Share

After : 7

Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.

Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.

Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang terbentang di hadapannya. Bersama dengan para tetinggi lainnya. Membahas tentang strategi perang yang akan datang, juga tentang wilayah kekuasaan mereka. Wajah Kane belasan kali lebih serius dan sedikit menyeramkan, jika saja orang lain tak melihat sisi hangat pria itu.

Ketika Selene melewati meja tersebut, setelah berada di ruang laboratorium tadi, mata Selene sempat tertuju pada Kane yang sore ini memakai kaus army dan celana tentaranya.  Kane sempat mengangkat pandangan, dan menatap Selene yang melewatinya. Dari wajah serius itu, Kane tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. Selene hanya melambai kecil dan bergegas meninggalkan gedung tersebut. Takut menganggangu kesibukan Kane saat ini.

"Dokter Sapphire!"

Selene menghentikan langkah dan berbalik ketika namanya di sebut. "Ada apa, Sersan Baraaq?"

"Kapten Cadfael berkata, tunggu beliau sebentar lagi. Kapten akan menghampiri anda setelah ini," ujar Sersan Baraaq. "Mungkin sekitar enam menit lagi."

"Begitukah? Terima kasih banyak, Sersan. Maaf jika merepotkan anda," jawab Selene tak enak hati.

"Tidak masalah, Dok. Perintah Kapten Cadfael adalah tugas bagi saya." Sersan Baraaq tersenyum tipis. "Saya harus kembali ke dalam, Dokter. Selamat Sore."

"Selamat sore," balas Selene ramah. Wanita itu menggeleng kecil selepas Sersan Baraaq pergi. Apa Kane benar-benar menyuruh anggotanya keluar hanya untuk memberitahu hal tersebut?

Kurang dari waktu yang di sebutkan Sersan Baraaq tadi, kini Kane sudah terlihat keluar dari Markas dan berlari kecil ke arah Selene berada. Lelaki itu menggengam atasan seragamnya di tangan. Wajahnya tampak lelah, namun masih bisa tersenyum lebar. Kalung Dogtag yang biasa ia pakai terlihat di bagian luar bajunya.

"Apa rapat mu sudah selesai, Kapt?" tanya Selene mendongak.

Kane menoleh kecil kearah belakangnya. "Sepertinya sudah selesai."

"Sepertinya?" heran Selene tak mengerti.

Kane hanya tersenyum lebar. "Kau sudah selesai dengan pekerjaanmu di Lab?"

"Ada beberapa data yang harus di serahkan pada Kolonel John setelah ini. Lalu aku bisa pulang," Selene menatap wajah tampan Kane. "Bagaimana dengan mu, Kapt?"

Selene memang masih memanggil Kane dengan sebutan Kapten ketika keduanya berada di lingkungan Militer. Itu karena Selene ingin menjaga sopan santunya. Apalagi, ia hanya seorang Volunteer di sana. Awalnya, Kane keberatan. Tetapi karena Selene memaksa dengan wajah galaknya, akhirnya Kane mengalah.

"Aku harus melakukan patroli udara."

"Kapan?"

"Sekarang."

"Kalau begitu, bersiaplah."

"Tapi aku merindukanmu saat ini, Selene. Kita tidak bertemu sejak dua hari lalu? Iya, kan?"

Selene sontak memukul kecil tubuh Kane karena suara lelaki itu sedikit besar. Ada banyak tentara di sekitar mereka. Selene tak ingin ada berita aneh yang beredar pada Kane.

"Apa, sih?" heran Kane tak mengerti apapun.

"Berhentilah, Kane! Selesaikan saja pekerjaanmu, sana," delik Selene garang.

"Lalu, bagaimana dengan aku yang merin—,"

"Mari bertemu setelah kau selesai patroli, oke?" potong Selene cepat.

Kening Kane mengerut sempurna. "Itu tiga jam lagi, Selene! Kau sama saja menyiksaku di atas sana."

"Kane, kau jelas sudah sering melakukannya. Kau kan menyukai tiap kali melakukan patroli udara. Kenapa sekarang merengek seperti ini, hah?" lelah Selene. Apa benar lelaki didepannya ini adalah seorang Pilot pesawat tempur?

Kane tersenyum jahil. "Itu berbeda seja... aku membuatmu menjadi Mrs. Cadfael."

