan sekitar. Rasa takut dan kalut selepas membaca buku tadi mendadak hilang. Dia bisa merasakan dirinya menjadi sangat tenang. Karleen merentangkan tangannya. Dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Meskipun pemandangannya berbeda dengan yang dia lihat sewaktu kecil, Karleen sangat senang. Dia belum pernah melihat danau beku seperti ini.

Karleen memerhatikan kuda yang mereka tunggangi tadi dengan khawatir. “Hhmm, Conrad. Apa kudamu tidak apa-apa?”

“Tenang, dia sudah sangat terlatih. Kau tidak perlu cemas,” balas Conrad. Mereka diam dalam pikiran masing-masing. Karleen tidak henti-hentinya mengagumi pemandangan ini. Dia bersenandung pelan. Conrad yang mendengarnya, mulai berbicara.

“Kau sangat mirip dengan adikku,” ucap Conrad yang berhasil menarik perhatian Karleen dari pemandangan.

“Benarkah? Apanya yang mirip? Kemarin kau berkata aku mirip dia dari belakang, huh?”

“Entahlah, dari segi fisiknya memang mirip. Tetapi untuk mental, adikku tidak sekuat dirimu.” Conrad mengakhiri ucapannya dengan nada yang sedih

“Hhmm, mungkin kelihatannya adikmu tidak sekuatku. Kelihatannya saja, padahal kau belum mengenalku dengan baik. Eh, sebentar. Darimana pula kau tahu kalau mentalku kuat?”pupil Karleen membesar.

“Hanya menebak saja, tetapi ternyata kau itu penakut dan parnoan.” Conrad tertawa kecil.

“Jangan mengejek, aku itu anaknya sangat imajinatif. Semua hal akan langsung kubayangi jika perlu. Makanya aku sangat senang membaca,”jelas Karleen. Conrad hanya mengangguk saja. Dia sudah mengenal Karleen meski baru bertemu dua hari saja. Dan dia juga sudah menganggap Karleen seperti adiknya.

“Omong-omong Conrad, kau tidak memakai jubahmu yang kemarin?” Karleen memerhatikan Conrad dari ujung kaki hingga kepala.

“Tidak, itu seragam kerjaku. Untuk apa aku memakai seragam seperti itu di hari libur.”Mulut Karleen membentuk huruf o.

“Jadi kau bekerja di mana? Aku belum pernah melihat orang yang berseragam seperti milikmu. Atau jangan-jangan kau ini bukan orang sini, ya?”tanya Karleen menyelidik.

“Memang bukan Karleen, aku ke sini hanya untuk mengunjungi saudara. Besok aku akan pergi.” Conrad berharap jawaban ini dapat mengalihkan Karleen dari pertanyaannya mengenai pekerjaan.

“Hah? Pergi?”alis Karleen naik. Dia tidak tahu mengapa rasanya ingin marah dan sedih.

“Jangan mengada-ada Conrad, kita baru dua hari bertemu masa kau harus pergi,” ujur Karleen terdengar kesal. Conrad menatap Karleen dengan lembut.

“Tempatku bukan di sini Karleen. Lagi pula seterusnya kita tidak akan bertemu. Bukankah kau akan senang jika tidak bertemu denganku?”

“B-bukan seperti itu, kemarin kita baru saja berjumpa dan kita sama-sama tidak mengenal satu sama lain. Dan sekarang, aku kira aku sudah mengenalmu dan ingin mengenalmu lebih jauh.” Karleen tidak tahu mengapa dia berkata seperti ini.

“Jangan salah paham, karena kau bilang aku mirip dengan adikmu aku jadi berpikiran ingin memiliki saudara juga.” Ucapan Karleen terdengar sedih. Pasti menyenangkan memiliki saudara yang keren dan pengertian seperti Conrad.

“Baiklah, adik.” Conrad mencoba menggoba Karleen.

“Eh? Apa yang kau bilang tadi?”

“Berbicara kepada orang yang lebih tua harus sopan. Kau harus memanggilku kakak!”perkataan Conrad terdengar seperti perintah bagi Karleen. Karleen yang mendengar itu merasakan hangat dalam tubuhnya. Dari dulu dia sangat iri kepada Lisette dan Edwyn yang sama-sama memiliki saudara yang lebih tua dari mereka.

“Jadi, apa boleh aku memanggilmu kakak?”tanya Karleen dengan nada lembut. Conrad menjawab dengan anggukannya.

“Apa adikmu tidak akan keberatan? Maksudku, adikmu pasti akan tersinggung jika ada orang lain yang memanggilmu kakak.” Karleen tidak ingin menyinggung adik Conrad meski tidak lagi berada di dunia.

“Tidak masalah. Aku yakin dia tidak akan keberatan. Dari dulu dia menginginkan teman dekat untuk menghabiskan waktu bersama dengannya. Hanya saja, sampai akhir waktunya dia tidak memiliki teman dekat untuk menemaninya.”

