"Sebentar lagi kakimu akan sembuh, tetap semangat ya!" Dokter Raihan memberi tahu, tentu aku senang, karena aku akan menjadi wanita normal.
Aku tersenyum pada Asih, ia pun membalas senyumku. Kakiku memang sudah sedikit lemas walau masih kaku, kecelakaan itu membuat aku menjadi wanita lumpuh sekarang.
"Sih, aku akan beritahu Mas Wahyu untuk hal ini, biar nanti dia antar aku terapi agar dia lihat bagaimana aku mulai bisa selangkang dua langkah berjalan." Aku ungkapkan kebahagiaan ini pada Asih, ART setiaku. Dia terdiam, seperti ada yang dipikirkan.
"Bu, bagaimana kalau jangan beritahu dulu sama Suamimu, kita buat kejutan saja kalau Mbak Afi sudah benar-benar sembuh? Surprise gitu, biar dia kaget dan makin berkesan?" Asih memberi saran, tadinya aku tak setuju, tapi di pikir-pikir benar juga. aku akan kasih kejutan nanti saat aku sembuh total dan aku akan berjalan dengan elegant membuat mata Mas Wahyu tak berkedip. Ah ... Pasti itu akan sangat menyenangkan, berkesan dan tentunya makin membuat semua orang terkejut, aku suka ini.
"Aku setuju, Sih. Ayo kita pulang!" Ajakku pada Asih dengan perasaan senang.
"Baik, Bu."
Sejak di nyatakan aku akan bisa kembali berjalan, hidupku jauh lebih semangat, aku yang sempat down kini sedikit demi sedikit mulai pulih, aku mulai bisa menatap jendela jauh kedepan sana dengan hati senang.
Sore itu aku menunggu kepulangan Mas Wahyu, jam seperti ini memang biasanya dia pulang dan aku sudah membantu Asih menyiapkan makanan walau dengan masih duduk di kursi roda. Ya ... Aku belum sepenuhnya bisa berjalan, hanya satu langkah dua langkah saja setelah itu kalau di paksa kaki akan nyeri.
"Mas, sudah pulang?" tanyaku yang menyambut Mas Wahyu didepan pintu, sempat aku melihat pada lengan Mas Wahyu disana ada tangan seorang wanita tentunya dia Linda, sepupuku.
"Afi? Tumben?" tanya Mas Wahyu sedikit heran, mungkin karena aku tiba-tiba menghadang dia didepan pintu, Linda sudah melepaskan tangannya, aku tak punya prasangka buruk, apalagi Mas Wahyu dan Linda yang sudah aku anggap adikku sendiri itu memang patner kerja antara direktur dan sekretaris.
"Iya, Mas. Aku kangen sama kamu, kangen nyambut kamu pulang kantor!" Aku memegang lengan Mas Wahyu dengan manja, tentu dengan posisi masih duduk di kursi roda. Aku ingin dia sedikit kembali romantis seperti kala aku masih sehat.
Kini dengan keadaan aku yang juga saat itu down, banyak waktu aku dan Mas Wahyu habiskan untuk larut dalam pikiran masing-masing.
Namun, Mas Wahyu justru sedikit terlihat tak nyaman, ah ... Apa itu hanya perasaan aku saja?
Linda berjalan disebelahku, tentu karena tadi aku yang mengambil jarak antara mereka. Dia mengibaskan rambutnya yang berwarna kuning kebelakang, membuat leher jenjangnya kelihatan.
"Sini, Lin!" Aku menarik tangan Linda dengan cepat, membuat ia sedikit menunduk.
"Apaan si, Mba?" tanya Linda seolah tak suka.
"Itu leher kamu kenapa? Kok merah-merah!" Aku langsung mengintrogasinya, dia masih gadis bagaimana bisa dia memiliki tanda itu? Kalau sudah punya pacar kenapa tidak dikenalkan agar segera bisa menikah?
"I-ini hanya di gigit nyamuk aja kok, aku garukin kemudian jadi begini!" Elaknya, tapi tentu aku tak percaya begitu saja, jelas itu tanda dari sebuah kecupan.
