"Cepat bangun pemalas!" ucap Fero, sang ayah sambil memukulkan tiga buah lidi ke kaki Maharani kecil.
Kania yang masih dalam keadaan kantuk berat segera membuka matanya. Padahal semalam dirinya memijat tubuh ayahnya yang setengah m∆-b√k hingga ayahnya terlelap. Mungkin jam 1 malam dia baru tidur.
"Iya maaf, Pak. Aku bangun sekarang kok," ujar Kania kecil dengan penuh ketakutan. Dia kembali menguap karena memang masih ngantuk.
"Malah nguap lagi!" bentak Fero, lalu melayangkan lagi tiga buah lidi itu ke kaki Kania berulang kali.
"Ampun, Pak!"
Teriakan Kania kecil sama sekali tidak menggugah hati Fero. Dia terus memukuli Kania dengan tiga buah sapu lidi.
Ranti yang mendengar teriakan Kania segera berlari ke kamar putri pertamanya itu.
"Makin hari makin gila aja kamu, Pak! Kania itu anakmu! Kenapa selalu kamu siksa seperti ini?!" hardik Ranti pada suaminya.
"Dia bukan anakku! Kamu anggap aku bodoh ya? Dulu, saat malam pertama kamu sudah tidak p€-r∆-w∆n! Kamu cuma perempuan be-k∆s." Fero tertawa lantang, merendahkan Ranti.
Dengan menahan amarah, Ranti menatap Fero dengan tajam. "Kenapa diungkit? Kamu kan tahu kondisiku saat itu. Aku wanita kor-b∆n r√d∆-p∆k-s∆. Kamu sendiri yang sok-sokan jadi pahlawan dengan ingin menikahiku."
Fero hanya mendengus kasar sambil melirik tajam pada istrinya lalu meninggalkan kamar Kania begitu saja.
Ranti langsung memeluk Kania sambil menangis. "Maafkan ibu, Nak."
Kania terisak dalam pelukan Ranti.
"Ibu, apa benar aku--"
"Gak, Nak. Kamu tidak seperti yang ada dalam pikiranmu." Ranti terus mengusap rambut Kania. "Sekarang kamu bersiap untuk pergi sekolah ya."
"Iya, Bu "
Ranti segera meninggalkan kamar Kania karena mendengar tangis Tiana dari arah kamarnya.
Kania kecil kerap mendapat siksaan fisik dari sang Ayah, meski itu hanya kesalahan sepele sekalipun.
Dengan menggunakan rot∆n, s∆-buk, sapu lidi maupun tangan, Fero melampiaskan kemarahannya pada anak pertamanya. Berbeda dengan Tiana yang merupakan adik perempuan Kania satu-satunya, namun selalu diperlakukan baik oleh Fero.
Di halaman belakang yang kecil, ada satu pohon besar. Sebuah rumah pohon ukuran 2x3 meter ada di sana.
Firman, adik Ranti lah yang membuatkan rumah pohon itu untuk Kania.
Kania kerap duduk menyendiri di belakang rumah. Dia menumpahkan air matanya. Menumpahkan segala sesak di hatinya.
'Kenapa aku selalu di perlakukan kasar sama bapak? Mungkin benar aku ini bukan anak kandung bapak. Aku benci bapak!'
***
Saat ini usia Kania sudah delapan belas tahun. Sebentar lagi dia akan lulus SMA, sementara Tiana baru kelas 3 SMP. Keduanya sama-sama hendak menjalani ujian kelulusan.
Selepas Sholat Subuh, Kania selalu membantu Ibunya memasak sarapan dan membereskan rumah. Nasi goreng selalu menjadi sarapan andalan keluarga sederhana itu. Selain pembuatannya yang praktis juga tidak terlalu banyak membutuhkan bahan pelengkap.
