Share

3. Keyakinan dalam Hati

Berbulan-bulan mereka lalui dengan berbagai latihan beragam yang dipimpin oleh Karleen. Karleen sangat senang melihat progres sahabatnya yang terus membaik. Edwyn yang awalnya tidak terlalu memiliki daya tahan tubuh yang bagus sekarang malah menjadi kuat dan bahkan di beberapa sesi latihan beladiri jarak dekat, Edwyn sudah bisa mengalahkan Karleen. Lisette juga menjadi lebih kuat dibanding sebelumnya. Dia lebih cekatan dalam berlari dan mendaki, meskipun untuk beladiri Lisette hanya menguasai yang dasarnya saja.

Mereka bertiga duduk melingkar di bawah pohon sambil menyantap berbagai makanan yang mereka bawa. Tidak terasa minggu depan mereka akan mengikuti tes keprajuritan. Karleen memecah keheningan. “Edwyn, Lisette. Aku ingin mengatakan sesuatu,”ucap Karleen pelan. Wajahnya sangat serius. Edwyn dan Lisette yang mengetahui Karleen sedang serius, menanggapi Karleen dengan serius juga.

“Apa itu, Karleen? Katakan kepada kami,” jawab Lisette.

“Anu, itu. Arrghh! Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepada kalian meskipun aku sudah menyusun kata-katanya semalam!”Karleen terlihat frustasi. Kedua sahabatnya menjadi bingung.

“Jangan bilang ini ada kaitannya dengan prajurit?” tebak Edwyn.

“Selamat Edwyn, tebakanmu benar!”

“Hah?!”Edwyn dan Lisette kaget. Rahang mereka turun seakan tidak percaya.

“Kau tidak jadi daftar prajurit?” tebak Lisette.

“Bukan, aku sangat yakin melanjutkan. Hanya saja ini mengenai tes.” Karleen berhenti berbicara dan menelan ludahnya. Dia takut Edwyn dan Lisette akan marah besar mendengar penjelasannya.

“Begini, aku minta kalian jangan marah kepadaku dan tolong dengarkan kata-kataku terlebih dahulu.” Edwyn dan Lisette mengangguk mendengar permohonan Karleen. Karleen menatap penuh arti kedua sahabatnya secara bergantian. Dia membuang napas dan menarik napasnya dengan dalam. Beberapa detik terdiam, Karleen melanjutkan pembicaraannya tadi. Tergambar jelas rasa penasaran pada wajah Edwyn dan Lisette.

“Untuk daftar prajurit,sebenarnya kita tidak perlu terlalu keras berlatih. Karena sebenarnya mereka akan membuka pendaftaran melalui jalur relawan. Tes yang akan kita hadapi tidak terlalu penting, hanya saja itu untuk mengurutkan calon prajurit muda ke dalam 100 besar dan mengelompokkan mereka ke dalam kelompok kecil.”

Karleen terdiam setelahnya. Tidak ada tanda-tanda kemarahan dari wajah kedua sahabatnya. “Lalu?” tanya Edwyn.

“Ya, jadi. Sebenarnya kita tidak perlu berlatih terlalu keras. Dan aku juga tidak perlu terlalu keras menyuruh kalian. Aku minta maaf, kalian berhak marah kepadaku.” Karleen menunduk.

Anehnya, Edwyn dan Lisette hanya tertawa. “Kenapa kalian tertawa? Apa kalian sedang tidak sehat?” Karleen memandang mereka dengan cemas.

“Bukan, kami sudah tahu sejak lama. Bahkan kami merasa sangat terbantu dengan latihan yang kau pimpin. Meski dibilang tidak penting, tes nanti akan menentukan kita akan masuk 100 besar atau tidak. Terima kasih banyak Karleen. Aku merasamenjadi lebih kuat semenjak melakukan latihan denganmu.”Penjelasan Lisette membuat Karleen tersenyum lebar.

“Aku setuju dengan apa yang dikatakan Lisette. Terima kasih, Karleen. Berkatmu, aku bisa jago beladiri dan mengubah badanku menjadi lebih proporsional.” Edwyn berkata sambil tersenyum senang.

“Ah! Kalian!” Karleen memeluk Edwyn dan Lisette tiba-tiba. Mereka sudah lama tidak berpelukan bertiga. Lengan kanan Karleen meraih punggung Edwyn. Edwyn terdiam lama tidak membalas pelukan Karleen. Wajahnya memanas saat Karleen mengusap punggungnya. Karleen tidak peduli dengan Edwyn yang tidak membalas pelukannya. Yang dia rasakan saat ini adalah senang dan bangga kepada kedua sahabat. Siapa sangka Edwyn dan Lisette menjadi berubah seperti ini. Awalnya mereka yang malah menolak keputusan Karleen yang ingin menjadi prajurit, sekarang malah mereka yang terlihat tidak sabar untuk mengikuti tes di minggu depan.

