All Chapters of Batas kesabaran seorang istri!: Chapter 41 - Chapter 50
153 Chapters
41. Keputusan.
"Bunda kenyang!" ujar Alia padaku. Alia duduk di antara aku dan Mas Yudha, sedangkan Ibu bersama Bibi di dapur. Entahlah ... apa yang mereka berdua lakukan di sana. Sedangkan Paman Ja'far duduk di sebelahku. "Alia kenyang? Sini main sama Papa,""Nggak mau, Alia mau sama Nenek dan eyang!" jawab putriku. Ia menghindar dari tangan Mas Yudha yang ingin menggendongnya. Lalu berlari menuju dapur dimana Ibu dan bibi berada.Wajah Mas Yudha tampak sedikit memerah, mungkin ia malu di hadapan Paman. Sebagai seorang Bapak, ia justru tak di pedulikan sedikit pun oleh darah dagingnya sendiri. Kehadirannya justru tak memiliki makna. Semua juga karena salahnya sendiri. Aku tak pernah memberitahukan Alia yang buruk tentang Papanya. Tapi Mas Yudha. Dari Alia kecil hingga sebesar ini, bisa dihitung pakai jari ia menggendongnya. Itu pun sering membentak dan mencubit membuat putriku enggan dengan sendirinya mendekati Papanya."Zalia, setelah ini paman mau ke kebun sebentar. Melihat orang panen, kamu ma
Read more
42. Ketahuan belangnya.
"Sungguh paman tidak menyangka seperti ini kelakuanmu selama ini Yudha. Sejak awal kami memang tidak setuju Zalia menikah denganmu. Tapi karena Zalia begitu mencintaimu, akhirnya kami menyetujui pernikahan kalian." Paman terlihat menarik napas berat. Mengatur deru jantung yang berpacu dengan cepat. Mata paman pun sudah tampak memerah dan berkaca-kaca. Walau hanya seorang Paman. Akan tetapi ialah lelaki kedua yang selalu melindungi kami. Aku yakin sebagai orang tua, ia juga merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan ibuku.Mas yudha kini duduk jongkok dan bersimpuh di pangkuan Ibu. Ia tampak menahana egonya yang tinggi. Semakin ia menahan, semakin aku curiga. Aku tahu betul siapa dirinya luar dan dalam. Pastia da rencana lain yang ada di otaknya. "Aku janji aku akan berubah, aku akan bertanggung jawab dengan keluargaku. Tak bisakah kalian memberiku kesempatan. Tuhan saja maha pemurah," balas Mas Yudha mulai mengalah. Ia tidak berani menatap mata. Entah kenapa aku merasa ragu den
Read more
43. Yudha mengontrak.
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah kasar. Dadaku bergemuruh penuh amarah. Berani-beraninya Zalia memojokkanku di tengah-tengah keluarganya. Menghancurkan harga diriku. Jika bukan karena ada pamannya yang preman itu. Mungkin sudah aku gampar mulutnya itu!Lagi pula cuma karena kata-kata 'janda' mereka semua pada marah padaku. Memangnya, di mana letak kesalahanku. Toh ... apa yang aku bilang itu memang kenyataannya, kan?Setelah mengambil tas ransel yang berisi pakaian serta uangku. Aku melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tak sedikitpun aku mengeluarkan kata-kata. Walau hanya berbasa-basi untuk pamit. Tapi sialnya! Mereka justru tak sedikit pun menahanku.Biar saja, aku yakin setelah ini Zalia pasti akan datang padaku. Ia yang akan mengemis-ngemis meminta balikan padaku. Lihat saja nanti.Sesampainya depan gerbang, aku membuang botol kaca kecil yang aku bawa dari kampung kemaren. Isinya sudah aku tuang ke dalam galon tempat minum. Aku yakin setelah Zalia serta seluruh orang yan