Linda pergi begitu saja keatas, seolah kesal dengan tuduhanku, apa aku salah jika perhatian padanya? Aku takut dia sampai salah pergaulan.
"Mas, apa aku salah memperhatikan dia, aku takut ...." Aku menggantung ucapan.
"Sudahlah, dia itu sudah dewasa, tak perlu lagi kamu perlukan seperti anak kecil! Jangan terlalu campuri urusan pribadinya!" Mas Wahyu malah membela, aku kesal tapi ya sudahlah!
"Ya sudah, ayo kita makan!" Ajakku kemudian dengan masih memegang lengan Mas Wahyu.
"Aduh, aku sudah makan tadi saat rapat, Fi, aku mau ganti baju dulu aja, mandi dan tidur, ngantuk ini begadang terus!" ujarnya, aku sedikit menyempitkan mata dengan ucapan Mas Wahyu tentang begadang? Sejak kapan dia begadang? Aku rasa ....
Mas Wahyu mengurai tanganku, dia langsung beranjak meninggalkan aku, kesal tentunya karena aku sudah menunggu dia sampai perutku keroncongan, tapi ya sudahlah, aku memilih mengalah, aku juga yang salah menunggu seseorang yang tak pasti.
"Loh, Mas! Kok keatas?" tanyaku saat melihat Mas Wahyu akan menaiki tangga, padahal kamar kita ada dibawah sejak aku lumpuh.
"Eh ... Lupa, Fi!" Dia kembali turun, aneh, Mas Wahyu itu kalau bercanda kelewatan! Aku terkekeh.
Ini terapi ke lima dan tak lama lagi kakiku normal, sore ini aku pulang bersama Asih dari praktek rumah sakit yang di tangani oleh dokter Raihan. Dua hari lagi aku akan kejutkan Mas Wahyu tentang hal ini.
Tapi, pagi hari Mas Wahyu sudah menyodorkan sebuah amplop padaku, dia menaruh tepat di pangkuanku, aku tertegun melihat apa yang tertera di luar amplop itu, nama sebuah lembaga negeri.
"Apa ini, Mas?"
Apa ini, Mas?" tanyaku pada Mas Wahyu."Itu surat gugatan cerai kita, Fi," jawabnya datar dan langsung membuang wajah menatap pada jendela kamar.Aku mengambil surat yang tadi tergeletak di pangkuanku. Membaca isinya, benar saja! Itu surat perceraian.Aku menjalankan kursi rodaku, mensejajarkan badanku pada Mas Wahyu. Sama-sama menatap kedepan jendela."Kenapa, Mas?" Aku masih berusaha bertanya."Kenapa! Tentu kamu lebih tahu alasannya. Aku tak mau punya istri cacat seumur hidup!" Jawaban Mas Wahyu mampu meruntuhkan benteng didalam dadaku. Selama ini, aku cukup bersabar, sangat tahu semua yang ia lakukan di belakangku tapi ... Tak menyangka jika Mas Wahyu akhirnya mengugat perceraian."Hanya karena itu? Apa kamu ingin menikah dengan wanita lain?" tanyaku dengan nada bergetar."Ya, aku laki-laki normal, Fi. Tak mungkin terus terkungkung oleh ikatan yang ... Ah! Aku tak dapat menjelaskan!" Seru Mas Wahyu.Aku bergeming, mungkin Mas Wahyu menginginkan gairah ranjang yang tak monoton. Sej
Kamu lupa, Mas. Aku CEO di perusahaan?!" tatapku sinis.Tubuhku bergetar, sebenarnya aku belum bisa berjalan dengan sempurna. Masih satu langkah dua langkah. Namun, ternyata kekuatan hati yang tersakiti mampu bangkit hingga aku seolah telah bisa jalan sempurna.Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Aku tak boleh terlihat bahwa aku masih lemah. Kulirik Mas Wahyu yang masih mematung.Terlalu shock kah dia?"Fi ... Ta-tadi aku ngga serius loh! A-aku hanya bercanda dan kamu kasih kejutan ini. Alhamdulilah, akhirnya kamu bisa jalan lagi." Mas Wahyu mendekat padaku. Duduk tepat disebahku.Kenapa? Nyesel!"Iya, Mas. Seperti yang kamu lihat. Aku kembali bisa berjalan. Sayang kamu tahu dan terlambat!" "Ter-terlambat bagaimana, Fi? Ki-kita masih bisa bersama kan?" Mas Wahyu terlihat panik.Munafik!"Bersama?""Iya, bersama. I-ini aku batalkan!" Ia meraih kertas yang ia berikan tadi dan menyobeknya. "Semua akan kembali seperti dulu. Aku masih mencintaimu, Fi."Cuihhh!"Kamu pikir aku bodoh,
