Share

After : 8

Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.

Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.

Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.

Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada markas tentara yang turun dalam medan peperangan. Menjadi garda pertama dalam tenaga medis. Tak semenitpun rasanya Selene dan timnya bisa beristirahat dengan tenang.

Satu kali ledakan besar, tepat pada hari ke enambelas, saat itu Selene sedang menjahit luka seorang tentara pada lengan kanannya. Laut, Darat dan Udara sama kacaunya. Itu adalah ledakan kesekian kali dalam hari ini.

"Kapten Cadfael memasuki wilayah berbahaya!"

"Siapkan persenjataan mengikuti pola terbang Kapten Cadfael!!"

"Dia menuntun kita pada jantung musuh!!"

Hanya itu seruan-seruan radio yang tak begitu jelas, yang bisa di curi dengar oleh Selene ketika melewati markas kendali. Selama lebih dari dua minggu ia tidak pernah bisa mendapatkan kabar apapun, dan baru kali ini ia mendengarkannya. Pun, ia juga di sibukkan dengan pekerjaannya sendiri.

Selene duduk di salah satu kursi kecil, mengusap peluh di keningnya. Baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan dan berusaha menarik napas sebelum berlari ke arah lain. Desas-desus mengatakan bahwa peperangan mulai berakhir, sebab kapal perang lawan mulai terpukul mundur. begitu juga dengan perang perbatasan yang memanfaatkan kesibukan militer Brooklyn.

"Minumlah, kau terlihat seperti akan pingsan sebentar lagi."

Selene mengangkat pandangan ketika sebuah tangan terulur memegang sebotol air mineral. Matanya sedikit melebar, dan dengan cepat ia berdiri dari duduk demi menyambut wanita di depannya.

"Dokter Cadfael," kejut Selene.

Marine, ibu dari Kane itu tersenyum ramah pada Selene dan menggoyangkan kecil tangannya. Selene segera menerima minuman itu, dan Marine mengajaknya duduk kembali. Di depan mereka, masih banyak orang yang sibuk lewat kesana kemari.

"Minumlah," ujar Marine mempersilahkan.

Selene mengangguk kecil dan menolehkan kepalanya sopan ke arah lain, lalu meminum  air tersebut. Ia memang cukup haus saat ini. Selene melenguh kecil, merasakan segar ketika tenggorokannya terkena air.

"Terima Kasih banyak, Dokter Cadfael."

"Tentu," senyum Marine kecil. Wanita itu memang memiliki wajah yang sangat ramah. "Kau kelelehan?"

Selene mengangguk kecil, "Cukup lelah, Dok."

"Yha, bekerja penuh tanpa istirahat memang sangat melelahkan. Hanya karena itu tugas kita sebagai tenaga medis, bukan berarti kita tidak boleh mengeluh, kan?" tawa Marine bertanya. "Sejak berapa lama kau bekerja di posko darurat ini?"

"Tepat hari ini adalah hari ke delapan belas, Dokter. Saya baru kemari ketika hari kedua, setelah perang di laporkan," Selene menoleh pada Marine di sampingnya. Gadis itu duduk tegap dengan tangan berada di pangkuan. "Anda sudah di sini sejak lama, Dok?"

"Tidak," ujar Marine menyesal. "Aku berada tujuh jam dari kota saat perang terjadi. Baru bisa membantu ketika hari ke tujuh."

"Anda berada di markas utama," tebak Selene memahami.

Marine membenarkan ucapan Selene. Ia menatap wanita muda itu teduh, lantas menepuk bahunya beberapa kali. "Bertahanlah sebentar lagi. Mungkin ini hari terberat di bandingkan dua minggu lalu," Marine tersenyum menenangkan. "Perang sudah berakhir."

Wanita dengan mata hijau dan rambut cokelat itu memperbaiki jasnya sembari bangkit dari kursi. Selene sempat ragu beberapa saat, dia ingin bertanya satu hal.

"Dokter!" tahan Selene menghentikan langkah Marine.

"Yaa?"

"Apa... anda sudah mendengar kabar tentang Kapten Cadfael?" tanya Selene sedikit takut dan malu.

