Share

Munculnya Kepribadian Gandanya yang Lain.

Sepuluh menit sebelumnya.

"Jam segini baru pulang sekolah, Tiana?" tanya Bu Tita. Tetangga di lingkungan tempat Tiana dan keluarganya tinggal.

"Iya nih, Bu. Kebetulan setelah beres jam sekola, aku langsung ikutan ekskul basket," jawab Tiana.

"Enggak kerasa ya, sekarang kamu sudah pake seragam putih abu. Dulu kakak kamu yang pake putih abu, sekarang adiknya. Masuk SMA yang sama juga sama kakak kamu?"  tanya Ibu itu lagi.

"Enggak, Bu. Nilai ujianku enggak cukup buat masuk ke situ. Aku masuk SMU Negri yang bukan favorite, Bu," jawab Tiana.

"Ya udah enggak apa-apa, Tiana. Mau SMA favorite mau SMA bukan favorite, keduanya sama saja kok. Yang penting belajar dengan tekun. Biar nanti lulus dengan hasil yang memuaskan kayak kakakmu itu,"

"Iya, Bu. Terima kasih atas nasihatnya. Semoga aku bisa kayak Kak Kiranna. Kalau begitu aku pamit pulang ya, Bu," Tiana tersenyum sambil melangkah ke arah rumahnya.

Setelah melewati sebuah lapangan, hampir dua puluh meter lagi menuju rumahnya. Langkah kaki Tiana terhenti. Telinganya seperti mendengar jerit memilukan meminta tolong. Meski agak ragu Tiana untuk melangkah karena bulu kuduknya agak berdiri. Fikiran absud-nya menguasai. 

Tidak berfikir kalau disekitarnya berdiri ada makhluk tak kasat mata sedang mengganggunya.

'Masa sih siang-siang gini ada hantu?' batin Tiana bertanya-tanya.

Tiana kembali menajamkan indra pendengarannya. Jeritan itu terdengar lg, namun kali ini bukan ujaran minta tolong yang terdengar melainkan kalimat sumpah serapah yang terdengar. Tiana mengenali suara itu.

"Kak Kiranna!" 

Tiana berlari ke arah rumah dengan cemas dan jantung berdebar. Bayangan buruk akan keadaan kakaknya seketika menghinggapinya fikiran Tiana.

Pemandangan memilukan dan memalukan terpampang di depan mata Tiana saat dirinya sudah tiba di depan kamar Kiranna. Seketika tubuhnya membeku. Dia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya karena melihatbAyahnya sedang berusaha menggagahi kakaknya.

"Tolong!"

Jeritan minta tolong itu menyadarkan Tiana. Dia teringat ketika masuk ke dalam rumah saat melewati pintu utama rumahnya, Tiana melihat balok kayu kecil yang tergeletak di depan rumahnya. 

Seketika dia berlari ke luar rumah demi meraih balok kayu kecil itu. Tiana kembali masuk ke dalam rumah kemudian berlari lagi menuju kamar kakaknya. Tiana melihat tangan ayahnya sudah berhasil menarik kemeja yang dipakai kakaknya. 

Belum sempat mulut Ridwan mencapai gundukan sintal itu. Sebuah pukulan telak menghantam punggung belakangnya berkali-kali dengan kerasnya.

Hantaman benda tumpul di punggungnya membuat Ridwan menoleh sambil mengaduh dan memegang punggungnya. Matanya nanar menatap ke arah Tiana. Karena takut, Tiana pun mundur ke arah pintu kamar Kiranna masih dengan balok kayu di tangannya.

Ridwan beranjak dari atas tubuh Kiranna yang sudah polos bagian atasnya dan hanya berbalut bra. Baru empat langkah Ridwan berjalan ke arah Tiana, satu hantaman balok kembali mendarat. Kali ini bukan di punggung tapi tepat di rahang sebelah kiri.

Tiana menguatkan hatinya untuk mampu melakukan perbuatan itu pada ayahnya.

Bruk...

Ridwan tersungkur tepat di depan kaki Tiana dan akhirnya tak sadarkan diri. Tiana lekas melemparkan balok kayu kecil itu dan berlari ke arah Kiranna. Kini Kiranna ada dalam posisi meringkuk seperti bayi dalam kandungan. Badannya bergetar berikut peluh yang bercucuran. Membuat badannya basah seperti di siram air.

