"Jadi saya menempati rumah ini?” Tanya Revan pada salah satu staf keuangan yang tadi memanggilnya.
“Iya Pak, jadi semua Branch Manager yang bertugas, di sewakan rumah oleh perusahaan. Semua akomodasi di biayai oleh perusahaan termasuk mobil inventaris.”
“Saya sudah ada mobil sendiri.”
“Kalau ada mobil sendiri, berarti nanti perhitungannya perusahaan akan membayar sewa tiap bulannya untuk mobil yang Pak Revan kendarai.”
“Oh begitu, oke terimakasih. Nanti malam saya akan mulai pindah ke rumah ini.”
“Baik Pak, ini kunci rumah beserta alamat rumah Pak Revan.”
Revan menerima kunci rumah barunya. Memang Revan berniat mencari rumah untuk di sewa karena dia masih baru di kota ini dan tak punya tempat tinggal. Selama hampir seminggu dia menginap di hotel yang dekat dengan kantor.
“Kamu itu sebenernya butuh uang terus buat apa sih? Belum punya keluarga, hidup masih sendiri tapi kurang uang terus. Jangan-jangan kamu pelihara berondong ya?”
Revan mendengar suara lantang seseorang dan otomatis menoleh ke asal suara tadi. Di lihatnya Amalia sedang tertunduk dengan tangan gemetar yang saling bertautan di belakang tubuhnya.
“Cuma kamu di kantor ini, yang selalu kekurangan uang padahal masih single! Buruan cari suami makanya biar ada yang cukupin kebutuhanmu! Nggak malu single tapi butuh uang terus!”
Lalu Revan melihat Amalia berlari keluar dari ruang keuangan dengan wajah merah menahan malu.
Revan menjadi geram karenyanya. Dia bangun dari duduknya dan mendekati meja Pak Bayu, orang yang telah berani meneriaki karyawannya.
“Apa Anda nggak bisa berbicara dengaan lebih sopan!” geramnya sambil menggebrak meja.
“Maaf, ini bukan urusan anda,” Balas Pak Bayu cuek.
“Dia karyawan dari divisi Saya, tentu saja jadi urusan Saya! Lagipula mengajukan pinjaman ke perusahaan itu hak karyawan! Nggak pantas Anda bicara sekasar itu! Toh dia bayar dengan gajinya, dia nggak minta cuma-cuma!”
“Pinjaman dia itu masih banyak! Anda nggak usah ikut campur kalau nggak tahu apa-apa.”
Revan terdiam, matanya terpaku pada sosok paruh baya yang sedang duduk di depannya dan pura-pura sibuk dengan komputernya.
“Bayu Yunantra… akan aku ingat-ingat namamu!” gumam Revan saambil mencoba menahan emosi. Lalu dia berbalik keluar dari ruang keuangan untuk mencari Amalia.
“Kemaana dia?” gumamnya.
Revan sebenarnya merasa heran dengan Amalia. Bukanya kemarin dulu dia mendengar sendiri Amalia mengumpat sewaktu marah di lapangan badminton belakang kantor? Revan pikir Amalia tipe wanita pemberani yang tidak ganpang di tindas.
Namun kenyataannya kejadian tadi pagi di ruang meeting waktu Novi mendebatnya, dia hanya diam. Bahkan saat Pak Bayu tadi menghinanya dia juga hanya diam.
Apakah Amalia itu hanya berani mengumpat saat dia sedang sendirian saja?
“Percuma!” dengus Revan.
Saat dia berbelok ke arah toilet, dia melihat Amalia dengan hidung yang memerah keluar dari sana. Dia pasti habis menangis.
“kamu butuh berapa?” ucapnya spontan saat ingin menghentikaan langkah kaki Amalia.
Amalia tampak terkejut saat melihat kehadiran Revan.
“Pak… Pak Revan..”
“Kamu butuh berapa? Siapa tahu aku bisa bantu,” Ucap Revan lagi.
“Maaf Pak, saya nggak ngerti maksud Pak Revan.”
“Saya dengar semuanya tadi di ruang keuangan. Kamu nggak perlu sungkan. Bilang saja.”
