"Rita, pulang kerja nanti temani aku ke mall yuk," Novi mendekati temannya, Rita, admin penjualan yang bertugas mencetak nota penjualan tiap harinya.
Rita yang masih tampak sibuk, enggan mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Printer yang ada di sampingnya terus berbunyi dan mengeluarkan nota-nota yang berhasil dia buat.
"Rita!!" Novi kesal karena dicuekin, dia pun memukul meja kerja Rita.
"Iyalah cerewet! Aku lagi sibuk ini!" Balas Rita tanpa memandangi temannya.
"Ngapain sih ke mall?! Pulang kerja bukannya pulang ke rumah ketemu anak, malah mau jalan-jalan!"
Rita dan Novi memang berteman sangat dekat, hingga Novi tak pernah marah saat Rita bicara ketus padanya.
"Anakku juga butuh ayah baru kan? Ini Ibunya lagi usaha…" Novi tersenyum riang sambil kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di depan meja kerja Rita.
Rita hanya menggelengkan kepala dan berdecak tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.
"Ayah baru? Udah pede banget sih!" Gumamnya sambil tersenyum mengejek.
"Iya dong! Kita harus optimis, kalau pesimis terus nggak akan dapat apa-apa."
Rita sempat berhenti mengetik, dan melirik sekejap ke arah Amalia yang dari tadi diam, sibuk di meja kerjanya yang berada di sebelah Novi.
Lalu dia menatap Novi dan mendelik mengingatkan Novi untuk bicara tak berlebihan.
Novi yang mengerti maksud dari pelototan mata Rita hanya tersenyum sambil menjulurkan lidahnya.
Novi memang senang sekali mengejek Lia, entah kenapa di hatinya selalu ada rasa iri dan dengki pada partnernya. Padahal Lia termasuk senior, bahkan Lia adalah orang yang membantu Novi saat Novi baru saja menjadi karyawan di kantor ini.
Namun Lia yang pendiam dan rajin bekerja itu membuat Novi sebal, baginya Lia tampak seperti orang yang cari muka, membuatnya tampak menjadi karyawan yang pemalas karena Lia yang terlalu rajin.
"Kalau kamu pergi-pergi sepulang kerja, anakmu sama siapa Nov?" Tanya Mita, admin penjualan yang lain.
"Ya sama Ibu ku lah, aku kerja kan juga buat dia juga. Harus saling membantu."
"Rita, pokoknya nanti aku mau beli beberapa baju yang bagus! Kamu harus pilihkan ya! Aku ingin berangkat dan pulang meeting dari Semarang, penampilan ku cetar membahana."
"Demi apa?" Rita mencebik.
"Ya demi mendapatkan ayah baru buat anakku… hahaha…" tawa Novi menggelegar.
"Jangan kepedean kalau nggak sesuai, jatuhnya sakit tau!" Ingat Rita.
"Pasti berhasil!" Jawab Novi cepat. Dia sama sekali nggak mau berpikir kalau rencananya bakal gagal.
Dia akan merayu Pak Revan bagaimana pun caranya sampai Pak Revan luluh dan jatuh ke pelukannya.
Novi belum pernah melihat lelaki setampan Revan sebelumnya. Dia sungguh sempurna. Tampan, tegas, badannya bagus dan yang paling penting dia punya pekerjaan yang bagus dan punya kedudukan lumayan tinggi di kantor ini, bukan orang biasa seperti mantan suaminya yang nggak punya pekerjaan dan pemalas.
Novi bertekad akan mendapatkan Pak Revan, walaupun mungkin bukan hatinya, tapi Novi tak peduli.
Lia, terlihat sibuk dengan pekerjaannya, namun telinganya terus mengikuti percakapan Novi dan Rita. Bagaimana mungkin dia tidak mendengar? Mereka berdua ada di dekatnya.
Lia tampak tak suka dengan sikap Novi, tapi punya hak apa dia?
Mungkin Novi memang sangat membutuhkan pendamping hingga berusaha begitu keras demi mendapatkan perhatian Pak Revan.
