Begitu sampai di kamar, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Sean sangat memahami suasana hatiku yang buruk hari ini. Ia langsung pamit undur diri dan mengatakan padaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu sewaktu menurunkanku di depan rumah beberapa saat lalu.
Hening.
Aku mencoba menyelami perasaanku sendiri. Mencari-cari jawaban akan apa sebenarnya yang kucari, mengapa, dan bagaimana aku harus menghadapi kemelut hati ini.
Pandanganku menerawang langit-langit kamarku yang putih. Badai bukannya semakin redam, tetapi membuatku semakin tenggelam dalam perasaan yang campur aduk.
"Zev, aku masih sangat ingat pertemuan pertama kita di 14 tahun yang lalu. Kamu baru saja masuk panti asuhan, pun dengan aku yang datang sembari menangis dibawa polisi." Aku berkata pada diriku sendiri. Cukup lirih, namun mataku justru kian memanas.
Kini aku menahan supaya air mata tidak turun membasahi pipiku. Aku merutuki diriku sendiri yang tidak bisa bersikap tegas dan justru melemah.
Memori-memori luka masa lalu membombardir diriku seketika itu juga.
"Rain, kamu harus kuat! Biar ibu yang menghadapinya. Kamu segera keluar rumah, ya begitu ibu menariknya masuk. Kamu paham, kan?"
Rain kecil hanya mengangguk.
Setelahnya, ibunya dengan sikap tegar membuka pintu yang sedari tadi diketuk dengan kerasnya. Di baliknya, terlihat seorang pria berusia 40 tahunan dengan tampilan lusuh dan wajah garang langsung menggertak ibu Rain keras.
Rain tidak mau melihatnya. Ia membuang muka.
Sambil menangis, ia lari ke luar rumah, sesuai permintaan ibunya.
Tak lama, teriakan seorang wanita terdengar meraung-raung. Rain kecil mendengarnya dengan samar-samar. Hatinya perih, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Ia terus melangkah pergi, bersama rintik hujan yang terus turun membasahi dunia manusia.Aku masih sangat ingat bagaimana pria yang kusebut ayah itu melakukan kekerasan pada ibuku belasan tahun lalu. Dan sekarang aku bahkan masih teringat pada kisah kelam masa lalu itu.
Sungguh tragis.
Setelah beberapa menit aku mencoba menenangkan diri, akhirnya aku memutuskan untuk mandi. Meski tadi pagi aku sudah mandi, tapi mandi lagi tidak akan menjadi masalah.
'Mungkin saja mandi akan menyegarkan otakku kembali.' Batinku.
Segera aku mengambil handuk dan beberapa potong pakaian, lalu aku bergegas menuju kamar mandi.
Tepat sebelum kakiku masuk ke kamar mandi, samar-samar aku mendengar suara nyanyian.
Lirik lagu yang bahkan sangat kukenali. Suara yang juga sepertinya tidak asing di telingaku.
~Sesi Lagu~
Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan-tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terindahku hanya untukmu
Mungkinkah kau kan kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untukmu
-Jikustik, Puisi-
~Sesi Lagu Berakhir~
Seketika tubuhku membeku. Pikiranku langsung melayang.
Suara itu seperti berada tak jauh dari rumahku.
Aku langsung menoleh ke arah jendela kamar. Segera aku berlari dan membukanya dengan tidak sabar.
Dan aku tidak kalah terkejutnya.
Tepat di seberang jalan, di sebuah rumah putih minimalis tetapi nampak mewah dan berkelas, aku melihat seorang pria muda dengan mobil sport birunya terparkir di halaman depan.
Hatiku terasa sesak. Keringat dingin membasahi dahiku. Baju yang kupegang beserta handuknya jatuh. Aku bahkan tidak sanggup menguasai logikaku lagi.
Segera aku berlari ke pintu rumahku. Kubuka dengan cepat dan tanpa pikir panjang aku lari ke seberang jalan, tepat di depan rumah pria yang kulihat itu.
Napasku terengah-engah.
Mataku melihat ke arah pria itu lekat. Tidak, lebih tepatnya sangat lekat. Jantungku berdebar tidak karuan, hatiku merasakan berbagai perasaan campur aduk.
Tak berselang lama, dia menyadari keberadaanku dan berbalik menghadapku.
Jantungku seakan mencelos. Dan lagu yang samar-samar kudengar tadi berasal dari mobilnya. Dia memutar lagu itu cukup keras hingga aku bisa mendengarnya.
"Hai! Kita bertemu lagi." Dia menyapaku sambil tersenyum ramah.
