All Chapters of Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa: Chapter 21 - Chapter 30
217 Chapters
Tekad di Hati
Mata yang terpejam itu bergerak-gerak, lalu perlahan kelopak mata itu terbuka. Buyung Kacinduaan berdiam diri untuk sesaat. Dan setelah semua kepingan peristiwa kembali memenuhi ingatannya, barulah bocah tujuh tahun itu bangkit. Ia meringis, merasakan seluruh persendian di tubuhnya seolah lepas.Ia begitu lemah dengan perut yang kempis. Terduduk berselonjor kaki di atas tanah berumput tebal.Sang bocah mengingat jelas rentetan peristiwa menyakitkan yang ia alami. Mulai dari kedatangan Darna Dalun ke rumah orang tuanya itu, lalu terjadi pertikaian, satu per satu penghuni rumah yang roboh ke tanah, ia yang harus melarikan diri bersama ibunya yang sedang hamil besar. Sampai pada kejadian di tebing ngarai, ia yang menyaksikan sang ibu jatuh, lalu ia sendiri pun terjatuh.Kemudian ia bertemu dengan harimau besar yang ternyata berwarna putih dengan matanya yang biru terang. Dibenamkan ke dalam sungai hingga berkali-kali, dan terakhir, yang ia ingat ad
Read more
Utusan Kerajaan
Buyung Kacinduaan kembali meneruskan untuk memanjat tebing berbatu-batu itu. Semakin ke atas, jumlah bebatuan itu semakin berkurang. Di satu titik, sang bocah kesulitan untuk terus merangkak naik sebab rumpun semak  belukar yang lebat di hadapannya menghalangi langkahnya. Teringat lagi akan peristiwa ia yang bergelantungan pada tanaman kerakap yang menjalar di tebing sisi timur malam itu, Buyung pun mengurungkan niatnya untuk mencengkeram semak beluar itu sebagai pegangannya. Tidak, pikirnya. Rumput-rumput ini pasti akan licin di tanganku. Ia menelan ludah. Di sisi kanan, ia melihat tonjolan batu besar, dan segera sang bocah merayap ke sisi kanan itu. Buyung mencoba naik ke atas tonjolan batu besar tersebut. Bersusah payah sang bocah mencoba, namun akhirnya ia terpeleset sebab tangan dan kakinya yang belepotan tanah kuning basah. “Inyiak…!” Buyung berteriak kencang. Tubuh bocah tujuh tahun itu mengelinding, membentur bebatuan yang
Read more
Hulubalang Kerajaan
Kedua wanita itu semakin merasa terintimidasi sebab dugaan mereka ternyata benar, pria gagah itu bukan orang sembarangan. Kenyataanya, dia utusan dari Kerajaan Minanga, itu artinya, dia adalah salah seorang Hulubalang Kerajaan[1].Kembali keduanya menjatuhkan diri, berlutut di hadapan pria gagah berbaju panghulu warna hijau itu.“Amak Tuo,” ujar sang pria, dan lantas mengangkat wanita tua di hadapannya itu untuk kembali berdiri. “Berdirilah, tidak usah sungkan terhadapku.”“Maafkan kami yang tidak tahu budi bahasa.”“Tidak,” ujar si pria sembari tersenyum, “aku tidak pantas,” lalu ia memandang sang gadis yang masih berlutut di samping wanita tua itu. “Berdirilah.”Sang gadis mengangguk dan lantas berdiri di samping ibunya.“Upik,” ujar wanita tua itu kepada anak gadisnya. “Ambilkan air untuk Tuan Hulubalang.”“Tidak,”
Read more
Janji Seorang Teman