Ya, Lia akui Pak Revan memang sangat sempurna. Wanita mana yang tak langsung tertarik padanya. Dia juga sebenarnya sangat tertarik pada bos nya yang satu itu karena Pak Revan bukan hanya tampan tapi dia juga sangat baik padanya.
Lia tersenyum mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu saat Pak Revan meminjaminya uang sambil marah-marah pada Pak Bayu.
Seandainya Lia sedikit lebih muda, tiga atau lima tahun dia mungkin akan merasa lebih percaya diri untuk mendekati lelaki dan mencari pasangan.
Umurnya sekarang hampir 30 tahun dan itu membuatnya malu untuk mendekati lelaki.
Lia melirik jam tangannya, sudah jam 12 tepat. Saatnya untuk pulang dan makan dengan Ibu nya. Lia bangun dari duduknya dan buru-buru mengambil tas kerjanya.
"Loh Lia mau ke mana?" Novi tampak bingung melihat Lia yang hendak pergi.
"Sudah jam 12, aku mau istirahat."
Novi melihat jam tangannya, "ya ampun… terlalu asyik kerja nih, sampai aku lupa waktu kalau sudah jam istirahat…" celoteh Novi sambil tertawa lirih.
'Terlalu asyik kerja? Terlalu asyik ngobrol mungkin maksudnya?' batin Lia.
"Aku pergi dulu ya," pamit Lia sambil keluar dari ruang admin.
Saat membuka pintu ruang kerjanya, dia berpapasan dengan Pak Revan yang juga baru saja keluar dari ruangannya.
"Mau pulang?"
Lia mengangguk, "permisi Pak."
"Nggak usah buru-buru, toh nanti masuknya nggak pakai absen," bisik Pak Revan.
Lia memandang ke arah bosnya dengan tatapan bingung.
"Kamu mau pulang dan merawat Ibu kamu kan? Makanya maksud saya nggak usah buru-buru biar kamu juga bisa tenang."
Lia terdiam, entah kenapa matanya terasa panas dan berat. Seperti inikah rasanya ada yang perhatian?
Eh, tapi dia tak boleh salah sangka. Pak Revan memang baik, mungkin dia juga seperti ini ke semua wanita termasuk Novi, makanya Novi sangat percaya diri bakal mendapatkan hati dari Pak Revan.
"Te-terima kasih Pak, Saya permisi…"
Revan menganggukkan kepalanya.
Lia berjalan menuju tempat parkir motor dengan hati yang berasa seperti nano-nano. Baru mendapatkan sedikit perhatian saja hatinya begitu berbunga-bunga.
Lia merutuki dirinya sendiri karena tak bisa menata emosi nya. Dia seperti gadis muda yang labil.
"Ingat umur Lia! Ingat umur! Sudah bukan waktunya lagi buat Ge-er dan salting macam ABG!"
*
Namun gagal. Dari siang sampai malam, Lia tak bisa membuat mulutnya diam. Entah kenapa bibirnya terus tersenyum. Dia merasa sangat bahagia.
Hanya diberi kata-kata seperti itu yang tak bermakna apa-apa saja dia sudah melambung begitu tinggi sampai ke langit, apalagi dia ikut meeting ke pusat, selalu berduaan dalam satu mobil selama perjalanan… mungkin Lia akan pingsan karena bahagia.
Tiba-tiba ada sedikit rasa sesal di hatinya karena menolak ajakan Pak Revan untuk ikut meeting. Tapi Lia bisa apa? Tidak ada pilihan untuknya.
"Aku nggak boleh punya pikiran seperti ini, ini salah!" Gumam Lia dalam hati.
"Bu…" Lia mendekati Ibunya yang sedang berbaring sambil nonton TV.
"Lia mau ke mini market depan sana sebentar ya Bu, Ibu ingin apa nanti sekalian Lia beli."
Ini hanya alasan, Lia hanya ingin mencari udara segar sejenak. Entah kenapa dia merasa pengap.
"Ibu nggak ingin apa-apa nak," jawab sang Ibu.
"Ya udah, Lia pergi dulu. Sebentar aja cuma ingin beli es kopi dan cemilan."
ibu mengangguk sambil tersenyum.
Lia berjalan menuju motor nya yang masih parkir di teras, lalu menjalankannya menuju minimarket yang berada tak jauh dari rumahnya.
