Share

After : 2

Brooklyn, New York City, 1942.

Past.

Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.

Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.

Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.

Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?" tahan Kane dan membuat gerakannya sedikit berat bagi Steve. "Hari ini jelas tidak ada berita penting, atau mungkin rapat? Apa aku melupakan sesuatu?"

"Ini jauh lebih penting dari Rapat Darurat, Cadfael!" seru Steve tak menyerah, terus menarik Kane agar bergegas mengikutinya.

Kane terdiam beberapa saat, berusaha mencerna perilaku sahabat kecilnya itu. Beberapa saat, barulah ia melotot dan berusaha melepaskan pegangan Steve pada lengannya. "Demi Tuhan, Idris! Jika kau menarikku hanya untuk menunjukkan para gadis yang mendekatimu itu, aku bersumpah akan membuatmu tidak tidur seumur hidup!"

"Ayolah, Cadfael! Kau ini bodoh atau apa?" keluh Steve akhirnya menghentikan langkah. Kane semapat melotot kembali ketika Steve menyumpahinya. "Ini tanggal lima! Pemeriksaan bulanan bagi setiap Marinir yang bertugas! Dan kau, kau sudah melewati pemeriksaan ini dua kali!"

"Sepertinya aku harus bertemu Kolonel John setelah ini, Idris," ingat Kane segera melangkah mundur. Tatapan Steve berubah kala melihat Kane yang mulai mencari celah untuk melarikan diri. Maka dengan cepat, ia menangkap Kane sebelum lelaki itu benar-benar meninggalkannya lagi, sama seperti bulan lalu.

"Berhentilah berkilah, Cadfael. Aku tak ingin jika kau tiba-tiba terkena serangan jantung saat mengudara nanti!" galak Steve memiting kepala Kane dengan mudah.

Tentu saja Kane segera berusaha melepaskan tangan Steve dari lehernya. Tetapi tenaga lelaki itu cukup besar hari ini. Rupanya ia sudah bersiap sejak tadi, demi menyambut kehadiran Kane.

"Lepaskan aku, Steve! Aku bisa berjalan sendiri, sungguh!"

"Lantas tiba-tiba kau berbalik dan menaiki pesawat mu, lalu, kau tinggalkan aku lagi di lapangan ini seperti orang bodoh? Tidak. Dua bulan ini aku selalu mendapat omelan dari Jenderal Arthur!" balas Steve setengah jengkel.

"Baiklah.. aku tidak akan kabur kali ini. Lepaskan saja tanganmu dari tubuhku," pinta Kane menyerah.

"Tidak akan! Kau itu bajingan penipu, Kane," kata Steve teguh pendirian.

Kane mendengus kesal. Bibirnya kemudian tersenyum penuh kemenangan. Masih ada satu cara untuk mengalahkan Steve. "Sersan Steve Idris."

"Siap! Sersan. Steve. Idris," ucap Steve tegas dan melepaskan pitingannya pada leher Kane. Kini ia berdiri tegak dengan dada membusung ke depan. Steve melirik Kane yang tersenyum puas. Lalu kembali berdiri rileks. "Kau ini menyalahgunakan jabatanmu, ya?"

Kane terkekeh kecil dan menunjuk lambang pada seragamnya bangga. "Kapten Kane Cadfael," kenalnya sedikit sombong. "Kau ingin di hukum karena berani memiting kepala seorang Kapten, Sersan Idris?"

"Dasar bedebah!" gumam Steve tanpa berniat menyembunyikan kekesalannya. Ia kemudian memilih untuk mendorong tubuh Kane menuju klinik militer, dimana puluhan Tentara lain sedang menangtre untuk memeriksa kesehatan mereka.

Kane sama sekali tidak bisa melawan. Terkadang Steve bisa lebih berisik dari ibunya jika menyangkut kesehatan Kane. Hingga akhirnya, mereka berdua kini berada di tengah-tengah klinik. Beberapa tentara yang berada di bawah Kane segera bangkit dan memberikan hormat pada lelaki muda itu. Kane hanya mengangguk sekali, dan membiarkan para tentara itu kembali duduk.