"Pergi! Pergi semua kalian dari sini!" Tubuhku benar-benar sudah bergetar hebat. Tak tahu lagi berapa lama aku bisa berdiri. Linda terlihat bingung, namun Mas Wahyu membawanya keluar segera dari sana. Aku bernafas lega. Menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Kupandangi kakiku yang terlihat gemetar hebat. Mungkin efek di paksakan."Asih!" Aku memanggil penjagaku yang selalu membantu aku kemanapun aku pergi. Dia akan stanby didepan pintu kamar saat aku didalam."Iya, Bu." Ia masuk dengan sedikit tergesa. Mungkin tadi mendengar keributan."Ibu, ngga papa?" tanyanya khawatir saat melihat aku yang tengah kelelahan.Dengan sigap ia mengambilkan air minum dan membantu menyodorkan gelas itu pada mulutku."Terima kasih, Sih. A-aku tadi terlalu memaksakan. Kakiku rasanya kaku kembali." Aku berbicara terus terang. Asih langsung mengangkat kakiku agar lurus dan sejajar.Dia memijit berlahan, aku kesakitan. Rasanya linu semua tulang kakiku."Lebih baik kita kembali kedokter saja, Bu!" Usulnya. Aku
Aku ingin sepertimu, Mbak. Punya segalanya! Bukan hanya penumpang atau mendapat belas kasihan. Selama ini aku selalu iri dengan apa yang kamu miliki!" Linda berkata tanpa tersendat. Seolah ia tengah meluapkan segala isi didada.Aku tertegun. Tak menyangka jika selama ini, Linda memiliki rasa iri yang luar biasa. Padahal ... Segala sesuatu aku bagi dengan adil, bahkan ayah saja memperlakukan dia tak berbeda denganku."Kamu, Mbak! Selalu jadi kebanggan Om Indra. Kamu selalu saja di agung-agungkan di depan semua orang. Bahkan nama kamu juga yang akhirnya di sematkan dalam nama perusahaan Om Indra. Sedangkan aku? Aku ... Aku selalu di kesampingkan. Seolah tak pernah terlihat oleh mereka, dalam hal apapun Om Indra tak pernah menyebut namaku."Aku menelan saliva, ternyata hal sepele seperti itu saja mampu membuat hati Linda iri. Ternyata semua yang di berikan Ayah untuk Linda, masih saja dianggap tak bermakna."Aku! Aku hanya anak dari Kakak Om Indra. Ayahku meninggal dan ...." Linda menjed
Kubuka pintu kamar ayah. Dia tengah terlelap dalam mimpi. Ayah terkena stroke sudah tiga tahun lamanya. Dia hanya bisa berbaring, bahkan untuk bicara saja aku harus memanggil ahli tercemah karena dia sering mengatakan hanya dengan sandi mata."Ayah!" Panggilku pelan. Kucium tangannya lembut. Ia membuka mata dan sedikit dapat kulihat ia tersenyum.Ingin aku tanyakan tentang apa yang tadi di ucapkan oleh Linda, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Terlebih tak ada Reno--penerjemah ayah-- dia sedang izin ada acara keluarga."Ayah tetap sehat ya, Afi akan meneruskan perjuangan ayah yang masih panjang. Afi janji tak akan ada yang bisa merebut apapun, apa yang telah ayah raih dengan meringat dan darahmu." Aku berkata dengan pelan. Namun, aku menangkap bola mata ayah yang berkaca-kaca."Ayah tak perlu khawatir. Afi sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Maafkan Afi yang terpaksa akan mengusir Linda keluar dari rumah ini. Afi rasa Kita sudah cukup berbaik hati pada mereka. Biar
