Lahat ng Kabanata ng Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa: Kabanata 11 - Kabanata 20
217 Kabanata
Sedikit Kekhawatiran
Sang istri pun merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Untuk sesaat, Sutan Kobeh masih menggendong putrinya, dan satu tangannya mengusap kening sang istri.“Maafkan aku…”Sang istri tersenyum. “Aku tahu,” ujar sang istri, “aku tidak berhak untuk berkata ini padamu, Suamiku.”“Karena Darna bukan anakmu?”“Benar,” ujar sang istri pula. “Tapi, bisakah kau tidak beringan tangan kepada putramu sendiri, Suamiku?”Sutan Kobeh menghela napas dalam-dalam. Ia tahu, putrinya yang dalam gendongannya itu belumlah tidur, jadi, ia menahan ucapannya untuk mengatakan perihal bunuh membunuh keluarga Sialang Babega yang dilakukan Darna Dalun sebelumnya.Ya, tidak baik bagi anak kecil untuk mendengar hal mengerikan seperti itu.Kembali Sutan Kobeh mengusap kening sang istri tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan istrinya tersebut. Ia membaringkan putri kecilnya itu di tenga
Magbasa pa
Mengawasi
Sisa-sisa api masih terlihat pada puing-puing menghitam dari rumah Sialang Babega. Puing-puing itu telah ambruk ke tanah, dan ya, masih mengepulkan asap di sana-sini. Bahkan, masih saja ada bara yang menyala.Mayat-mayat itu masih bergelimpangan di sana, termasuk mayat Sialang Babega sendiri.Tidak ada tetangga yang berani mendekat ke areal rumah yang telah terbakar habis itu, tidak seorang pun. Selain karena jarak satu rumah ke rumah lainnya memang cukup berjauhan, juga lantaran disebabkan sore sebelumnya itu mereka tahu bahwa ada perkelahian di rumah tersebut.Para tetangga Sialang Babega yang rata-rata adalah petani dan pencari kayu bakar di hutan—dan itu artinya, mereka tidak membekal ilmu silat apa pun—memilih untuk tidak ikut campur. Sehingga, tiada seorang tetangga pun yang tahu siapa yang kali ini berkelahi dengan Sialang Babega.Padahal, sebagai Wali Jorong, Sialang Babega cukup terkenal baik dan ramah pada para tetan
Magbasa pa
Harimau Putih Bermata Biru
Hingga subuh menjelang pagi, ketika selimut gelap sang malam tak lagi mampu membendung cahaya sang mentari, Rumada dan Daro tetap berada di atas pohon yang lebat itu. Mereka tetap mengawasi dua orang pria di bawah sana.Semakin terang langit, semakin ramai para tetangga yang berdatangan ke lokasi rumah Sialang Babega yang kini hanya tersisa puing-puing hitam yang masih saja mengepulkan asap tipis.Orang-orang yang berdatangan itu langsung membantu dua orang yang telah lebih dahulu berada di sana.Mereka mengumpulkan jasad-jasad mengenaskan itu. Terlebih lagi, pada jasad Sialang Babega. Tidak sedikit di antara orang-orang itu yang muntah-muntah dan terpaksa menjauh atau melakukan hal lain selain harus mengurusi jasad yang satu itu.Dan sampai sejauh itu, Rumada dan Daro tidak melihat seorang pun orang-orang dari Kerajaan Minanga.“Kurasa orang-orang itu tidak akan datang,” bisik Daro pada Rumada. “Sutan Kobeh dan Darna hanya terlal
Magbasa pa
Tak Bisa Ditawar
