Semua Bab Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu: Bab 41 - Bab 50
69 Bab
apakah ini teror?
"Nit." Aku menyapa Nita seraya menatap lekat laki-laki yang masih berdiri di depannya. "Eh, Sayang. Kenalkan ini Andi, sepupuku, dia bela-belain datang ke sini buat acara kita, Mas."Andi? Aku baru tahu dan baru dengar nama tersebut. Memang kuakui belum mengenal betul keluarga Nita. Sejauh ini baru kenal ibu mertua dan adik ibunya yang bernama Pak Yogi. Orang inilah yang menikahkanku waktu itu saat ijab kabul. Ayah Nita sudah meninggal lima tahun lalu. Makanya diwakilkan sama pamannya tersebut. "Andi." Laki-laki muda kisaran dua puluh lima tahun ke atas itu mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan tatapan tajam tak suka. Kenapa? Karena sejak bicara berdua dengan istriku ini, tangannya tak henti memegang perut Nita. Aku tahu hubungan mereka sepupu, tapi setahuku tak harus seakrab itu. Tak perlu pegang-pegang terus perut istriku yang membuncit tersebut. Aku tak suka dan tak nyaman juga dengan pandangan orang-orang di sini. Takut dikira tak sopan atau mereka berpikir negatif sa
Baca selengkapnya
Meeting di luar
Pov Akbar"Ibu boleh tinggal di sini ya sementara nunggu kelahiran anakmu, biar Ibu nggak bolak-balik lagi, sekalian jagain Nita." Ibu mertuaku tiba-tiba melontarkan permintaan tersebut. Sebenarnya aku tak masalah, tapi karena di sini juga ada ibuku, otomatis aku harus izin juga padanya. Apalagi ini adalah rumahnya atau rumah orangtuaku, rasanya tak sopan kalau aku iyakan saja tanpa persetujuan darinya. Walaupun kurasa Ibu takkan keberatan karena mereka adalah teman lama. Mungkin Ibu malah kesenangan ada teman sebayanya dalam satu rumah. "Oh, begitu, Bu. Sebenarnya nggak papa sih, Bu. Tapi saya tanya Ibu saya dulu, ya? kan ini rumahnya, Bu, saya masih numpang di sini," ujarku bicara dengan sangat hati-hati takut Ibu mertua berpikir yang tidak-tidak dengan tidak segera mengiakan permintaanya tersebut. "Oh, pake izin ya? Padahal tak perlu, Bar. Ibumu pasti takkan keberatan dengan keputusanmu. Mau bagaimanapun juga rumah ini pasti diwariskan padamu, anak laki-lakinya."Aku hanya ters
Baca selengkapnya
Hanifah Berbeda
Aku terdiam dengan mulut terbuka dan mata membola saat rombongan lima orang memasuki ruangan tempat meeting akan dilangsungkan. Aku sampai mengucek mata karena merasa tak percaya dengan apa yang kulihat. Hanifah. Salah satu dari lima orang itu adalah mantan istriku. Dia ikut meeting. Wajah wanita itu wajahnya. Namun apa mungkin dia kerja dan …. Tidak! Itu tidak mungkin. Pasti aku salah orang. Mana mungkin Hanifah bisa datang dan ikut rapat bersama denganku? Dia siapa? Kerja dimana? Rasanya tidak mungkin wanita yang cuma tamatan SMA bisa kerja kantoran dan sekarang ada di hadapanku. Ikut rapat lagi, mungkin cuma mirip saja. "Hanifah, kamu …?"Rizki. Teman satu kantorku itu mengenal Hanifah dan tentu saja penglihatannya sama denganku. Terkejut. Ia pasti kaget menemukan wajah istriku diantara tiga wanita yang datang saat ini mengikuti rapat bersama kami. "Akbar?" sapanya pula bergantian menatapku dan wanita berwajah Hanifah tersebut dengan raut tak percaya. "Ekhem." Aku berdeham
Baca selengkapnya
Tak cocok dan sering cekcok
