Aku ingin sepertimu, Mbak. Punya segalanya! Bukan hanya penumpang atau mendapat belas kasihan. Selama ini aku selalu iri dengan apa yang kamu miliki!" Linda berkata tanpa tersendat. Seolah ia tengah meluapkan segala isi didada.
Aku tertegun. Tak menyangka jika selama ini, Linda memiliki rasa iri yang luar biasa. Padahal ... Segala sesuatu aku bagi dengan adil, bahkan ayah saja memperlakukan dia tak berbeda denganku.
"Kamu, Mbak! Selalu jadi kebanggan Om Indra. Kamu selalu saja di agung-agungkan di depan semua orang. Bahkan nama kamu juga yang akhirnya di sematkan dalam nama perusahaan Om Indra. Sedangkan aku? Aku ... Aku selalu di kesampingkan. Seolah tak pernah terlihat oleh mereka, dalam hal apapun Om Indra tak pernah menyebut namaku."
Aku menelan saliva, ternyata hal sepele seperti itu saja mampu membuat hati Linda iri. Ternyata semua yang di berikan Ayah untuk Linda, masih saja dianggap tak bermakna.
"Aku! Aku hanya anak dari Kakak Om Indra. Ayahku meninggal dan ...." Linda menjeda ucapannya. Menatapku sinis untuk kesekian kalinya.
Dia mendekat kepadaku, mengurai jarak semakin dekat.
"Dan ayahku meninggal demi menolong Om Indra," bisiknya tepat di telingaku.
Aku terperanjat. Benarkah semua itu? Yang kutahu memang Ayah Linda meninggal tertabrak kendaraan saat tengah akan bekerja.
"Kaget?" Linda berdecis."tentu, karena selama ini Om Indra menutupi itu semua dari kami!"
Linda terdengar lantang, ia seolah tengah kerasukan setan dengan mulai tertawa sendiri dengan mata nyalang dan merah.
"Itu bohong!" tampikku.
Dia langsung menghentikan aksi tawanya. Kembali menatapku dengan wajah yang sulit kuartikan.
"Bohong? Kamu bisa tanyakan langsung pada ayah kesayanganmu itu. Ayah yang selalu membanggakan putrinya, mendoakan kebahagiaannya tanpa pernah melihat di sisinya ada anak yatim yang ia dzolimi!"
Benarkah? Dzolim?
Hatiku kini berkecambuk. Apakah semua yang dikatakan Linda benar? Apa benar ayah Linda meninggal karena menolong Ayahku. Apa selama ini Ayah memberikan segalanya karena merasa bersalah pada Linda? Tapi ... Kenapa semua ini harus di tutupi.
"Kenapa diam? Kamu sedang berfikir tentunya, bahwa apa yang aku katakan bukan sekedar sebuah omong kosong belaka."
"Tapi selama ini ayah sudah memperlakukan kamu seperti anak sendiri. Tak pernah ia membedakan denganku bahkan sekolah saja ia berikan sesuai pilihanmu. Sekarang, kamu justru menuduh kalau Ayahku itu dzolim padamu? Dan kamu menginginkan seperti aku? Apa yang istimewa dari aku yang belum kamu punyai?" Aku sudah kehilangan akal untuk berdebat dengannya. Ini terlalu mengagetkan bagiku.
"Kamu salah! Dimatamu mungkin kamu kira Om Indra memperlakukan aku seperti kamu, tak jauh beda. Tapi ... Ada sesuatu yang tak akan bisa aku lupakan seumur hidupku untuk kelakuan Ayahmu itu!" Linda masih berkata dengan sorot tajam.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Ayahmu pernah menjodohkan aku dengan seorang office boy dikantor! Apa itu tidak merendahkanku?"
Office boy?
"Sekarang, aku ingin memberi Om Indra sebuah pelajaran. Bahwa menantu kesayangannya itu bertekuk lutut padaku. Apa dia pikir aku tak cukup cantik untuk mendapatkan seorang yang lebih berkelas dari seorang Office boy?"
Kembali aku menelan saliva. Apa ini benar? Office boy? Aku mengingat-ingat sesuatu. Tapi entah kenapa justru kepalaku makin sakit.
"Ingat, Mbak! Aku akan rebut apa yang kamu miliki, sedikit demi sedikit!"
Aku terdiam, tak tahu harus bagaimana. Semua harus aku luruskan.
"Aku sudah serahkan Mas Wahyu padamu! Silahkan, aku kasih dia sepenuhnya untukmu tapi ... Kalau kamu ingin memiliki yang lain. Hadapi aku dulu. Kita akan berperang secara terbuka." Akhirnya aku luncurkan kata-kata. Aku sudah yakin menabuh genderang perang untuk Linda. Dia manusia berhati busuk.
"Oke, Fine! Aku terima tantanganmu, Mbak. Tunggu aku membuat kamu tak bisa apa-apa!" Dengan sengaja ia mendorong kursi rodaku kebelakang. Beruntung Asih dengan sigap langsung menahanku tepat.
"Hahahaha ... Sudah bisa jalan saja masih berlagak lumpuh!" Linda pergi meninggalkan aku yang sangat geram.
