Mendengar penuturan Lilis, membuat napas ini tersengal. Seketika emosi menguasai hati dan pikiran. Ingin rasanya berteriak namun lidahku terasa keluh, benar-benar tak mengira akan mendengar hal yang sangat menyakitkan dari gadis manis itu.
Aku mengambil napas dalam, sebelum memutuskan untuk mengetuk pintu. Aku sudah muak dengan semua ini.Perlahan aku melangkah mendekat, melihat kedatanganku semuanya terdiam, termasuk Mas Anam. Aku meneruskan langkahku sampai ke ranjang tempat Lilis berbaring."Cepat sembuh ya, Lis. Ini buat periksa ke dokter," ucapku sambil menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah di tangannya."Ayo, Mas. Kita balik, biar Lilis bisa istirahat," ajakku pada Mas Anam yang masih terpaku melihat sikapku."Aku masih kangen dengan Mas Anam! Jadi dia tak boleh kemana-mana!" cegah Lilis setengah berteriak."Ya udah, kalau gitu aku pulang sendiri ya, Mas. Kasihan Lilis masih kangen dengan kakaknya yang ganteng dan baik hati ini," ujarku."Gini aja. Lis, mas mau nganterin Widya pulang, setelah itu mas akan kembali ke sini, gimana?""Itu baru oke, Mas. Biar kita lebih nyaman ngobrolnya," sahut gadis itu antusias."Iya, bawel. Ayo, Wid!" ajak Mas Anam sambil menggadeng tanganku. Aku memutar mata jengah mendengar jawaban Mas Anam. **"Aku langsung balik ya, Wid," pamitnya setelah aku turun dari motor."Makan dulu, Mas. Nanti sekalian bawain buat Lilis," sahutku berusaha mencegahnya."Tadi aku minta dibuatin sambil terong sama Erna. Kukira kita akan makan sama-sama di sana, gak tahu kalau kamu mau cepat-cepat pulang," ucapnya tanpa beban. Apa dia gak ngerti kalau itu menyakitiku."Iya. Nanti setelah makan, baru balik ke sana." Bagaimanapun juga aku harus mencegahnya untuk kembali ke tempat itu.Apa aku jahat? Embuhlah, aku hanya berusaha mempertahankan rumah tanggaku."Harusnya tadi itu kesempatan kamu untuk mendekati Lilis, Wid. Mumpung Mbak Sri gak di rumah. Siapa tahu kalau Lilis bisa menerimamu lama-lama Mbak Sri juga bisa menyukaimu," ujarnya yang masih bertahan di atas motor."Masuk dulu yuk, sebentar lagi Dzuhur loh," ucapku membujuk."Nanti aku sholat di sana saja, gak enak sama Erna, tadi dia ke kamar mau ngajak makan. Eh, kamunya keburu minta pulang," ujarnya."Gak enak sama Erna? Terus aku?" tanyaku protes."Ya bukan gitu, Wid," sahutnya mulai merasa tak enak hati padaku."Terus?!" Aku masih saja bertanya agar dia merasa terpojok."Ya udah aku masuk," ucapnya, yang akhirnya menurut dengan keinginanku.Setelah selesai makan, terdengar adzan Dzuhur, aku pun mengajaknya untuk sholat berjamaah di rumah.Aku tidak mau hari minggu ini menjadi kelabu, jadi akan membuatnya menjadi penuh warna. Kuberikan apa yang menjadi kewajiban sebagai seorang istri sampai Mas Anam bisa melupakan sambal terong buatan wanita dari masa lalunya itu.**"Mas bangun udah ashar, mandi dulu yuk," ucapku berbisik. Lelaki itu masih enggan membuka matanya, hanya bergumam tak jelas. Tiba-tiba saja dia terjaga dan langsung terduduk. Diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Wajah itu nampak memerah dengan rahang mengeras setelah mengusap layarnya."Puluhan panggilan tak terjawab dari Lilis," ucapnya lirih penuh rasa bersalah. Mas Anam meletakkan ponsel di telinganya, rupanya dia tengah melakukan panggilan. Rahangnya semakin mengeras, sepertinya panggilannya tak diangkat."Apa kamu sengaja melakukannya? Aku gak nyangka kamu sejahat itu, Widya!" tanyanya, terlihat jelas kalau lelakiku itu sedang menahan amarahnya.Mas Anam bangkit dan astaga, dia kan masih polos. Dengan cuek dia meraih celana boxer yang ada di sandaran ranjang lalu memakainya. Dasar mesum!"Iya," jawabku tegas, sambil memalingkan muka. Malu melihatnya yang kayak Tarzan."Kamu keterlaluan, Widya! Dengan begini kamu semakin mempertegas prasangka mereka padamu! Apa susahnya sih membuat bahagia kakak dan adikku?!" Dia mengeluh bercampur kesal padaku."Apa masalahmu?! Selama ini aku selalu berusaha mengerti dirimu, menerima alasan yang kamu bilang semua ini demi kewarasanmu! Tapi apa? Ternyata benar, kamu egois!" Dia masih menumpahkan kekesalannya."Karena di sana ada wanita lain, Mas. Wanita yang pernah ada dalam