Marine diam beberapa saat, hingga akhirnya tersenyum kecil dan menggeleng. "Andaikan aku tahu kabarnya, aku pasti akan menjawab pertanyaanmu. Sayangnya, hanya para petinggi dan tentara yang mengetahui tentang hal tersebut. Dan aku belum bertemu dengan Jenderal Arthur."

"Begitukah," hela Selene kecil. Ia kembali membalas tatap Marine dengan senyuman manisnya, "Terima kasih banyak, Dokter."

"Anytime," balas Marine.

Sepeninggal Marine, Selene menunduk dan menatap botol di tangannya. Tidak menutup kemungkinan jika Marine tidak mengetahui siapa namanya. Ini pertemuan pertama mereka. Maksudnya, saat mereka benar-benar berbicara. Selene hanya bisa menatap Dokter kebanggaan Brooklyn itu dari jauh saja, dan ketika melakukan sumpahnya sebagai seorang dokter dulu.

Selene menghela napas kecil. Hampir tiga minggu, dan ia mulai merindukan kekasihnya itu. Selene mengeluarkan kalung dari balik kemejanya. Kalung milik Kane yang saat itu diberikan padanya.

"Jadi kapan kau akan mendarat pulang, Kapten?"

Tidak ada harapan terlalu besar, Selene memasukan kembali kalung yang ia gunakan itu dalam seragam. Kembali bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang dokter.

***

Hari-hari kembali berlalu, empat hari semenjak perang di nyatakan selesai dan tentara Amerika kembali dengan kemenangan. Meski tak sedikit yang mengalami luka, raut senang dan rasa lega jelas terukir di wajah mereka.

Jalanan kembali ramai, anak-anak berlarian di sepanjang sisi jalan. Aroma roti yang baru saja di panggang menyeruak di udara bebas. Cafe dan restoran kembali penuh dengan pengunjung yang memakai baju berwarna cerah. Saling berbalas tawa dan senda gurau.

Selene melepaskan jas putihnya dan menggantung di tiang. Matanya menatap langit sedikit cerah hari ini. Beberapa pesawat tempur masih berada di atas sana. Ada yang baru saja mendarat, dan juga baru saja terbang kembali.

Saat ini ia berada di ruangan yang di buatkan khusus untuknya selama di barak. Sekaligus menjadi ruang kerja dan pribadi. Duduk pada kursi yang berderit kecil kala tubuh Selene berada di atasnya.

Empat hari berlalu, dan Selene masih belum mendengar kabar tentang Kane. Apakah lelaki itu baik-baik saja? Apakah ia terluka? atau apakah... Selene menggelengkan kepalanya cepat. Menghilangan pemikiran buruk menjauh darinya. Kane jelas baik-baik saja. Pun kalau kabar buruk tentang Kane, sudah pasti pangkalan Militer itu akan ramai saat ini. Kane bukan hanya kapten biasa.

Yang bisa menenangkan hati Selene saat ini hanya kabar tentang Kane yang berpengaruh besar atas kemenangan Militer mereka kali ini. Kane yang menembus jantung pertahanan musuh, entah bagaimana cara lelaki itu melakukannya.

Ketukan pintu terdengar, mata Selene kembali mengerjap sekali. Segera memperbaiki duduknya.

"Silahkan masuk," ujarnya ramah. "Ada yang bisa saya... YA TUHAN, KANE!!"

Selene menutup mulutnya terkejut. Wanita itu baru saja mengangkat kepala ketika mendengar pintu tertutup, dan betapa terkejutnya ia ketika tahu siapakah tamu yang berkunjung. Di depannya, Kane melepas topi seragamnya dengan senyum lebar nan ramah yang ia miliki. Seragam upacara Army, Kane pastilah barulah mengunjungi Markas besar militer mereka di Ibu kota. Wajar saja, pangkalan udara berada tiga puluh menit dari kota berada.

Kane masuk dengan wajah semringah, ia melebarkan tangan ketika Selene berlari untuk memeluknya. Pria itu tertawa kecil dan membalas pelukan Selene. Meski sedikit meringis awalnya.

"Pantas saja telingaku panas selama ini, seseorang benar-benar merindukanku ternyata?" gurau Kane.

"Apa hubungannya, telingamu yang panas itu dengan rindu, Kane?" keluh Selene merajuk.