"Aduh!" Lia lupa, jalan yang dia lalui ini nantinya akan melewati sebuah gang gelap. Sudah hampir satu minggu lampu jalannya mati dan belum diperbaiki. Kadang2 ada gerombolan orang mabuk berkumpul di sana.
Dengan cepat Lia menarik tuas rem motornya, saat sedang berusaha keras memutar balik motor di gang yang sempit itu, Lia mendengar suara minta tolong dalam kegelapan.
Lia terdiam sejenak, mencoba menajamkan telinganya, dan berharap yang dia dengar salah. Namun teriakan minta tolong itu semakin kencang.
"Itu suara cewek!" Ucap Lia. Jantungnya berdebar kencang, ada apa gerangan di gang gelap itu?
Apa Lia harus masuk dan mencari tahu? Tapi dia juga takut.
Apa uang harus Lia lakukan??
"Nggak boleh! Ada orang minta tolong, aku harus bantu!" Dengan membulatkan tekad, Lia melaju menerobos gang gelap itu. Lampu motornya dia tunjukkan ke arah suara minta tolong, dan benar saja ada dua orang lelaki yang tampak mabuk sedang mengganggu seorang wanita. Dan Lia mengenal wanita itu, itu teman kantornya. Walaupun beda divisi tapi Lia tahu dia. Dengan mengumpulkan keberanian, Lia menjalankan motornya dengan kencang dan menyerempet salah seorang pemabuk hingga jatuh, "ayo cepat naik!" Teriaknya. Si wanita yang minta tolong tadi, dengan tergesa-gesa menaiki motor Lia, lalu setelah itu Lia memacu motornya dengan cepat dan meninggalkan gang gelap itu. "Makasih banget ya…" si wanita yang ditolong Lia terus
“Permisi...” Anita masuk ke ruang admin di jam istirahat di hari berikutnya. “Hari ini kamu juga pulang Lia?” tanyanya saat melihat Lia masih sibuk di meja kerjanya. “Iya Nit, jam berapa ini? Kok kamu udah mau istirahat aja.” Lia masih sibuk mengetik tanpa memperhatikan jam. Hari ini Novi berangkat meeting ke Semarang bersama Pak Revan, dan tagihannya belum beres sama sekali. Padahal Pak Revan sudah wanti-wanti agar dia menyelesaikan pekerjaannya, tapi Novi memang nggak bisa bekerja dengan cepat, orangnya terlalu santai. Akhirnya semua beban kerja nya diambil alih oleh Lia selama dua hari ini. “Aku kan meeting juga demi gantiin kamu, jadi pekerjaan ini juga kamu harus bantuin kan. Itu baru adil namanya,” uca
“Kamu sudah cetak email yang dikirim kantor pusat kemarin? Hari ini isi email itu akan dibahas dalam meeting,” tanya Revan, tatapannya tetap fokus ke arah depan, memperhatikan jalan.“Sudah Pak, sudah saya siapkan semuanya di dalam tas,” jawab Novi ketus. Dia masih kesal atas kejadian barusan. Maksudnya apa sih Pak Revan itu? Novi pikir Pak Revan mengajaknya ke Hotel untuk beristirahat sejenak dan bersenang-senang. Ternyata malah dia meninggalkannya di sana seorang diri.Tentu saja Novi langsung mengurungkan niatnya untuk masuk ke Hotel besar tadi. Buat apa dia kesana kalau hanya seorang diri!Ternyata Pak Revan lebih sulit dari yang dibayangkan oleh Novi. Novi pikir Pak Revan akan sama dengan pria-pria yang dikenalnya, yang dengan mudah di dapatkan hatinya h