“Inyiak Tuo,” ujar Darna Dalun sembari mengambil ancang-ancang langkahnya sendiri. “Tolong, jangan teruskan!”Harimau putih kembali menggeram, perlahan-lahan ia justru mendekati Darna Dalun yang melangkah mundur.Bersamaan dengan itu, Buyung Kacinduaan pun terbangun dari tidurnya—atau, lebih tepatnya disebut; siuman dari pingsan semalaman.Lalu, ia mendengar suara geraman kencang dari seekor harimau, juga, suara yang sempat ia rekam di dalam kepalanya sebelum ini.Ia mencoba bangkit, lalu, dari balik semak belukar yang lebat dan tinggi itu, sang bocah melihat sosok Darna Dalun.Hanya saja, bersamaan dengan ia melihat sosok pemuda itu, sang bocah langsung menunduk. Menyembunyikan dirinya di balik kerimbunan semak belukar tersebut.Buyung terlihat begitu cemas. Bagaimanapun, ia tahu, pria itulah yang sebelumnya bertarung dengan ayahnya, Sialang Babega. Dan pria itu juga yang telah menyebabkan ibunya terjun dari at
Magbasa pa
Pasrah
Harimau putih bermata biru berdiri mematung sembari menatap Buyung Kacinduaan yang masih bersujud menahan tangisnya. Kedua tangan bocah itu semakin kotor oleh tanah hitam. Dan saat sang bocah menyadari ada satu sosok yang sedang memerhatikannya, ia pun mengangkat wajahnya. Buyung Kacinduaan sempat terkesiap, namun ingatannya kembali ke malam tadi. ‘Benar, i—itu harimau yang sama. Ta—tapi, kenapa putih? Kenapa matanya berwarna biru?’ Seolah ingin mengadukan nasibnya yang malang, sang bocah kembali menjulurkan tangannya untuk bisa menyentuh wajah sang harimau. Sang bocah, sudah terlihat seperti seseorang yang kehilangan gairah kehidupannya. Pasrah meski hati tak rela begitu saja. ‘Biarlah, jika aku harus mati menjadi mangsa dari harimau putih ini, mungkin itu lebih baik sebab aku tidak tahu lagi harus menumpang hidup pada siapa? Harus bergantung kepada siapa? Konon pula untuk membalaskan dendam orang tuaku…’ Seperti malam kemarin itu, sa
Magbasa pa
Kekesalan Darna
Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak mengentakkan tinjunya ke permukaan bebatuan, asap tipis mengepul dari kepalan tangannya itu. Sorot matanya menegang dan memerah, ia menggeram kencang laksana seekor harimau yang sedang terluka.“Tidak bisa tidak!” gumam Darna dengan semakin bertambah geram. “Pasti ini abu sisa pembakaran Zuraya! Jahanam…!”Darna bangkit seraya mencakar dan menerbangkan sejumlah bebatuan kerikil ke berbagai arah, tubuhnya berputar sedemikian rupa diiringi teriakan menggelegar dari mulutnya.“Seseorang pasti telah menemukan tanda khusus itu!”Darna kembali menatap sisa abu yang memang adalah sisa-sisa dari tubuh Zuraya yang terbakar. Meski tiada secarik pakaian pun yang tersisa di sana, tidak pula sekepal daging, sejumput rambut, atau juga sejengkal tulang yang bisa dilihat oleh Darna Dalun.Hanya saja, pemuda itu sangat yakin bahwa seseorang telah membantu mengkremasi jasad Zuray
Magbasa pa
Pengobatan yang Aneh
Buyung Kacinduaan mencoba untuk tenang meski rasa perih laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum di sekujur tubuhnya itu tidak mungkin ia abaikan begitu saja. Akan tetapi, dengan menyadari kaki harimau putih itu yang menahan dadanya, Buyung berpikir, ‘Mungkin saja Inyak ingin menyembuhkan luka-luka di tubuhku.’Semakin lama berada di bawah permukaan air, semakin membuat sang bocah merasakan dadanya tak sanggup lagi menahan rasa sesak yang ada. Ia merasa paru-parunya harus segera diisi udara yang segar.Buyung pun akhirnya meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari tekanan kaki sang harimau putih.Begitu sang bocah merasa tekanan kaki hewan buas itu di dadanya telah berkurang, ia pun segera muncul kepermukaan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.Tapi itu hanya untuk sesaat saja, sang harimau kembali menggunakan kaki depannya itu untuk membuat Buyung Kacinduaan tenggelam ke bawah permukaan air.Beberapa saat kemudian sang bocah muncul lagi