Kane semakin mengeratkan pelukannya gemas dan mencium puncak kepala Selene. Gadisnya itu sedang merajuk dengan wajah super gemas.

"Aku juga merindukanmu, Selene. Sangat," bisik Kane hangat.

Selene membenamkan kepalanya dalam dada bidang Kane. Aroma segar dari tubuh lelaki itu, selalu menenangkan Selene.

"Mengapa memerlukan waktu yang sangat lama, Kane? Kau berkata hanya dua minggu."

"Maaf karena membuatmu menunggu lama, sayang. Akupun sangat ingin menyelesaikannya dengan cepat. Tapi, pesawatku sepertinya terlalu cemburu karena aku menghabiskan lebih banyak waktu denganmu."

Selene terkekeh kecil, tahu Kane sengaja mencairkan suasana. Lelaki itu sedang menutupi bagaimana perang terjadi beberapa saat lalu. Di mana, Kane mati-matian berjuang dan bertahan hidup, demi bisa menemui hari ini.

"Tak apa, Kane. Aku bersyukur kau ada di sini dengan selamat."

"Berbicara tentang itu..." Kane sedikit memundurkan tubuhnya agar dapat melihat wajah Selene yang sontak terangkat, memandang Kane waswas. "Aku... memiliki..."

"Apa? Kau memiliki apa?!" Selene melepaskan pelukan dan memegang kedua lengan Kane penasaran.

Masih dengan wajah menyeringai kecil, Kane mengusap keningnya dan membuat poni lelaki itu terangkat. Sebuah luka terdapat di sana, sudah di perban. Mata Selene melebar, segera menangkup wajah Kane dengan tangan mungilnya.

Beberapa saat, wanita muda itu menarik kekasihnya menuju kursi, dan sibuk mengambil rak dorong berisikan perkakas pengobatannya.

"Santai saja, sayang. Aku tak sedang mengalami pendarahan di sini," Kane tertawa kecil melihat wajah serius Selene. "Lagi pula, aku sudah mengobatinya, tuh."

"Tetap saja, Kane! Aku tidak bisa tenang jika tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," balas Selene galak dan mulai melepaskan perban kecil di kening Kane. "Sekarang diamlah, dan jangan tersenyum seperti itu!" galaknya lagi.

"Baik, bu," balas Kane dan mengubah ekspresinya. Tapi tetap saja tersenyum jahil.

Jarak antara keduanya hanya sejengkal jari. Selene fokus pada apa yang ia kerjakan, terlebih pasien di depannya adalah Kane Cadfael, kekasihnya. Sementara, Kane sendiri bisa mendengar deru napas Selene. Lelaki itu sempat mengepalkan tangannya di atas kaki. Hingga akhirnya, sebelah tangan Kane menarik pinggang Selene maju dan menghapus jarak antara mereka.

Terkejut dengan perlakuan Kane, Selene sontak memegang bahu tegap itu dengan mata melebar seperti boneka. Mata biru yang selalu Kane rindukan saat berada di atas sana.

"Kane!!" kejut Selene.

"Maafkan aku, Selene," sesal Kane tak enak. "Tapi aku benar-benar merindukanmu."

Setelah mengatakan hal tersebut, Kane memangkas jarak dan membuat bibir mereka saling bersentuhan. Selene jelas terkejut. Ini memang bukan kali pertama ia melakukannya, tapi tetap saja, setiap Kane bersikap seperti ini, rasanya Selene selalu terkejut akan hal itu. Kane adalah orang pertama yang mengambilnya, dan selalu menjadi yang pertama bagi Selene. Perlahan, kelopak mata itu menutup dan membalas apa yang Kane berikan padanya. Bahkan, pegangan erat pada bahu itu berubah mengalung pada leher Kane.

***

"Jadi, kau baru saja tiba di sini setelah lebih dulu pergi ke Markas besar?"

Kane mengangguk membenarkan. Ia menerima segelas teh hangat dari Selene. "Aku sudah berada di sana sejak dua hari lalu, tapi tak bisa menghubungi mu."

"Aku paham," Selene memaklumi hal itu. "Tapi aku hanya memahami jika kau melakukan itu karena urusan yang lebih penting. Tapi, apa itu?"

