Semua Bab Terjebak Cinta Tuan Duda: Bab 1 - Bab 10
87 Bab
1. Merencanakan Jebakan
Pria berusia tiga puluh tahun itu duduk di meja kerjanya dengan wajah lecek. Beberapa kali tangannya mengepal dan memukul meja keras-keras hingga membuat tumpukan dokumen meloncat ketakutan. Setelan jas formal yang membalut tubuhnya seolah telah kehilangan fungsi untuk menjaga kegagahannya. Pria itu malah mengacak rambut seperti manusia kehilangan akal yang tak lagi peduli pada wibawa."Sabar, Bos. Sabar." Seorang pria lain yang duduk berdiri di depan meja berusaha menenangkan. "Sabar? Memangnya kau pikir aku bisa semudah itu untuk sabar?!"Ialah Arnold Sanjaya, pria yang sedang kalut hatinya. Dengan mata kepalanya sendiri, Arnold menyaksikan bagaimana perempuan yang selama ini ia puja-puja telah berselingkuh dengan lelaki lain. Dalam waktu sekejap saja, semua kedudukan dan kekuasaan yang ia miliki seolah tak ada artinya lagi. Uangnya tumpah ruah hingga bisa digunakan untuk membeli apa pun yang ia ingini. Tapi ternyata, uang saja tak cukup untuk membuat is
Baca selengkapnya
2. Tertangkap Basah
Krek! Arnold masuk ke kamar itu tepat saat dua orang anak manusia sedang panas-panasnya di atas ranjang. Terpampang dengan nyata keduanya yang sama sekali tak mengenakan busana. Adegan mereka terpaksa berhenti sebelum sampai ke puncaknya. "Sekarang sudah jelas!" ucap Arnold dengan wajah yang kini telah berubah jadi sebeku es. Ia menatap marah. Kentara sekali kilatan api yang berkobar dalam sorot netranya. Di depan matanya sendiri, perempuan yang selama ini selalu ia banggakan telah dilucuti pakaiannya oleh laki-laki lain. Padahal awalnya dia berharap kalau perselingkuhan yang dilakukan Rebecca sebatas pada jalan berdua, tapi ternyata perempuan itu sudah main ranjang di belakangnya. Dengan wajah sangat malu, Rebecca dan pacar gelapnya segera meraih selimut untuk menutup tubuh mereka. Tentu saja keduanya sangat kaget kenapa tiba-tiba kamar yang sudah dikunci bisa terbuka dari luar. Mereka lupa kalau tengah berhadapan dengan orang paling kaya di n
Baca selengkapnya
3. Menjadi Janda dan Duda
Beberapa jam setelahnya, hasil tes telah keluar. Arnold berjalan menuju ruang laboratorium dengan sangat buru-buru. Ia ingin segera mengetahui hasil tes tersebut untuk memastikan apakah Baby Narendra adalah putra hasil percintaan Rebecca dengan dirinya atau dengan laki-laki lain. Ketika sampai di ruangan tersebut, seorang dokter yang tadi menghubunginya langsung menyambut. Dokter tersebut mempersilakan agar Arnold duduk dulu."Ini hasil tes laboratoriumnya. Semoga hasilnya sesuai dengan yang Bapak inginkan," tutur dokter berkaca mata itu dengan sopan. Tubuhnya yang agak gempal terlihat memenuhi kursi yang jadi alasnya menaruh diri."Terima kasih, Dok." Arnold meraih sebuah amplop dari tangan dokter. Matanya tak bisa berhenti mengamati setiap sudut dari amplop, barangkali ada sedikit bocoran yang tertulis di sana. Rasa penasaran yang timbul di hatinya seolah sudah tak mampu lagi untuk ditawar.Dengan gerakan buru-buru, Arnold segera menyobek segel am
Baca selengkapnya
4. Lamaran Seorang Gadis
Arnold tak memberi kesempatan bagi hatinya untuk mengenal kata gagal move on. Dia seorang pengusaha besar yang telah sukses dalam berbagai project. Jadi, tidak ada kata gagal dalam kamus hidupnya, termasuk gagal untuk melupakan. Pagi ini, sebelum berangkat ke kantor, Arnold menyempatkan sarapan bersama Baby Narendra. Semakin hari, putranya itu semakin lucu dan menggemaskan. Dua pipinya menggelembung seperti balon. Untung saja hidung bayi tersebut mancung seperti papanya, jadi tidak tenggelam walau sebesar apa pun pipinya."Bi, tolong jaga Baby Narendra sebaik-baiknya, ya. Kasihan dia sudah tidak punya ibu," pinta Arnold pada pembantu yang kala itu sedang menyuapi Narendra dengan semangkuk bubur bayi rasa kacang hijau. Arnold sendiri sudah menandaskan potongan roti di atas piringnya, termasuk segelas susu yang telah disiapkan pembantu untuknya.Bibi mengangguk takzim. "Baik, Tuan."Menit berikutnya, Arnold mengangkat tubuh dari kursi makan, kemudian
Baca selengkapnya
5. Berpenampilan Dewasa
