Semua Bab White Love: Bab 11 - Bab 20
89 Bab
Retak
Ujian akhir sekolah telah kami lewati. Semua terlihat lega dan bahagia. Acara tour sekaligus perpisahan kelas telah diatur dari jauh hari. Pagi buta, aku bergegas bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Bus yang akan mengantar kami tour akan tiba tepat pukul 06.00 pagi. Biar memaksimalkan waktu, kata wali kelas kami sambil terkekeh. "Din! Zidan udah di depan! " pekik Ibu nyaring. Aku pun berpamitan dengan Ibu dan Bapak, kemudian pergi ke sekolah bersama Zidan. "Dingin, Zi. Jangan ngebut-ngebut, " ujarku seraya mengeratkan jakek yang lumayan tebal. "Siap, tuan putri, " jawabnya berseloroh. Aku tergelak di dalam hati. Semakin hari, Zidan semakin lihai menggombal. Entah belajar dari mana lelaki satu ini. Dulu, ia terlihat dingin dan kaku. Cinta memang bisa merubah segalanya. Selang beberapa menit, kami sudah sampai di sekolah. Dua bus pariwisata sudah terparkir cantik di sana. Hampir semua siswa terlihat s
Baca selengkapnya
Kalau Jodoh Pasti Bertemu
 "Din, Zidan sakit apa? " tanya Salma. "Emang Zidan sakit? Aku nggak tahu, " jawabku datar. "Kalian berantem? "Aku hanya diam dan menyiapkan beberapa persyaratan yang harus kukirim ke beberapa pondok tahfidz. Hampir satu bulan setelah acara perpisahan sekolah. Aku tidak berkirim kabar dengan Zidan. Ia tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin lelaki itu benar-benar marah kali ini. "Kita tengokin Zidan, yuk! " ajak Salma sambil merajuk. "Kata teman-teman, Zidan sakit udah dua minggu? ""Sakit apa? " tanyaku penasaran. Hati kecil ini tidak bisa dibohongi kalau aku masih peduli kepadanya."Katanya kecelakaan, jatuh dari motor, " ucap Salma menatapku lekat. Hari itu, aku hanya berdua dengan Salma. Aisyah tengah sibuk dengan urusan keluarganya. Kami saling bercerita hingga senja, salah satu yang membuatku terhibur adalah berbagi cerita dengan sahabat. Walau tidak banyak membantu,
Baca selengkapnya
Berpisah Untuk Bertemu Lagi
Zidan tidak membalas pesanku dari semalam. Mungkin, butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Memang berat untuk memutuskan semua ini.Bukankah hidup adalah pilihan? Seperti Kak Rianti yang memilih bersama suaminya kembali setelah menghancurkan hatinya. Pilihannya pasti sudah dipikirkan baik-baik. Begitu pun dengan aku yang yakin memilih tujuan hidup sebagai seorang tahfiz.Selama libur, waktuku lebih banyak dihabiskan di rumah. Membantu Ibu dan menambah hapalan. Aroma teh melati menguar hingga ke dalam kamar, aroma manis dan menyegarkan. Ibu pasti sedang menyeduh teh di dapur. Aku hendak melangkah menuju dapur saat layar gawai terlihat menyala. [Assalamualaikum, setelah kupikirkan semalaman. Tetap saja hati kecilku menolak hubungan kita berakhir begitu saja. Aku akan menemui sore ini]Isi pesan itu sedikit mengusik hati. Besok aku harus pergi untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang tahfidz tiga puluh juz. Di sisi lain, ada seorang pria yang
Baca selengkapnya
Lembaran Baru
Hampir setengah hari perjalanan dari Bandung ke Tangerang Banten. Akhirnya sampai di tempat tujuan.Tanah yang sangat asing untukku. Aku Membulatkan hati untuk mengusir rasa khawatir dan takut, kemudian melangkah dengan pasti.Aroma petrikor menghidu hingga menusuk ke hidung.  Sepertinya, tanah ini baru saja tersiram air hujan. Aku menarik koper menuju alamat yang ada di pesan whatssap. Lingkungan yang agak padat, tapi tidak terlalu ramai. Langkahku terhenti tepat di depan gerbang.  Tertulis Rumah Qur'an As-Syifa dengan ukuran besar di pintu gerbang. Seorang perempuan muda mempersilakan masuk dengan ramah. "Maaf, namanya siapa, Ukhty?" "Andini khumaira dari Bandung. "Gadis muda itu menuntunku ke kantor sekertariat. Bangunan dua lantai yang cukup besar dan rapi. "Assalamualaikum, Umi."Gadis muda itu mengucap salam sembari mengetuk daun pintu. "Waalaikumsallam, masuk. " Terdengar suara lembut da