"Aku sudah mengurus semua datamu, Kapten. Lihatlah, betapa beruntungnya kau memiliki anak buah sepertiku!" cetus Steve sambil memainkan Data milik Kane di depan wajah.

"Kau tahu, Steve. Sebenarnya, kau tak perlu melakukan ini semua. Aku memiliki dokter pribadi. Jadi, kesehatanku sudah di jamin baik-baik saja," kata Kane berusaha menjelaskan.

Steve menggeleng tegas. "Jika kau sudah melakukan hal itu, Mrs. Cadfael tidak mungkin sibuk memintaku langsung untuk membawamu kemari," balas Steve mengatur. Ia sudah lelah jika harus berurusan dengan Kane dan Dokter. "Ikuti saja permintaan ibumu, bedebah," bisik Steve kecil dan mendorong Kane memasuki salah satu bilik.

Kane sedikit terkejut ketika Steve mendorongnya. Kepalanya masih tertoleh ke belakang ketika Steve mendorongnya. Kini ia sudah berada di dalam sebuah bilik dan terpaksa meluruskan pandangannya.

Lelaki dengan kaus hitam serta celana militer itu mengusap bawah hidungnya. Di depan mereka, seorang dokter lengkap dengan seragam khasnya yang berwarna putih itu sedang membelakangi sambil mempersiapkan beberapa alat yang akan di gunakan.

"Selamat siang, Dokter Sapphire," sapa Steve sopan. Tampaknya ia sudah lebih dulu mengenal dokter tersebut.

Wanita yang di panggil Sapphire itu sontak berbalik dengan gerakan yang sangat anggun. Senyum terukir indah di wajah cantiknya. Sesaat, sepertinya Kane terpana pada kecantikan itu. Tapi dengan mudah ia sembunyikan. Selene Sapphire, tersenyum melihat dua tentara di depannya.

"Ah, masuklah Sersan," balas Selene mempersilahkan. Tatapannya sempat berbalas dengan Kane. Lengkungan mata bak kucing itu benar-benar membuat Kane terdiam di tempat.

Menyadari jika sahabatnya itu terpaku, Steve berdeham dan menepuk lengan Kane agak keras. "Ini Kapten ku, Dokter. Kapten Cadfael. Kane Cadfael," kenal Steve mewakili.

"Senang bertemu dengan anda, Kapten," sapa Selene ramah. Mempersilahkan Kane duduk di kursi pasien, sementara ia menyiapkan alatnya mendekat. "Dan tolong, panggil saja aku dengan namaku, Sersan."

"Apapun untuk Dokter yang berhasil membuat sahabatku ini berhasil duduk di bangku perawatan, Nona Sapphire," kata Steve sedikit menyinggung Kane yang hanya bisa mendelik perhitungan. Selene yang mendengar itu hanya tertawa sopan. "Kalau begitu, aku akan menunggu di depan, sembari memeriksa, apakah Tentara yang lain sudah berkumpul di sini."

"Tentu, silahkan," balas Selene sopan. Kini ia berada di depan Kane, saling berseberangan di balik sebuah meja.

Wajah cantik itu memiliki mata berwarna biru laut. Senyumnya terlihat sangat menawan, menambah nilai keanggunan pada wanita bernama Sapphire itu. Agaknya, nama itu berdasarkan dengan warna matanya yang begitu indah. Rambutnya berwarna hitam legam, di sanggul ke atas, namum sedikit berantakan. Mungkin karena ia sudah bekerja sejak pagi tadi. Melayani ratusan tentara yang ada. Hidungnya kecil dan sedikit lancip, dan bibir yang tipis berwarna pink muda.