Tiana langsung memeluk kakaknya sambil ikut menangis juga. Tidak pernah terbayang kalau ayah yang dihormatinya tega hendak berbuat tidak terpuji pada kakaknya. 

Mata Kiranna terbuka dan terbelalak menatap nyalang bergerak ke kiri ke kanan. Mulutnya tersenyum lebar dengan seringai menakutkan, namun Tiana tidak menyadari keadaan itu karena posisi Tiana yang sedang memeluk Kiranna. 

Dia mengusap-usap punggung Kiranna dengan maksud ingin menenangkan Kakaknya. Tanpa Tiana sadari, tangan kanan Kiranna sedang bergerak pelan ke arah Tiana. Tepatnya ke arah leher Tiana dan bersiap seperti hendak mencekik.

"Tiana! Ini Ibu, Nak. Kamu di mana, Nak?" suara Bu Rahma terdengar melengking memanggil nama anak bungsunya. 

Rahma yang baru pulang kerja, terheran-heran melihat pintu rumah terbuka lebar dan mendapati tas sekola Tiana ada di luar.

Tiana yang mendengar suara ibunya langsung berteriak memanggil Ibunya. Sedikit lagi telapak tangan Kiranna menyentuh leher Tiana, namun Tiana bangkit dan berlari ke arah pintu di mana Rahma sudah berdiri di sana. 

Tiana emeluk tubuh ibunya dengan erat sambil menangis. Pergerakan Tiana yang tiba-tiba berdiri itu membuat Kiranna terhenyak kaget. Kemudian hilanglah kesadarannya. Kiranna pun langsung tak sadarkan diri.

Rahma mematung sambil memeluk Tiana. Matanya menatap suaminya yang tergeletak tak jauh dari kakinya yang berdiri. Dia juga melihat Kiranna sudah hampir polos tubuh atasnya. Rahma juga cukup syok mendengar Tiana yang terus menangis.

"Ka-kakak, Bu," ucap Tiana terbata-bata sambil menunjuk ke arah tubuh Kiranna yang sudah tergeletak tak sadarkan diri.

Tanpa mendengar lanjutan ucapan Tiana yang masih syok dan menangis, Rahma sudah bisa menduga dengan kejadian buruk yang baru saja terjadi. Melihat seprai yang acak-acakan pun sudah membuat hati Rahma terpukul.

Rahma memang sering memperlakukan Kiranna berbeda dengan adiknya. Tapi melihat kondisi Kiranna seperti itu tetap membuat sisi dirinya sebagai seorang ibu merasa tidak ikhlas dan juga marah.

"Bapak jahat, Bu. Bapak jahat sama Kak Kiranna," ucap Tiana sambil menangis. "Kalau saja aku telat datang, entah bagaimana nasib Kakak?" ucapnya lagi masih dengan isak tangisnya.

Tiana menceritakan semua yang dia tau dari awal sampai akhir. Termasuk dirinya yang memukul sang Ayah dengan balok kayu kecil yang kini tergeletak tidak jauh dari tubuh Ridwan.

Rahma melepaskan pelukannya pada Tiana lalu berlari menghampiri Kiranna. Memeluk tubuh anak sulungnya sambil menangis. 

"Kiranna bangun, Nak. Ini ibu sudah pulang!" teriak Rahma penuh kesakitan

Namun Kiranna tak kunjung sadar juga dari pingsannya. Rahma meraih tas slempang yang masih tersampir di bahunya lalu meraih minyak angin dalam tas tersebut lalu mendekatkan minyak angin itu ke hidung Kiranna. Bola mata Kiranna bergerak. Matanya terbuka dengan tatapan mata yang sayu.

Seketika pecah tangis Kiranna. Dirinya baru teringat kejadian naas yg menimpanya. 

"Ibu! Huhuhu ... Huhuhu …," tangisnya terdengar menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Tiana ikut memeluk kakak dan ibunya. Mereka bertiga sama-sama menangis  menumpahkan sesak di dada masing-masing.

Pergerakan Ridwan yang tersadar dari pingsan nya, membuat tiga wanita yang sedang menangis itu seketika menghentikan tangisnya. 

Rahma beranjak dari duduk lalu berjalan mendekati meja kecil yang ada di kamar Kiranna di mana di atasnya terdapat jug air minum berikut gelasnya. 

Diraihnya jug berisi air itu kemudian berjalan mendekati Ridwan yang sedang bergerak hendak bangun.