Selene sontak kembali memukul perut Kane dan kali ini berhasil membuatnya meringis kecil. Tidak menduga reaksi Selene seperti itu.

"Jangan berbicara yang aneh-aneh di sini, Kane! Demi Tuhan!"

"Kenapa, sih?" tanya Kane aneh. "Apa yang kau takutkan, Selene? Semua orang jelas tahu."

"Tentang apa?" tanya Selene membulatkan matanya waswas.

"Tentang kita," Kane mengecup kening Selene cepat dan berlari kecil menjauhi gadis itu dengan wajah mengejeknya. "Sampai bertemu nanti malam, sayang!"

"Kane!" kaget Selene dan mendapatkan tawa puas Kane.

Sementara, wajah Selene memerah sempurna. Kane meninggalkannya setelah menjadikan gadis itu pusat perhatian para tentara yang menatapnya menggoda. Mereka tentu saja tahu tentang kedekatan Selene dan Kapten Cadfael saat ini. Tidak ada yang bisa di sembunyikan, ketika Cadfael satu itu sendiri yang menunjukkannya, meski tanpa sengaja.

***

Sesuai ucapannya, Kane benar-benar tiba di rumah Selene tiga jam setelah pertemuan mereka. Lelaki itu meloncat dari pesawat dan langsung menaiki mobil untuk menuju rumah Selene. Lengkap dengan seragam terbangnya.

"Mandilah, aku sudah menyiapkan air panas untukmu," suruh Selene sambil mengeringkan tangannya di handuk kecil.

Kane memang memiliki satu tas kecil berisikan pakaian gantinya. Dulu ia meletakkan tas itu di mobil, tapi sekarang Kane meninggalkannya di rumah Selene. Serta beberapa seragam lainnya.

"Kau tidak membiarkan aku memelukmu lebih dulu, Selene?" heran Kane.

Sejak ia datang tadi, Selene hanya menatapnya datar, seolah tidak terkejut dengan kehadiran Kane yang tiba-tiba. Gadis itu hanya mempersilahkan Kane yang kebingungan itu masuk, dan meninggalkannya begitu saja.

"Tidak," ujar Selene tak acuh.

"Selene, ayolah! Kau melarangku melakukannya ketika di Markas. Dan sekarang juga begitu?"

Selene membesarkan matanya galak. "Kau bau keringat, Kane! Tubuhmu sangat lengket. Mandilah terlebih dahulu."

"Lalu setelahnya?" goda Kane tersenyum lebar.

"Kau boleh memelukku," balas Selene mengerlingkan mata lelah.

"Deal!" terima Kane dan langsung menuju kamar mandi.

"Bajumu sudah ada di rak penyimpanan, Kane!"

"Baik, sayang!"

Selene mengulum bibirnya menahan senyum. Apakah ia sudah masuk ke kehidupan Kane saat ini? Kane memang tidak menjelaskan tentang hubungan mereka, tetapi lelaki itu menaruh hati pada Selene. Begitupun sebaliknya. Selene sebenarnya khawatir. Tetapi karena ia tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini, maka tak apa, Selene akan menahannya.

Beberapa saat kemudian, Selene berada di dapur untuk melanjutkan masakannya, ketika seseorang datang dan memeluk gadis itu dari belakang. Wangi sabun yang sangat manly menyegarkan penciuman Selene yang sempat mematung beberapa saat. Membiarkan dagu Kane menyandar pada pundak Selene. Pipi mereka saling bersentuhan. Mungkin Kane bisa merasakan hangat yang menjalar dari sana.

Kane mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Selene. Tak peduli jika wanitanya itu sedang sibuk memegang panci di atas kompor.

"Tak bisa menunggu hingga aku menyelesaikan makanan ini dulu, Kane?" kekeh Selene kembali melanjutkan aktivitas.

Kane menggeleng kecil sambil memejamkan mata. "Jika aku melakukannya, kau akan membuatku terus menunggu lebih lama lagi."

"Baiklah, baiklah, kau bisa melakukannya setelah aku menyelesaikan semua ini. Aku sangat lapar, Kane," kekeh Selene dan menggoyangkan pundaknya.

Pria berbadan tinggi tegap itu memberengut kecil dan mencium pipi Selene cepat. Melepaskan pelukannya, dan menyandar pada meja. "Ada yang bisa aku bantu, Sel?"