Kane mengalihkan pandangan ketika Selene mengangkat pandangan setelah membaca riwayat kesehatan Kane. Kembali menebarkan senyuman manis itu. Kane sempat bertanya pada diri sendiri, Apa wanita itu tidak lelah karena harus tersenyum sepanjang hari? Tidakkah pipi putih itu terasa kebas karenanya?

"Anda memiliki catatan kesehatan yang sempurna, Kapten Cadfael," ucap Selene dan memasangkan tensimeter pada lengan kekar itu. "Anda berolahraga akhir-akhir ini, Kapten?"

"Tidak," jawab Kane cepat. Ia berdeham kecil, karena merasa terlalu cepat membuka suara. "Aku hanya melakukan lari pagi."

Selene menganggukan kepala dan melepaskan alat tensimeter itu, untuk kemudian mencatatnya di kertas milik Kane. Ia juga memasangkan alat untuk mengukur oksigen, lalu yang terakhir, Selene bangkit untuk berdiri di samping Kane. Mengambil botol kaca berukuran kecil dan sebuah suntikan. Kane yang melihat itu, refleks memundurkan tubuhnya.

"Apa yang akan anda lakukan, Dokter Sapphire?" tanya Kane waswas. "Aku rasa, kau jelas mengatakan bahwa aku sehat?"

Selene menoleh kecil dan mengangguk sekali. "Anda memang sehat, Kap. Sangat sehat, malah. Tapi, ini adalah vaksin wajib yang di berikan pada seluruh Tentara."

"Aku rasa, aku tidak memerlukannya, Dok," ucap Kane menolak halus dan berniat untuk berdiri.

Selene segera menahan tubuh Kane dan memaksanya duduk. Sedikit tertawa, tapi juga menahannya, agar Kane tidak tersinggung. "Apa jangan-jangan, anda takut jarum suntik, Kap?" tebak Selene tepat sasaran.

"Apa? Tidak! Tentu saja tidak!" delik Kane membela diri. Hal yang justru membuat Selene semakin mengetahuinya.

"Cukup jangan melihatnya saja. Untuk ukuran Kapten Angkatan Udara seperti anda, cukup lucu mengetahui bahwa anda takut dengan jarum suntik ini. Anda bahkan bisa melepaskan nuklir dengan mudah," gurau Selene.

Kane menoleh dan bertemu tatap dengan Selene yang duduk di sampingnya. Wajah itu, sangat memabukkan Kane saat ini. Apalagi, saat mata mereka bertemu.

"Anda ingin tahu satu hal? Beberapa tentara, tidak, banyak tentara yang mengatakan bahwa mataku ini sangat indah," Selene berkata sambil memainkan matanya. Sesekali menunduk untuk memastikan peralatannya siap. "Yha, saya jelas tidak membantah hal itu. Mata biru ini sangat langka, bukan? Saya bisa sedikit membanggakannya," tawa Selene diakhir kalimat.

"Mata itu memang cukup cantik," deham Kane menetralkan suara.

"Cukup cantik?" ulang Selene berbinar. "Jadi anda juga mengakui hal itu?"

"Aku hanya bersikap sopan, Dok," balas Kane mengalihkan pandangan.

Selene tersenyum geli. "Kalau begitu, anda baru saja terhipnotis dengan mata yang cukup cantik ini," kekeh Selene. Menekan sedikit bagian yang sudah di suntik itu dengan kapas kecil. Kane ikut menoleh pada lengannya, sedikit terkejut. "Selamat Kapten Cadfael, anda baru saja selesai vaksin. Sekarang anda bisa kembali bertugas," senyum Selene riang.

Kane kehabisan kata-kata. Apa ia baru saja membiarkan Dokter ini menyuntiknya? Tanpa drama? Kane bahkan tidak merasakan apapun. Sepertinya ucapan Selene benar. Ia bisa menghipnotis orang lain dengan mata biru itu. Dengan cepat, Kane menurunkan kembali lengan kaus yang sedikit terangkat itu dan berdiri dari kursi yang menderit kecil karena hampir terjatuh. Beruntung Kane menangkapnya cepat. Selene hanya bisa menyengir kecil melihatnya.