Splash ...

Air itu mendarat tepat di wajah Ridwan. Ridwan yang masih setengah sadar pun kaget.

"Apa-apaan kamu. Hah?" bentak Ridwan.

"Dasar binatang! Tega kamu hendak menodai anakmu sendiri. Lihat keadaan Kiranna yang tertekan dan trauma seperti itu," 

Ridwan bangkit dan terduduk di lantai. Ridwan memutar kepalanya menoleh ke arah jari telunjuk Rahma yang sedang menunjuk ke arag Kiranna dan Tiana. Kedua kakak beradik itu sedang saling berpelukan erat. Selimut tebal tampak menutupi tubuh Kiranna.

Ingatan Ridwan sedikit demi sedikit terbuka. Dahinya berkerut dalam tanda sedang berfikir.

"Aku gak inget apa-apa!" Ridwan berbohong sambil tangannya memegang rahangnya yang terasa ngilu. 

Sebetulnya ingatannya samar-samar. Bayangan ketika tangannya menyentuh paha kiranna yang putih mulus dan juga bayangan ketika melihat dua gundukan sintal dan padat milik Kiranna yang begitu meruntuhkan imannya. Jauh sekali bila dibandingkan dengan milik istrinya yg mulai kendor.

Ridwan berdiri perlahan dengan tangan yang masih memegang rahangnya. Di liriknya balok kayu kecil yang tergeletak tak jauh darinya. Dia teringat kalau anak bungsunya lah yg memukulnya sampai pingsan.

Tanpa berkata apa pun Ridwan berlalu dari kamar Kiranna dengan senyum mesumnya. Bukannya sadar, dia malah seperti tengah berfikir sesuatu hal yang tidak pantas.

*

Seminggu telah berlalu sejak kejadian percobaan pemerkosaan terhadap Kiranna. Kiranna hanya mengunci diri di dalam kamarnya. Tidak ada yang tahu dengan apa yang Kiranna lakukan di dalam. 

Sesungguhnya ALTER EGO sedang menguasai Kiranna selama seminggu ini. Kepribadiannya yang lain sering kali muncul ketika malam datang. Kiranna dengan tidak sadarnya selalu keluar lewat jendela kamarnya.

Selama seminggu ini pun beberapa warga sering menemukan bangkai kucing dengan perut robek dan usus terburai. Bahkan bangkai ayam dengan kondisi seperti di mutilasi paksa tanpa senjata tajam.

Malam pun kembali menyelimuti pemukiman warga itu. Bagi sebagian orang yang beraktifitas ketika siang harinya. Malam adalah waktu yang tepat untuk beristirahat.

"Kok saya merinding ya, Kang?" ujar Linmas yang bernama Effendy.

"Perasaanmu saja itu, Fen. Aku sih biasa aja. Lagian ini bukan kali pertama kita ronda 'kan?" ucap Linmas satu lagi yang merupakan bapak-bapak paruh baya bernama Rosyid atau biasa di panggil Kang Ocid.

Kresak ... Kresak ...

Terdengar suara agak berisik di semak-semak yang tak jauh dari tempat Effendy dan Rosyid berdiri.

"Tuh 'kan, Kang. Apa aku bilang? Perasaanku udah enggak enak dari tadi," ujar Effendy sambil menyembunyikan badan kurusnya di balik punggung Rosyid.

"Coba kita lihat, Yuk!" ujar Rosyid.

 Rosyid dan Effendy berjalan sambil menyorotkan lampu senternya ke arah semak-semak lalu menyingkap semak-semak yang sebelumnya mengeluarkan bunyi 'Kresak'.

"Astaghfirullaah …," ucap keduanya setengah loncat ketika melihat musang yang berukuran cukup besar loncat dari balik semak-semak yang mencurigakan itu.

"Ternyata musang itu yang selama ini meresahkan warga. Musang sialan!" ujar Effendy kesal.

"Di kejar juga udah enggak bakal kekejar. Udahlah kita patroli lagi," ujar Rosyid.

Tanpa mereka sadari, ada sosok tengah berdiri di balik pohon besar dekat semak-semak yang tadi sangat mencurigakan. Matanya menatap nyalang dan bergerak ke kiri dan ke kanan. Sedangkan mulutnya tersenyum lebar dengan sesekali berguman.

"Bunuh ... Singkirkan ... Lenyapkan … Hahahaha …."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status