"Bagaimana dengan sedikit musik? Atau lilin?" usul Selene dan di balas anggukan oleh Kane. "Kau tahu tempatnya, kan?"

"Tentu, sayang," balas Kane beranjak mencari barang yang di minta oleh Selene.

Setelah menyelesaikan masakan, dan membereskan beberapa hal, Selene akhirnya menata hasil masakannya itu di atas meja. Terdapat beberapa lilin kecil yang sudah di nyalakan oleh Kane. Serta alunan musik klasik yang memanjakan telinga.

"Pilihan lagu yang bagus, Kane," puji Selene ketika mendengar suara musik.

"Aku hanya mengambil piringan yang paling atas," balas Kane ringan.  Menatap meja makan dengan beberapa piring makanan. "Kau sempat menyiapkan ini semua?"

Selene menatap puas hasil hidangan makan malamnya itu. Sejak sore, ia sudah sibuk berbelanja dan segera membuat makan malam untuk keduanya. Bukan hal yang spesial, tetapi itu yang terbaik yang bisa Selene buat malam ini. Apalagi, Kane yang tiba-tiba datang lebih cepat dari biasanya. Kane membantu melepaskan apron dari tubuh Selene dan melipatnya.

"Ayo makan!" seru Selene tak sabaran.

Kane tertawa kecil dan menarik kursi untuk Selene, sehingga wanitanya itu bisa duduk dengan nyaman. Sementara, ia sendiri duduk di samping Selene. Kane lebih senang duduk bersampingan di bandingkan saling berhadapan.

"Apa kau yakin ini bisa di makan, Selene?" tanya Kane dengan wajah menerawang.

Selene hendak menarik piring milik Kane, namun dengan cepat lelaki itu tahan dan tertawa.

"Aku bercanda, darl," ujar Kane tersenyum lebar. "Ini terlihat sangat menakjubkan."

"Hanya soup sederhana dan ayam panggang, Kane. Jangan berlebihan!" omel Selene.

Kane menggindikkan bahu dan mencicipi masakan Selene. Bibir lelaki itu terangkat kecil,  ia menyukai masakan Selene. Kane tidak membuka suaranya, hanya fokus memotong ayam dan sayuran di piring. Hal itu justru membuat Selene khawatir. Mengapa Kane tidak berkomentar apapun.

"Bagaimana rasanya, Kane?" tanya Selene penasaran. Ia sudah lama tak memasak di dapurnya, dan selalu memesan makanan atau makan di rumah sakit. "Apa layak untuk di makan?"

Kane menolehkan kepalanya dan menatap mata penuh binar itu. Kane mengangguk kecil. "Ini enak," ujarnya singkat.

"Mengapa kau tidak mengatakan apapun? Sepertinya tidak sesuai dengan pikiranmu, ya?" gumam Selene tak enak.

Sebelah tangan Kane terulur dan mengusap puncak kepala Selene lembut. "Ini sangat enak, sayang, percayalah padaku."

"Lantas, mengapa kau diam saja?"

Kane tersenyum lebar. "Karena aku sedang menikmatinya. Memikirkan kau yang menyempatkan diri untuk membuat makan malam, itu menambahkan rasa pada makananku saat ini. Aku tak tahu jika kau pandai memasak."

Selene tampak menghela napas kecil. Lega dengan jawaban yang diberikan Kane padanya. Wanita itu tersenyum manis. Layaknya anak kecil yang tersipu dan senang karena baru saja di puji. Kane menantapnya gemas.

"Seseorang berkata merindukanku," ucap Selene manis. "Ibuku pernah bilang, cara menghilangkan rindu terbaik adalah dengan masakan yang lezat."

"Aku khawatir ibumu salah, sayang," Kane mengusapkan ibu jarinya pada sudut bibir Selene yang terkena saus. Lantas menjilat ibu jarinya itu kecil. "Setelah ini, aku takut jika aku justru semakin merindukan mu dan masakanmu."

"Berhentilah bercanda, Kane!"

Kane kembali tertawa kecil dan melanjutkan makanannya. Mereka tak banyak bicara, karena itu adalah etika dasar dalam keluarga Kane. Selene pun paham akan hal itu. Sesudahnya, ketika masing-masing piring mereka bersih, Kane membantu Selene merapikan kembali meja makan dan mencucinya. Meskipun Selene melarang Kane melakukan hal itu.