"Sih, antar aku kekamar Ayah!" Perintahku setelah Linda menaiki tangga.
Kubuka pintu kamar ayah. Dia tengah terlelap dalam mimpi. Ayah terkena stroke sudah tiga tahun lamanya. Dia hanya bisa berbaring, bahkan untuk bicara saja aku harus memanggil ahli tercemah karena dia sering mengatakan hanya dengan sandi mata."Ayah!" Panggilku pelan. Kucium tangannya lembut. Ia membuka mata dan sedikit dapat kulihat ia tersenyum.Ingin aku tanyakan tentang apa yang tadi di ucapkan oleh Linda, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Terlebih tak ada Reno--penerjemah ayah-- dia sedang izin ada acara keluarga."Ayah tetap sehat ya, Afi akan meneruskan perjuangan ayah yang masih panjang. Afi janji tak akan ada yang bisa merebut apapun, apa yang telah ayah raih dengan meringat dan darahmu." Aku berkata dengan pelan. Namun, aku menangkap bola mata ayah yang berkaca-kaca."Ayah tak perlu khawatir. Afi sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Maafkan Afi yang terpaksa akan mengusir Linda keluar dari rumah ini. Afi rasa Kita sudah cukup berbaik hati pada mereka. Biar
Pak Samsul mundur satu langkah. Memberi ruang untuk aku maju dan tepat berhadapan dengan Mas Wahyu."Aku sendiri yang memecat kamu, Mas! Jadi sebaiknya tak perlu mengambil perlawanan. Toh percuma saja, karena keputusan mutlak ada padaku!" ucapku dengan menatap tajam pada Mas Wahyu.Ia meremas wajahnya kasar."Tapi tak semudah itu kamu bisa seenaknya memecat aku, Fi! Semua ada prosedurnya. Terlebih kamu hanya anak dari pemilik perusahaan ini. Jadi ... Aku yakin, semua tak segampang itu!" Mas Wahyu berusaha mempertahankan kedudukannya.Aku tersenyum miring, ternyata setelah aku katakan kemarin saja, dia masih belum teliti atau meneliti struktur perusahaan yang mungkin memang hanya beberapa orang yang tahu."Kamu itu b*doh atau memang terlalu malas, Mas. Aku tak akan seyakin ini jika memang aku belum bisa melakukannya. Jika aku belum berwenang memecat kamu!" Aku menunjuk jariku kepada Mas Wahyu. Ia tampak gusar.Dia memutari meja dan mendekat kearahku. Menenukan jariku yang tadi kuarahka
Oh, jadi kamu itu sebenarnya kesayangan Pak Indra? Saya hanya rekan bisnisnya. Yang sebentar lagi perusahaan ini akan berpindah tangan. Saya yang akan menggantikan kepemilikan perusahaan." Aku sengaja berbohong. Aku ingin tahu kesetiaannya pada Ayahku."Oh, begitu, Bu." Dia tertunduk. Ada raut sedih tergambar jelas disana."Kenapa? Saya tak akan memperhentikan kamu kok, asal tetap bekerja sesuai prosedur.""Terima kasih, Bu. Saya hanya sedih. Semenjak Pak Indra terkena stroke. Saya belum pernah berjumpa. Ingin kerumahnya tapi ... Saya segan. Saya ini bukan siapa-siapa beliau." Katanya dengan jujur. Aku dapat melihat kesedihan yang mendalam padanya.Aku menatapnya ragu. Benarkah dia ingin bertemu dengan Ayahku?"Kalau saya kabulkan keinginanmu, apa kamu mau berjanji untuk bekerja lebih giat?" Dia langsung mengadah, menatapku dengan wajah berbinar."Ten-tentu, Bu. Saya berjanji, bahkan akan saya lakukan lebih baik. Saya sungguh hanya rindu beliau yang selama ini saya rasa sebagai panut
"Bu Bos, yakin mau salat disini?" Asih bertanya. Aku mengangguk. Kemudian menyuruh Asih untuk membawa aku menuju tempat wudhu.Setelah itu membawaku masuk kedalam masjid. Sayang saat masuk Adzan telah selesai hingga aku tak bisa tahu suara siapa tadi yang sangat indah itu.Suasana masjid saat salat dhuhur ternyata membuatku kagum. Dari sekian banyak karyawan hampir separuh lebih menunaikan kewajiban untuk salat terlebih dahulu sebelum istirahat. Benar-benar sebuah kejadian yang hampir langka di jaman sekarang.Seorang perempuan muda yang salat disebelahku. Dia dengan sigap membuka mukena saat telah selesai."Mbak, karyawan baru? Saya baru lihat." tanyanya padaku yang sama juga tengah melepas mukena. Asih yang berada di sisi kananku beranjak namun segera kusuruh duduk kembali dengan kode."Iya, kebetulan hari ini baru kekantor dan baru pertama kali salat disini."Dia tersenyum, "Ya beginilah keadaan kalau waktu salat. Semua ini berkat Pak Indra yang dulu mengharuskan untuk melaksanakan
"Maaf, ngga sengaja!" ucap Faizal yang langsung membereskan botol yang roboh. Aku yakin dia tadi itu ....Ah! Mungkin perasaanku saja. Sejenak semua yang hadir didalam ruangan meeting menatap Faizal. Setelah ia berlalu pergi, aku kembali fokus pada orang yang tadi mengejek."Salahnya? Seorang CEO harus lumpuh. Apa kerja CEO menggunakan tenaga? Apa kerja seorang CEO itu harus bisa berjalan dan berlari. Yang lebih di butuhkan untuk pemimpin itu ini!" Aku menunjuk kekepala.Sejenak ruangan hening."Apa kalian ragu untuk bekerja dengan saya?" Aku menatap satu persatu orang. Kebanyakan mereka tertunduk."Kalau CEO butuh turun lapangan dengan fisik yang kuat dan prima. Terus apa gunanya saya punya kalian?"Lagi!Masih hening."Ada yang masih meragukan kemampuan saya? Sekarang juga saya persilahkan keluar. Saya tak butuh karyawan yang masih meragukan atasannya. Walau seperti ini keadaan saya. Insya Allah saya bisa bekerja sesuai dan sejalan dengan Pak Indra!"Beberapa karyawan saling tatap.