"Kamu kenapa Mas kok pulang kerja berwajah masam begitu?"Nita menegurku saat masuk ke dalam kamar karena melihat wajahku yang kusut ini. Sepertinya tampak sekali raut tak menyenangkan itu terlihat di mukaku. "Hm." Aku berdeham sekali, lalu menghembuskan napas kasar. Kurebahkan diri ke kasur berharap lelahku hilang. Hari ini merupakan hari terburuk bagiku. Bertemu dengan sosok mantan, tapi tak bisa diajak bicara sedikit pun. Dia bahkan seolah tak mengenalku. Bahkan sepertinya ini untuk pertama kalinya aku diabaikan oleh seorang wanita. Yang kedua aku gagal dapat bonus dari Bos gara-gara aduan dari wanita bernama Hanifah. Ya, dia yang menjadi klien kami wajahnya sangat mirip dengan mantan istriku. Namanya pun sama, apa mungkin beda orang? Ternyata benar kata Rizki dan Yosep, seharusnya aku tak begitu penasaran dengan wanita tersebut hingga membuatnya tidak nyaman selama proses meeting berlangsung bersama kami. Tapi kenapa dia tega sekali mengadukan rasa tak senangnya itu pada atasan
Baca selengkapnya
melahirkan
"Mas, bangun.""Mas.""Mas ….""Mas, sakit Mas. Sepertinya aku mau lahiran." "Heh? Hm … udah, bawa tidur aja. Paling cuma kontraksi palsu. Mas ngantuk," jawabku menepisnya masih dengan memejamkan mata membalas ucapan Nita yang kuanggap sedang mengganggu tidurku saja. Hari ini aku lembur demi dapat uang tambahan buat persiapan lahirannya, dan barusan hitungan sejam lalu aku tertidur, dan sekarang dibangunkannya dengan pernyataannya yang mengerjaiku. Sudah tiga sampai lima kali terjadi hal seperti ini. Awalnya aku siaga, gerak cepat dengan membawa langsung Nita ke rumah sakit bersalin karena kupikir dia sungguhan ingin melahirkan, tapi apa yang terjadi, sudah sampai di sana yang ada ternyata hanya kontraksi palsu. Sakitnya tiba-tiba hilang begitu saja sedang aku, karena saking paniknya pergi ke rumah sakit tanpa alas kaki dan cuma pakai celana pendek di atas paha. Untung masih pakai baju. Rasanya memalukan. Sekarang terjadi lagi hal seperti ini. Aku malas menanggapinya. Dibiarkan saja,
Baca selengkapnya
Masih bertanya-tanya
"Akbar, bagaimana Nita, anaknya? Ibu dengar suara tangisan bayi? anakmu lahir selamat kan?" Ibu bertanya. Aku diam belum menjawab. "Nita baik-baik saja kan, Bar? Kok wajah kamu kayak gitu?" Sekarang giliran Ibu mertua ikut menimpali. Kedua ibu yang menunggu kabar tentang Nita mencercaku setelah aku keluar dari ruang operasi. wajah mereka masih diliputi senang dan cemas. Apalagi melihat wajahku yang sepertinya nampak sekali ada masalah. Padahal anak kami baru saja lahir, tapi ekspresiku tak menunjukkan kebahagiaan. "Eh, Nita … baik. Anaknya baik juga. Akbar keluar sebentar sekalian nenangin diri dulu," jawabku sembari berjalan mengambil duduk di kursi tunggu yang ada di dekatku. Rasanya tenaga dan jiwaku butuh istirahat sejenak. "Alhamdulillah." Ibu mengucap syukur dibarengi juga ucapan syukur dari Ibu mertua. "Loh, kok malah di sini? Masuk lagi Bar, temani Nita. Kasihan dia baru saja melahirkan," paksa Ibu mertua menarik lengan bajuku agar bangun dari posisi duduk bersandar. Sese
Baca selengkapnya
Misteri Wajah Anakku
"Cuma apa? Sudahlah nanti saja dibicarakan. Ayo ikut Ibu ke ruangan Nita. Dia sudah nunggu kamu di sana. Anakmu harus diadzankan segera. Lagian kok bisa lupa. Malah nyelonong pergi keluar begitu saja. Bukannya perhatikan Nita dulu, tanya keadaannya bagaimana, perhatikan anakmu juga, tunggu dia, sampai mereka sendiri yang minta kamu keluar. Baru kamu keluar. Lagian tadi ngapain ngejar dokter, apa ada masalah? Semuanya baik-baik saja kan?" Panjang lebar Ibu menanyakan perihal aku keluar dan malah mengejar dokter. Tangannya setia menarikku seolah aku adalah anak kecil yang masih dituntun untuk berjalan. Aku memilih diam karena bingung harus menjawab apa. Separuh jiwaku sepertinya tidak berada di tempat. Aku masih kepikiran tentang perkataan Dokter Abi kalau kandungan Nita sudah genap, tidak kurang seperti yang diketahui olehku atas laporan Nita tentang hasil pemeriksaan kehamilannya tiap bulan, dan menurut perhitunganku, sama dengan Nita, dia seharusnya belum genap. Seharusnya anak ini