Tak disangka, hujan ternyata turun di jam sembilan malam. Tepat ketika Selene dan Kane yang sedang duduk di sofa tua dekat perapian. Kane sudah menyalakan api perapian itu sejak tadi. Dan kini duduk merapat dengan Selene yang memeluk lengannya. Kane sempat menahan senyum ketika Selene melakukan hal manis tersebut.

"Kane, mengapa kau menyukai patroli udara?" tanya Selene menarik satu percakapan.

"Aku tidak menyukainya sekarang, Sel," balas Kane ringan.

"Eh? Kenapa?" Selene mendongak kecil.

"Karena aku tidak bisa memangkas waktu patroli untuk bertemu denganmu."

Selene menyenggol kecil tubuh Kane dan merengut kesal. "Aku serius, tahu!"

Kane tertawa dan mengusap sisi wajah Selene dengan tangan besarnya. Membawa agar kepala gadis itu kembali menyender padanya.

"Aku sangat menyukai angkasa, Sel. Itu sebabnya, selalu menyenangkan jika mendapatkan jadwal Patroli udara ku. Meskipun sedikit lebih lelah, tapi semua itu tergantikan begitu saja ketika pesawat berada di atas hamparan awan," jelas Kane dengan senang hati.

"Itu alasannya mengapa kau masuk Angkatan Udara? Karena kau menyukai langit?"

"Apa kau tak tahu hal lain?"

Selene menggelengkan kepalanya. Kane mengusap kepala itu hangat. Mata keduanya saling bertatapan.

"Langit adalah wilayah yang tidak terbatas, Selene. Sejauh apapun kau pergi, setinggi apapun kau terbang, langit tidak pernah memiliki batasan," jawab Kane menjelaskan. "Darat memiliki batas laut. Dan laut memiliki batas daratan. Bukankah itu menyebalkan? Sementara langit? Kau bisa bersembunyi di balik awan, tanpa mengkhawatirkan banyak hal."

"Kau menyukai pemandangan dari atas sana, Kane?"

Kane mengangguk kecil. "Terkadang aku menyukainya. Tapi, jika yang kau lewati adalah wilayah bekas peperangan, itu sama sekali bukan hal yang baik."

"Kau melihatnya?"

"Tentu saja."

Selene kembali menyandar dengan nyaman pada tubuh besar Kane. "Pasti menyenangkan bisa melihat seluruh kota dari udara."

"Kau belum pernah menaiki pesawat, Sel?" tanya Kane.

"Tidak," cengir Selene.

"Kau ingin menaikinya bersamaku? Aku bisa membawamu berkeliling di atas sana."

Selene kembali mendongak. Tepat saat Kane memperbaiki selimut yang menutupi kaki Selene. "Maksudmu, dengan pesawat tempur?"

"Hanya itu pesawat yang ada di pangkalan. Mungkin ada helikopter, jika aku memintanya dari White House."

"Tidak!" Selene bergidik ngeri. "Mendengarnya saja cukup menyeramkan. Lagi pula, ini bukan saatnya untuk menaiki pesawat dan bersenang-senang, kan? Yeah, kau memang seorang Kapten dan Pilot, tapi bukan berarti kau bisa membawa seseorang dengan bebas begitu saja untuk menaiki pesawat tempur, kan? Apalagi, alasannya hanya untuk berkeliling saja."

Kane mendengus geli mendengar ucapan Selene. "Kau sedang mengkhawatirkan aku yang akan menyalahgunakan jabatanku, ya?"

"Aku hanya mencoba berpikir rasional, tahu!" gerutu Selene.

Lelaki itu kini tertawa kecil. "Tenang saja, Selene. Jika aku tidak bisa menggunakan jabatanku. Maka aku bisa menggunakan jabatan Jenderal Cadfael, kan?"

"Jangan berani-berani, kau!" galak Selene menegakkan tubuhnya.

Kane tertawa dan menarik Selene kembali. "Ah, aku hampir melupakan sesuatu!"

"Apa itu?"

"Tempo hari, saat aku perjalanan pulang dari Dinas, kami singgah di salah satu permukiman kecil. Aku sempat melihat-lihat pasar di sana, dan menemukan sesuatu yang cukup menarik," tampak Kane merogoh saku celananya dan menggenggam sesuatu.