"Setiap kali selesai menjalani tugas atau pergi berperang, Kapten dan salah satu sersan akan memberikan laporan pada Kolonel. Dalam beberapa kasus, jika salah satu tim menemukan titik lemah lawan lebih dahulu, ia harus menjelaskan atau melaporkannya pada barak," Kane menyesap tehnya pelan. "Itu semua agar kami bisa menyusun rencana lanjutan. Jika-jika hal seperti ini, akan terjadi kembali."

Selene terdiam sesaat. Kane juga sempat melirik raut wajah gadis itu. Pastilah selama tiga minggu ini, Selene mengalami banyak hal berat. Mengobati para tentara yang terluka ringan hingga parah sekaligus.

"Maksudmu... tidak, apa menurutmu perang masih akan terjadi, Kane?"

Kane dapat menangkap nada khawatir pada suara Selene, lantas tersenyum kecil. Menggengam tangan mungil itu dengan sebelah tangan. "Jika kau ingin mendengarnya dariku, maka aku akan mengatakan semuanya selalu baik-baik saja, Selene. Karena tugasku adalah melindungi negara. Setidaknya, saat ini semuanya sudah berakhir."

"Aku tak bisa dan tak tahu bagaimana pastinya. Hanya para atasan yang tahu bagaimana kedepannya, sedangkan Kapten sepertiku hanya bertugas menyiapkan pasukan kami," Kane mengusap tangan itu dengan ibu jarinya. "Aku mengetahui satu dua hal, itu karena ayahku. Dan ayahku tahu dan berkomunikasi langsung dengan Presiden dan Jenderal Mayor lain. Jika kau bertanya apa semua baik-baik saja," Kane mengangguk sekali. "Yeah, semua baik-baik saja."

Meski masih sedikit merasa tak enak, Selene tetap membalas senyuman Kane sama tulusnya. Hingga membuat Kane mengusap wajah cantiknya itu lembut.

"Ah, aku melupakan satu hal, Selene!" ingat Kane akan hal yang membawanya kemari.

"Ada apa, Kane?" Selene mengambil cangkir dari tangan Kane, sebelum lelaki itu menumpahkan ke seragamnya sendiri.

Kane memperbaiki anak rambut pada belakang telinga Selene. "Orang tuaku akan mengadakan Pesta di Mansion Cadfael."

"Mansion Cadfael? Istana di pinggiran kota itu?"

"Yeah... itu hanya rumah biasa, Selene," ujar Kane berkata kikuk. "Berlebihan jika menyebutnya Istana."

"Kapan Mr. dan Mrs. Cadfael mengadakan pesta itu?"

"Orangtua ku, Selene, cukup katakan ayah dan ibuku," koreksi Kane cepat dan mendapat cengiran khas Selene. "Dua malam lagi."

"Apa ini karena peperangan berakhir, Kane?"

"Entahlah, Selene. Musuh memang menyatakan bahwa mereka kalah. Tetapi, selama negara belum mendeklarasikan kemenangan dan kemerdekaan, aku rasa, peperangan bisa saja terjadi kapapun. Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Kita harus mendapat pengakuan negara lain, terlebih dahulu."

"Kau datang, kan?" tanya Kane mengalihkan situasi. Ia menatap Selene penuh semangat. Tujuan utamanya adalah membawa gadis itu bersamanya pada pesta tersebut.

Sebenarnya Kane ingin mengajak Selene secara tiba-tiba dan mengejutkan gadis itu. Namun, Kane memilih untuk memintanya terlebih dahulu.

"Eh? Aku?" tunjuk Selene pada dirinya sendiri. Kedua tangan gadis itu terangkat dan melambai, "Aku tak pernah pergi ke pesta seperti itu, Kane. Dan juga, mengingat siapa tuan rumahnya, sudah pasti itu bukan pesta biasa."

Kane mengerutkan keningnya heran. "Apa maksudmu, Selene? Pesta itu hanyalah pesta. Kau tahu? Maksudku, mereka teman-teman ayah? Yah, seperti itulah."

"Maksudmu, teman-teman ayahmu?" bantu Selene memperbaiki penjelasan Kane yang kini mengangguk semangat. "Yha! Maka teman yang kau maksud itu sudah jelas Petinggi Militer, Politikus, Para anggota Pemerintahan, Atau beberapa pengusaha kenalan Tuan Cadfael? Itu adalah pesta menengah atas."