Ranti bekerja sebagai operator jahit di salah satu pabrik garment, demi memenuhi kebutuhan hidup. Penghasilan Fero yang cuma seorang montir di bengkel kecil yang terletak tak jauh dari rumah mereka, tidak pernah bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Bahkan di satu keadaan, Fero sama sekali tak memberi uang pada Ranti. Uang gajinya yang kecil itu dipakai untuk m∆-b√k-m∆-b√kan dan ber-j√di.
"Bu, aku mandi dulu ya. Rumah udah selesai aku sapu dan pel. Takut kesiangan masuk sekolah," ucap Kania.
"Iya, Nak. Makasih udah bantu ibu."
Selang beberapa waktu, Ranti menatap dua anak gadisnya sudah tampak cantik dalam balutan seragam sekolah. Mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan.
'Apa ini cuma perasaanku aja ya? Dari tadi bapak kok kayak ngelihatin aku. Tatapannya juga beda,' batin Kania.
Selesai sarapan, kedua gadis cantik itu berpamitan.
"Assalamu'alaikum, Bu, Pak. Kami berangkat sekolah dulu," seru keduanya bersamaan sambil mencium tangan kedua tangan orang tua mereka.
"Wa'alaikumussalam," jawab Ranti dan Fero bersamaan.
Hanya Tiana saja yang diusap-usap kepalanya oleh Fero. Kania yang melihat itu, hanya menatap dengan hati yang sedikit iri.
"Kenapa hanya Tiana saja yang disayang sedangkan aku tidak?"
Begitulah fikiran Kania. Kejadian seperti itu bukan sekali dua kali terjadi, namun setiap hari.
Kania sekolah di salah satu SMU negeri favorite di kota tempatnya tinggal. Karena otaknya yang lumayan cerdas, dia bisa masuk ke SMU favorite tersebut lewat jalur prestasi.
Di SMU itu juga, Kania berkenalan dengan Reza yang merupakan kakak kelasnya. Benih-benih cinta pun tumbuh di hati keduanya.
"Kania!"
Kania menoleh ke arah suara. Dia melihat sosok pemuda tampan berseragam SMA yang berlari ke arahnya.
Senyum Kania mengembang. "Kak Reza."
Mereka berjalan menuju halaman belakang sekolah, tempat favorit keduanya saat ada waktu senggang.
"Aku mau ngasih tahu sesuatu."
"Apa itu, Kak?"
Reza memperlihatkan sebuah map warna kuning. "Pengajuan beasiswaku ke Cambridge di Acc."
Meski sempat terkejut sekaligus sedih, namun Kania langsung tersenyum. "Selamat ya, Kak."
Percaya atau tidak, namun hubungan mereka yang baru setahun itu tidak pernah diwarnai oleh pergaulan bebas. Bahkan Reza belum pernah mencium bibir Kania.
Kania mengerjapkan kedua matanya. Dia menatap sekeliling. Dirinya masih berdiri di gerbang sekolahnya.
Rupanya pertemuannya dengan Reza itu merupakan kilas balik kejadian setahun yang lalu.
Saat itu Kania baru akan naik ke kelas 3 sementara Reza yang terkenal sebagai siswa paling jenius pendapatan kesempatan untuk bisa berkuliah di Cambridge secara gratis bahkan mendapatkan uang saku.
Kania menghela nafas pasrah. "Sudah satu tahun aku menjalani LDR dengan Kak Reza. Mungkin gak sih bisa ketemu lagi?"
Kania pun melangkah masuk ke dalam kelas.
