All Chapters of Diary Rain: Chapter 11 - Chapter 20
33 Chapters
Part 10 - Berkecamuk
Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu.   Hening.  Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini.  Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk.  "Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas.  Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki d
Read more
Part 11 - Antara Pergi dan Mencari
Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal.    Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini.    Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun.    Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert
Read more
Part 12 - Di Antara Dua Hati
From : Milanda Revalido Sulistya  Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa.    Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya.    From : Rainisa Soedibjo Tunggal  Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :)    Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk.    From : Milanda Revalido Sulistya  Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD    Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka
Read more
Part 13 - Dilema
Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa.    Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri.    Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku.    "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu.    "Hmm." Jawabku dengan malas.    Aku masih meringkuk manja dengan e
Read more
Part 14 - Mencoba Berdamai
Aku mengetik laporan keuangan dengan malas. Sesekali aku menguap dengan lebar sembari menegakkan punggungku. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Bahkan aku hanya bisa membuat jurnal umum untuk transaksi satu hari, belum sampai pada buku besar, arus kas, apalagi laporan rugi laba.    Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 11.30 WIB. Tandanya sebentar lagi akan masuk waktu istirahat siang.    Sepertinya aku tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Akan lebih baik jika aku meminta izin masuk setengah hari, daripada laporanku berantakan dan berakhir aku berada di meja interogasi. Membayangkannya saja aku begidik ngeri.    Dengan segera aku menuju lift dan naik ke lantai 4 untuk meminta izin. Namun, belum sempat aku menekan tombol, sebuah tangan menyerobot dan menekan tombol lantai teratas.    Segera saja aku menoleh. Dan aku mendapati Se
Read more
Part 15 - Dia yang Pernah Singgah
Blarrrr!  Hujan turun dengan sangat derasnya sore ini, disertai dengan kilat yang menyambar-nyambar. Aku masih dengan pakaian kerjaku dan Mila sudah pulang dari kafe sejak beberapa saat lalu.    Aku menatap langit mendung dan tetesan hujan dengan tatapan nanar. Masih tidak percaya bahwa aku tetap belum lepas dari bayangan 14 tahun yang lalu. Kini hatiku bergemuruh, seiring dengan kilat yang terus menyambar dan menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga.    Aku merasa sesak. Sebelumnya, saat aku masih dekat dengan Sean, aku bahkan sudah mulai terbiasa saat hujan turun. Namun, sekarang aku justru kembali seperti 14 tahun yang telah kujalani.    Badanku mulai bergetar dan...    Aku melebur kembali bersama hujan. Dalam langkah tegap, aku berjalan dengan suasana hati yang kembali meredup menerobos hujan lebat. Di saat orang lain berlarian mencari tempat berteduh, hanya aku
Read more
Part 16 - Kembalinya Sebuah Perahu yang Sempat Kupecahkan
Aku menatap Bhaskara nanar. 3 tahun yang lalu aku melihatnya sebagai sosok superhero. Sekarang aku menatapnya sebaliknya. Penuh kebencian, dendam, dan amarah yang tak terbendung.  Tubuhku bergetar hebat. Antara menangis dan berusaha kuat, aku bahkan tidak mampu menahan gejolak dalam diriku sendiri. Rasa-rasanya masih tidak percaya kalau 3 tahun menghilang akan membuatnya sedemikian drastis berubah.  "Bhas, is that you who loved me 3 years ago?" Ucapku parau.  Aku masih menatapnya tak percaya. Kulihatnya sekali lagi dari ujung kepala sampai ujung kaki.  Matanya masih mata hitam bulat yang tak pernah berubah. Gaya berpakaiannya masih sama, suka memakai kaos dan celana jeans panjang dan sepatu sport pria hitam putih. Dia sekarang bahkan memakai hoodie putih. Gaya rambutnya juga bahkan tak berubah sama sekali. Aku menatapnya lekat sekali lagi dan aku yakin dia bahkan tidak memiliki pe
Read more
Part 17 - Benar-Benar Kembali
Mataku mengerjap-ngerjap karena silau. Tanganku menutupi wajah dan mataku agar aku bisa membuka mataku dengan sempurna. Sejenak kemudian aku mencoba mengembalikan kesadaranku secara utuh. Kutepuk-tepuk pipiku dan kukucek mataku.  Beberapa detik kemudian aku teringat kejadian semalam. Mataku langsung membulat. Kulihat sekelilingku dan aku menyadari sesuatu.  Ini bukan kamarku!  Lantas di mana aku? Aku merasa asing dengan dekorasi kamar ini. Aku ingat bahwa aku belum pernah melihat kamar ini sebelumnya.  Kuedarkan pandanganku sekali lagi, menyapu seluruh sudut kamar. Barangkali ada salah satu tanda pengenal atau barang yang mungkin saja mengindikasikan bahwa ini kamar milik seseorang yang kukenal. Tapi nihil. Aku gagal mengenali kamar ini.  Sekelebat ingatanku kembali pada sesosok yang menahanku. Apakah mungkin dia? Aku bahkan tak sempat melihat wajahnya ka
Read more
Part 18 - Makan dan Kejutan
Aku berdiri di belakang Zevran yang tengah memasak. Kusilangkan dua tanganku di dada dan mengamatinya memasak. Dia sepertinya menghiraukan keberadaanku dan hanya fokus memasak.    Aku tidak mau dicuekkan olehnya. Aku pun memberanikan diri membuka suara. "Zev, apakah kamu sedang mengabaikanku?" Tanyaku dengan nada penuh penekanan dan seakan-akan mengintimidasi.    "Tidak. Hanya fokus masak aja biar gak gosong. Kamu duduk aja di kursi biasanya. Nanti kita makan bareng di situ." Jawabnya tanpa menoleh sedikit pun.    Aku mendengus kesal. Aku pun mau tidak mau menunggu di tempat kami berdua biasa makan. Meja makan yang letaknya persis di depan bar dapur.    Duduk di sini membuatku mengingat hari sebelum Zevran pergi selama 2 Minggu ke Jerman, setelah pesta koleganya hari itu. Setelah sebelumnya kesal, sekarang aku tersenyum-senyum sendiri mengingatnya.    Tak
Read more
Part 19 - Sejenak Bahagia
"You accept my ask about being my wife. You promises too that you accept me as a husband in state of joy and sorrow." Jawab Zevran cepat.  Seketika senyumku melebar.  Dia tahu artinya dan menjawab dengan tepat.  "Zev." Aku sangat bahagia dia tahu dan aku juga sangat menantikan moment ini.  Zevran memandangku lekat. Aku menatapnya juga. Mata hazel itu, bibir yang menarik, tatapan yang teduh. Aku seakan terhipnotis dengan semua yang ada padanya.  "Rain." Ucapnya lagi. Kali ini dia menggenggam tanganku erat. Wajahnya ia majukan sehingga posisi wajahku dan wajahnya semakin dekat,
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status