Baca selengkapnya
Menimang anak, cucu
“Hai, Bro. Selamat ya. Akhirnya jadi bapak juga.”Rizki menyambutku dengan ucapan selamatnya saat keluar dari lift yang membawaku ke lantai ruangan tempatku kerja. Baru juga datang, laki-laki itu sudah tahu saja kabarku ini. Rizki memang paling gercep karena pasti dia lihat story medsosku. Itu semua gara-gara Nita yang memamerkan foto anak kami ke dalam story medsosku. Katanya biar semua orang tahu dan hanya ingin berbagi kebahagiaan. Entah apa maksudnya. Apa dia ingin semua orang tahu siapa dia dan statusnya di hidupku? Selama ini pernikahan kami belum resmi secara hukum walaupun sudah beberapa bulan telah bercerai dari Hani. Aku tersenyum dan menjabat tangannya serta tak lupa mengucapkan terimakasih. “Terima kasih ya.”Sebuah tepukan ringan di bahu jadi balasan dari Rizki. Dan tak lama teman kerja yang lain ikut memberi ucapan yang sama meskipun ada beberapa yang bingung serta kaget mendengar berita aku telah menjadi seorang Ayah. “Eh sudah jadi ayah saja, kapan nikahnya?” Mery be
Baca selengkapnya
Hanifah ke kantor
Hari ini akhirnya Nita dan anak kami sudah bisa keluar dari rumah sakit. Semalaman Ibu dan aku berjaga karena si kecil selalu terbangun dan menangis. Sedangkan ibunya nyaman sekali tidur pulas tak tahu menahu dengan kondisi kami yang kelelahan akibat begadang sampai subuh. “Keadaanmu sudah baikan bukan?” Aku bertanya memastikan. Aku tak mau kalau nanti harus ke sini lagi hanya karena menuruti ego Nita yang ingin segera pulang tapi kondisinya tak sebaik yang dilihat. “Huum, sudah enakan, kok, Mas. Cuma rasa nyeri saja yang kadang terasa kalau efek obat hilang,” balasnya sambil memegang pelan area bagian perut, memberitahukan.“Nanti juga dikasih obatnya sama dokter. Yang penting kamu hati-hati. Hm, jadi kan hari ini pulang?” sekali lagi aku bertanya memastikan. Nita mengangguk sambil menyusui Kesya. Sekarang dia baru mau menyusui anaknya setelah merasa b*ah dadanya bengkak karena ASInya penuh dan sudah lancar keluar dengan sendirinya. “Ya sudah. Kamu sama Ibu siap-siap. Setelah do
Baca selengkapnya
Aku Melawan
“Bagaimana kuliahmu? Lancar?” Bu Rosa bertanya setelah aku duduk di depannya, di ruang tamu. Setelah cukup lama bergelut sibuk dengan kuliah, aku mencoba hadir mengunjungi keluarga baruku. Tak enak jika aku terkesan melupakan mereka dan tidak berkunjung ke rumah. Sekarang aku resmi diangkat anak oleh pasangan suami-istri–orangtua dari Reni. Aku tak tahu seperti apa prosedur administrasinya, yang jelas semua sudah diurus mereka, aku terima beres saja dan ada bukti resmi aku telah jadi bagian dari keluarga mereka. “Alhamdulillah baik, Bu.” Tak lupa senyum menghiasi bibirku. Seperti janji mereka, aku harus kuliah jurusan bisnis untuk dipersiapkan masuk ke dalam perusahaan mereka nantinya. Sebagai penerus keluarga Dermawan. Konsekuensi yang harus kudapat karena bersedia jadi bagian dari mereka. Aku mungkin layaknya sebuah boneka. Harus patuh dengan aturan mereka. Namun setelah menimbang semuanya, selama tak menodai harga diri, aku tak peduli. Mereka sangat baik padaku dan memperlakukan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status