"Ayahku berkata itu hanya teman-temannya. Lagipula, banyak sersan dan anggota militer lain yang di undang. Begitu juga dokter-perawat yang bertugas di barak."

"Aku rasa, itu ide buruk untuk mengajakku," tolak Selene bergidik seram. Seumur hidupnya, ia tak pernah hadir di pesta para bangsawan itu. Hanya hal memalukan yang terjadi jika Selene hadir.

Tampak wajah Kane merengut kecil. Bukan itu jawaban yang ia inginkan.

"Kau tidaknya berada sendirian di sana, Selene. Kau bersamaku setiap waktunya. Apa yang kau khawatirkan?"

"Pahamilah, Kane, aku tak pernah hadir di pesta seperti itu. Khawatirku jika membuat kau malu di sana. Itu hal yang mengerikan."

"Dan ini pertama kalinya dalam hidupku membawa seorang gadis, Selene," keluh Kane merajuk. Tatapannya mengunci pada Selene kemudian. "Atau kau mengizinkan, ketika Jenderal Franklin menjodoh-jodohkan putrinya pada ku, lagi? Kau tahu? Azzoera, gadis yang menjadi bintang opera itu. Kau mau?"

Selene diam untuk berpikir beberapa saat. Mencerna siapa yang di maksud Kane. Permasalahnnya adalah, ada banyak petinggi Militer dan bangsawan lain yang ingin menjodohkan putri mereka dengan Kapten Cadfael itu. Selene awalnya memang cemburu dan merasa rendah hati. Namun, semakin lama, ia justru biasa saja. Sebab, Kane sendiri yang meyakinkannya, dan bagaimana sikap lelaki itu terhadap apa yang ia alami. Kane tidak mudah mendekati apalagi berpaling pada wanita lain. Membuat Selene percaya, bahwa ia adalah pemenangnya. Namun, satu nama ini sangat sensitif bagi Selene.

Azzoera adalah putri tunggal Jenderal Franklin.  Keturunan prancis, dengan mata hijau terang. Seorang model dan bintang Opera kebanggaan amerika. Wajahnya sangat cantik dengan tubuh tinggi semampai. Berbanding dengan Selene yang kecil mungil. Azzoera memiliki keanggunan wanita Prancis. Jika nama Azzoera di singgung, meskipun sudah membujuknya jutaan kali, Kane akan tetap salah dan hanya bisa pasrah menghadapi rasa cemburu wanitanya.

Dan benar saja, merasa telah salah berbicara, kini Kane meneguk salivanya kaku karena mata Selene yang memandangnya tajam.

Kane menarik mundur tubuhnya dan berdeham kecil. "Aku bercanda, sungguh. Tapi aku tak bercanda jika Azzoera hadir di acara itu. Keluarga Franklin memang selalu hadir, kau tahu..."

Selene menghela napas kecil. "Tetap saja, aku tak bisa pergi."

"Memangnya ada apa, sih? Sampai kau tak bisa pergi bersamaku?" rajuk Kane lagi.

Selene memutar kursinya dan berniat meletakkan cangkir mereka di meja cuci. "Kau ingin aku memakai apa, hah? ... eh?" kejut Selene kecil di akhir kalimat, setelah jeda beberapa saat.

Gadis itu segera memutar tubuhnya dan mendapati wajah Kane yang menatapnya dengan raut yang tak bisa Selene jelaskan.

"Aku... tidak... bukan itu maksudkuā€”,"

"Aku paham," sahut Kane mengangguk sekali.

"Hei... heii... sayang?" Selene meringis kecil karena panggilan yang baru saja ia ucapkan. "Aku benar-benar, bukan itu maksudku."

Kane sudah lebih dulu bangkit dan meraih topinya. Dia berjalan mendekat ke arah Selene dan mengecup kening gadis itu cepat. Lantas berbalik dan melambaikan tangannya.

"Aku akan menghubungimu nanti. Ayah memintaku ke Mansion setelah ini," Kane melambai lagi. "Sampai berjumpa nanti, sayang!"

Selene balas melambai lemah. "Yeah... sampai nanti."

Gadis itu menepuk keningnya lelah. Bukan itu maksudnya...

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status