"Sampai bertemu bulan depan, Kapten," ujar Selene dengan nada ceria yang menyenangkan di telinga Kane. "Saya harap, anda tidak kabur pada pemeriksaan nanti," kekehnya geli.

Kane yang sedikit salah tingkah itu hanya mengangguk dan menerima berkas kesehatan yang di serahkan oleh Selene. "Terima kasih, Dokter Sapphire."

Selene mengangguk dan membiarkan Kane yang keluar dari biliknya. Kedua tangannya berada di saku seragam. Tersenyum tipis. "Pria yang lucu."

Steve segera menyapa Kane yang keluar dari bilik periksa Selene. Lelaki itu memberikan berkasnya dan mengenai dada Steve yang dengan cepat menangkap berkas tersebut. "Kau tampak memerah, sobat. Apa kau sakit? Ada yang bermasalah dengan tubuhmu?" kata Steve sedikit panik. Ia terdiam, dan pada detik berikutnya tersenyum nakal. "Atau.. kau terpesona dengan Dokter Sapphire? Yha, aku memang mengakui jika dia dok— hei, Hei! Kau mau kemana?! Kap! KAAP!!"

Kane tidak memperdulikan celotehan Steve di belakangnya. Yang ia lakukan hanya bergegas menuju ruangannya di lantai atas dan menutup pintu sebelum Steve mengikutinya masuk. Kane menjatuhkan tubuh di kursi kerjanya. Mendongak menatap langit-langit. Wanita itu.. sungguh mengacaukan pikirannya hanya dalam pertemuan singkat.

Perlahan Kane menoleh menatap frame pada meja kerja. Terdapat sebuah foto yang selalu menemani Kane kala ia mengerjakan setumpuk berkas kerjaannya itu. Kane mengusap foto lama tersebut dan menghela napas. Tak ingin merasakan hal yang sudah lama terkubur. Namun, rasanya, hati Kane berkata lain. Sesuatu yang berlawanan dengan otaknya.

Kane Cadfael, adalah seorang Tentara Angkatan Udara. Memegang kendali sebagai pilot pesawat tempur, dan memiliki satu pasukan khusus yang di pimpin sendiri olehnya. Wajahnya tampan, memiliki garis keturunan Perancis dari ibunya. Tubuhnya tinggi gagah, memiliki ciri khas seorang tentara muda. Bola mata abu-abu, hidung mancung dan garis rahang yang tegas. Rambutnya selalu memiliki belahan di bagian pinggir kiri, sisanya menutupi kening. Kane termasuk sosok pribadi yang ramah, meski sesekali ia terlihat pendiam dan misterius. Tapi, sebenarnya lelaki itu sangat mudah di ajak berbicara. Ia memiliki sopan santun dan wibawa yang tinggi. Mungkin karena lahir dari keluarga yang berpendidikan.

Di umur yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun itu, Kane sudah berhasil menduduki jabatan sebagai Kapten termuda di Militernya. Tambahkan lagi, ia adalah putra bungsu dari Jenderal Arthur Cadfael dan Nyonya Marine Cadfael, seorang Dokter Bedah. Meskipun tak banyak yang mengetahui fakta ini. Kane selalu menarik banyak perhatian, terutama para wanita. Ia terbiasa membalas sapaan para wanita yang terkadang mengajakanya bicara. Kane di didik untuk sopan santun pada siapapun yang menjadi lawan bicaranya. Tetapi, entah mengapa, pada Selene tadi rasanya Kane terlalu kelu untuk mengucapkan sepatah kata.

Kane menggelengkan kepala. Tak ingin lagi beradu argumen pada diri sendiri. Ia meletakkan frame foto berisikan sosok perempuan dengan menggunakan gaun mewah itu. Lantas, memutar kursinya menghadap jendela. Menatap langit luas.

☀️☀️☀️

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status