Sang gadis menggeleng, menghela napas dalam-dalam, menundukkan pandangannya. Dan pria itu, sepertinya tak hendak memaksa gadis tersebut alih-alih wanita tua di samping sang gadis.“Senja kemarin,” kata sang gadis itu kemudian. “Orang-orang bilang bahwa ada yang berkelahi di rumah Sialang Babega. Tapi…” sang gadis memberanikan diri menatap wajah gagah bermata teduh di hadapannya itu. “Tidak ada yang berani mendekat.”Sang pria menghela napas dalam-dalam, ia bisa memaklumi hal itu. Bukankah penduduk jorong ini kebanyakannya adalah petani biasa? Pencari kayu bakar?Ya, tentu saja mereka akan ketakutan jika perkelahian itu melibatkan Sialang Babega sendiri. Itu artinya, bukan jenis perkelahian biasa. Paling tidak, inilah yang dipikirkan si Hulubalang Kerajaan itu.“Rumahnya dibakar orang, kami hanya bisa melihat dari tempat yang jauh.”Yaah, itu sudah pasti, pikir pria tersebut. Dengan kenyataan ba
Read more
Hal yang Akan Membunuhmu
Harimau putih besar bermata sebiru laut di siang hari itu masih berdiri di sana. Kepalanya merunduk memandangi bocah tujuh tahun yang perlahan-lahan merayap di dinding tebing yang sedikit lebih landai. Sembari mengawasi, ekornya yang panjang bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri dengan sangat perlahan, seakan-akan ia sedang bersiaga dengan apa yang akan terjadi di bawah sana.Kembali ia melenguh pendek seolah memberi kata semangat pada Buyung Kacinduaan.Sang bocah merayap sejengkal demi sejengkal. Dua tangan dan kakinya telah terlihat sangat kotor oleh tanah kuning, begitu pula dengan celana komprang hitamnya.Meski sebelumnya ia sempat terpeleset lalu berguling jatuh dan terhempas hingga menyebabkan satu tulang rusuk di bagian kanannya patah, namun ia tetap bersikeras untuk bisa mencapai ketinggian tebing tersebut.Tubuh kecil itu semakin basah oleh keringat yang memercik dari setiap pori-pori yang ada di tubuhnya. Dan Buyung Kacinduaan c
Read more
Keping Kedua
“Jika ada hal yang aku sesali dari semua kejadian kemarin itu,” ujar Darna Dalun kepada kedua orang gurunya itu. “Itu di saat aku tidak bisa mencegah Zuraya bunuh diri.” Saat ini, Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak sedang berada di belakang sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu sendiri berada belasan langkah di belakang bangunan utama rumah Sutan Kobeh. Rumada dan Daro sama-sama sedang berendam di satu aliran sungai kecil yang berair sangat jernih. Di bagian seberangnya, adalah hutan rimba yang cukup lebat. Sementara Darna sendiri sedang duduk di atas pagar bambu, hanya mengenakan celana komprang putihnya itu saja tanpa pakaian bagian atas. “Kau berkata seolah-olah kau peduli dengan wanita yang tengah hamil itu,” sahut Daro. “Apa maksudmu?” tatapan Darna berkilat tertuju kepada wanita yang satu itu. Tanpa tudung kepala dari bulu beruang hitam itu, Daro terlihat seperti seorang gadis sepantaran 25 tahun, meskipun us
Read more
Si Kucing Emas
Sutan Kobeh tertawa terbahak-bahak sembari menepuk-nepuk punggung Masuga.“Kau bahkan jauh lebih baik, Masuga,” ujar sang empu rumah. “Mari-mari, kawan, masuklah ke gubukku ini.”Masuga tersenyum. “Jangan terlalu merendah,” ujarnya. “Nanti Datuk bisa dipijak orang lain.”Kembali Sutan Kobeh tertawa-tawa, sembari merangkul bahu sang Hulubalang Kerajaan tersebut, Sutan Kobeh membawa tamunya itu memasuki ruangan depan yang luas itu.“Lihat siapa yang bicara?”Masuga hanya tersenyum saja, tak hendak berbalas ucapan lagi sebab ia tahu akan ke mana ucapan itu berujung.“Seorang Hulubalang Kerajaan,” ujar Sutan Kobeh. “Gagah, tampan, dan masih saja melajang yang selalu saja menolak gadis-gadis cantik yang mencoba mendekat.”Apa kubilang? Masuga tertawa dalam hatinya.“Kau akan terus menertawaiku?”Bukannya berhenti, Sutan Kobeh tetap