hidupmu! Dan aku mendengar semuanya! Kalau Lilis dan Mbak Sri menginginkan kalian untuk menikah!" teriakku.Aku benar-benar tersulut emosi karena disalahkan, hal yang belum pernah kulakukan. Sementara Mas Anam hanya terdiam melihatku berbicara keras seperti itu."Aku tahu Erna itu mantanmu dan dengan mudah kamu bilang mau makan masakannya?" Aku menjeda kalimat, menatap matanya dan menghela napas panjang sebelum berucap, "Pergilah ... temui Lilis, sampaikan maafku padanya."Tanpa menyahut lagi, Mas Anam melangkah ke kamar mandi. Sementara aku yang masih kesal hanya bisa memukul bantal sebagai pelampiasan.Setelah menumpahkan emosi pada benda empuk itu, perasaan ini sedikit merasa puas, walaupun napasku masih ngos-ngosan. Tak hanya merasa lega, aku juga merasa capek sekali, keringat juga sudah membasahi kening ini. Ah, lumayan olahraga.Sebelum emosi datang lagi, aku memilih untuk beranjak dari kamar menuju dapur untuk menyeduh kopi, menghirup aromanya yang menurutku bisa memenangkan pikiran yang sedang kalut."Aku mau balik ke rumah Lilis. Mungkin pulangnya malam, jadi kamu gak usah nungguin," ucap Mas Anam tiba-tiba. Aku menoleh sekilas, lelakiku itu memang terlihat tampan, apalagi sehabis mandi seperti saat ini. Alis yang tebal, hidung yang mancung serta mempunyai rahang yang kokoh ditambah tatapan matanya yang tajam. Sungguh pesona bagi wanita.Aku tak menjawab, kembali asyik menikmati aroma kopi yang dibawa oleh kepulan asapnya."Wid?" Terdengar lan
Pintu sedang dibuka dari luar ketika aku hendak meraih ganggangnya. Mas Anam menelan ludah saat mata kami beradu. Rupanya dia tidak pulang sendiri, ada Mbak Sri, Lilis juga Erna, ikut bersamanya."Ada apa ini?" tanyaku terkejut bercampur heran. Jujur aku kaget dengan kedatangan mereka. Bahkan berbagai pikiran buruk sudah berseliweran di kepala."Mau mampir saja, Wid. Ada yang kangen soalnya, biasalah CLBK. Hahaha," sahut Mbak Sri. Entah apanya yang lucu sehingga dia bisa tertawa bahagia seperti itu.Aku langsung bisa menangkap ke arah mana Mbak Sri berbicara. Kini dia semakin berani bahkan terang-terangan berkata demikian di depanku dan Mas Anam.Aku melirik kepada lelakiku, berharap dia menyangkal. Namun, dia hanya tersenyum kikuk, sambil mengusap tengkuk. Aku berdecak melihatnya yang tak bisa berkutik dihadapan kakaknya. Apa benar cinta mereka belum kelar?"Oh gitu? Ya udah silahkan ngobrol-ngobrol. Aku mau berangkat kerja dulu," sahutku sambil menutup pintu lalu menguncinya. Tak su
"Kamu—""Lekas pergi, Mbak. Sebelum aku semakin hilang kendali," tegasnya.Kini tinggal kami berdua. Aku memilih acuh, rasanya malas untuk mulai berkata."Maafkan aku, Wid," ucapnya sambil membuka pintu. Sementara tangan yang satunya tetap menggenggam tanganku, pelan dia menarik diri ini masuk.Setelah pintu kembali tertutup lelaki itu segera menarik tubuhku, mengurungnya dalam dekapan."Untuk apa minta maaf? Yang penting kan saudaramu bahagia," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya.Mendengar ucapanku Mas Anam berdecak lalu menghela napas kemudian semakin mempererat dekapannya."Udah ah! Aku udah telat, nanti Baba Ong marah lagi. Awas!" seruku sambil berusaha mendorong dadanya."Hari ini bolos aja," titahnya sambil terus saja mendekap diri ini."Enak aja, ogah!" sahutku yang terus berusaha melepaskan diri."Ini perintah suamimu, Wid." Suaranya terdengar lembut, tetapi tetap saja kalimat itu menjengkelkan."Enak ya jadi suami, tinggal perintah ini, perintah itu. Kalau gak nurut,
"Widya!" bentak Mas Anam. Sepertinya lelaki itu tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya. Tatapan matanya tajam menghujam manik mataku."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?" bantahku tak kala sengit."Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam aku gak pulang. Dan soal perkataan Mbak Sri tadi, gak usah kamu masukkan dalam hati," pesannya. Kali ini nada bicaranya sudah mulai turun."Widya!" bentak Mas Anam, mungkin dia tidak suka aku bicara seperti itu."Apa?" sahutku yang sudah tersulut emosi karena teriakannya tadi."Kamu jangan bilang seperti itu, aku gak suka," sahutnya."Lah terus kenapa tadi bisa bareng-bareng gitu sama mantanmu? Kamu pikir aku suka?""Tadi itu kita gak bareng, Widya! Mereka datang setelah aku baru sampai. Mereka juga gak tahu kalau semalam