Kriiinkk ... Suara bel tanda masuk sekolah sudah terdengar, namun Kania tetap diam dalam duduknya di belakang gedung sekolah. Matanya terpejam, dahinya berkerut dan hatinya bergejolak. "Sakit," gumamnya. Masih terasa perih di pipinya ketika sebuah tangan mendarat telak di pipi kania. Sebuah tamparan keras yang dilayangkan Fero, bapaknya, tadi pagi sebelum pergi sekolah. Fero yang baru bangun tidur meminta Kania membuatkannya kopi. Karena terburu buru, Kania lupa, apakah telah memasukan gula atau belum, ke dalam kopi yang biasa di minum bapaknya. "Dasar anak gak berguna! Bikin kopi saja sampe kemanisan gini. Dasar anak bodoh!" ujar Fero sambil melayangkan tamparan keras ke wajah Kania, setelah itu mendorong tubuh tinggi ramping itu hingga terjerembab ke belakang. "Astaghfirullah, Pak. Benar-benar udah gila kamu itu," sahut Ranti yang langsung menyongsong tubuh Kania bersama Tiana. Kania membuka matanya. Dia masih berada di halaman belakang sekolah. Matanya melotot menatap ny∆-
"Kenapa saya di sini Bu?" Kania yang baru tersadar dari pingsannya, langsung bertanya pada seorang wanita yang memakai jas putih yang merupakan dokter di SMU tempat Kania bersekolah. "Tadi katanya kamu tiba-tiba pingsan. Untung ada temen kamu yang lihat. Jadi Pak Usman langsung membawa kamu ke sini," jawab dokter itu sambil tersenyum. "Sekarang apa yang kamu rasakan?" Dahi Kania sedikit berkerut, mengingat-ingat kenapa dirinya bisa pingsan. Ingatan terakhirnya, dia baru sampai di depan pintu gerbang sekolah sambil menangis. Tiba-tiba sekarang dirinya ada di ruang UKS. Kania menggelengkan kepalanya pelan, lalu berfikir kalau dia pingsan di depan gerbang sekolahnya. "Kania!" Kania dan dokter sekolah itu melihat Jovan muncul dan masuk begitu saja. Memang sudah beberapa bulan ini Jovan selalu ada di sekitar Kania. "Kamu ngapain ke sini?" tanya Kania. "Kok nanya?" Jovan balik bertanya. "Karena aku khawati sama kamu. Kalau gak khawatir, ngapain aku bela-belain ninggalin kelas coba?
Seorang laki-laki usia dua puluh tahun terlihat tengah berbaring di atas kasurnya sambil memandangi poto gadis di ponselnya. Waktu sudah menunjukkan jam 10.00 waktu Cambridge. Dia adalah Reza. Entah kenapa dia tampak sangat gelisah memikirkan gadis pemilik hatinya, KANIA. "Kania, kamu lagi ngapain sekarang? Lagi sama siapa sekarang? Masihkah kamu menungguku? Masihkan kamu ingat janji kita?" Reza bertanya pada dirinya sendiri. Dia terus berfikir keras. Kenapa Kania tidak bisa dihubungi? Apakah Kania sudah bersama laki-laki lain? Tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya. Cepat-cepat dia usap air mata itu. Baru satu tahun dia berada di negara dengan umat muslim yang minoritas, namun kerinduannya terhadap Kania seperti sudah tak terbendung lagi. Sedangkan masih tersisa satu tahun lagi untuk Reza menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas di negara itu. "Astaghfirullahal adziim ... Kenapa perasaanku bisa secemas ini? Aku takut terjadi sesuatu yang buruk padanya. Apal
Sepuluh menit sebelumnya."Jam segini baru pulang sekolah, Tiana?" tanya Bu Tita. Tetangga di lingkungan tempat Tiana dan keluarganya tinggal."Iya nih, Bu. Kebetulan setelah beres jam sekola, aku langsung ikutan ekskul basket," jawab Tiana."Enggak kerasa ya, sekarang kamu sudah pake seragam putih abu. Dulu kakak kamu yang pake putih abu, sekarang adiknya. Masuk SMA yang sama juga sama kakak kamu?" tanya Ibu itu lagi."Enggak, Bu. Nilai ujianku enggak cukup buat masuk ke situ. Aku masuk SMU Negri yang bukan favorite, Bu," jawab Tiana."Ya udah enggak apa-apa, Tiana. Mau SMA favorite mau SMA bukan favorite, keduanya sama saja kok. Yang penting belajar