"Berapa lama, ya? Empat bulan, kalau nggak salah. Betul?" Sambungnya.
Bulir-bulir air mata seketika lolos dari kedua sudut mataku.
"Zev." Balasku dengan suara lirih dan tercekat.
Zevran kembali tersenyum. Mata hazelnya benar-benar menarik. Tulus. Teduh. Lesung pipitnya semakin membuat senyumannya terlihat berkharisma dan menghipnotis.
"Bagaimana kabarmu, Rain? Sehat?"
Aku mengangguk cepat. "Ya. Aku baik-baik saja."
'Tapi hatiku tidak, Zev.' Sambungku dalam hati.
"Syukurlah. Kamu sehat selalu, ya! Jaga diri baik-baik." Ucapnya tulus.
"Kamu mau kemana, Zev? Apakah kamu hanya mampir? Apakah kamu akan pergi lagi?" Tanyaku dengan suara bergetar.
Pikiranku saat ini dipenuhi dengan berbagai spekulasi tidak jelas dan berlebihan. Hatiku semakin tidak karuan juga mendengar pernyataannya yang sangat mengkhawatirkan.
Zevran perlahan mendekatiku. Ia menatap kedua mataku lekat, seakan-akan mencari sesuatu di dalam mataku.
Ia menghela napas panjang, kemudian menarikku ke dalam pelukannya. Didekapnya tubuhku erat. Aku juga membalas pelukannya. Erat. Seakan-akan kami berdua tidak ingin dipisahkan.
Namun, tidak berselang lama. Hanya beberapa saat sebelum akhirnya Zevran melepaskan pelukannya dariku.
"Kenapa, Zev?" Tanyaku.
Dia tersenyum. Tetapi kali ini berbeda. Senyumnya seakan dipaksakan. Aku bisa menebak ada sesuatu yang tidak biasa.
"Rain, aku akan pindah ke Jerman, ke tempat di mana perusahaanku berkembang pesat. Dan hari ini, aku akan berkemas."
Duniaku serasa runtuh seketika itu .
"Mungkin, ini juga yang terbaik untuk kita, Rain. Kita tetap menjaga utuh persahabatan kita selama 14 tahun ini. Dan kita tetap bisa terhubung. Aku bahkan akan meneleponmu setiap hari, jika itu yang kamu mau."
"Bahkan, hapeku juga sudah kunyalakan lagi." Sambungnya sambil menunjukkan gawai hitam dari saku celananya.
Plak!!!
Aku mendaratkan tamparan di pipinya.
Dia memegangi pipinya. Aku menatap ke arahnya tajam.
"Kamu pulang hanya untuk ini? Kamu bahkan tidak pernah bertanya kembali bagaimana jawabanku atas pertanyaanmu waktu di pesta dulu. Kamu bahkan tidak berjuang untukku dan memilih menghilang selama empat bulan. Apakah ini yang kamu katakan kalau kamu mencintaiku, Zev?" Aku berteriak keras di depannya.
Zevran terdiam. Ditatapnya diriku. Seakan-akan ada yang ingin diucapkannya, tetapi ditahan.
"Zev, apakah kamu juga tidak tahu bahwa aku bahkan memikirkanmu di setiap malamku? Pernahkah kamu memikirkannya juga? Apakah kamu hanya fokus pada perasaanmu sendiri tanpa memikirkan perasaanku?" Tanyaku sambil terisak. Pertahananku telah runtuh demi mendengar dia akan menetap di Jerman.
"Rain." Ucapnya lirih.
"Bukankah aku pernah bilang bahwa aku tidak akan meninggalkanmu? Bukankah kamu juga tahu lebih dari siapapun tentang cara bertemu denganku?"
"Aku tahu, kisah kita mungkin saja berakhir tanpa pernah dimulai. Aku juga sangat tahu, bahwa kamu dilema antara memilihku atau dia. Aku juga tahu, kamu mungkin saja memikirkanku sebatas pada bahwa aku adalah sahabat terbaikmu sejak 14 tahun lalu. Tapi bagiku, semua ini tidak mudah. Memendam sebuah rasa tanpa balas padahal aku harus bertemu kamu setiap hari saja aku sudah sangat tersiksa, apalagi setelah mengungkapkannya padamu dan ternyata kamu justru memberi kesempatan pada orang kain." Jelasnya.