***

Karleen, Edwyn, dan Lisette pergi ke kota Kassel menaiki kereta kuda milik keluarga Lisette. Perjalanan yang mereka tempuh hanya sekitar sejam. Di sepanjang perjalanan mereka bercanda dan tertawa. Tidak ada perasaan gugup sedikitpun di benak mereka. Mereka yakin akan masuk 100 besar bersama.

Tes yang berlangsung selama tiga jam terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama untuk tes tertulis yang berisikan soal-soal mengenai pengetahuan umum selama satu jam. Sesi kedua untuk tes fisik yang terdiri dari lari mengelilingi lapangan, menyelesaikan tantangan beruntun, pertunjukan beladiri, dan menunggang kuda.

Mereka bertiga menyelesaikan semua tesnya tanpa kendala. Sangat menakjubkan badan mereka bertiga tidak terasa terlalu lelah. Karleen dan Lisette tertawa kecil sambil berpelukan. Edwyn ikut tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya. Karleen dan Lisette berhenti berpelukan ketika kusir menginstruksi mereka untuk masuk ke dalam kereta kuda agar mereka bisa tiba di desa ketika sore hari.

“Bagaimana tesnya tadi, Nona?” Kusir bertanya kepada Lisette.

“Seperti yang saya bayangkan Paman. Tidak terlalu sulit, kecuali tes menunggang kuda,”jawab Lisette dengan penuh percaya diri.

“Kalau nona Karleen dan tuan Edwyn?”tanya Kusir ramah.

“Sama seperti Lisette, Paman. Semua tes yang kami lakukan tadi tidak sulit dan sudah kami kuasai, hanya tes menunggang kuda yang terkendala” Edwyn menjawab dengan senyuman.

“Betul sekali, kami yakin akan masuk 100 besar!”ucap Karleen dengan semangat.

“Wah! Semangat yang sangat bagus, nona! Saya berdoa nona dan tuan pasti akan menjadi prajurit muda yang keren!”

“Terima kasih, Paman!”ucap Lisette. Sisa perjalanan menjadi hening karena Edwyn dan Lisette tertidur. Karleen yang tiba-tiba memikirkan perkataan kakek Weber, menjadi penasaran. Mungkin saja paman kusir mengetahui hal yang dikatakan kakek Weber.

“Paman, apakah saya boleh bertanya sesuatu?” tanya Karleen dengan suara kecil. Dia menggeser badannya mendekati tempat kusir dengan hati-hati.

“Terdengar seperti Nona akan bertanya sesuatu yang penting. Silakan, Nona.”

“Ini Paman, apakah Paman mengetahui tentang demon yang pernah menyerang manusia?”tanya Karleen dengan hati-hati. Dia tidak mau Edwyn dan Lisette terbangun karena suaranya.

“Kenapa Nona bertanya tentang hal itu?” Paman kusir tidak langsung menjawab pertanyaan Karleen.

“Saya ingin mengetahui kebenarannya paman. Tampaknya hal itu ditutup-tutupi dari sejarah kita dan malah menjadikan peristiwa itu sebagai legenda dan dongeng anak-anak,” pancing Karleen. Dia yakin dengan jawaban seperti itu paman kusir akan menjawab dengan jujur.

“Bagaimana Nona bisa tahu?”

Deg

Prediksi Karleen benar. “Saya mengetahuinya dari seorang kakek. Jadi, apakah Paman bisa menceritakan kebenaran itu kepada saya?”

“Sejujurnya tidak aman jika saya menjelaskan kepada nona di perjalanan seperti ini. Namun, jika saya menjelaskan dengan suara yang sangat kecil ada kemungkinan tidak ada yang bisa mendengar percakapan kita.” Karleen mengerutkan dahinya. Dia tidak mengerti maksud dari pernyataan paman kusir.

“Beratus-ratus tahun yang lalu, daerah kita diserang oleh demon. Mereka mengganggu kehidupan manusia karena ingin menguasai dunia. Setelah bertahun-tahun perang, seorang keluarga yang diyakini sebagai penyihir menyegel daerah asal demon dengan sihir mereka yang sangat hebat. Hingga saat ini kabar burungnya demon masih tersegel rapi. Namun, beberapa orang pernah mengaku hampir diserang demon.”

Karleen menelan ludahnya. Cerita ini sama persis dengan cerita yang diceritakan kakek Weber. “Darimana paman tahu cerita itu?”

“Kakek saya, dia mantan prajurit. Sepertinya cerita seperti itu memang diceritakan turun-temurun dari anggota prajurit zaman lampau. Untuk kredibelitasnya sendiri, saya kurang yakin, Nona. Namun, melihat kakek saya waktu itu menceritakan kepada saya, saya yakin dia tidak berbohong. Bahkan, mungkin saja dia pernah mengalaminya.”