Suara adzan subuh berkumandang keras bersahutan. Dinginnya udara pagi buta itu membuat siapa saja yang merasakannya akan sangat enggan untuk melepaskan selimut tebalnya. Udara dingin itu terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.Tampak sesosok tubuh tengah tergeletak di teras rumah tak berpenghuni. Bola matanya mulai bergerak. Bulu matanya yang lentik pun ikut bergerak seiring dengan pergerakan kedua bola matanya.Perlahan namun pasti, mata itu terbuka. Tatapannya sendu. Dia melihat sekitarnya, hanya gelap dan dingin. Dia meraba-raba apa saja yang bisa dirabanya."Rumput lagi?" tanya sosok itu pada dirinya sendiri.Sudah kesekian kalinya sosok itu menemukan dirinya sendiri di sebuah tempat yg sama. Dinginnya udara pagi itu membuat kedua tangannya bert
"Kakak yakin dengan keputusan kakak? Aku gimana, Kak? Aku takut sendirian di rumah," tiana bertanya tapi juga merajuk. "Harusnya 'kan bagus Tiana. Kakak jadi enggak nyusahin Ibu terus. Sudah saatnya kakak bantu Ibu. Nanti Kakak juga bisa nambahin uang sakumu juga 'kan," ujar Kiranna membujuk adiknya. "Tapi Tiana sendirian di rumah. Tiana takut, Kak," "Kan ada Ibu sama …," Kiranna tiba-tiba merasa tidak suka memanggil laki-laki bernama Ridwan itu dengan sebutan Ayah. Bu Rahma yang sedari tadi diam sambil mendengar percakapan kedua putrinya itu pun akhirnya ikut Bicara. "Kamu tuh harusnya senang kakakmu punya pekerjaan dan penghasilan sendiri. Udah
Jovan masih duduk termangu di dalam kamarnya. Tangan kanannya memainkan dan membolak balikan sebuah ponsel. Ya, itu ponsel milik Kiranna. Ponsel yang dulu ketika masih mengenyam pendidikan SMA telah diambil dari dalam tas biru langit sekitar satu tahun lebih yang lalu. Jovan teringat reaksi Kiranna saat menggeledah tas sekolahnya waktu itu. Wajah Kirana terlihat sangat sedih dan kecewa. Sebenarnya Jovan merasa bersalah saat itu, namun tak membuatnya mengembalikan ponsel itu pada Kirana. Tindakannya memang sangat jahat sekali. Demi keinginannya untuk memiliki dan menjadikan Kirana sebagai kekasihnya. Dia rela menggunakan cara-cara tidak terpuji. Karena hanya ponsel itulah yang jadi media penghubung antara Kiranna dengan laki-laki yang bernama Shirojuddin Al-abbas itu. Tebakannya benar. Kiranna memang benar-benar langsung dengan laki-laki bernama Shiroj waktu itu. Itu artinya rencana Jovan
Keringat dingin menetes di dahi Jovan. Perasaannya seketika gelisah. Sesuatu di balik tiba-tiba celananya menegang. 'Torpedoku kenapa bangun gini ya? Nonton blue film juga gak. Apa karena lihat Kania pake nightgown gitu ya? Masa iya mesti ngacir dulu ke kamar mandi. Iya kalau sebentar langsung tuntas. Kalau lama? Yang ada si Kania nanti malah curiga," Jovan berujar dalam hatinya. Kania yang tau dengan reaksi Jovan hanya bisa tersenyum tipis nyaris tak terlihat. Sebenarnya Kania telah mencampurkan obat perangsang dosis tinggi dalam minuman es jeruk yang diminum Jovan. Kania sendiri ikut meminumnya agar gairahnya nanti bisa meledak bersama Jovan. Kania senyum-senyum sendiri membayangkan sebentar lagi dia akan terbang ke langit ke tujuh bersama laki-laki yang selama ini di cintainya. Kania yakin kalau