Read more
44. Ketemu janda menggoda.
"Cie ... cie ..., Mbak Wirda sudah dapat gebetan baru aja, nih, Mbak?" ujar seorang wanita yang muncul tiba-tiba dari balik pintu kamar rumah yang ada di sebelah kiri kontrakanku. Aku memicingkan mata melihat siapa gerangan wanita itu. Kulit sawo matang, wajah berjerawat serta rambut ikal serta kaca mata kuno melekat di wajahnya. Sungguh sangat kontras dengan janda yang tinggal di sebelahku ini."Ahh ... kamu bisa aja, Ajeng. Btw ... kamu mau ke mana, sudah rapi begini?" tanya Wirda pada anak gadis yang mungkin baru berumur dua puluh tahun itu."Mau pergi cari makan, Mbak. Perutku lapar!" jawabnya. Tangannya mulai mengunci pintu rumahnya dengan rapat. Aku pikir aku akan diapit dua wanita cantik. Namun nyatanya, satu CANTIK, satu lagi ITIK! huh!"Aku pergi dulu, ya, Mbak Wir. Selamat au ... awuwuan!" lanjutnya sambil cekikikan dan melangkah pergi. Aku menundukkan kepalaku karena malu. Namun mataku justru melihat paha mulus Wirda yang terekpost sempurna. Membuat yang berada di balik c
Read more
45. Mimpi bertemu almarhum Bapak.
"Zalia. Kamu kenapa Nduk?" tanya Ibu. Aku sedang terduduk lemas di meja makan. "Nggak tahu, Bu. Kepala Zalia tiba-tiba sakit. Berdenyut sekali!" jawabku. Tanganku tak henti-hentinya mengurut dari ujung kedua pelipis menariknya hingga ke tengah dahiku. Siapa tahu rasa sakitnya sedikit berkurang.Sehabis sholat magrib aku merasa haus, jadi aku turun ke dapur untuk minum. Tapi entah kenapa habis minum, kepalaku langsung berasa berat dan pusing."Mungkin kamu kecapekan, Nduk. Atau darah tinggi kamu kumat karena terlalu banyak yang kamu pikirkan?" tanya Ibu. Aku menggelengkan kepala. Rasa-rasanya aku tidak makan sesuatu yang aneh hari ini. Sehingga membuat tensiku tiba-tiba naik.Semenjak menikah dengan Mas Yudha aku kerap mengalami pusing akibat hipertensi. Naik darah melihat tingkah lakunya. Tapi entah kenapa, tiba-tiba bayangan wajah Mas Yudha hadir di kepalaku. Dadaku juga terasa sesak. "Ayo Ibu antar kamu ke kamar, Nduk. Sebaiknya kamu minum obat lalu istirahat!" aku mengangguk. Ibu
Read more
46. Nasehat almarhum Bapak.
"Bapak! Bapak di mana? Jangan tinggalkan Zalia, Pak!" teriakku histeris. Air mata kini kembali menetes. Memandang ke sekeliling. Namun tak kutemui keberadaan Bapak, selain tumpukan bunga hitam yang berbau anyir serta seseorang yang memakai jubah hitam. "Jika kau takut dan sakit, maka ingat lah pada Allah Zalia! Pasrahkan semua pada kuasa-nya. Kekuasaa-Nya meliputi langit dan bumi!" suara itu bergema di telingaku. Berucap berulang ulang membuat kepalaku sakit. Bahkan sakitnya lebih dari sakit yang kurasakan tadi. "Zalia! Bangun! Zalia!""Astagfirullah al'azim! Bangun Nduk! Bangun!""Astagfirullah al'azim!" aku tersentak kaget. Mataku terbuka dengan nafas naik turun yang memburu. Ibu membantuku bangkit dari tidurku, menyenderkan tubuh ini di penyangga kasur."Ada apa denganmu, Zalia? Kenapa kamu berteriak-teriak seperti orang kesurupan? Apa kamu mimpi buruk, Nduk?" tanya Ibu khawatir. Sedangkan aku masih diam, mencoba mencerna apa yang aku alami tadi. Semua mimpi yang aku alami tadi,
Read more
47. Anak indigo.
"Sudah, Kamu kerja saja! Tidak usah pikirkan Mbak. Mbak Baik-baik saja, sana! Layani pelanggan!" perintahku padanya. Aku memang merasa sedikit tak enak badan. Tapi jika kubawa tidur, yang ada badanku tambah sakit."Kamu kenapa, Wan. Kenapa melihat Ibu seperti itu?" tanyaku pada Iwan. Aku tak sengaja memergokinya menatapku tajam. Tidak biasanya, bocah ini menatapku seperti itu."Tidak, Bu. Apa Ibu Zalia merasakan yang aneh pada badan, Ibu? Rasa sakit atau sesak, gitu?" mata Iwan menyipit penuh selidik."Iya ... Ibu merasa sendi-sendi Ibu sakit. Lemes. Mungkin karena Ibu kecapekan, mungkin, ya?" ujarku. Iwan mengangguk lalu menghela napas berat. "Ada apa, Iwan?" tanyaku heran. Sekarang aku yang heran dengan sikapnya yang tampak aneh. Sejak aku datang tadi, aku merasakan anak ini memperhatikan gerak-gerikku. Membuatku risih."Tidak apa-apa, Bu. Iwan permisi kebelakang dulu, Bu." pamitnya. Aku mengangguk. "Aneh sekali sikapnya?" gumamku lirih. Aku menyenderkan tubuhku pada penyangga kur
