Share

3. Menjadi Janda dan Duda

Beberapa jam setelahnya, hasil tes telah keluar. Arnold berjalan menuju ruang laboratorium dengan sangat buru-buru. Ia ingin segera mengetahui hasil tes tersebut untuk memastikan apakah Baby Narendra adalah putra hasil percintaan Rebecca dengan dirinya atau dengan laki-laki lain. 

Ketika sampai di ruangan tersebut, seorang dokter yang tadi menghubunginya langsung menyambut. Dokter tersebut mempersilakan agar Arnold duduk dulu.

"Ini hasil tes laboratoriumnya. Semoga hasilnya sesuai dengan yang Bapak inginkan," tutur dokter berkaca mata itu dengan sopan. Tubuhnya yang agak gempal terlihat memenuhi kursi yang jadi alasnya menaruh diri.

"Terima kasih, Dok." Arnold meraih sebuah amplop dari tangan dokter. Matanya tak bisa berhenti mengamati setiap sudut dari amplop, barangkali ada sedikit bocoran yang tertulis di sana. Rasa penasaran yang timbul di hatinya seolah sudah tak mampu lagi untuk ditawar.

Dengan gerakan buru-buru, Arnold segera menyobek segel amplop untuk mengeluarkan isinya. Bahkan dia tak peduli kalau detik ini masih duduk di kursi dokter. Yang terpenting baginya adalah, dia harus mengetahui hasil tes sesegera mungkin untuk menghilangkan segala keraguan baru yang muncul atas Narendra. Kasihan sekali bayi itu kalau nanti mendapat perlakuan berbeda dari papanya sebab ia dikira lahir dari benih lelaki lain. Namun, kasihan juga Arnold jika tetap menaruh rasa sayang dan pengharapan tinggi pada bayi yang bukan berasal dari benihnya.

Ketika kertas isi amplop itu sudah berada di tangannya, Arnold bergerak cepat untuk membuka lipatan. Matanya langsung diluncurkan ke bagian paling bawah untuk membaca kata yang tertera di sana. Positif atau negatif?

Detik itu juga, napas Arnold bisa berembus dengan lega. Baby Narendra memiliki kecocokan DNA dengannya. Bayi kecil nan menggemaskan itu adalah putra kandungnya. Tidak ada yang perlu dicurigai tentang kemiripan bentuk mata dan hidung mereka.

Arnold membawa hasil tes itu pergi setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi pada dokter. Setelah ini, ia akan mengurusi beberapa hal lagi agar bisa cepat-cepat bertemu dengan Rebecca di sidang perceraian mereka.

Namun, langkah Arnold harus terhenti ketika melihat sesosok perempuan yang telah menunggunya dengan senyuman di depan ruang laboratorium. Perempuan itu memiliki bentuk bibir yang sama dengan Narendra, agar tebal tapi menggiurkan. Di detik yang bersamaan, Arnold merasa jijik ketika mengingat kalau ia pernah melumat bibir yang ternyata sudah jadi bekas lumatan pria lain di belakangnya. "

Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Arnold dengan muka dingin yang dilanggengkan.

Rebecca berusaha meraih lengan Arnold, tapi pria itu dengan cepat menepis tangannya. "Arnold, aku mohon dengarkan penjelasanku dulu," mohonnya sembari memasang raut wajah minta diiba. Tubuhnya yang berbalut dress selutut lengan pendek memudahkan desau angin untuk menampar kulitnya. "Aku yakin seratus persen, ah, kalau boleh malah seribu persen. Pasti hasil tes tersebut menunjukkan kalau Narendra adalah anakmu. Dia benar-benar anak kita karena sebelum ini aku tak pernah bersetubuh dengan pria selain engkau."

"Ya, Narendra memang anakku. Maka aku akan memperjuangkan hak asuh atasnya di depan hakim nanti," tegas Arnold dengan wajah berkilatan amarah. Ada ribuan kebencian yang tersimpan dalam rongga matanya. Kata siapa cinta tak mudah berubah jadi benci? Sekali dikhianati, sebagian besar pria lebih memilih untuk membenci. Pria tak lemah hatinya seperti wanita yang mudah sekali memaafkan dan terus-menerus mendahulukan perasaan. Tak ada yang salah karena semua memang sudah ditakar Tuhan dengan porsi demikian.

"Lalu kenapa kau masih keras kepala hendak menceraikanku padahal sudah terbukti kalau Narendra adalah anakmu?" Suara Rebecca mendadak keras seperti menantang. Tangan kanannya menggengam erat sebuah tas kulit berwarna cokelat tua. Sepatu hak tingginya menyangga tubuh yang berdiri dengan kaki gemetar.