Magbasa pa
Makhluk dalam Gua
Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa jauh ia memasuki gua itu, sudah hitungan berapa langkah ia menapaki lantai gua yang terasa berbatu-batu tapi juga sekaligus licin itu.Tidak sama sekali.“Inyiak?” panggil sang bocah seraya terus melangkah di tengah kegelapan yang absolut.Bahkan, ketika sang bocah mencoba menoleh ke belakang, ia sama sekali tidak melihat mulut gua. Dan itu artinya, gua itu pastilah berliku-liku, pikir sang bocah.“Inyiak?”Dan kembali terdengar suara lenguhan pendek itu, Buyung mencoba mengingat-ingat dari sudut mana suara itu berasal.Tuk!Buyung menjerit, namun detik selanjutnya ia mengatupkan mulutnya. Ia tidak tahu benda apakah gerangan yang barusan ia tendang itu, tapi yang jelas, ia merasakan sakit luar biasa pada jari kakinya.Hanya saja, Buyung mencoba bertahan untuk tidak sampai jatuh dengan berpegangan ke dinding gua berdasarkan instingnya saja.Sang bocah mungk
Magbasa pa
Pengobatan Kedua
“Ap—apa yang harus aku lakukan terhadap makhluk-makhluk ini, Inyiak?” Buyung Kacinduaan mengumpulkan cacing-cacing pipih bercahaya itu di tangan kirinya. Untuk sesaat, Buyung marasa takjub dengan cahaya kebiru-biruan yang terkadang terlihat redup sedang yang lainnya malah terlihat benderang, di telapak tangannya itu. “Inyiak?” kembali padangan sang bocah tertuju pada sang harimau. Harimau putih melenguh pendek satu kali. Dan bocah itu masih tidak memahami apa yang diinginkan sang harimau. Makhluk buas itu mendekati sang bocah, kembali ia melenguh, menyentuhkan batang hidungnya ke tangan kiri sang bocah yang berisi cacing-cacing bercahaya itu. Mungkinkah Inyiak memintaku memakan cacing-cacing ini? gumam Buyung Kacinduaan di dalam hati. Bola mata sang bocah membesar menatap makhluk-makhluk bertubuh lunak di telapak tangannya, dan kembali memandang ke dalam bola mata sang harimau yang memantulkan cahaya biru dari cacing-cacing yang ada di
Magbasa pa
Kenangan yang Mungkin Terlupakan
Sang bocah terlihat hening, tidak ada pergerakan sama sekali dari tubuh yang menelentang di permukaan air itu, tidak pula gerakan dada sebagai penanda ia masih hidup.Tidak sama sekali.Sepasang mata itu memang terbuka, bahkan tidak berkedip sama sekali. Tidak ada pergerakan di sana. Pupil mata itu terlihat membesar.Detik selanjutnya, seiring pupil mata itu kembali ke ukuran semula, sang bocah seperti baru saja bangkit dari kematian. Ia menghela napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya.Namun, justru hal itu membuat dia terbatuk-batuk. Buyung Kecinduaan bangkit, terbatuk-batuk lagi. Lalu…Hoeck!Ia muntah. Muntah sebanyak-banyaknya di aliran air tersebut. Meski ia merasakan perutnya melilit disebabkan karena perut itu kosong dan kini harus kembali muntah-muntah, tapi ia tidak peduli. Sang bocah terus saja mengeluarkan muntahnya.Ia tidak dapat memastikan warna muntahannya itu sebab ruangan di dalam gua itu tidak memili
Magbasa pa
PREV
123456
...
22
DMCA.com Protection Status