Read more
48. Larangan Iwan.
"Jangan pergi, Bu! Iwan mohon jangan pergi!" pintaku sambil merengek seperti anak kecil. Walau kenyataannya aku memang masih kecil.Umurku baru delapan tahun, tapi pola pikir dan penglihatanku melebihi anak seusiaku. Aku seperti remaja yang terjebak dalam tubuh anak-anak."Memangnya kenapa, Wan?" tanya Bu Zalia heran. Dahinya berkerut, mengikuti tatapan mataku yang menatap tajam di sebelahnya. Aku tahu bulu kuduk Bu Zalia merinding saat ini. Ia tidak melihat apa-apa di sampingnya, tapi bisa merasakan auranya. Sedangkan aku, justru tampak dengan jelas!Aku melihat sesosok pria tinggi berjubah hitam di samping Bu Zalia. Mungkin ada sekitar dua meter tingginya. Tangannya menggenggam bahu Bu Zalia erat. Dengan kuku yang panjang dan hitam. Makhluk itu menunduk hormat pada Pria yang bersama Bu Zalia. Karena memang dia lah tuannya."Pokoknya jangan pergi, Bu! Iwan mohon sama Ibu!" pintaku dengan wajah memelas. Aku tahu Bapak ini mau berniat jahat pada Bu Zalia. Dan aku tak akan membiarkan s
Read more
49. Mata batin Iwan.
"Terima kasih banyak ya, Nak. Kalian sudah mengantar Zalia sampai ke rumah. Nama kalian siapa?" tanya Ibunya, Bu Zalia. Wanita tua yang begitu lemah lembut. Wajah tuanya tampak khawatir saat kami mengantarkan Bu Zalia ke rumah ini dalam keadaan linglung.Bu Zalia kini sudah berada di kamarnya. Namun hatiku masih begitu khawatir. "Mbak! Bagaimana keadaan Zalia? Apa di baik-baik saja," seseorang datang dengan wajah yang sama paniknya dengan ibunya, Bu Zalia.Bapak tua yang sama tuanya dengan Ibunya, Bu Zalia. Mungkin mereka adalah kakek dan neneknya, adek Alia. Sungguh beruntung adek Alia. Dia bisa memiliki keluarga yang lengkap."Untung kamu cepat datang Ja'far. Mbak rasa ada yang aneh pada, Zalia. Akhir-akhir ini ia tampak seperti berbeda dari biasanya. Tadi saja, dia pulang ke rumah dalam keadaan linglung." ujar Nenek Alia."Yang benar, Mbak?" kakek Alia bertanya seolah tak percaya. Aku dan Mas Yoga hanya diam memperhatikan mereka berdua berbicara. Sesekali kami mencicipi minuman d
Read more
50. Mengobati Zalia yang terkena guna-guna.
Sesampainya di kamar Bu Zalia. Aku melihat Kakek Alia, mengikat tangan Bu Zalia ke belakang punggungnya dengan tali. Ia sengaja melakukan itu agar Bu Zalia tidak melukai dirinya sendiri. Mungkin karena rasa sakit yang mendera, membuat Bu Zalia tidak sadar menarik daun telinganya dan mencakar, hingga membuat daun telinganya berdarah karena sedikit sobek.Bu Zalia memberontak. Giginya menggerutuk kuat dengan suara geraman yang terdengar cukup nyaring. Wajahnya yang begitu pucat di sertai keringat sebesar biji jagung yang mengalir di pelipis, menunjukkan jika Bu Zalia menahan rasa sakit yang teramat sangat. Pasti membuatnya tersiksa. Aku kasihan melihatnya. Ya Tuhan ... sembuhkan lah dia. Aku tak tega melihatnya yang begitu menderita. Serta tak kuat melihat Wajah Nenek Alia yang tampak begitu sedih, melihat anaknya dalam kondisi seperti ini. Hatiku terasa tercubit nyeri."Paman. Aku mohon, lepaskan aku! Aku mohon Paman! Tolong!" mohon Bu Zalia dengan wajah yang memelas. "Paman akan me
Read more
PREV
1
...
34567
...
16
DMCA.com Protection Status