"Kau bilang aku keras kepala?" Arnold menarik satu sudut bibirnya. "Sebaiknya kau pulang dan lekas berkaca. Tanyalah pada pantulan dirimu sendiri di depan kaca, apakah perempuan sepertimu masih pantas untuk aku pertahankan?" balasnya dengan senyum mengejek. Arnold tak memberi banyak waktu lagi bagi Rebecca untuk menimpali. Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dia selesaikan. Membicarakan masalah yang tak ada ujungnya bersama seorang pengkhianat sama saja dengan membuang-buang waktu yang telah dikaruniakan oleh Tuhan.

Di atas lantai tempatnya berdiri, Rebecca hanya bisa menatap berlalunya Arnold dengan geram. Dia tak bisa berkutik, apalagi menahan. Sepertinya dalam waktu dekat, statusnya akan benar-benar berubah jadi janda. Arnold lebih memilih untuk menyandang status duda daripada harus kembali kepadanya.

***

Dengan uang yang dimilikinya, mudah saja bagi Arnold untuk mengatur waktu sesuai yang diingini. Tak lebih dari satu minggu, sidang perceraian itu telah digelar dengan keputusan akhir yang menyatakan bahwa hak asuh anak sepenuhnya jatuh ke tangan Arnold. Pihak Rebecca sempat protes dengan mengeluarkan dalih yang menyebutkan kalau usia Narendra masih sangat kecil, sehingga bayi itu butuh untuk selalu berada di samping ibunya. Namun, pihak pendukung Rebecca tak bisa berkutik lagi ketika Arnold mengerahkan segala bukti kalau perempuan itu adalah seorang ibu yang tidak bertanggung jawab.

Sidang diakhiri. Keputusan hakim yang telah diketok palu tidak dapat diganggu gugat lagi. Arnold keluar dari ruang persidangan dengan wajah riang, sangat berbeda dari wajah Rebecca yang dipenuhi gurat kekecewaan dan penyesalan.

"Sampaikan salam perpisahan pada anakmu. Sepertinya setelah ini, kau tidak akan bertemu dengannya lagi. Ataupun kalau bertemu, pasti masih dalam jangka waktu yang sangat lama." Arnold sengaja berdiri di depan Rebecca untuk mencegat langkah perempuan itu. Dalam gendongannya, tengah tersenyum ramah seorang bayi yang amat menggemaskan. Ia telah mengambil Narendra dari tangan Bibi yang sedari tadi bertugas menimang bayi itu selama sidang berlangsung. Mengajak Narendra ke sidang perceraiannya juga merupakan keinginan Arnold sendiri.

Rebecca meremas kedua tangan di samping tubuh sebab merasa begitu geram. "Kau sangat berdosa jika di kemudian hari sengaja mempersulit pertemuanku dengan Narendra. Aku adalah ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dalam rahimku, kemudian mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya ke dunia."

"Iya, aku tahu." Arnold mengangguk paham. Sesekali tubuhnya bergerak-gerak untuk menghasilkan rasa nyaman bagi bayi yang tengah tinggal dalam gendongan. "Narendra adalah bayi suci yang telah lahir dari rahimmu, tapi sayangnya kau sendiri yang telah mengotori rahim itu dengan mengizinkan pria lain menjamahnya."

"Hentikan ucapanmu itu!" Rebecca merasa kian kesal. Jika bisa digambarkan, pasti sudah ada dua tanduk merah yang berdiri di atas kepalanya.

"Aku tak akan berhenti karena aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Aku punya banyak saksi. Bahkan aku juga punya bukti berupa video rekaman dari pihak hotel yang sengaja kumintai untuk memasang CCTV."

Rebecca membelalakkan mata tak percaya. Sebegitu niatnya Arnold dalam menjatuhkan hingga segala cara dilakukannya. Tak apa. Mungkin memang sudah saatnya bagi dia untuk pergi. Lagi pula, sejak awal Rebecca memang tak pernah mencintai Arnold dengan tulus. Tentu saja ia mau dinikahi hanya karena mengejar harta kekayaan pria itu yang tidak akan habis dalam tujuh turunan sekali pun. Untuk soal anak, Rebecca tak mau terlalu ambil pusing. Ia bisa membuatnya lagi bersama pria yang sungguhan dicintainya.

Setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, baik Arnold dan Rebecca sama-sama balik kanan. Mulai hari ini, anggap saja mereka adalah dua orang asing yang tak pernah saling kenal sebelumnya.

Sementara itu, tak jauh dari gedung tempat persidangan diadakan, tengah berbahagia dua orang perempuan yang sejak tadi sengaja datang untuk menyimak keputusan dalam sidang tersebut.

"Hak asuh anak jatuh ke tangan Arnold, sedangkan bayi itu sudah tak punya ibu di rumahnya. Itu artinya, peluangku untuk masuk ke sana semakin mudah," seru Kezia dengan senyum penuh kemenangan.

Mamanya mengangguk setuju. Detik berikutnya, mereka menabrakkan dua telapak tangan sebagai tanda permainan akan segera dimulai. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status