Share

tujuh

Mendengar penuturan Lilis, membuat napas ini tersengal. Seketika emosi menguasai hati dan pikiran. Ingin rasanya berteriak namun lidahku terasa keluh, benar-benar tak mengira akan mendengar hal yang sangat menyakitkan dari gadis manis itu.

Aku mengambil napas dalam, sebelum memutuskan untuk mengetuk pintu. Aku sudah muak dengan semua ini.

Perlahan aku melangkah mendekat, melihat kedatanganku semuanya terdiam, termasuk Mas Anam. Aku meneruskan langkahku sampai ke ranjang tempat Lilis berbaring.

"Cepat sembuh ya, Lis. Ini buat periksa ke dokter," ucapku sambil menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah di tangannya.

"Ayo, Mas. Kita balik, biar Lilis bisa istirahat," ajakku pada Mas Anam yang masih terpaku melihat sikapku.

"Aku masih kangen dengan Mas Anam! Jadi dia tak boleh kemana-mana!" cegah Lilis setengah berteriak.

"Ya udah, kalau gitu aku pulang sendiri ya, Mas. Kasihan Lilis masih kangen dengan kakaknya yang ganteng dan baik hati ini," ujarku.

"Gini aja. Lis, mas mau nganterin Widya pulang, setelah itu mas akan kembali ke sini, gimana?"

"Itu baru oke, Mas. Biar kita lebih nyaman ngobrolnya," sahut gadis itu antusias.

"Iya, bawel. Ayo, Wid!" ajak Mas Anam sambil menggadeng tanganku. Aku memutar mata jengah mendengar jawaban Mas Anam. 

**

"Aku langsung balik ya, Wid," pamitnya setelah aku turun dari motor.

"Makan dulu, Mas. Nanti sekalian bawain buat Lilis," sahutku berusaha mencegahnya.

"Tadi aku minta dibuatin sambil terong sama Erna. Kukira kita akan makan sama-sama di sana, gak tahu kalau kamu mau cepat-cepat pulang," ucapnya tanpa beban. Apa dia gak ngerti kalau itu menyakitiku.

"Iya. Nanti setelah makan, baru balik ke sana." Bagaimanapun juga aku harus mencegahnya untuk kembali ke tempat itu.

Apa aku jahat? Embuhlah, aku hanya berusaha mempertahankan rumah tanggaku.

"Harusnya tadi itu kesempatan kamu untuk mendekati Lilis, Wid. Mumpung Mbak Sri gak di rumah. Siapa tahu kalau Lilis bisa menerimamu lama-lama Mbak Sri juga bisa menyukaimu," ujarnya yang masih bertahan di atas motor.

"Masuk dulu yuk, sebentar lagi Dzuhur loh," ucapku membujuk.

"Nanti aku sholat di sana saja, gak enak sama Erna, tadi dia ke kamar mau ngajak makan. Eh, kamunya keburu minta pulang," ujarnya.

"Gak enak sama Erna? Terus aku?" tanyaku protes.

"Ya bukan gitu, Wid," sahutnya mulai merasa tak enak hati padaku.

"Terus?!" Aku masih saja bertanya agar dia merasa terpojok.

"Ya udah aku masuk," ucapnya, yang akhirnya menurut dengan keinginanku.

Setelah selesai makan, terdengar adzan Dzuhur, aku pun mengajaknya untuk sholat berjamaah di rumah.

Aku tidak mau hari minggu ini menjadi kelabu, jadi akan membuatnya menjadi penuh warna. Kuberikan apa yang menjadi kewajiban sebagai seorang istri sampai Mas Anam bisa melupakan sambal terong buatan wanita dari masa lalunya itu.

**

"Mas bangun udah ashar, mandi dulu yuk," ucapku berbisik. Lelaki itu masih enggan membuka matanya, hanya bergumam tak jelas. Tiba-tiba saja dia terjaga dan langsung terduduk. Diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Wajah itu nampak memerah dengan rahang mengeras setelah mengusap layarnya.

"Puluhan panggilan tak terjawab dari Lilis," ucapnya lirih penuh rasa bersalah. Mas Anam meletakkan ponsel di telinganya, rupanya dia tengah melakukan panggilan. Rahangnya semakin mengeras, sepertinya panggilannya tak diangkat.

"Apa kamu sengaja melakukannya? Aku gak nyangka kamu sejahat itu, Widya!" tanyanya, terlihat jelas kalau lelakiku itu sedang menahan amarahnya.

Mas Anam bangkit dan astaga, dia kan masih polos. Dengan cuek dia meraih celana boxer yang ada di sandaran ranjang lalu memakainya. Dasar mesum!

"Iya," jawabku tegas, sambil memalingkan muka. Malu melihatnya yang kayak Tarzan.

"Kamu keterlaluan, Widya! Dengan begini kamu semakin mempertegas prasangka mereka padamu! Apa susahnya sih membuat bahagia kakak dan adikku?!" Dia mengeluh bercampur kesal padaku.

"Apa masalahmu?! Selama ini aku selalu berusaha mengerti dirimu, menerima alasan yang kamu bilang semua ini demi kewarasanmu! Tapi apa? Ternyata benar, kamu egois!" Dia masih menumpahkan kekesalannya.

"Karena di sana ada wanita lain, Mas. Wanita yang pernah ada dalam hidupmu! Dan aku mendengar semuanya! Kalau Lilis dan Mbak Sri menginginkan kalian untuk menikah!" teriakku.

Aku benar-benar tersulut emosi karena disalahkan, hal yang belum pernah kulakukan. Sementara Mas Anam hanya terdiam melihatku berbicara keras seperti itu.

"Aku tahu Erna itu mantanmu dan dengan mudah kamu bilang mau makan masakannya?" Aku menjeda kalimat, menatap matanya dan menghela napas panjang sebelum berucap, "Pergilah ... temui Lilis, sampaikan maafku padanya."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mira Wati
Paling malas baca cerita kalo tokoh utamanya BODOH tingkat dewa.... rugi bayar koin.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status