Ibu senang sekali Li...” Ibu tersenyum sambil menatap anak perempuannya yang sudah terlewat dewasa.“Kenapa Bu?” tanya Lia penasaran.“Ibu senang, kamu punya teman yang baik seperti Anita. Ibu jadi merasa tenang, walaupun kamu belum punya pasangan sampai sekarang tapi paling tidak kamu punya teman yang baik.” Ibu tak henti-hentinya memuji kebaikan hati Anita.Sore tadi, sepulang dari supermarket Anita dan pacarnya datang ke rumah Lia. Mereka membawa sekeranjang besar buah-buahan dan ngobrol panjang lebar dengan Ibu.Ibu memang terlihat berbeda saat mengobrol dengan Anita, wajahnya tampak sumringah. Sepertinya Ibu memang senang di ajak ngobrol, mungkin karena selalu di rumah sendirian tak ada teman bicara Ibu jadi merasa gampang bosan dan saat ada orang yang mengajaknya bicara dia langsung ceria, Lia pun sangat senang melihatnya.Lia sangat bersyukur, mengenal Anit
“Selamat pagi semuanya,” ucap Revan membuka briefing pagi ini.“Pagi Pak...” Jawab seluruh karyawan kompak."Dua hari Saya absen, nggak ada masalah kan?”“Nggak ada Pak, aman!” ucap Jamal mewakili teman-teman sales nya.“Lia? Kamu pasti kesulitan ya, harus buat tagihan yang lumayan banyak.”Lia tersentak kaget saat namanya disebut oleh bosnya, “oh, nggak Pak," jawabnya singkat.Revan mengangguk puas dengan kinerja Lia. Sebelum briefing dia memang sudah mengecek tagihan-tagihan yang dibawa sales selama dua hari kemarin. Dan pekerjaan Lia ny
“Bu, Lia sudah masak udang goreng tepung loh, katanya kemarin Ibu pengen udang tepung,” Lia masuk ke kamar Ibunya sambil membawa sepiring penuh udang goreng tepung yang baru saja matang. “Baunya enak banget loh Bu, hmmm... Ibu pasti suka.” Lia meletakkan piring itu di meja dekat ranjang Ibunya dan menatap Ibu yang sepertinya masih lelap tertidur. “Tumben, sudah jam tujuh pagi kok Ibu belum bangun? Biasanya Ibu sudah bangun dari subuh, apa karena sekarang hari minggu?” ucap Amalia bermonolog. “Ibu...” Amalia duduk di tepi ranjang Ibunya dan menyentuh pundaknya dengan pelan mencoba membangunkan sang Ibu. “Badannya di seka dulu yuk? Sama ganti pampersnya, terus sarapan. Sudah jam tujuh loh... Bu...” Ibu tetap diam tak bergeming. “Bu? Bu?" Lia langsung merasa cemas, jantungnya berdebar makin kencang saat menyadari tubuh Ibunya sudah terasa dingin. Dengan tangan gemetar, Lia mendekatkan j
“Pak.. Revan..”“Kamu mau ke mana Lia?” suara baritone yang sangat dalam dari Pak Revan menembus hati Lia membuatnya entah kenapa ingin menangis dalam pelukan hangat ini.Lia tak menjawab, namun malah menangis terisak. Membuat Revan mengurungkan niatnya untuk bertanya hal yang lainnya, dia hanya memeluk Lia makin erat dalam dekapannya.Hampir sepuluh menit, Lia menangis terisak dalam pelukan bos nya, membuat kemeja Revan basah kuyup tepat di bagian dada di mana Lia menyandarkan wajahnya.Setelah reda emosinya, Lia merasa malu. Perlahan dia menjauhkan tubuhnya dari dekapan Pak Revan. Revan yang merasa Lia mulai bergerak menjauh akhirnya mulai melonggarkan pelukannya.
"Tanah di makam Ibu masih basah, tapi mas Toni sudah ribut mau jual rumah Ibu! Kebangetan kamu Mas!" Ucap Lia sambil berusaha menahan emosi nya yang meletup-letup di dada."Ya bukan begitu maksudku, biar semuanya clear," jawab kakak kedua Lia dengan santai."Aku juga setuju dengan usul Toni," tiba-tiba Sandy, kakak pertama Lia muncul dan ikut berkomentar."Nanti kamu bisa ikut mas atau mau ikut Toni juga nggak apa-apa."Lia merasa tak bisa berkata-kata lagi, lidahnya terasa kelu."Nggak perlu! Aku bisa mengurus diriku sendiri!" Lia menghentikan kegiatan makannya yang belum selesai. Dia sudah tak punya napsu makan sama sekali.