Karleen tidak mengerti dengan kalimat terakhir yang dilontarkan paman kusir.

“Mengalami apa, Paman?”tanya Karleen tepat setelah paman kusir terdiam.

“Bertemu dengan demon,”jawab paman kusir dengan suara yang sangat kecil. Jika saja Karleen tidak memposisikan dirinya lebih dekat dengan tempat kusir, maka jawaban paman kusir ini tidak akan bisa terdengar olehnya.

“Hah?”respon Karleen tidak percaya. Dia mengatakan itu dengan reflek. Sehingga dia tidak sadar bahwa sudah menjawab dengan suara yang sangat lantang.

Edwyn dan Lisette terbangun akibat suara Karleen. Mereka berdua mengucek mata mereka yang terlihat merah. “Kehnahpah?” tanya Lisette sambil menguap.

“Ah, maaf aku membangunkan kalian. I-itu tadi aku ingin tidur dan terkejut karena kita sebentar lagi sampai.” Karleen menjawab dengan kikuk. Untung saja mereka sudah mulai memasuki pemukiman. Edwyn dan Lisette mengedarkan pandangannya.

“Tidak terasa, ya!”Lisette merentangkan kedua lengannya ke udara. Dia memperbaiki rambutnya yang kusut.

Karleen bersyukur karena alasan tadi terdengar sangat nyata. Dia sebenarnya merasa bersalah karena menutupi cerita demon dari Edwyn dan Lisette. Dia tidak mau sahabatnya itu menjadi penasaran dan mencoba mencari informasi ke mana-mana. Setelah mendengar jawaban dari paman kusir, Karleen merasakan takut yang sangat luar biasa. Dia belum pernah merasa takut seperti ini. Hal yang ditakutinya itu seperti akan terjadi di kemudian hari.

Hal-hal seperti itu sering Karleen alami. Meskipun frekuensinya tidak banyak, setiap Karleen merasakan sesuatu dan merasa bahwa hal itu akan terjadi atau tidak terjadi, hal itu akan menjadi kenyatakan sesuai dengan prediksi Karleen di awal.

Mereka bertiga turun dengan gontai dari kereta kuda keluarga Lisette. Paman kusir pamit dan masuk kembali ke dalam rumah Lisette. Lisette sangat beruntung karena berasal dari keluarga yang kaya. Dia tidak perlu khawatir akan masa depannya jika terjadi apa-apa karena orangtuanya akan selalu mendukungnya secara finansial. Meskipun dia berasal dari keluarga yang sangat berada, Lisette tidak pernah sekalipun sombong. Dia selalu berbaur kepada semua temannya dan tetap bersahabat baik dengan Edwyn dan Karleen sedari kecil.

Karleen dan Edwyn berterima kasih kepada Tuan dan Nyonya Schulz dan mereka pamit pulang. Karleen masih memikirkan penjelasan dari Paman Kusir mengenai kakeknya yang pernah bertemu dengan demon. Begitu pula dengan penjelasan kakek Weber. Karleen yakin, jika mereka berhasil menjadi prajurit teka-teki yang selama ini Karleen simpan akan terjawab.

Karleen berjalan dengan langkah yang cepat sambil mengeratkan syal di lehernya. Beberapa blok sudah dia lewati. Saat tiba di satu blok sebelum rumah Karleen, dia mendengar suara jejak kaki dari belakang. Karleen merasa was-was dan melihat ke belakang, kosong. Tidak ada seorang pun yang berjalan di belakangnya. Akhirnya dia melanjutkan langkahnya, di saat itu pula dia kembali mendengar suara langkah kaki. Karleen sengaja tidak membalikkan badannya saat itu juga. Dia menunggu jalan di sekitar rumah-rumah yang lumayan padat agar kesempatan orang yang mengikutinya untuk bersembunyi sedikit.

Saat Karleen merasa yakin tidak ada celah untuk orang itu bersembunyi, Karleen membalikkan badannya dengan gerakan yang sangat cepat. Matanya menangkap sosok asing berjubah hitam dengan aksesoris yang tidak Karleen kenal.

“Ingin merampokku?”tanya Karleen dengan berani. Dia tidak tahu hal apa yang ingin dia tanyakan sebagai bahan pertahanan diri. Laki-laki yang memiliki umur lebih tua dari Karleen diam memerhatikannya.

“Kenapa? Tidak jadi merampokku?” dengan berani Karleen berjalan mendekati laki-laki itu. Matanya membulat saat pandangan laki-laki itu juga tertuju padanya.

“Maaf jika aku membuatmu salah paham. Aku tidak sengaja melihatmu berjalan dengan langkah yang lumayan cepat beberapa menit yang lalu. Karena musim dingin dan tidak banyak orang yang berjalan, aku mengikutimu untuk mengawasimu karena khawatir akan terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa gadis sepertimu.” Kening Karleen mengernyit mendengar penjelasan aneh laki-laki berjubah hitam.