"Rain, bahkan jika bunga mekar sebelum kuncupnya berkembang sempurna, maka layu adalah jawabannya. Dan bahkan ketika hujanmu telah reda bersama kedatangannya, rela adalah satu-satunya jalan berdamai dan paling bahagia. Maka biarkanlah kisah ini cukup sampai di sini saja. Biarkan kamu dan aku berjalan masing-masing tanpa gundah. Semoga setelah denganku, akan kau temui pelangi indah selepas hujan malam panjang. Dan semoga, kamu menemukan cinta yang membahagiakan selepas purnama kelabu tanpa undangan. Jika memang kita berjodoh, semesta akan selalu punya cara untuk mempertemukan dan mempersatukan kita lagi. Percayalah! Jika memang kamu jodohku, saat kita bertemu kembali, maka aku akan memperjuangkanmu lagi dengan jauh lebih. Tetapi untuk sekarang, tanyakanlah lagi pada hatimu. Siapa sebenarnya yang berada di sana. Sahabatmu ini, Zevran, akan tetap ada sebagai sahabatmu sampai mati." Ungkapnya panjang lebar.
Saat ini aku bahkan kehilangan kata-kata.
~Sesi Lagu~
Aku menenggelamkan kepalaku ke bantal. Meredam apa yang berkecamuk di kepalaku memang tak mudah. Kurasa semua orang juga tahu bahwa aku memang tak becus menghadapi masalah seperti ini. Aku pusing dan aku tak ingin memikirkan hal-hal yang merusak mood-ku hari ini. Tetapi tetap saja. Bahkan setelah 1 hari, aku mengajukan cuti selama satu minggu untuk kembali menormalkan pikiranku. Sean dan ratusan panggilan darinya yang tak terjawab kuabaikan. Bahkan ketika pagi tadi dia datang dan menggedor pintu rumahku, aku tak membuka pintu atau bahkan menyahut sedikitpun. Aku tak bergeming dan hanya fokus membuat bantalku basah karena air mata dan ingus. Bahkan hingga sekarang. Hujan yang tadi malam turun juga tak kugubris. Entah kenapa aku fokus saja pada tangisanku. Dan sepertinya memang hujan juga tahu. Tadi malam ia turun semakin deras meski aku tak beranjak sedikitpun dari kasurku untuk mencumbunya, sepert
From : Milanda Revalido Sulistya Elu yakin dia bakal paham maksud lu, Rain? Gue aja bahkan gak paham maksud elu apa. Mila mengirimkan pesan chatting lewat aplikasi pesan. Aku membacanya sambil tertawa geli. Dengan cepat aku mengetik balasannya. From : Rainisa Soedibjo Tunggal Gue sih yakin dia pasti akan tahu dan paham maksud gue. Tapi entah kapannya. Lagipula dia pasti berusaha semaksimal mungkin menemukan jawabannya. :) Tak berselang lama, balasan dari Mila masuk. From : Milanda Revalido Sulistya Hei! Belum tentu! Bisa aja dia gak paham artinya sampai beberapa waktu. Dia bahkan gak tahu ungkapan elu itu termasuk apa wkwk. Tapi by the way, apakah elu gak mau berbagi jawaban ke gue? XD Aku melotot membacanya. Bagaimana bisa dia minta bocoran? Aku tahu Mila tak pernah sanggup berbohong. Memberitahuka
Aku menguap panjang dan merasa bahwa ada yang hangat pada tubuhku. Samar-samar kudengar alunan lagu dari Beyonce yang aku bahkan lupa judulnya apa. Sebuah selimut menutupi tubuhku, sementara aku akhirnya sadar bahwa aku sedang di sebuah mobil mini cooper yang tengah melaju membelah jalanan kota. Di belakang kemudi nampak Sean yang tidak bergeming sedikit pun. Ia fokus pada jalan sambil sesekali melempar pandangan ke kanan kiri. Aku di jok belakang merasa kikuk. Dengan masih berpakaian kerja, aku diajak Sean memutari hampir seluruh pasar malam, dan berakhir aku memilih tidur setelahnya di jok belakang. AC mobil yang cukup dingin barangkali membuatnya akhirnya menyelimutiku. "Kamu sudah bangun?" Tanyanya. Ia sepertinya sadar kalau aku sudah membuka mata sedari beberapa saat lalu. "Hmm." Jawabku dengan malas. Aku masih meringkuk manja dengan e