Baca selengkapnya
Lelaki Shaleh Memang Patut Diperjuangkan
Matahari bersinar terik, panas menyengat tubuh. Peluh sudah bercucuran membasahi baju. Huh, aku paling tidak suka panas dan berkeringat. Hampir satu jam berdiri di tengah lapangan untuk menjalani hukuman yang kuterima.' Ah, ini semua gara-gara Putri' rutukku di dalam hati. Semua mata serasa tertuju kepadaku, betapa malunya diri ini melihat santri berbisik-bisik dan senyum yang tersungging di bibir maha santri dan para Ustaz. Andai aku tidak mengikuti ide gila Putri. Mengintip kamar ustaz Fikri yang terletak di bagian paling ujung gedung ini. Aku bukanlah gadis mesum yang suka mengintip pria. Aku hanya ingin tahu benda apa saja yang ia sukai. "Din, klo kamu serius suka sama Ustadz Fikri. Kamu harus selidiki apa yang beliau suka, bentar lagi hari ulang tahun Ustadz Fikri, "ujar Putri dengan mimik serius. "Ih, jangan ah, biarkan saja. Biar Allah yang mengatur semuanya, kalo jodoh nggak akan kemana" jawabku dengan penuh keyakinan. 
Baca selengkapnya
Kuatkan Imanku
Mentari pagi membelai hangat tubuhku yang hampir membeku. Aku sengaja berjemur di taman belakang sambil murajaah seorang diri. Jadwal setoran hapalan tinggal tiga puluh menit lagi. Namun, kaki seolah terpaku dan enggan beranjak dari sini. Sampai Putri datang dan mengusik rasa nyamanku. "Din, giliran kamu tuh. Yang lain udah setoran semua. "Aku masih diam dan tidak bergerak sedikit pun. Malu bercampur takut belum juga hilang. Mana mungkin fokus untuk menyetor hapalan, sedangkan bertemu saja sudah membuat jantung ini serasa melompat keluar. "Cepetan, Umi yang nerima setoran hari ini, " ucap Putri geram. "Allhamdulillah, kenapa nggak bilang dari tadi, " ucapku dengan perasaan lega, kemudian berlari menuju bilik tempat setoran hapalan. Maha santri perempuan kembali di bimbing Umi untuk setoran hapalan setiap harinya. Ustaz Fikri kembali membimbing anak santri laki-laki. Kami hanya bertemu sesekali saja di jam istrirahat dan jad
Baca selengkapnya
Cinta Dalam Diam
Cinta tidak harus memiliki, mungkin kata itu yang cocok dengan diriku saat ini. Memendam rasa dan menyembunyikannya sedalam mungkin hingga terasa sesak di dada. Suara lolongan anjing sudah terdengar beberapa kali. Angin malam menerobos celah jendela kamar hingga menusuk ke tulang. Namun, raga ini masih juga terjaga.  Bayangan Zidan kembali melintas di dalam benak. Senyum serta tingkahnya seolah menari-nari dalam ingatan. Permohonan dan janjinya kepada Bapak masih terekam jelas. Rasa tidak nyaman dan gelisah seakan menghantui, sejak hati ini mulai berpindah. Apakah diri ini berdosa Ya-Rabb? Aku tidak pernah menjanjikan ikatan apapun kepadanya. Namun, kenapa hati kecil ini berbisik seakan diri ini telah berkhianat dan melukai hati yang lain. Bukankah Engkau yang menganugerahkan rasa ini kepada setiap hamba? Di manakah seharusnya hati berlabuh? Dosakah jika aku menyimpan rasa ini? Dadaku berkecamuk penuh tanya hingga tanpa sadar sudah terdeng
Baca selengkapnya
Lega dan Bahagia?