"Bagaimana, Dear?" Eva—ibunda Kezia— langsung melempar pertanyaan begitu mendapati putrinya datang. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Kezia tentang pengalaman pertama bertemu dengan sosok incaran mereka. Jangankan memberi sapaan untuk mamanya, Kezia sudah memasang muka murung seperti mendung sejak pertama kali tiba di rumah. Hatinya merasa tak bergairah. Gadis itu masih menyimpan rasa jengkel yang amat sangat sebab perlakuan Arnold. Berkali-kali ia membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah pria kaya raya seperti Arnold tidak pernah sekolah sampai tak tahu cara menghormati tamu?"Hei, apa yang terjadi?" Eva menyusul anaknya ke dalam kamar. Sebagai ibu, tentu ia langsung bisa membaca kalau ada hal tak beres yang tengah bergumul di hati Kezia.Di luar, matahari naik semakin tinggi. Sinarnya menyepuh genting-genting rumah dengan warna keemasan. Desau angin meruntuhkan daun kering dari ranting. Tidak ada mendung yang bergulung di l
Baca selengkapnya
6. Naluri Pria Normal
Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia.  Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini. "Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu
Baca selengkapnya
7. Larangan Jatuh Cinta
Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun. "Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang. Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun. Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhk
Baca selengkapnya
8. Dua Minggu Tanpa Gaji
Kezia sudah berdiri di depan rumah Arnold dengan rasa penuh percaya diri. Sebelum mengetuk pintu, ia memanjangkan leher untuk memeriksa garasi. Pikirnya mendadak ciut saat mendapati mobil Arnold tidak ada di sana. Namun, ia kembali ingat kalau tadi malam pria itu sendiri yang menyuruhnya kembali datang siang ini. Dengan segenap pikiran positif yang dibenamkan dalam kepala, Kezia mengepalkan jemarinya, kemudian mencipta ketukan di muka pintu rumah mewah berlantai tiga itu. Ketukan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Gadis itu jadi geram dan memaki karena rumah semewah ini tidak memiliki bel. Sembari berusaha sabar, Kezia mengetuk pintu lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia jadi curiga kalau rumah ini tak berpenghuni. Tepat ketika Kezia balik badan dengan wajah putus asa, bersiap untuk pulang saja, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Matanya terbelalak saat mendapati Arnold turun dari sana. "Wah, rupanya kau sudah ada di si
Baca selengkapnya
9. Mengeluarkan Isi Tas
Esok paginya, Kezia sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold sebelum pria itu berangkat ke kantor. Arnold menyambut dengan senyum terbuka. Kezia sudah memakai seragam berwarna biru dengan motif garis di tepi lengannya. Rambut panjangnya dikucir jadi satu ke belakang. Leher jenjangnya terlihat manis dan memesona. Dia membawa sebuah tas yang mirip dengan tas raket milik para pebulutangkis. "Selamat datang, Nona Kezia," sapa Arnold yang langsung mempersilakan gadis itu masuk. Ketika Kezia hendak duduk di sofa, dia buru-buru mencegah dengan sindiran tajamnya. "Tidak ada yang mempersilakanmu untuk duduk."Kezia yang sudah bersiap menaruh tubuhnya, terpaksa harus kembali meluruskan punggungnya. Ditaruhnya tas raket itu di lantai. Hanya dia yang tahu apa isinya. "Maafkan saya, Tuan.""Kau belum berkenalan dengan bayiku," ujar Arnold dengan alis melengkung satu. Di hari pertama saja, Kezia sudah menunjukkan sikap acuhnya pada sang bayi. Mendadak Arnold menyesal karen
Baca selengkapnya
10. Hari Pertama Jadi Babysitter
Ternyata mengasuh bayi tidak semudah yang dibayangkan. Sejak tadi, Narendra terus rewel tanpa bisa ditebak Kezia apa maunya. Ketika diajak bermain di kamar, bayi itu minta keluar seolah sudah tak kerasan. Ketika diajak ke taman, ia malah menangis karena kepanasan. Ingin rasanya membentak atau marah, tapi Kezia segera sadar apa statusnya sekarang. "Kamu mau apa, sih, Sayang?" Kezia mengusap peluh di dahinya. Saat ini ia memutuskan mengajak Narendra duduk di ruang tamu. Andai saja bayi itu bisa bicara, pasti akan lebih mudah untuk memahami apa inginnya. Bersama kesabaran yang rasanya tinggal sekepal saja, Kezia memutuskan untuk menimang bayi laki-laki itu dalam gendongannya. Waktu baru menunjukkan tengah hari. Masih lama sekali menuju malam untuk beristirahat. "Kalau hari pertama saja sudah seberat ini, bagaimana aku bisa melewati empat belas hari? Apalagi tanpa digaji." Kezia bergumam sendiri sembari berusaha menggerak-gerakkan mainan berbentuk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status