"Apa itu? Kau membeli sesuatu? Perlihatkan padaku!" desak Selene penasaran dan berusaha menggapai tangan Kane.

Kane sontak menjauhkan tangannya dan menggeleng cepat. "Aku rasa bukan hal yang baik. Ku pikir, aku akan menggantinya nanti menjadi sesuatu yang lebih baik. Atau kau bisa memilihnya sendiri."

"Kau membelikan untukku?" tanya Selene.

"Yeah, begitulah," jawab Kane salah tingkah.

Senyum Selene mengembang. "Kalau begitu, aku akan menerima apapun yang kau pegang saat ini! Aku tak ingin menggantinya. Itu akan menjadi hal yang berbeda."

"Tapi... ini bukan hal yang menarik, Sel. Kau yakin?"

"Tentu saja! Berikan padaku!" Selene menangkap sebelah tangan Kane dan mengambil benda yang sejak tadi di genggam oleh lelaki itu. Mata Selene melebar sempurna saat Kane membuka tangannya. "Ini... cincin?"

"Y—yah... Aku melihatnya, dan... ku pikir itu cocok untukmu," Kane menggaruk belakang kepalanya.

"Ini... cincin yang cantik, Kane," ujar Selene tulus.

"Kau tidak bisa menjualnya, kau tahu. Itu bukan cincin emas," kata Kane cepat. Kini ia benar-benar salah tingkah di buatnya.

Selene tertawa renyah. "Sekalipun ini emas, aku tak akan menjualnya, Kane."

Kane mengambil cincin dengan batu permata kecil yang tertanam di dalamnya, dan memasangkan pada jari manis Selene. Lelaki itu mengulum bibir bawahnya kecil, saat Selene dengan senang hati melihat jemarinya kini.

"Tapi, bukankah ini terlihat seperti cincin pasangan?" tanya Selene sedikit penasaran. "Apa aku benar?"

Kane mengangguk sekali dan mengangkat sebelah tangannya. Memperlihatkan jari manis yang kini di hiasi oleh cincin yang sama. Hal itu membuat Selene kembali tersipu.

"Sejak kapan kau menggunakannya?"

"Sejak aku membelinya," balas Kane.

"Itu cincin yang sama dengan milikku?" bisik Selene terharu dan menatap jemarinya.

Kane mengambil tangan Selene yang memakai cincin itu dan menciumnya dalam. Lantas mengusap dengan ibu jarinya hangat.

"Jika sudah waktunya, izinkan aku untuk mengganti cincin ini menjadi hal yang lebih sakral lagi, Selene," ucap Kane dalam.

Selene menutup mulutnya dengan sebelah tangan lain. Matanya membesar dan menapilkan binar harapan di sana.

"Apa kau sedang melamarku, Kane?"

Kane tersenyum manis dan menggeleng. "Tidak saat ini, Sayang. Aku hanya meminta agar kau menjaga jari manis ini, hingga aku mengisinya lagi nanti."

Entah apa yang sebenarnya Selene rasakan saat ini. Apa ia terlalu berlebihan? Atau Kane memang sengaja membuatnya merasakan hal ini? Entahlah, Selene tak bisa menjelaskannya.

"Mungkin aku bisa menahan agar orang lain tak mengisinya lebih dulu," ucap Selene pada akhirnya.

"Itu lebih dari cukup, Selene," senyum Kane dan mencium puncak kepala Selene sayang.

***

Dering suara telpon nyaring memecah keheningan malam. Ini bahkan nyaris dini hari.

Kane terbangun dan membuka matanya setengah enggan. Di dalam pelukannya, Selene menggeliat kecil, ikut terbangun. Mungkin karena sering mendapatkan pasien darurat saat bertugas, membuat Selene jauh lebih peka.

“Biar aku yang menjawabnya, sayang. Kau tidurlah lagi,” ucap Kane mengecup sisi kepala Selene dan membuka selimutnya.

Pria itu berjalan keluar kamar dan menuju ruang tengah berada. Dering telepon itu masih saja berbunyi.

“Kediaman Sapphire,” sahut Kane datar. Ini pukul dua dini hari. Siapa orang gila yang menelpon rumah kekasihnya di jam segini?

“Apa ini dengan Kapten Cadfael?”