“Saya nggak perlu bantuan Pak Revan. Terima kasih.” Amalia langsung berlari menjauhi Revan yang masih terdiam sambil memandanginya.
Amalia terus berlari menuju halaman belakang kantornya, ya di lapangaan badminton yang sepi.
Dia beelum berani masuk ke ruang kerjanya. Dia takut air matanya akan keluar lagi.
Amalia merasa sangat malu, malu sekali karena ternyata Pak Revan mengetahui kejadian memalukan di ruang keuangan tadi. Dia bahkan menawarkan bantuan dan ingin meminjaminyaa uang. Betapa malunya Lia.
Bagaimaana sikapnya nanti saat mereka berdua bertemu?
“Tenang lia… miskin bukan hal yang memalukan, tenang…” Lia mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Yang penting sekarang aku harus mendapatkan uang untuk membeli obat! aku harus menelpon Mas Sandy dan Mas Toni.”
Tapi saat kedua kakaknya dia hubungi, nomer mereka semua sedang tak aktiv. Entah kenapa. Amalia berusaha menghubungi kedua kakaknya berkali-kali tapi tetap tak bisa di hubungi.
“Aargghh!!! Dasar brengsek!!!” Kekesalan Amalia sudah tak bisa di bendung lagi. Dia berteriak lirih mencoba mengeluarkan semua yang menumpuk di hatinya.
“Seharusnya tadi kamu juga mengumpat begitu ke pak Bayu, bukannya diam saja.”
Lagi-lagi Amalia melonjak kaget. “Pak Revan, sejak kapan ada di sini??" gumamnya.
“ini kan tempat umum.” Jawabnya singkat sambil menyulut rokoknya.
Amalia tertunduk, dia benar-benar merasa malu.
“Saya beneran mau bantu kamu. Kalau cuma beberapa puluh juta saya ada. Kamu bisa pinjam dan mengembalikannya saat kamu sudah punya uang.” Pak Revan bicara sambil terus memandang rokoknya yang mulai terbakar. Dia sengaja tak menatap amalia karena takut Amalia akan merasa malu.
“Puluhan juta? Bu-buat apa Pak?”
“Lho, bukannya kamu butuh uang banyak sampai mau pinjam ke keuangan?”
“Iya sih, tapi saya cuma mau pinjam 500 ribu aja nggak sampai jutaan…”
“What!! Dan Pak Bayu menghina kamu hanya karena masalah uang lima ratus ribu!!!” revan terbelalak tak percaya.
“Ya, karena bulan kemarin saya pinjam satu juta dan belum lunas.” Jawab Amalia lirih sambil tertunduk.
“Astaga!!!’ Revan membuang puntung rokoknya dan menginjaknya dengan kesal. Lalu mengambil dompet yang terdapat di saku belakang celananya dan mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah.
“Konyol sekali! Sungguh!” Revan terus ngedumel sambil menyerahkan uang tadi ke tangan Amalia.
“Pakai ini, kembalikan kapanpun kamu ada, nggak juga nggak apa-apa. Saya bakal laporin kelakuan si Bayu itu ke pusat. Kurang ajar dia berani menghinamu hanya karena meminjam uang receh!”
“Tapi Pak…”
“Kalau kamu berani menolak, saya bakal marah. Kamu karyawaan yang rajin, saya nggak mau hanya karena masalah sepele ini kinerjamu jadi berkurang." Setelah puas bicara, Revan langsung berjalan pergi menjauhi Amalia yang masih bengong.
“Pak!" Panaggil Amalia.
“Saya pasti kembalikan saat dapat bonus nanti," ucapnya lagi.
Revan hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh menghadap Amalia.
Amalia tersenyum sambil memandang uang yang ada di genggaman tangannya, “uang ini memang tak seberapa buat orang lain, tapi buatku ini segalanya. Aku bisa menebus obat untuk ibu nanti sore. Alhamdulillah ya Allah..” gumam Amalia bahagia.
*
“Nanti malam kita bikin acara buat Pak Revan yuk," Novi mengumpulkan semua sales saat jam pulang kerja.
“Acara apa?” timpal Jamal.
“Acara penyambutan Pak Revan lah…”
“Wah boleh juga, di mana?” ucap Guntur.