Read more
Hubungan yang Tidak Baik
“Mari makan, Masuga,” tawar Sutan Kobeh. “Tolong, jangan sungkan. Ini pertama kalinya kau mendatangi rumahku ini. Jadi, biarkan aku memberikan layanan terbaik sebagai tuan rumah.”“Anda hanya terlalu merendah saja, Datuk.”Meski begitu, demi menghormati sang tuan rumah, Masuga meraih sepotong singkong rebus.“Aku terkesan dengan anak sulungmu itu, Datuk.”Seketika wajah Sutan Kobeh seperti ditarik paksa untuk menatap pria di samping kanannya itu. Untung saja Masuga sedang dalam keadaan menundukkan kepala sebab menyuap potongan kecil singkong rebus ke dalam mulutnya sendiri.‘Apakah dia benar-benar sudah tahu?’ Tanya Sutan Kobeh di dalam hati. ‘Apa yang harus aku lakukan?’Sementara itu, tangan kanan Sutan Kobeh sudah gemetar. Gemetar dalam pengaliran tenaga dalamnya tanpa ia sendiri menyadari. Semua, hanya karena insting untuk melindungi keluarganya.“Maksud
Read more
Kecemasan Ayah dan Anak
Dan ketika telapak tangan pemuda itu sudah mulai kurang ajar dengan menangkup buah dadanya, Lamina tidak punya pilihan lain selain mendorong dada pemuda itu dengan kasar sehingga Darna jadi menjauhinya. “Hentikan, Darna!” dengan wajah merah yang bercampur malu tak terhingga. “Dasar wanita munafik!” Darna menyeringai. “Jaga mulutmu!” Darna Dalun mengangkat satu tangannya. Sorot mata sang ibu tiri seperti hendak mencekik lehernya. “Kau hendak menamparku, hah?” ucap Lamina dengan mata berkaca-kaca namun ia masih menekan suaranya agar tidak didengar oleh orang lain alih-alih Sutan Kobeh sendiri. Lamina benar-benar merasa dipermalukan oleh anak tirinya itu. Tidak di hadapan orang lain melainkan di mata para Dewa dan Dewi di Swarga sana. “Lakukan saja, Darna!” ujar Lamina dengan air mata yang bergulir menuruni lereng wajahnya. “Lakukan, agar orang gagah Hulubalang Kerajaan itu mendengarkan suara jeritanku!” “Apa kau bilang?”
Read more
Berkura-kura Dalam Perahu
“Maafkan pengetahuan diri yang masih sejengkal pinggalan[1] ini…,” ujar Darna Dalun pada Masuga. Darna melirik pada sang ayah, bagaimanapun, ia menemukan kecemasan yang besar dari diri sang ayah yang berarti tamu mereka tersebut tidak bisa dianggap enteng. Meskipun Sutan Kobeh menutupi itu dengan suara tawanya tersebut, namun Darna cukup mengetahui sifat dan karakter ayahnya. Dan ya, itulah yang ia rasakan pula. “…Datuk Hulubalang yang mana satukah Datuk ini?” tanya Darna dan kemudian merendahkan kepalanya. “Maaf.” Masuga tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Darna. “Kau tidak perlu bersopan seperti itu. Namaku, Masuga.” “Maaf,” kembali Darna Dalun menundukkan kepalanya. “Benar kata orang-orang tua, kaki ini belum jauh melangkah, itu sebab tak mengenal rimba tak tahu rantau.” “Sudah, sudah,” ujar Masuga menggeleng-gelengkan kepala. “Kau bijak, sama seperti Datuk Kobeh ketika muda. Mengenalku pun bukanlah sebuah keharusa
Read more
PREV
123456
...
22
DMCA.com Protection Status