Mata Kane sontak terbuka lebar. Jika namanya disebut saat ia berada di sini, itu berarti hal yang mendesak.

“Kane Cadfael di sini. Ada apa?” tanya Kane cepat.

“Rapat darurat akan diadakan. Seluruh petinggi dan tentara lainnya di kumpulkan di markas saat ini, Kapt.”

“Apa yang terjadi?”

“Pemberontakan musuh di perbatasan, skala besar. Sudah masuk dalam kode merah. Anda di perlukan di pangkalan udara saat ini, Kapten Cadfael.”

Rahang Kane mengeras. “Aku segara berangkat.”

“Apa kami perlu mengirimkan jemputan, Kapten?”

“Tidak perlu,”

“Baik, Kapten.”

Panggilan terputus. Kane menutup ganggang telpon dengan sedikit menggenggamnya erat.

“Ada masalah, Kane?”

Kane membalikkan badan, mendapati kehadiran Selene di ambang pintu. Sepertinya gadis itu mendengar percakapannya dari awal.

Pria itu tersenyum menyesal dan mendekati Selene. Gadisnya itu segera tahu apa yang terjadi.

“Pangkalan membutuhkanmu, Kane?” tanya Selene pelan.

Kane mengangguk pasrah. “Aku harus kembali ke pangkalan.”

“Apa… terjadi hal buruk, Kane? Perang terjadi lagi?”

Terdengar nada khawatir sekaligus takut pada suara Selene. Hal itu membuat Kane sedikit ragu. Ia mengulurkan tangan dan mengusap pipi Selene hangat.

“Semuanya baik-baik saja. Aku akan segera kembali lagi. Ok?”

Kane mencium kening Selene dalam, sebelum akhirnya berlalu untuk mengganti pakaiannya menjadi seragam militer. Hanya memerlukan waktu yang sangat singkat, hingga Kane kini siap dengan seragam lengkapnya.

Selene mengantarkan Kane menuju pintu, sembari memeluk dirinya sendiri.

“Masuklah, udara cukup dingin,” lembut Kane meminta.

Entah apa yang dipikirkan Selene, gadis itu justru mendekatkan diri pada Kane dan menjingkit untuk dapat berhadapan sejajar dengan wajah tampan itu. Selene mencium bibir Kane lebih dulu, untuk pertama kalinya.

Kane sempat membalasnya, dan memeluk pinggang gadisnya itu. Hingga akhirnya keduanya berpelukan erat, dengan Selene yang membenamkan kepala pada dada bidang Kane.

“Kembalilah, dan tepat janjimu, Kane,” bisik Selene pelan.

“Tentu saja,” balas Kane mengusap punggung Selene.

Ketika pelukannya terlepas, Kane melepaskan kalung Dogtag-nya dan memasangkan kalung tersebut pada Selene.

“Kami selalu meninggalkan kalung ini, untuk kemudian di ganti dengan kalung lainnya saat pergi berperang. Ini adalah identitas seorang tentara,” jelas Kane memberitahu. “Apa aku bisa menitipkannya padamu, Selene?”

Selene memegang kalung tersebut dengan kedua tangannya. Lantas mengangguk kecil dan mendongak menatap Kane. “Pastikan kau mengambilnya. Aku tak ingin menjadi tempat penyimpanan mu!”

Kane tertawa kecil. “Baiklah, sampai bertemu dua minggu lagi, Mrs. Cadfael.”

Kane melambaikan tangannya dan segera berbalik memasuki mobil. Selene masih berada di ambang pintu sambil memeluk diri. Udara selepas hujan sangat dingin malam ini.

Lelaki itu sempat menatap sekali lagi wajah Selene dan melambaikan tangannya, sebelum akhirnya membawa mobil membelah jalan raya. Saat itulah, pegangan tangan Kane pada kemudi mobil tegang. Garis rahang tegas itu mengeras sempurna.

Perang Laut Koral, ini adalah perang yang sangat besar. Kane dan petinggi militer lainnya sudah membahas akan hal ini berhari-hari lalu. Tak ada yang bisa memastikan mereka akan kembali dengan selamat atau tidak. Itu salah satu alasan, mengapa Kane tidak pernah melepaskan Selene akhir-akhir ini. Karena ia akan meninggalkan gadis itu dalam waktu yang cukup lama.

☀️☀️☀️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status