“Di tempat karaoke aja, jadi nanti kita bisa sambil seneng-seneng karokean gitu…”
“Asyik tuh, aku mau.” Jamal langsung setuju. Dia memang selalu terdepan untuk urusan senang-senang.
“Mba Lia, ikut kan?” Guntur memandang Lia yang duduk di sebelah Novi.
Lia hanya tersenyum dan mengangkat kedua bahunya.
“Lia nggak usah di tanya sudah pasti nggak ikut dia. Dia kan sibuk," ucap Novi acuh.
“Berarti tugas kamu Jamal buat ajak Pak Revan ya.”
“Siap.” Jawab Jamal.
Amalia hanya tersenyum, “selamat bersenang-senang ya..” ucapnya mencoba menghibur dirinya sendiri.
Walaupun dia ingin ikut, dia tak akan tega membiarkan Ibu sendirian.
"Hallo Jamal? Ada apaan?" Revan yang tengah sibuk berbenah di rumah sewaan inventaris kantornya, sedikit kesal sebenarnya mendapatkan telpon dari anak buahnya di luar jam kerja. "Pak Revan di mana? Kita lagi bikin pesta penyambutan buat Pak Revan," ucap Jamal dari seberang. "Pesta?" "Iya, semua sales dan staff admin sudah kumpul semua Pak, Pak Revan bisa datang kan?" "Di mana?" Revan menatap isi rumahnya yang tak terlalu berantakan, ya dia kan hanya membawa satu koper berisi pakaian saja karena semua perabot sudah tersedia dengan lengkap. Revan berpikir sejenak, apakah dia akan datang ke acara itu atau tidak. Sebenarnya dia tak suka keramaian, dia selalu menjauhi pesta-pesta atau ke klub saat di ajak Asti dulu. Mungkin bagi Asti, Revan adalah suami yang membosankan, makanya dia mencari hiburan dengan lelaki lain. "Sial!" Umpat Revan, kesal
Amalia menatap ponselnya yang sudah mati sambil tersenyum.Dia senang karena Pak Revan menelpon dan menyuruhnya datang walaupun ya, dia tak akan mungkin datang.Dia tak pernah datang ke acara kantor yang dilaksanakan setelah jam kerja karena dia tak bisa meninggalkan Ibu lebih lama. Dia tak mau Ibu merasa kesepian, karena orang yang sedang sakit ditambah merasa kesepian itu pasti merasa sangat sedih.Dan jika Ibu nya merasa sedih, akan sulit bagi Amalia untuk menghiburnya nanti.Tak bisa di pungkiri, dalam hati Lia, dia ingin sekali datang ke acara itu. Dia ingin bertemu dengan Pak Revan yang ganteng, walaupun mungkin Pak Revan nggak akan melirik dirinya, si perawan tua.Amalia tersenyum sendiri.
"Rita, pulang kerja nanti temani aku ke mall yuk," Novi mendekati temannya, Rita, admin penjualan yang bertugas mencetak nota penjualan tiap harinya.Rita yang masih tampak sibuk, enggan mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Printer yang ada di sampingnya terus berbunyi dan mengeluarkan nota-nota yang berhasil dia buat."Rita!!" Novi kesal karena dicuekin, dia pun memukul meja kerja Rita."Iyalah cerewet! Aku lagi sibuk ini!" Balas Rita tanpa memandangi temannya."Ngapain sih ke mall?! Pulang kerja bukannya pulang ke rumah ketemu anak, malah mau jalan-jalan!"Rita dan Novi memang berteman sangat dekat, hingga Novi tak pernah marah saat Rita bicara ketus padanya."Anakku juga butuh ayah baru kan? Ini Ibunya lagi usaha…" Novi tersenyum riang sambil kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di depan meja kerja Rita.Rita hanya menggelengkan kepala
