All Chapters of Para Pencari Kunci: Chapter 21 - Chapter 30
32 Chapters
/21/
Hughes.2 Januari. 15.28. WIB.  Aku kabur terbirit-birit begitu kepala si pemuda berpedang terhambur keluar. Gelegar tembakannya begitu dekat dan dalam. Tanpa tenaga, pemuda itu terkulai ambruk dengan posisi menyamping. Napasku putus dan sesak begitu tiba di pedalaman hutan. Betisku berdenyut. Suara gemerisik dari Bilik yang hangus masih dapat dijangkau. Itu memastikan bahwa diriku belum lari terlalu jauh.    Garrincha. Entah keajaiban apa yang dirinya buat. Berhasil lolos dari maut dan mendapat mukjizat. Ini hal yang luar biasa. Si pemuda berpedang sudah hendak menebas lehernya, namun aku tahu kalau teman si kaki bengkok juga ikut bergerak di balik layar.    Momen saat isi kepala pemuda berpedang hancur bagai daging tercacah membuatku membatu. Lutut si kaki bengkok juga tampak goyah, dia melangkah mundur dengan lunglai sebel
Read more
/22/
Hughes.2 Januari. 17.03 WIB.  Cipratan lumpur bercampur darah memenuhi mulutku. Aku melepehkan segumpal tanah liat yang dilumuri cairan merah-segar. Hujan menghantam tubuh tanpa ampun. Kepalaku pening. Lututku pecah-pecah dan sobek. Aku berbaring menyamping dengan sekujur tubuh menggigil. Hawa dingin teramat menusuk tulang. Napasku masih hangat, namun rasa asam tanah serta amis darah bercampur baur. Isi perutku naik dan tersekat di kerongkongan. Aku mencoba bangkit, tapi gagal karena kakiku terbenam lumpur hingga sebetis. Aku merunduk, mencoba menyentakkan tungkai. Sialnya, air hujan membuat tanah semakin licin dan menumpuk.   Kalau saja aku bukan jatuh di tanah basah. Tentu badanku langsung remuk. Siluet seseorang di puncak membuatku tercekat. Aku melupakan posisi yang tidak menguntungkan ini dan memicingkan mata.
Read more
/23/
Hughes.2 Januari. 18.47. WIB.     Matahari sempurna tenggelam saat aku membasuh kaki dengan tetes-tetes hujan untuk terakhir kali.   Setelah lolos dari kolam lumpur. Aku tak peduli keadaan anak pembawa balok yang terjerumus ke kubangan tanah liat. Dan setelahnya aku buru-buru pergi dengan langkah teramat berat karena kakiku diselimuti lumpur.   Aku berjalan terbungkuk-bungkuk dengan punggung gemetar. Jaketku tak sempurna menahan dinginnya udara.   Hawa hangat tubuhku hanya bisa memanaskan tangan dan mulut. Aku menghabiskan waktu dengan berjalan tersaruk-saruk. Paru-paruku seakan diperas hingga tak ada satu pun udara keluar-masuk.    Karena hujan beralih ke gerimis. Lebatnya daun bisa menahan laju air. Jadi aku mencari tempat sempurna untuk berlindung; lalu membersihkan kaki dari lumpur sembari mengeringkan tubuh.   Gigiku gemeletuk tanpa hen
Read more
/24
Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.  Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali. Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru.   Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip. Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar. Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki. Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa
Read more
/25/
Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB.      Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah.   Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput.   Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap.     Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak.      Kenapa Arena mendadak berubah?   Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak.   Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n
Read more
BAGIAN 2
Garrincha.3 Januari. 00.01.  Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan. Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal. Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar. Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum.   Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.  Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini. 
Read more
/1/
Erin.3 Januari. 06.05.     Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing.   Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres.     Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas.      Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar.   Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama.   Keadaannya tidak bisa dijelaskan s
Read more
/2/
Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup.   Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins.   Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan.   Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna.   Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus.     Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de
Read more
/3/
Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh.      Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional.   Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola.      “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?”    “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 
Read more
/4/
Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu. “Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh. “Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi. Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.  Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status