Pak Samsul mundur satu langkah. Memberi ruang untuk aku maju dan tepat berhadapan dengan Mas Wahyu."Aku sendiri yang memecat kamu, Mas! Jadi sebaiknya tak perlu mengambil perlawanan. Toh percuma saja, karena keputusan mutlak ada padaku!" ucapku dengan menatap tajam pada Mas Wahyu.Ia meremas wajahnya kasar."Tapi tak semudah itu kamu bisa seenaknya memecat aku, Fi! Semua ada prosedurnya. Terlebih kamu hanya anak dari pemilik perusahaan ini. Jadi ... Aku yakin, semua tak segampang itu!" Mas Wahyu berusaha mempertahankan kedudukannya.Aku tersenyum miring, ternyata setelah aku katakan kemarin saja, dia masih belum teliti atau meneliti struktur perusahaan yang mungkin memang hanya beberapa orang yang tahu."Kamu itu b*doh atau memang terlalu malas, Mas. Aku tak akan seyakin ini jika memang aku belum bisa melakukannya. Jika aku belum berwenang memecat kamu!" Aku menunjuk jariku kepada Mas Wahyu. Ia tampak gusar.Dia memutari meja dan mendekat kearahku. Menenukan jariku yang tadi kuarahka
Oh, jadi kamu itu sebenarnya kesayangan Pak Indra? Saya hanya rekan bisnisnya. Yang sebentar lagi perusahaan ini akan berpindah tangan. Saya yang akan menggantikan kepemilikan perusahaan." Aku sengaja berbohong. Aku ingin tahu kesetiaannya pada Ayahku."Oh, begitu, Bu." Dia tertunduk. Ada raut sedih tergambar jelas disana."Kenapa? Saya tak akan memperhentikan kamu kok, asal tetap bekerja sesuai prosedur.""Terima kasih, Bu. Saya hanya sedih. Semenjak Pak Indra terkena stroke. Saya belum pernah berjumpa. Ingin kerumahnya tapi ... Saya segan. Saya ini bukan siapa-siapa beliau." Katanya dengan jujur. Aku dapat melihat kesedihan yang mendalam padanya.Aku menatapnya ragu. Benarkah dia ingin bertemu dengan Ayahku?"Kalau saya kabulkan keinginanmu, apa kamu mau berjanji untuk bekerja lebih giat?" Dia langsung mengadah, menatapku dengan wajah berbinar."Ten-tentu, Bu. Saya berjanji, bahkan akan saya lakukan lebih baik. Saya sungguh hanya rindu beliau yang selama ini saya rasa sebagai panut
"Bu Bos, yakin mau salat disini?" Asih bertanya. Aku mengangguk. Kemudian menyuruh Asih untuk membawa aku menuju tempat wudhu.Setelah itu membawaku masuk kedalam masjid. Sayang saat masuk Adzan telah selesai hingga aku tak bisa tahu suara siapa tadi yang sangat indah itu.Suasana masjid saat salat dhuhur ternyata membuatku kagum. Dari sekian banyak karyawan hampir separuh lebih menunaikan kewajiban untuk salat terlebih dahulu sebelum istirahat. Benar-benar sebuah kejadian yang hampir langka di jaman sekarang.Seorang perempuan muda yang salat disebelahku. Dia dengan sigap membuka mukena saat telah selesai."Mbak, karyawan baru? Saya baru lihat." tanyanya padaku yang sama juga tengah melepas mukena. Asih yang berada di sisi kananku beranjak namun segera kusuruh duduk kembali dengan kode."Iya, kebetulan hari ini baru kekantor dan baru pertama kali salat disini."Dia tersenyum, "Ya beginilah keadaan kalau waktu salat. Semua ini berkat Pak Indra yang dulu mengharuskan untuk melaksanakan