Aku mengetik laporan keuangan dengan malas. Sesekali aku menguap dengan lebar sembari menegakkan punggungku. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Bahkan aku hanya bisa membuat jurnal umum untuk transaksi satu hari, belum sampai pada buku besar, arus kas, apalagi laporan rugi laba. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 11.30 WIB. Tandanya sebentar lagi akan masuk waktu istirahat siang. Sepertinya aku tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Akan lebih baik jika aku meminta izin masuk setengah hari, daripada laporanku berantakan dan berakhir aku berada di meja interogasi. Membayangkannya saja aku begidik ngeri. Dengan segera aku menuju lift dan naik ke lantai 4 untuk meminta izin. Namun, belum sempat aku menekan tombol, sebuah tangan menyerobot dan menekan tombol lantai teratas. Segera saja aku menoleh. Dan aku mendapati Se
Blarrrr! Hujan turun dengan sangat derasnya sore ini, disertai dengan kilat yang menyambar-nyambar. Aku masih dengan pakaian kerjaku dan Mila sudah pulang dari kafe sejak beberapa saat lalu. Aku menatap langit mendung dan tetesan hujan dengan tatapan nanar. Masih tidak percaya bahwa aku tetap belum lepas dari bayangan 14 tahun yang lalu. Kini hatiku bergemuruh, seiring dengan kilat yang terus menyambar dan menghasilkan bunyi yang memekakkan telinga. Aku merasa sesak. Sebelumnya, saat aku masih dekat dengan Sean, aku bahkan sudah mulai terbiasa saat hujan turun. Namun, sekarang aku justru kembali seperti 14 tahun yang telah kujalani. Badanku mulai bergetar dan... Aku melebur kembali bersama hujan. Dalam langkah tegap, aku berjalan dengan suasana hati yang kembali meredup menerobos hujan lebat. Di saat orang lain berlarian mencari tempat berteduh, hanya aku
Aku menatap Bhaskara nanar. 3 tahun yang lalu aku melihatnya sebagai sosok superhero. Sekarang aku menatapnya sebaliknya. Penuh kebencian, dendam, dan amarah yang tak terbendung.Tubuhku bergetar hebat. Antara menangis dan berusaha kuat, aku bahkan tidak mampu menahan gejolak dalam diriku sendiri. Rasa-rasanya masih tidak percaya kalau 3 tahun menghilang akan membuatnya sedemikian drastis berubah."Bhas, is that you who loved me 3 years ago?" Ucapku parau.Aku masih menatapnya tak percaya. Kulihatnya sekali lagi dari ujung kepala sampai ujung kaki.Matanya masih mata hitam bulat yang tak pernah berubah. Gaya berpakaiannya masih sama, suka memakai kaos dan celana jeans panjang dan sepatu sport pria hitam putih. Dia sekarang bahkan memakai hoodie putih. Gaya rambutnya juga bahkan tak berubah sama sekali. Aku menatapnya lekat sekali lagi dan aku yakin dia bahkan tidak memiliki pe
Mataku mengerjap-ngerjap karena silau. Tanganku menutupi wajah dan mataku agar aku bisa membuka mataku dengan sempurna. Sejenak kemudian aku mencoba mengembalikan kesadaranku secara utuh. Kutepuk-tepuk pipiku dan kukucek mataku.Beberapa detik kemudian aku teringat kejadian semalam. Mataku langsung membulat. Kulihat sekelilingku dan aku menyadari sesuatu.Ini bukan kamarku!Lantas di mana aku? Aku merasa asing dengan dekorasi kamar ini. Aku ingat bahwa aku belum pernah melihat kamar ini sebelumnya.Kuedarkan pandanganku sekali lagi, menyapu seluruh sudut kamar. Barangkali ada salah satu tanda pengenal atau barang yang mungkin saja mengindikasikan bahwa ini kamar milik seseorang yang kukenal. Tapi nihil. Aku gagal mengenali kamar ini.Sekelebat ingatanku kembali pada sesosok yang menahanku. Apakah mungkin dia? Aku bahkan tak sempat melihat wajahnya ka
Aku berdiri di belakang Zevran yang tengah memasak. Kusilangkan dua tanganku di dada dan mengamatinya memasak. Dia sepertinya menghiraukan keberadaanku dan hanya fokus memasak. Aku tidak mau dicuekkan olehnya. Aku pun memberanikan diri membuka suara. "Zev, apakah kamu sedang mengabaikanku?" Tanyaku dengan nada penuh penekanan dan seakan-akan mengintimidasi. "Tidak. Hanya fokus masak aja biar gak gosong. Kamu duduk aja di kursi biasanya. Nanti kita makan bareng di situ." Jawabnya tanpa menoleh sedikit pun. Aku mendengus kesal. Aku pun mau tidak mau menunggu di tempat kami berdua biasa makan. Meja makan yang letaknya persis di depan bar dapur. Duduk di sini membuatku mengingat hari sebelum Zevran pergi selama 2 Minggu ke Jerman, setelah pesta koleganya hari itu. Setelah sebelumnya kesal, sekarang aku tersenyum-senyum sendiri mengingatnya. Tak