"Nggak boleh! Ada orang minta tolong, aku harus bantu!" Dengan membulatkan tekad, Lia melaju menerobos gang gelap itu. Lampu motornya dia tunjukkan ke arah suara minta tolong, dan benar saja ada dua orang lelaki yang tampak mabuk sedang mengganggu seorang wanita. Dan Lia mengenal wanita itu, itu teman kantornya. Walaupun beda divisi tapi Lia tahu dia. Dengan mengumpulkan keberanian, Lia menjalankan motornya dengan kencang dan menyerempet salah seorang pemabuk hingga jatuh, "ayo cepat naik!" Teriaknya. Si wanita yang minta tolong tadi, dengan tergesa-gesa menaiki motor Lia, lalu setelah itu Lia memacu motornya dengan cepat dan meninggalkan gang gelap itu. "Makasih banget ya…" si wanita yang ditolong Lia terus
“Permisi...” Anita masuk ke ruang admin di jam istirahat di hari berikutnya. “Hari ini kamu juga pulang Lia?” tanyanya saat melihat Lia masih sibuk di meja kerjanya. “Iya Nit, jam berapa ini? Kok kamu udah mau istirahat aja.” Lia masih sibuk mengetik tanpa memperhatikan jam. Hari ini Novi berangkat meeting ke Semarang bersama Pak Revan, dan tagihannya belum beres sama sekali. Padahal Pak Revan sudah wanti-wanti agar dia menyelesaikan pekerjaannya, tapi Novi memang nggak bisa bekerja dengan cepat, orangnya terlalu santai. Akhirnya semua beban kerja nya diambil alih oleh Lia selama dua hari ini. “Aku kan meeting juga demi gantiin kamu, jadi pekerjaan ini juga kamu harus bantuin kan. Itu baru adil namanya,” uca
“Kamu sudah cetak email yang dikirim kantor pusat kemarin? Hari ini isi email itu akan dibahas dalam meeting,” tanya Revan, tatapannya tetap fokus ke arah depan, memperhatikan jalan.“Sudah Pak, sudah saya siapkan semuanya di dalam tas,” jawab Novi ketus. Dia masih kesal atas kejadian barusan. Maksudnya apa sih Pak Revan itu? Novi pikir Pak Revan mengajaknya ke Hotel untuk beristirahat sejenak dan bersenang-senang. Ternyata malah dia meninggalkannya di sana seorang diri.Tentu saja Novi langsung mengurungkan niatnya untuk masuk ke Hotel besar tadi. Buat apa dia kesana kalau hanya seorang diri!Ternyata Pak Revan lebih sulit dari yang dibayangkan oleh Novi. Novi pikir Pak Revan akan sama dengan pria-pria yang dikenalnya, yang dengan mudah di dapatkan hatinya h
Ibu senang sekali Li...” Ibu tersenyum sambil menatap anak perempuannya yang sudah terlewat dewasa.“Kenapa Bu?” tanya Lia penasaran.“Ibu senang, kamu punya teman yang baik seperti Anita. Ibu jadi merasa tenang, walaupun kamu belum punya pasangan sampai sekarang tapi paling tidak kamu punya teman yang baik.” Ibu tak henti-hentinya memuji kebaikan hati Anita.Sore tadi, sepulang dari supermarket Anita dan pacarnya datang ke rumah Lia. Mereka membawa sekeranjang besar buah-buahan dan ngobrol panjang lebar dengan Ibu.Ibu memang terlihat berbeda saat mengobrol dengan Anita, wajahnya tampak sumringah. Sepertinya Ibu memang senang di ajak ngobrol, mungkin karena selalu di rumah sendirian tak ada teman bicara Ibu jadi merasa gampang bosan dan saat ada orang yang mengajaknya bicara dia langsung ceria, Lia pun sangat senang melihatnya.Lia sangat bersyukur, mengenal Anit
“Selamat pagi semuanya,” ucap Revan membuka briefing pagi ini.“Pagi Pak...” Jawab seluruh karyawan kompak."Dua hari Saya absen, nggak ada masalah kan?”“Nggak ada Pak, aman!” ucap Jamal mewakili teman-teman sales nya.“Lia? Kamu pasti kesulitan ya, harus buat tagihan yang lumayan banyak.”Lia tersentak kaget saat namanya disebut oleh bosnya, “oh, nggak Pak," jawabnya singkat.Revan mengangguk puas dengan kinerja Lia. Sebelum briefing dia memang sudah mengecek tagihan-tagihan yang dibawa sales selama dua hari kemarin. Dan pekerjaan Lia ny