“Kita itu orang asing. Aku tidak perlu pengawasanmu, jika niatmu baik aku berterima kasih. Tapi aku merasa tidak nyaman. Kau bisa berjalan lebih dulu, atau aku berjalan lebih dulu tapi kau jangan mengikutiku. Rumahku hanya tinggal beberapa puluh meter saja dari sini. Kau tidak perlu mengawatirkan perempuan yang tidak kau kenal berjalan sendiri di musim dingin seperti ini. Kalau begitu aku yang jalan duluan saja, ya?”

“Baiklah, hati-hati.” Laki-laki itu terdiam di tempat.

“Terima kasih,” ucap Karleen berjalan dengan langkah biasa meninggalkan laki-laki itu berdiri mematung di pinggir jalan. Karleen sedikit kesal dan bingung. Memangnya ada laki-laki yang melakukan hal seperti itu kepada perempuan asing yang tidak dikenalinya?

Ketika akan masuk ke salah satu gang menuju rumahnya, Karleen membalikkan badannya untuk melihat apakah laki-laki masih di sana atau sudah pergi. Ternyata laki-laki itu sudah pergi. Karleen mengedarkan penglihatannya ke setiap pinggir jalan. Setelah dia yakin dengan apa yang dilihatnya, Karleen berniat berjalan kembali. Namun, badannya bertabrakkan dengan seseorang. Kepalanya mendarat tepat di depan sosok berpakaian hitam.

“Astaga!”teriak Karleen kaget. Dia tidak menyangka laki-laki tadi sudah berada di depannya. Senyum tipis terukir di bibir laki-laki itu.

“Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengagetkanmu.” Karleen mundur beberapa langkah dan menatap laki-laki itu dari ujung kaki hingga kepala.

“Bagaimana bisa kau ada di sini. Maksudku tadi kau berada di belakangku, sekarang kau malah berada tepat di depanku.”

“Itu tidak sulit. Aku berjalan memutari blok ini, tanpa aku ketahui aku telah sampai di sini. Di depanmu,”jelas laki-laki itu.

“Oh, begitukah? Lalu kau tadi berlari?”tanya Karleen penasaran.

“Kau tidak mengikutiku kan? Maksudku kau tidak ingin berbuat jahat kepadaku kan?” Karleen menggigit bibir bawahnya. Dia menyadari bahwa ini adalah pertanyaan bodoh.

Laki-laki itu tertawa kecil. “Tidak, sudah kujelaskan tadi. Jadi aku tidak perlu mengulangnya dua kali, kan? Kalau begitu biar aku antarkan kau sampai ke rumah. Barang bawaanmu juga kelihatan berat,”tawar laki-laki itu.

“Hei? Aku tidak mengenalmu. Bagaimana bisa aku mempercayaimu mengantarkanku sampai rumah. Jika aku melihatmu lagi di sekitaran sini, awas saja. Aku akan mencurigaimu sebagai seorang criminal,” kata Karleen tegas. Sebenarnya dia merasa takut. Namun, dia berusaha tenang dan pura-pura berani.

Laki-laki itu tidak terlihat marah. Dia justru menahan senyumnya. “Aku suka caramu. Apakah itu termasuk ancaman?”

“Bisa jadi, itu tergantung apa yang kau lakukan setelah ini. Meskipun aku perempuan, aku bisa beladiri dan sangat kuat.” Karleen memberikan tatapan mengintimidasi.

“Aku Conrad Buhler,” sebut laki-laki itu seraya mengulurkan tangannya. Karleen mencerna situasi ini.

“Tanganku pegal menunggu balasan tanganmu.”Setelah mendengar apa yang dikatakan Conrad, Karleen menerima ulurannya. “Aku Karleen, Karleen Becker.”Sambil bersalaman, Karleen dan Conrad saling bertatapan. Tangan hangat Conrad membuat Karleen sedikit nyaman. Karleen menaikkan, menurunkan, dan menyampingkan pandangannya. Dia baru sadar bahwa jubah hitam yang dipakai Conrad seperti suatu seragam.

Karleen baru menyadari bahwa Conrad memiliki rambut yang panjang. Panjangnya bahkan hampir menyamai rambut Lisette. Rambut hitam legam Conrad terurai rapi dan terlihat mengkilap. Badannya yang tinggi membuat tengkuk Karleen sedikit sakit karena melihat kea rah kepalanya terlalu lama. Masih dalam posisi bersalaman, Conrad bersuara.

“Karleen?”Mendengar namanya dipanggil oleh Conrad, Karleen reflek melepaskan tangannya.

“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud.”Karleen membuang tatapannya. Dari samping, Karleen bisa melihat bahwa Conrad tersenyum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status