“Ah, maafkan aku. Kau tidak perlu meneruskan berbicara tentang hal itu. Tidak semua orang akan nyaman berbicara mengenai hal pribadi yang bersifat sensitif kepada orang lain,” ucap Karleen seraya memandang Conrad dari samping. Tubuh tunjang Conrad membuat Karleen harus mendongakkan kepalanya dengan ekstra. Senyum tipis terukir di sudut bibir Conrad. Karleen tidak bisa memahami arti senyuman itu.

“Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku, Karleen.” Conrad memutar kepalanya memandang Karleen.

“Tidak perlu berterima kasih. Terima kasih telah menceritakan sedikit tentang adikmu.”

“Sedikit?” Conrad memberi tatapan bingung kepada Karleen.

“Iya, sedikit. Kau berhutang menceritakan banyak hal kepadaku, Conrad!”tukas Karleen. Entah dari mana timbul keberanian untuk mengatakan hal seperti itu kepada Conrad.

“Baiklah, aku berjanji akan menceritakannya padamu. Tapi tidak untuk tahun ini. Ini sudah hampir akhir tahun, aku tidak akan menjamin akan menjumpaimu dalam waktu dekat.”

“Setidaknya kau sudah berjanji. Aku akan menagihnya kapan-kapan. Satu yang harus kau lakukan Conrad.” Manik mata mereka bertemu.

“Apa itu?”

“Jangan melupakanku,”jawab Karleen. Tanpa terasa pipinya memerah. Dia kemudian menundukkan kepalanya.

“Harusnya aku yang berkata seperti itu kepadamu. Mana mungkin aku akan melupakan Karleen si Penakut.”Perkataan Conrad diakhiri dengan tawa mengejek. Karleen yang kesal meninju lengan atas Conrad dengan keras.

“Au! Karleen sakit tahu!”rengek Conrad. Karleen menjulurkan lidahnya ke arah Conrad. Dia berjalan meninggalkan Karleen dengan langkah kaki yang dibuat-buat.

“Karleen kau marah kepadaku?” Conrad mengejar Karleen yang sudah berjalan menjauh. Saat sudah tiba di dekat Karleen, Conrad mengetahui dengan jelas Karleen kedinginan. Dia melepaskan jaketnya dan memakaikannya ke badan Karleen.

“Eh? Kau tidak perlu seperti ini!” protes Karleen yang hendak melepaskan jaket Conrad. Namun sebelum itu terjadi Conrad menahan jaket itu dengan memposisikan kedua tangannya ke bahu Karleen.

“Jangan dilepas atau tanganku akan menahannya di bahumu.” Kata-kata Conrad terdengar seperti ancaman. Karleen tertawa.

“Baiklah, Kak!” jawab Karleen senang. Jaket Conrad sangat kebesaran di badan Karleen yang lebih kecil dibandingkan Conrad. Badannya menjadi sangat hangat dan nyaman. Mereka berniat lebih lama di sana sebelum perut Karleen mengamuk kelaparan.

“Ayo kita kembali. Kali ini kau yang menunggang kudanya, ya!”Conrad mendekati kuda berwarna cokelat itu dan mengelus surainya. 

“Wah, kau ingin mati muda, ya? Mana bisa aku membawa kuda itu,”tolak Karleen mentah-mentah.

“Bukan membawa, tapi menunggangi.”Conrad membenarkan ucapan Karleen. Karleen tampak berpikir dan mengiyakan perkataan Conrad.

“Oh, iya. Maksudku itulah.” Karleen tidak mau bertemu dengan tatapan Conrad. Conrad tanpa aba-aba sudah naik dan duduk ke atas pelana. Dia mengarahkan, Apsel, kudanya untuk memutari Karleen.

“Ayo naik kau di depan, akan kuajari untuk menunggangi kuda. Bukannya seorang prajurit harus pandai menunggangi kuda?”

“Darimana kau tahu aku ingin menjadi prajurit?”

“Ibumu yang menceritakannya kemarin. Dia terlihat sangat senang dan bangga. Sejujurnya aku kaget mendengarkan cerita ibumu mengenai dirimu.”

“Ceritaku tentang apa?” Karleen memberi tatapan menyelidik. Tidak mungkin ibunya menceritakan kenakalannya waktu kecil kepada Conrad.

“Berkelahi.”

Karleen menatap tumpukan salju yang berwarna putih. Dia merasa malu Conrad mengetahui sisi nakalnya sewaktu kecil. “Hei, ayo naik. Kasihan Apsel sudah tidak sabar untuk dibawa gadis sepertimu.”

“Oh, namanya Apsel? Berarti dia laki-laki?” Karleen terlihat bersemangat. Dia mengelus kepala Apsel yang dibalas dengan Apsel dengan menduselkan kepalanya pada badan Karleen.

“Sepertinya dia menyukaimu, Karleen. Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo naik!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status