Suasana kontrakan itu nampak ramai. Jeritan dan teriakan saling bersahutan, ditambah juga dengan riuh suara orang yang sesekali bersorak."Dasar pelakor!""Auh! Lepas!""Wanita sundal! Murahan!""Aaa!""Kurang ajar!""Auh!"Aku dan Mas Anam mencoba masuk dalam kerumunan, akhirnya dengan susah payah kami bisa sampai di depan kerumunan. Terlihat Mbak Sri dan seorang wanita saling jambak dan saling tindih."Astaghfirullah!" pekik kami berdua secara bersamaan."Hentikan!" Seorang lelaki berteriak sambil menerobos kerumunan dari arah berlawanan dengan kami. Lelaki itu segera memeluk wanita yang berduel dengan Mbak Sri. Sedangkan aku dan Mas Anam segera membantu Mbak Sri yang masih terkapar.Tanpa banyak bicara, lelaki itu langsung membopong wanita tadi pergi."Darah, Mas!" pekik Lilis sambil menunjuk kaki kakaknya.Kami serentak menengok arah yang ditunjuk oleh Lilis, dan itu membuat kami semua tersentak. Cairan merah itu mengalir deras dari sela-sela kedua kaki Mbak Sri."Mas, kita bawa M
Seorang wanita datang ke rumah, saat aku baru saja selesai menyapu setelah pulang kerja."Permisi, Mbak. Maaf mengganggu. Apa benar ini rumahnya Mas Anam?" tanyanya ramah padaku."Iya, Bu. Ada perlu apa ya kok mencari suamiku?" Aku menyahut. Namun, ada sesuatu yang membuatku terus memandanginya. Rasanya pernah melihatnya, tapi di mana ya?"Begini, Mbak, aku kesini mau minta tolong. Aku mau minta alamat rumahnya Mbak Sri," ucapnya sopan.Aku tak langsung menjawab, sekali lagi mengamati wajah wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini. Setelah cukup keras berpikir akhirnya aku bisa ingat kalau dia adalah wanita yang dulu bertengkar dengan Mbak Sri waktu itu."Gini aja, Bu. Berhubung aku juga akan ke sana, jadi nanti bareng aja. Aku tak mandi dulu. Mari silahkan masuk."Memang tadi rencananya aku akan ke sana, menghampiri Mas Anam, sekaligus menengok Mbak Sri. Bahkan aku juga sudah membeli beberapa buah untuk dibawa ke sana."Wah kebetulan sekali, tapi saya nunggu di sini saja ya, Mbak.
"Nam, yakin Widya kamu suruh tinggal," sahut Mbak Sri dengan senyum misterius. Seolah menyadari sesuatu, perlahan Mas Anam melepaskan pegangannya."Widya, yakin kamu mau pulang? Gak ingin lihat ijab kabul sekali lagi, Nih?" imbuh Mbak Sri."Emang siapa yang mau menikah?" tanyaku pada Mas Anam. Lelaki itu tak menjawab, malah membuang muka.Seperti sekian detik kemudian Erna keluar dengan menggunakan pakaian pengantin adat jawa dengan senyum merekah di bibirnya. Wanita itu nampak cantik dengan balutan kebaya warna putih."Aku sudah siap, Mas," ucapnya tersenyum bahagia, wanita itu berjalan menghampiri Mas Anam, setelah itu tanpa canggung dia menggandeng tangan suamiku ini.Untuk sesaat aku hanya bisa terdiam karena masih bingung, otakku berusaha mencerna keadaan yang terjadi saat ini. Wanita itu bilang sudah siap pada Mas Anam, itu berarti suamiku akan menikah lagi, gitu? Dan yang lebih menyakitkan lelaki itu hanya diam tanpa membantah.Aku tak menyangka akan bernasib sama dengan Bu San
Kulalui hari-hari seperti biasa, membersihkan rumah dan pergi bekerja. Hingga tak terasa sudah hampir setengah tahun aku hidup sendiri tanpa suami, dan selama itu pula Mas Anam juga tidak memberi kabar. Bohong, kalau aku bilang semua baik-baik saja. Setegar apapun diri ini, tetap saja pernah merasa sedih dan kesepian.Hari Minggu ini aku menyibukkan diri dengan mengemasi barang-barang milik Mas Anam, semua pakaian dan semua barang yang berhubungan dengannya kumasukkan ke dalam kardus dan tas kresek. Aku tidak mau terus berada dalam dilema, segera mungkin akan menyudahi semua ini.Setelah semuanya sudah beres, segera kubawa ke kamar belakang, menaruhnya bersama dengan barang-barang yang sudah tak terpakai lainnya."Akhirnya selesai sudah," ucapku pada diri sendiri setelah meletakan kardus dan kresek dalam kamar tersebut.Lanjut melangkah lagi ke kamar, kali ini sambil membawa sapu dan pengki. Selain bersih-bersih aku juga hendak menata ulang letak beberapa perabot dalam kamar, hal yang