"Ukhty Dini! "Suara Ustaz Fikri masih terdengar beberapa kali hingga ke bawah loteng. Aku berlari sekuat tenaga menuju kamar. Tidak ingin terlibat lebih jauh dan lebih menjaga hati agar tidak semakin terluka. Biarlah mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku tidak ingin menjadi duri di antara mereka. Cukup Allah yang tahu rasa ini dan terhempas bersama angin yang berdesau malam ini. Pertemuan kembali Ustaz Fikri dan mantan tunangannya cukup menguras perasaan. Entah apa yang terjadi di dalam hati ini? Rasa takut dan kecewa mendominasi. Membuat hari-hariku serasa berat. ♥️♥️♥️Hampir semua maha santri berkumpul di kelas. Akan ada perkenalan dari guru mata pelajaran bahasa Arab yang baru. Umi terpaksa mendatangkan guru baru karena guru yang lama tengah cuti melahirkan. Hampir sepuluh menit berlalu, guru yang dijanjikan belum juga datang. Kami masih asyik bersenda gurau ketika suara langkah kaki t
Baca selengkapnya
Selamat Tinggal, Ustaz
Aku masih terpaku dan enggan pergi. Melihat punggung bidang itu menghilang di balik pintu kantor sekertariat. Air dari langit turun membasahi bumi disertai angin yang berembus kencang. Percikannya membuat ujung gamis yang kukenakan sedikit basah. "Din, ayo masuk! " pekik Putri yang berdiri di depan kelas seraya melambaikan tangan. "Iya! " pekikku, kemudian berlari kecil dengan menutup kepala menggunakan kedua tangan. Baru saja berjalan beberapa langkah, sebuah payung hitam menaungi dari derasnya kucuran hujan. Aku membalikkan tubuh untuk melihat si pemilik tangan yang menggenggam payung itu. Aku sedikit terhenyak dan mundur ke belakang saat Ustaz Fikri berada tepat di hadapan. Dadaku berdetak cepat saat bola mata saling bertemu. "Ustaz! " pekikku tertahan. "Pakai payung, biar nggak sakit. "Lelaki itu memberikan gagang payung itu kepadaku, kemudian berlari hingga tidak terlihat lagi. Ak
Baca selengkapnya
Kembali
Aku telah bersiap untuk kembali ke Bandung bersama Ibu dan Bapak. Semua barang telah dikemas rapi di dalam koper. Sebuah amplop putih berisi penempatan untuk pengabdian selama satu tahun, kubuka perlahan. "Masya Allah, Dini ditempatkan di Bandung, Bu," ucapku semringah."Alhamdulillah."Ibu dan Bapak mengucap hamdalah bersamaan. Keduanya tampak tersenyum lebar.Mobil yang kami pesan berhenti tepat di hadapan. Bapak bergegas memasukkan barang-barang kami ke dalam bagasi. Netraku mengedar ke sekeliling memandang lekat setiap sudut pondok."Din!" Putri berteriak sambil berlari kecil menuju ke arahku.Aku membentangkan tangan dan memeluk gadis konyol itu. "Jangan lupa kasih kabar ya," ucapnya memelas.Mata kami mulai berembun. Ia memelukku erat sebulum akhirnya aku masuk ke dalam mobil."Iya,pasti."Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Setitik air itu akhirnya lolos juga dari sudut mata. Entah kapan lagi k
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status