PoV Wahyu.Suasana kantin kantor terlihat sepi. Ya ... Karena jam istirahat sudah usai sedari tadi. Ini sudah pukul dua lebih, hampir setengah tiga."Wah, Pak Bos, baru makan?" tiba-tiba Linda sudah ada disini. Entah sejak kapan dia datang."Hemm, sibuk ngga sempat makan tadi," jawabku tanpa menoleh kearahku."Aaaa ... Aeem!" Tiba-tiba ia mengalihkan tanganku yang tengah memegang sendok kearah mulutnya. Aku masih tercengang."Kenapa? Ngga boleh?" tanyanya cuek, kemudian mengambil bangku dan duduk tak jauh dariku."Kamu belum makan juga?" tanyaku memastikan."Belum, kan tunggu Bos Istirahat. Takut di panggil saat pergi makan. Mana galak lagi! Dia kan suka marah-marah. Kesel deh aku sama dia!"Aku melotot, tentu tau siapa yang dia maksud. Aku. Dia kan sekretarisku. Sepupu istriku, entah bagaimana ceritanya, yang kutahu jika Linda sudah ikut Afi dan keluarganya sejak kecil."Cieee ... Tuh kan mulai melotot!" Linda memang berperangai riang, suka bercanda dan ... Manis juga sihh."Bang! K
"Mas Wahyu!" Aku terperanjat. Ternyata Mas Wahyu yang menahan laju kursi rodaku."Kenapa, Fi? Kamu takut aku berbuat sesuatu? Aku tidak sejahat itu!" Mas Wahyu berkata tanpa melepaskan tangannya dari kursi roda. Bahkan dia malah mendorongnya maju."Lepaskan, Mas!" "Kamu tak perlu panik begitu, Fi. Aku hanya ingin membantu. Lagian aku heran sama kamu. Sudah bisa jalan kenapa masih suka pake kursi roda?" Mas Wahyu membawaku menjauh dari lobi, membawa masuk kedalam namun bukan menuju lifh, lebih tepat seperti kedapur.Apa aku harus berdiri dan lari? Tapi ...."Kamu mau bawa aku kemana, Mas?" tanyaku lagi."Aku hanya butuh waktu sebentar berbicara denganmu, jangan panik. Aku tak akan berbuat jahat padamu selama kamu masih bisa berbaik hati."Duh! Pasti Mas Wahyu ingin meminta sesuatu. Aku celingukan, berharap Asih segera menyusul namun nyatanya tak jua kunjung datang.Dibawa kedapur kantor, Mas Wahyu mengehentikan aku tepat di pojok sebelah kulkas."Apa maumu, Mas?" tanyaku langsung begi
Setelah kepergian Bang Tigor, aku membuka beberapa berkas yang pak Samsul bawa. Aku pelajari dengan segsama. Sepertinya masih ada harapan untuk menyelamatkan semuanya. Tentu Ayah peran utamanya.Beberapa klien menawarkan pertemuan. Aku masih bingung. Ucapan seorang staf marketing kemarin tetap membuatku insecure untuk langsung berhadapan dengan orang yang akan meminta kerja sama."Aku harus bisa mencari orang yang dapat di percaya untuk mewakili. Asih tak ahli dalam bidang ini. Iya cekatan namun sepertinya otaknya tak mampu menampung hal bisnis." Aku bergumam sambil mengetuk kepala."Asih, bagaimana tentang bodyguard yang akan menemaniku setiap hari, apa kamu sudah dapat?" tanyaku pada Asih yang tengah duduk bersandar disofa."Belum, Bu. Nanti secepatnya saya konfirmasi. Teman saya masih belum bisa dihubungi. Dia yang tau banyak tentang orang yang bisa menjadi bodyguard.".Aku mengangguk. "Tolong panggilkan Bayu. Aku ingin menyeleksi orang yang bisa mewakiliku bertemu klien.""Baik, B